Beranda / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 33: ARYA KERTAJAYA MULAI SIMPATI

Share

BAB 33: ARYA KERTAJAYA MULAI SIMPATI

Penulis: Arjuna Wiraguna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-17 02:00:03
Matahari mulai tenggelam di balik gunungan yang mengelilingi istana Gilingwesi, menciptakan siluet keemasan di langit. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman dalam istana, tangannya terlipat di depan dada sementara ia menatap ke arah taman tempat Raka dan Dyah Sulastri sering bertemu. Ia masih merasakan kemarahan mendalam setiap kali melihat mereka bersama, tetapi ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya—keraguan.

Sejak pertemuan tegang malam itu ketika ia memergoki Raka dan Dyah di bawah sinar bulan, Arya tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Raka: "Ini bukan urusanmu, Arya. Aku tidak berniat menyakiti siapa pun, apalagi Dyah." Awalnya, Arya mengabaikan pernyataan itu sebagai omong kosong belaka. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa mungkin ada lebih dari sekadar permukaan pada pemuda asing itu.

Saat ia berjalan menyusuri koridor istana menuju ruang latihan pedang, Arya bertemu dengan salah satu prajurit kerajaan, seorang pria tua bernama Ki Suryawijaya, yan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 34: PORTAL WAKTU RUSAK

    Malam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu sunyi. Hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan beringin tua dan cahaya obor-obor yang berkedip-kedip di sepanjang koridor yang memecah keheningan. Raka, yang merasa gelisah setelah ritual gaib beberapa hari lalu, memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam tentang misteri kerajaan ini. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang belum terungkap—sesuatu yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tentang identitasnya dan perannya sebagai "Orang dari Kala Lain."Setelah mendengar cerita dari Resi Agung Darmaja tentang artefak-artefak kuno yang tersimpan di ruang bawah tanah istana, Raka memutuskan untuk mengeksplorasi tempat itu sendirian. Ruang bawah tanah adalah area yang jarang dikunjungi, bahkan oleh para prajurit kerajaan. Hanya sedikit orang yang tahu apa yang tersimpan di sana, dan Raka merasa bahwa inilah kesempatannya untuk mencari jawaban.Raka membawa sebuah lampu minyak kecil untuk menerangi jalan. Udara di ruang bawah tanah dingin dan lem

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 35: ANCAMAN BARU

    Matahari terbit di cakrawala, menyinari istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam istana tidak sesenang pemandangan luar. Udara dipenuhi oleh ketegangan yang semakin tebal, seolah-olah awan kelabu menggantung di atas kepala setiap orang. Berita tentang pasukan asing yang mendekati perbatasan kerajaan telah menyebar seperti api, menciptakan rasa panik di antara para prajurit dan penduduk istana.Rakai Wisesa duduk di singgasana emasnya, wajahnya muram namun penuh tekad. Di sekitarnya, para penasihat kerajaan berdiri dengan ekspresi khawatir. Arya Kertajaya, Dyah Sulastri, Resi Agung Darmaja, dan beberapa pemimpin militer lainnya hadir di ruang singgasana untuk membahas strategi pertahanan. Raka juga berada di sana, meskipun posisinya masih ambigu—sebagian orang memandangnya sebagai harapan, sementara yang lain melihatnya sebagai ancaman potensial."Sebuah pasukan besar sedang mendekati perbatasan kita," kata Ki Suryawijaya, salah satu jenderal senior

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 36: PASUKAN ASING MENDEKAT

    Langit di atas Kerajaan Gilingwesi tampak muram, seolah-olah alam sendiri menahan napas menjelang badai besar. Udara yang biasanya dipenuhi dengan suara burung dan gemerisik dedaunan kini terasa berat, membawa firasat buruk bagi seluruh penghuni istana. Kabar tentang kedatangan pasukan asing telah sampai ke telinga Rakai Wisesa melalui para mata-mata yang tersebar di perbatasan hutan lebat. Mereka bukan sekadar musuh biasa—mereka adalah pasukan yang dipimpin oleh penyihir gelap, seseorang yang dikenal memiliki ilmu hitam tingkat tinggi.Di ruang sidang utama istana, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Lilin-lilin besar yang biasanya memberikan cahaya hangat tiba-tiba berkedip-kedip pelan, seakan merasakan ketegangan yang memuncak. Beberapa lilin bahkan padam sendiri, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak di dinding batu. Angin dingin yang tidak terlihat menyapu ruangan, membuat bulu kuduk semua orang meremang.Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tenang namun m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 37: PERSIAPAN PERANG

