BAB 36: RITUAL GAIBMalam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu tegang. Di halaman dalam istana, sebuah lingkaran besar telah digambar dengan kapur putih di atas tanah, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala dengan api biru kehijauan. Udara terasa berat, seolah-olah dipenuhi oleh energi gaib yang tak terlihat. Para pendeta kerajaan berdiri di sekitar lingkaran, mengenakan jubah panjang berwarna merah dan hitam, sambil membawa genta kecil dan tongkat kayu bertatahkan simbol-simbol kuno. Mereka mulai melantunkan mantra-mantra dalam bahasa yang asing, suaranya bergema seperti guntur di udara malam.Di tengah lingkaran, Raka berdiri bersama Dyah Sulastri. Wajah mereka tampak tegang, namun penuh tekad. Rakai Wisesa, raja kerajaan, berdiri di tepi lingkaran, matanya penuh harap namun juga waspada. Ritual ini adalah upaya terakhir untuk menenangkan roh-roh yang marah—roh-roh yang diyakini menjadi penyebab semua ketegangan dan ancaman yang menghantui kerajaan."Kita harus memulai ritual
BAB 37: CINTA TERLARANGMalam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu tenang. Di taman dalam istana yang dikelilingi oleh pepohonan beringin raksasa dan bunga melati yang harum, Raka dan Dyah Sulastri duduk berdampingan di bawah sinar bulan purnama. Cahaya lembut itu menyelimuti mereka, menciptakan atmosfer yang damai namun penuh ketegangan. Mereka baru saja selesai membicarakan visi yang dilihat Raka selama ritual gaib—tragedi masa lalu yang menjadi akar dari kutukan kerajaan. Namun, ada sesuatu yang lebih mendalam yang mengganggu pikiran mereka berdua: hubungan mereka yang semakin dekat, tetapi bertentangan dengan takdir kerajaan.Dyah menundukkan wajahnya, matanya penuh konflik batin. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Raka tidak bisa diabaikan, tetapi ia juga sadar bahwa cinta mereka adalah ancaman bagi stabilitas kerajaan. Sebagai ratu suci, ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan spiritual kerajaan. Hubungan dengan "Orang dari Kala Lain" seperti Raka bisa me
BAB 38: ARYA KERTAJAYA MULAI SIMPATI Matahari mulai tenggelam di balik gunungan yang mengelilingi istana Gilingwesi, menciptakan siluet keemasan di langit. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman dalam istana, tangannya terlipat di depan dada sementara ia menatap ke arah taman tempat Raka dan Dyah Sulastri sering bertemu. Ia masih merasakan kemarahan mendalam setiap kali melihat mereka bersama, tetapi ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya—keraguan. Sejak pertemuan tegang malam itu ketika ia memergoki Raka dan Dyah di bawah sinar bulan, Arya tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Raka: "Ini bukan urusanmu, Arya. Aku tidak berniat menyakiti siapa pun, apalagi Dyah." Awalnya, Arya mengabaikan pernyataan itu sebagai omong kosong belaka. Namun, semakin ia
BAB 39: PORTAL WAKTU RUSAKMalam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu sunyi. Hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan beringin tua dan cahaya obor-obor yang berkedip-kedip di sepanjang koridor yang memecah keheningan. Raka, yang merasa gelisah setelah ritual gaib beberapa hari lalu, memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam tentang misteri kerajaan ini. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang belum terungkap—sesuatu yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tentang identitasnya dan perannya sebagai "Orang dari Kala Lain."Setelah mendengar cerita dari Resi Agung Darmaja tentang artefak-artefak kuno yang tersimpan di ruang bawah tanah istana, Raka memutuskan untuk mengeksplorasi tempat itu sendirian. Ruang bawah tanah adalah area yang jarang dikunjungi, bahkan oleh pa
BAB 40: ANCAMAN BARUMatahari terbit di cakrawala, menyinari istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam istana tidak sesenang pemandangan luar. Udara dipenuhi oleh ketegangan yang semakin tebal, seolah-olah awan kelabu menggantung di atas kepala setiap orang. Berita tentang pasukan asing yang mendekati perbatasan kerajaan telah menyebar seperti api, menciptakan rasa panik di antara para prajurit dan penduduk istana.Rakai Wisesa duduk di singgasana emasnya, wajahnya muram namun penuh tekad. Di sekitarnya, para penasihat kerajaan berdiri dengan ekspresi khawatir. Arya Kertajaya, Dyah Sulastri, Resi Agung Darmaja, dan beberapa pemimpin militer lainnya hadir di ruang singgasana untuk membahas strategi pertahanan. Raka juga berada di sana, mes
