Dina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang.
"Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya.
"Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.
Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"
Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?
"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.
Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti biasanya.
Dina bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masalah keuangan yang membuat Danang marah? Atau ada sesuatu yang lain? Dina merasa harus mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Berbagai pertanyaan itu menghuni kepala Dina, wanita dua puluh tiga tahun yang baru enam bulan merasakan manisnya berumah tangga dengan Danang, pria berusia dua puluh sembilan tahun. Mereka menikah bukan karena perjodohan, melainkan karena cinta pada pandangan pertama menurut Danang.
Sepeninggal Danang, Dina terdiam, masih bingung dengan sikap dan kemarahan suaminya. Dia memandang pakaian daster yang dikenakannya dengan perasaan was-was.
"Apa yang salah dengan bajuku? Bukankah ini bagus?" gumam Dina, mencoba mencari tahu apa yang membuat Danang tiba-tiba marah.
Dina selalu berusaha menjadi istri yang baik, membelanjakan uang dengan hemat dan memilih pakaian yang sesuai dengan kenyamanannya. Namun, sikap Danang yang mengejek dan tidak menyukai pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya pada keuangannya yang dikelolanya.
Perlahan-lahan, perasaan bersalah dan khawatir mulai merayapi hati Dina. Apa yang salah? Apa yang telah dilakukannya sehingga membuat Danang marah? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang suami?
Setelah merenung sejenak mengenai perubahan sang suami, Dina memutuskan untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam, berharap Danang akan merasa lebih baik setelah makan. Namun, kerisauan tetap memenuhi benaknya. Apakah semua ini pertanda dari sesuatu yang lebih besar?
Di dalam kamar, Danang duduk termenung. Rasa bersalah mulai merayap, namun gejolak emosi dan kemarahan yang dirasakannya mengalahkan semua itu.
Danang terduduk di ranjang, gelisah dengan ucapannya sendiri kepada Dina. Ia merasa bersalah telah menyinggung istrinya dan bersikap kasar. Namun, gejolak dalam dirinya yang ingin Dina berubah sesuai keinginannya sulit untuk ditahan.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaannya," gumam Danang, memijat pelipisnya. Tapi di sisi lain, bayangan istrinya yang berpakaian sederhana terus mengganggu pikirannya.
Sebagai seorang manajer di perusahaan ternama, Danang merasa malu jika harus memperkenalkan Dina dengan gaya hidup yang terlalu kampungan. Ia ingin Dina tampil lebih glamor, agar sesuai dengan statusnya sebagai istri seorang eksekutif.
"Dina harus berubah. Dia harus belajar berpenampilan lebih baik, seperti istri-istri teman kantorku," gumam Danang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya adalah benar.
Namun, di dalam hatinya, Danang tahu bahwa Dina adalah wanita baik yang selalu mencoba memahami dan mendukungnya. Meskipun sederhana, Dina adalah istri yang setia dan penuh kasih.
Danang menghela napas berat. Akankah ia mampu menyeimbangkan tuntutan gaya hidup dan mempertahankan cinta yang telah terjalin dengan Dina selama enam bulan ini.
"Apa yang harus aku lakukan? Sudah sering aku katakan padanya, untuk merubah penampilan. Tapi, dia tetap tidak berubah. Apa uang lima juta setiap bulan, kurang?" batin Danang.
Setelah selesai memasak, Dina perlahan melangkah menuju kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, namun ternyata pintu kamar terkunci.
"Dikunci," gumam Dina sedikit heran, karena biasanya kamar tidak pernah dikunci oleh Danang jika ia berada di dalam.
Akhirnya, Dina mengetuk pintu kamar.
Tok... Tok... Tok...
Dina mengetuk pintu kamar dengan lembut.
"Mas... Mas Danang, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan mas," ujarnya dengan lembut.
Tak ada jawaban dari dalam. Dina menunggu sejenak, berharap Danang akan keluar dan mereka bisa makan dengan tenang seperti biasa. Namun, ruang hening masih menjawab panggilannya.
Dina menghela napas perlahan. Ia tahu Danang mungkin masih marah atau terlalu lelah untuk bergabung dengannya. Dengan sedikit kecewa, Dina memutuskan untuk tidak menggangu Danang.
Saat Dina sedang menata meja makan, tiba-tiba Danang muncul dari kamar. Dina menoleh dengan harapan melihat Danang dalam keadaan lebih baik, namun ekspresi Danang masih tampak gelisah dan tidak nyaman.
"Ayo kita makan, mas ," kata Dina hati-hati.
Danang terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu, "Aku... nanti saja. Aku masih ada pekerjaan."
Dina mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan dalam hatinya. "Baiklah, nanti kalau sudah selesai, katakan, Mas. Biar aku hangatkan sayurannya."
Dengan langkah berat, Danang kembali masuk ke kamar, meninggalkan Dina yang terdiam di dapur. Dina menghela napas, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya.