    Matahari mulai terbit di cakrawala, menyelimuti istana Kerajaan Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Namun, keindahan pagi itu tidak mampu menutupi ketegangan yang memenuhi udara. Suara genderang perang bergema dari lapangan latihan militer di luar istana, memecah kesunyian pagi. Arya Kertajaya berdiri di tengah lapangan, mengamati prajurit-prajuritnya dengan sorot mata tajam. Ia memegang pedang panjangnya erat-erat, sementara angin dingin menyapu rambutnya yang terikat rapi."Lebih cepat! Gerakan kalian masih terlalu lambat!" bentak Arya kepada barisan prajurit yang sedang berlatih formasi pertempuran. Suaranya keras dan penuh otoritas, memantul di dinding-dinding batu yang mengelilingi lapangan. Para prajurit bergerak dengan ritme cepat, mengayunkan senjata mereka dengan presisi yang hampir sempurna. Namun, Arya masih merasa ada yang kurang. Ia tahu bahwa pasukan asing yang mendekat bukanlah musuh biasa—mereka adalah pasukan yang dipimpin oleh penyihir gelap, dan ini bukan s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 38: PERJALANAN SPIRITUAL KE GUNUNG SUCI

    Langit di atas Kerajaan Gilingwesi mulai menggelap saat matahari perlahan tenggelam di balik puncak-puncak pegunungan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terbakar api unggun kecil di sekitar halaman. Di depan gerbang utama, rombongan kecil bersiap untuk berangkat menuju Gunung Suci, tempat yang dipercaya sebagai pusat energi spiritual kerajaan. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di barisan depan, ditemani oleh beberapa prajurit pilihan serta Resi Agung Darmaja yang tampak misterius dengan tongkatnya yang berkilauan redup."Gunung Suci adalah tempat di mana dunia manusia bertemu dengan dunia gaib," ujar Resi Agung Darmaja dengan suara rendah namun penuh otoritas. "Di sana, kalian akan menemukan jawaban tentang takdir kalian—dan mungkin juga cara untuk menyelamatkan kerajaan ini." Matanya menyipit saat ia menatap Raka, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya.Raka merasakan beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. Ia

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 39: MAKHLUK MITOLOGI DI GUNUNG SUCI

    Setelah berjam-jam mendaki melalui jalur yang semakin curam dan terjal, rombongan akhirnya tiba di kaki Gunung Suci. Udara di sini terasa lebih dingin dan berat, seolah gravitasi di tempat ini tidak sama dengan dunia biasa. Kabut tebal menyelimuti seluruh area, membuat pandangan mereka terbatas hanya beberapa meter ke depan. Suara-suara aneh mulai terdengar dari kejauhan—bisikan halus yang tak terdengar seperti berasal dari manusia, gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan oleh angin, dan lolongan samar yang bergema di antara pepohonan.Resi Agung Darmaja berhenti sejenak, menatap kabut di depan mereka dengan sorot mata penuh perhitungan. "Kita sudah sampai di pintu masuk ke dunia gaib," katanya pelan, suaranya nyaris tersapu angin. "Namun, untuk bisa melewati ini, kita harus mendapatkan izin dari penjaga gerbang.""Penjaga gerbang?" tanya Raka, matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas melalui kabut. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik bay

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 40: PENGLIHATAN TENTANG MASA LALU

    Setelah melewati Genderuwo dan memasuki dunia gaib, rombongan tiba di puncak Gunung Suci. Tempat itu adalah dataran luas yang dikelilingi oleh batu-batu besar berukir simbol-simbol kuno. Udara di sini terasa lebih ringan, seolah mereka berada di antara dua dunia—dunia manusia dan dunia roh. Cahaya lembut berpendar dari batu-batu itu, menciptakan suasana magis yang menenangkan sekaligus mencekam.Resi Agung Darmaja menginstruksikan Raka dan Dyah untuk duduk di tengah lingkaran batu, sementara para prajurit berdiri menjaga di luar. "Kalian harus meditasi di sini," katanya dengan suara pelan namun tegas. "Ini adalah tempat di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu. Kalian akan melihat kebenaran tentang takdir kalian."Raka dan Dyah saling bertukar pandang, wajah mereka penuh ketegangan. Mereka tahu bahwa ini bukan sekadar ritual biasa—ini adalah langkah penting untuk memahami peran mereka dalam konflik kerajaan ini."Jangan takut," kata Resi, matanya menyipit saat ia menatap Ra