BAB 41: PASUKAN ASING MENDEKATLangit di atas Kerajaan Gilingwesi tampak muram, seolah-olah alam sendiri menahan napas menjelang badai besar. Udara yang biasanya dipenuhi dengan suara burung dan gemerisik dedaunan kini terasa berat, membawa firasat buruk bagi seluruh penghuni istana. Kabar tentang kedatangan pasukan asing telah sampai ke telinga Rakai Wisesa melalui para mata-mata yang tersebar di perbatasan hutan lebat. Mereka bukan sekadar musuh biasa—mereka adalah pasukan yang dipimpin oleh penyihir gelap, seseorang yang dikenal memiliki ilmu hitam tingkat tinggi.Di ruang sidang utama istana, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Lilin-lilin besar yang biasanya memberikan cahaya hangat tiba-tiba berkedip-kedip pelan, seakan merasakan ketegangan yang memuncak. Beberapa lilin bahkan padam sendiri, menciptakan bayangan pan
BAB 42: PERSIAPAN PERANG Matahari mulai terbit di cakrawala, menyelimuti istana Kerajaan Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Namun, keindahan pagi itu tidak mampu menutupi ketegangan yang memenuhi udara. Suara genderang perang bergema dari lapangan latihan militer di luar istana, memecah kesunyian pagi. Arya Kertajaya berdiri di tengah lapangan, mengamati prajurit-prajuritnya dengan sorot mata tajam. Ia memegang pedang panjangnya erat-erat, sementara angin dingin menyapu rambutnya yang terikat rapi. "Lebih cepat! Gerakan kalian masih terlalu lambat!" bentak Arya kepada barisan prajurit yang sedang berlatih formasi pertempuran. Suaranya keras dan penuh otoritas, memantul di dinding-dinding batu yang mengelilingi lapangan. Para prajurit bergerak dengan ritme cepat, mengayunkan senjata mereka dengan presisi yang hampir
BAB 43: PERJALANAN SPIRITUAL KE GUNUNG SUCIAwal Perjalanan: Langkah Pertama Menuju KetidakpastianLangit di atas Kerajaan Gilingwesi mulai menggelap saat matahari perlahan tenggelam di balik puncak-puncak pegunungan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terbakar api unggun kecil di sekitar halaman. Di depan gerbang utama, rombongan kecil bersiap untuk berangkat menuju Gunung Suci, tempat yang dipercaya sebagai pusat energi spiritual kerajaan. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di barisan depan, ditemani oleh beberapa prajurit pilihan serta Resi Agung Darmaja yang tampak misterius dengan tongkatnya yang berkilauan redup."Gunung Suci adalah tempat di mana dunia manusia bertemu dengan dunia gaib," ujar Resi Agung Darmaja dengan suara rendah namun penuh otoritas. "Di
BAB 67: PASUKAN ASING MENYERANG HUTANSuasana Tegang di Hutan MistisPagi mulai menyingsing, namun hutan mistis masih diselimuti kabut tebal yang membuat pandangan menjadi terbatas. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa (mantan Buto Ijo) sedang beristirahat setelah malam yang penuh ketegangan. Api unggun kecil telah padam, meninggalkan jejak-jejak abu di tanah.Tiba-tiba, suara gemerisik dedaunan terdengar dari kejauhan. Udara dingin yang tadinya tenang kini dipenuhi dengan aroma logam dan kegelapan—pertanda bahwa sesuatu yang tidak wajar sedang mendekat. Genderuwo muncul di pinggir hutan, wajahnya muram seperti biasa. "Mereka datang," katanya dengan suara rendah. "Pasukan asing... dan penyihir gelap."
BAB 66: ARYA KERTAJAYA MENYATAKAN CINTANYASuasana Hening di Tepi SungaiSetelah pertemuan dengan Naga Niskala, suasana hutan mistis kembali tenang. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan Ksatria Wibawa duduk di tepi sungai suci, mencoba mencerna pesan penting yang baru saja mereka terima. Api unggun kecil telah dinyalakan untuk menghangatkan tubuh mereka dari udara dingin malam itu.Cahaya bulan yang lembut memantul di permukaan sungai, menciptakan kilauan biru keperakan yang menenangkan. Namun, ketenangan ini hanya ilusi. Udara dingin berhembus kencang, membawa aroma segar dari sungai suci yang berada tidak jauh dari sana. Kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan, seolah menyelimuti mereka dalam misteri.