Dina menatap meja makan yang telah ditata rapi dengan makanan lezat yang dimasaknya. Tapi, kursi di hadapannya tetap kosong, mengingatkannya akan ketidakhadiran Danang untuk makan bersama.
Dengan hati yang sedikit terluka, Dina mulai menyantap makanannya seorang diri. Setiap suapan terasa hambar, tidak lagi semanis biasanya ketika mereka makan bersama.
"Kenapa, Mas Danang?" gumam Dina dalam hati. "Belakangan ini sikapnya begitu berubah. Apa ada masalah dengan pekerjaannya?"
Dina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Apakah ada masalah di kantor? Atau mungkin ada sesuatu yang lain yang membebani pikirannya?
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar bisa membantu Danang menyelesaikannya. Sebagai istri, Dina selalu berusaha menjadi sandaran bagi Danang, tempat dia bisa berbagi dan mencurahkan segala bebannya.
Namun, kali ini Danang tampak menjauh dan enggan terbuka. Dina merasa khawatir, sekaligus sedih melihat perubahan sikap suaminya yang semakin hari semakin dingin.
Dina perlahan menghabiskan makanannya, berharap Danang akan segera keluar dari kamar dan bergabung dengannya. Namun, harapan itu tampaknya harus kembali tertunda.
Setelah menyelesaikan makan malamnya seorang diri, Dina membereskan dapur dan perlahan berjalan menuju kamar. Hatinya masih dipenuhi kekhawatiran akan perubahan sikap Danang.
Saat Dina membuka pintu kamar, dilihatnya Danang sudah berbaring memunggungi pintu, tampak tertidur pulas. Dina menghampiri sisi ranjang dan memperhatikan wajah suaminya yang terlihat lelah.
"Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu, Mas?" bisik Dina lirih, tangannya dengan lembut menyentuh rambut Danang.
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang membuat Danang berubah menjadi dingin dan tidak bersemangat seperti ini. Sebagai istri, Dina sangat ingin bisa membantu Danang mengatasi masalahnya.
Sebelum membaringkan diri di ranjang, Dina memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia berjalan menuju kamar mandi, berharap air hangat dapat menenangkan pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran.
Saat bercermin, Dina memperhatikan pantulan dirinya. Pakaian daster sederhana yang tadi dikritik Danang masih melekat di tubuhnya. Dina menghela napas, menyentuh kain halus itu dengan lembut.
"Apa yang salah dengan pakaianku?" gumamnya pelan. "Bukankah Mas Danang selalu bilang dia menyukai gaya berpakaianku yang sederhana?"
Dina teringat akan perubahan sikap Danang yang tiba-tiba. Kemarahan dan ejekan suaminya terhadap pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.Dengan hati-hati, Dina melepas pakaiannya dan mulai membasuh tubuhnya. Air hangat yang mengalir membuatnya sedikit lebih tenang, namun pertanyaan-pertanyaan masih terus berputar di benaknya."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang membuatmu berubah seperti ini?" bisik Dina, berharap suaminya akan segera kembali menjadi sosok yang dicintainya.Setelah membersihkan diri, Dina mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamar dan memperhatikan Danang yang masih terlelap. Dina berharap, esok hari akan membawa perubahan yang lebih baik.°°°°Pagi itu, Dina terbangun lebih awal seperti biasanya. Ia bergegas menyiapkan sarapan, berharap Danang akan sarapan pagi. Namun, saat Dina memanggilnya, Danang hanya menjawab singkat bahwa ia harus cepat berangkat ke kantor."Aku ada pertemuan pagi ini," ucap
Sementara Danang sibuk dengan pikirannya di kantor, Dina di rumah kedatangan tamu tak terduga yaitu mertuanya, Ibu Endang.Dina menyambut kedatangan Ibu Endang dengan senyum ramah, namun ekspresi sang mertua terlihat kaku dan tidak senang."Selamat pagi, Bu. Silakan masuk," ucap Dina, mempersilakan Ibu Endang untuk masuk.Namun, alih-alih membalas senyuman Dina, Ibu Endang justru memandang pakaian Dina dengan tatapan menilai."Pakaian apa ini? Kenapa kau selalu berpakaian seperti ini di rumah?" tanya Ibu Endang dengan nada ketus.Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. "Eh? Ini hanya pakaian rumah biasa, Bu. Memangnya kenapa?" tanya Dina dengan suara tetap lembut, walaupun suara sang mertua menghinanya."Biasa? Kau istri seorang manajer, tapi penampilanmu seperti ini?" Ibu Endang menggeleng-gelengkan kepala. "Kemana uang yang Danang berikan padamu? Kenapa kau tidak bisa berpakaian yang layak? Kau pasti beli pakaian di pasar, kan ?"Dina merasa tersinggung mendengar kritikan Ibu Endang
Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan.""Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan."Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya," ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang."Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan."Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusi