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 41: HUBUNGAN RAKA-DYAH SULASTRI MEMANAS

    Setelah pengalaman meditasi yang mendalam di puncak Gunung Suci, rombongan mulai menuruni gunung. Udara yang sebelumnya dipenuhi energi gaib kini terasa lebih ringan, meskipun beban pikiran mereka masih berat. Kabut tipis mulai menyelimuti jalur mereka, menciptakan suasana misterius dan sedikit mencekam. Suara langkah kaki bergema di antara pepohonan, sementara angin dingin sesekali membawa bisikan halus yang sulit dimengerti.Raka dan Dyah Sulastri berjalan berdampingan di barisan depan, sementara para prajurit mengikuti di belakang dengan waspada. Raka masih mencoba memproses apa yang ia lihat dalam penglihatannya—pendiri kerajaan yang mirip dengannya, kegagalan spiritual, dan kutukan cinta antara dirinya dan Dyah. Ia merasakan beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. Di sisi lain, Dyah tampak cemas, matanya sering kali tertuju pada Raka seolah mencari jawaban atas ketakutannya."Kau baik-baik saja?" tanya Raka pelan, suaranya nyaris tersapu angin. Ia menatap Dyah dengan penu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 210: DYAH SULASTRI MENGORBANKAN DIRI LAGI

    Pertempuran besar di luar istana mencapai puncaknya. Suara senjata yang beradu, teriakan prajurit, dan raungan makhluk gaib menggema di udara malam. Api melahap beberapa sudut benteng, sementara asap hitam membumbung tinggi ke langit, menyelimuti medan perang dalam kabut pekat. Pasukan bayangan Ki Jagabaya dan sekutunya dari dunia gaib terus menyerang tanpa henti, memanfaatkan setiap celah dalam pertahanan kerajaan.Di tengah medan perang yang kacau, Raka berdiri di garis depan, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Meskipun ia berhasil menahan serangan-serangan awal, kekuatannya mulai terasa melemah. Ia merasakan energinya terkuras habis dengan cepat, membuat tubuhnya semakin goyah.Penyihir gelap muncul di tengah medan perang, dikelilingi oleh kabut hitam yang pekat. Matanya bersinar seperti bara ap

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 209: PENYIHIR GELAP MENGAMUK

    Medan perang yang sudah penuh dengan kekacauan semakin memanas saat penyihir gelap muncul di tengah-tengah pertempuran. Tubuhnya dikelilingi oleh energi hitam pekat yang mengintimidasi, dan matanya berkilat merah seperti bara api. Ia melangkah maju dengan gerakan anggun namun menakutkan, seolah-olah seluruh dunia ada dalam kendalinya."Kalian semua telah bermain cukup lama," katanya dengan suara dingin yang menusuk. "Sekarang, saatnya kalian membayar harga atas perlawanan kalian."Penyihir itu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi hitam besar di udara. Pusaran itu mulai melepaskan serangan sihir yang menghantam barisan pasukan loyalis, menyebabkan banyak prajurit terpental dan jatuh tak bernyawa. Para makhluk gaib yang setia kepada kerajaan pun terlihat kesulitan menghadapi kekuatan gelap ini.

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 208: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA

    Langit di atas medan perang mulai menghitam, tertutup awan tebal yang menandakan kemarahan alam. Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma darah dan belerang yang menebal seiring dengan intensitas pertempuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya terus melancarkan serangan brutal, sementara makhluk gaib dari kedua pihak saling bertarung tanpa ampun.Di tengah kekacauan, Raka masih mencoba mengatur napasnya setelah menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Namun, energinya hampir habis, dan ia merasa dirinya tidak lagi mampu melawan jika serangan baru datang. Dyah Sulastri berdiri di sampingnya, mata hijaunya penuh dengan kekhawatiran."Kau harus istirahat," bisik Dyah pelan. "Kekuatanmu sudah mencapai batasnya."Raka menggeleng lemah. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika aku berhenti, kita semua akan mati."Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, sebuah suara raungan keras memenuhi udara. Sebuah Genderuwo raksasa muncul dari