BAB 65: NAGA NISKALA MENGIRIM PESANKemunculan Naga NiskalaSetelah kepergian Genderuwo dan redupnya api unggun, suasana hutan mistis menjadi semakin tenang. Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama. Dari arah sungai suci yang mengalir di tepi hutan, muncul cahaya biru kehijauan yang lembut. Air sungai mulai bergolak meskipun tidak ada angin atau aliran deras, dan dari kedalaman air itu, sosok besar Naga Niskala muncul.Tubuhnya yang bersisik biru keperakan memantulkan cahaya bulan yang samar, sementara matanya yang bersinar tajam menatap langsung ke arah Raka. Suara gemuruh halus terdengar dari sungai, seolah-olah alam itu sendiri sedang menyambut kemunculan makhluk gaib ini."Kalian telah melakukan
BAB 64: BUTO IJO BEBAS Transformasi Buto IjoCahaya biru keperakan dari Kristal Niskala perlahan memudar, meninggalkan jejak-jejak energi spiritual yang masih berdenyut di udara. Tubuh besar dan hijau Buto Ijo mulai berubah, menghilang seperti kabut yang tersapu angin. Dalam sekejap, sosok itu bertransformasi menjadi seorang ksatria kuno dengan senjata lengkap—pedang panjang yang bersinar redup di bawah cahaya api unggun.Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya terdiam, menatap sosok baru ini dengan campuran rasa takjub dan waspada. Wajah ksatria itu tampak gagah namun penuh kesedihan, matanya mencerminkan beban berat yang telah ia tanggung selama berabad-abad."Terima kasih," kata Ksatria Wibawa&
BAB 63: RITUAL PEMBEBASAN Persiapan Ritual di Hutan MistisMalam semakin larut, dan hutan mistis yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi spiritual yang luar biasa. Udara dingin menyelimuti setiap sudut, sementara kabut tebal mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Di tengah hutan, sebuah altar batu kuno telah disiapkan untuk ritual pembebasan Buto Ijo. Api unggun kecil berkedip-kedip di sekitar altar, memberikan cahaya lembut yang memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding pepohonan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di sekitar altar, masing-masing dengan perasaan tegang dan penuh harap. Di belakang mereka, sosok besar Buto Ijo—masih dalam wujud makhluk mitologi—menatap altar dengan mata penuh kerinduan. Ia tampak seperti makhluk yang sudah lama menunggu momen ini.
BAB 62: KUTUKAN BUTO IJOPenemuan Rahasia Buto IjoMatahari mulai tenggelam, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya jingga yang lembut. Udara semakin dingin, dan kabut tipis mulai merayap di antara pepohonan raksasa. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya berdiri di depan sebuah altar batu kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Di atas altar itu, ada relief tua yang menggambarkan seorang ksatria bersenjata lengkap dikelilingi oleh simbol-simbol dewa."Buto Ijo pernah menjadi manusia?" tanya Arya, suaranya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap relief tersebut. "Aku selalu menganggapnya hanya makhluk mitologi."Dyah mengangguk pelan, matanya memindai relief dengan penuh konsentrasi. "Ini lebih dari sekada
BAB 61: SYARAT BUTO IJOPertemuan di Tepi Sungai SuciMatahari mulai terbit, menyinari hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Udara pagi terasa dingin dan segar, namun ketegangan masih membayangi setiap langkah Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya saat mereka mendekati tepi sungai suci. Air sungai itu tampak jernih seperti kristal, memantulkan sinar matahari dengan kilauan aneh, seolah menyimpan rahasia besar di dalamnya."Apakah ini sungai yang dimaksud Buto Ijo?" tanya Arya pelan, matanya menyipit mencermati lingkungan sekitar.Dyah mengangguk, tangannya meraba permukaan air yang dingin. "Ya, aku bisa merasakan energi spiritual yang kuat di sini. Ini pasti tempatnya."Raka berdiri agak jauh dari sungai, matany
BAB 60: HUTAN MISTISAdegan Pembuka: Memasuki Hutan MistisMatahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya oranye yang redup. Udara di sekitar terasa lebih dingin dan berat, seolah membawa beban misteri yang tak terucapkan. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya melangkah hati-hati melewati pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan membentuk kanopi alami yang menutupi langit."Tempat ini... penuh dengan energi aneh," gumam Raka pelan, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno yang selalu ia bawa. Cermin itu mulai bersinar redup, seolah merespons kekuatan gaib di sekitarnya.Dyah mengangguk, matanya waspada. "Ini adalah wilayah makhluk gaib. Kita harus berhati-hati."
BAB 59: PENGKHIANATAN KI JAGABAYA TERUNGKAPArya Menyelidiki Lebih DalamMatahari mulai terbit di balik pegunungan, menyelimuti hutan mistis dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam kelompok Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya tetap tegang. Setelah berlari semalaman, mereka akhirnya mencapai tempat perlindungan rahasia yang ditunjukkan oleh peta Arya—sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara tebing curam dan pepohonan rimbun.Raka duduk di sudut gua, tangannya erat mencengkeram cermin perunggu kuno. Matanya menatap api kecil yang mereka nyalakan untuk menghangatkan tubuh. "Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi," gumamnya pelan.Dyah mendekatinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu, Raka?"