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 207: RAKA MENGGUNAKAN KEKUATANNYA

    Pertempuran di luar istana telah berubah menjadi badai kehancuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipersenjatai dengan senjata mistis dan sihir hitam terus menggempur pertahanan kerajaan. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga turut berperang, masing-masing memilih pihak mereka. Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri di garis depan, masih mencoba memahami situasi yang semakin tak terkendali. Angin malam membawa aroma belerang yang menusuk, sementara cahaya bulan redup tertutup awan kelabu. Suara gema tombak dan pedang bergesekan dengan energi spiritual memenuhi udara. Raka merasakan tubuhnya bergetar hebat. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sejak ritual gaib yang dipimpin Dyah Sulastri di bab sebelumnya, ia merasakan aliran energi aneh di dalam dirinya—seperti gelombang panas yang melingkupi seluruh tubuhnya. Awalnya, ia mengabaikannya sebagai efek sam

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 206: PERTEMPURAN DIMULAI

    Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 205: KLIMAKS AWAL PERANG BESAR

    Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 204: ARYA KERTAJAYA TERLUKA PARAH

    Setelah pasukan bayangan Ki Jagabaya mundur sementara, suasana istana dipenuhi oleh keheningan yang mencekam. Darah dan reruntuhan mengotori halaman istana, saksi bisu dari pertempuran brutal yang baru saja terjadi. Raka berdiri di tengah puing-puing, menatap medan pertempuran dengan rasa marah dan putus asa. Ia merasakan beban tanggung jawab semakin berat, terutama setelah menyadari bahwa pengorbanan mereka belum berakhir. Namun, fokus utama saat ini adalah Arya Kertajaya. Panglima perang yang gagah itu terluka parah saat melindungi Dyah Sulastri dari serangan mendadak pasukan bayangan. Tubuhnya dilarikan ke ruang medis oleh para prajurit, kondisinya kritis. Raka merasakan getaran aneh dari artefak perunggu yang ia simpan di sakunya. Getaran itu begitu kuat hingga ia tidak bisa mengabaikannya. Ia mengeluarkan artefak tersebut, dan saat ia menyentuhnya, pandangannya mulai kabur. Sebuah visi singkat mun

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 203: SERANGAN MENDADAK DI MALAM HARI

    Malam itu, istana Gilingwesi tampak tenang di bawah sinar bulan sabit yang redup. Udara dingin menyelimuti halaman istana, dan hanya suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan yang memecah keheningan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak beres—sebuah firasat buruk merayap di benak Raka. Ia berdiri di teras istana, menatap kegelapan malam dengan perasaan waspada. "Aku merasakan sesuatu," gumam Raka pelan kepada Arya Kertajaya, yang berdiri di sampingnya. "Ada yang tidak beres." Arya Kertajaya mengangguk, tangannya erat mencengkeram pedangnya. "Aku juga merasakannya. Tapi kita harus tetap waspada. Jika Ki Jagabaya benar-benar akan menyerang, ia akan melakukannya saat kita lengah." Tiba-tiba, suara gemerisik muncul dari arah hutan. Daun-daun bergoyang tanpa angin, dan bayangan hitam mulai bergerak di tepi cahaya obor. Para prajurit penja

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 202: RITUAL GAIB UNTUK MELINDUNGI KERAJAAN

    Malam semakin larut, dan angin dingin berdesir lembut di sekitar istana. Udara dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, bunga kenanga yang harum, dan belerang dari api ritual yang menyala-nyala. Di halaman dalam istana, Dyah Sulastri memimpin persiapan untuk ritual gaib yang akan dilakukan untuk memperkuat pertahanan kerajaan. Para pendeta kerajaan berkumpul di sekitarnya, membawa berbagai artefak kuno dan simbol spiritual. Raka berdiri di tepi halaman, mengamati segala sesuatunya dengan perasaan campur aduk. Ia merasakan getaran magis yang kuat di udara—energi yang membuat bulu kuduknya berdiri. Meskipun ia bukan orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis, ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi malam ini. "Dyah," panggil Raka pelan saat ia mendekati sang putri. "Apa yang akan kau lakukan? Ini terlihat... sangat berbahaya." Dyah S

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status