"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya."Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa."Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya."Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma."Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma."Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati."Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.Ked
Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap."Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras."Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlam
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama."Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara ke
Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus. Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang
Sampai di rumah, suasana di antara mereka masih dipenuhi keheningan. Sinta tetap bungkam sejak meninggalkan pantai, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Danang sudah berusaha mengajaknya bicara selama perjalanan, tetapi Sinta tetap menutup rapat mulutnya.Setelah Sinta turun dari motor, Danang segera memanggilnya dengan suara penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang," ucapnya pelan, tetapi Sinta tidak merespons dan langsung berjalan menuju pintu gerbang rumahnya."Sinta!!" Danang menarik tangan Sinta dengan cepat, membuat langkahnya terhenti di depan pagar. Sinta menoleh dengan tatapan marah, menghentakkan tangannya dari genggaman Danang."Mas! Aku malu! Kenapa Mas melakukan itu di tempat umum?!" serunya dengan nada penuh emosi, air mata mulai menggenang di matanya.Danang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, aku salah. Aku nggak kepikira
Dinda keluar dari kamar dan melangkah perlahan menuju ruang keluarga, tempat Mamanya, Endang, sedang duduk santai di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya. Televisi menyala, menampilkan acara favoritnya, drama favoritnya di salah satu televisi swasta. Dinda berdiri sejenak di ambang pintu, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk."Mama," panggil Dinda pelan sambil mendekat dan duduk di sebelah Mamanya. Suaranya terdengar sedikit ragu, membuat Endang meliriknya dengan alis sedikit terangkat."Ada apa, Din? Kok tiba-tiba manggil Mama seperti itu? Mau minta sesuatu, ya?" tanya Endang setengah bercanda, sambil menyeruput tehnya.Dinda tersenyum kecil, tetapi kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Ma, kalau ada orang yang Mama kenal… terus dia terlihat bersama pria lain yang bukan suaminya, tapi kelihatan sangat mesra… apa yang Mama akan lakukan?" tanya
Dina perlahan menurunkan ponselnya ke atas pahanya, tangannya gemetar dan wajahnya pucat. Tatapannya kosong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Al... ini... ini..." katanya dengan suara bergetar, memandang Alma dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Melihat sahabatnya begitu terpukul, Alma langsung mengambil ponsel dari tangan Dina. "Coba sini, Din. Biar aku lihat," katanya cepat. Ia menatap layar ponsel itu, dan detik berikutnya matanya membelalak. Alma spontan berseru lantang, nyaris berteriak, "Sudah gila suamimu, Din! Terang-terangan dia main hati! Dia pikir dia siapa?!"Dina mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri, meski jelas emosinya bercampur aduk. "Semakin cepat aku ingin lepas darinya," ucap Dina lirih, suaranya sarat dengan kekecewaan dan kepedihan."Iya! Kau harus gugat cerai dia, Din! Laki-laki model begitu nggak pantas dipertahankan
Dinda masuk ke kamarnya sambil memegang kartu SIM baru yang baru saja ia beli. Ia membuka ponselnya, mengganti kartu SIM dengan hati-hati, dan memastikan nomor barunya aktif. Setelah beberapa detik, notifikasi dari operator muncul, menandakan nomor tersebut telah siap digunakan."Hm, sekarang semuanya sudah siap. Tinggal kirim videonya ke Kak Dina," gumam Dinda sambil menarik napas panjang, ekspresinya terlihat tegang. Ia membuka galeri dan melihat video Danang dengan wanita yang tidak dikenalnya, lalu mulai mulai mengetik. Dia menuliskan 'Suamimu main gila'.Namun, ia berhenti sejenak, menatap layar ponselnya dengan ragu. "Apa Kak Dina sanggup menerima ini ? Tapi kalau aku nggak kirim, dia nggak akan tahu kelakuan Mas Danang di luar sana," ujar Dinda, berbicara dengan dirinya sendiri.Ia menggigit bibirnya, kemudian menguatkan hati. "Nggak, aku harus kirim. Kak Dina berhak tahu kebenarannya!"
"Kena kau!!" seru Dinda dalam hati, amarahnya membuncah hingga wajahnya memerah. Tangannya gemetar saat ia terus merekam kemesraan Danang dan Sinta dari dalam taksi. Matanya tidak lepas dari layar ponselnya, memastikan setiap detik momen itu terekam dengan jelas."Kau selingkuh, Mas! Aku tidak akan tinggal diam. Kak Dina harus tahu!" ucap Dinda dengan suara keras, penuh emosi. Perkataannya menggema di dalam taksi, membuat sang sopir melirik ke arah kaca spion dengan rasa penasaran."Aku tidak akan membela Mas Danang. Walaupun dia saudaraku, aku tidak bisa diam melihat ini!" lanjut Dinda, suaranya penuh tekad. Wajahnya memancarkan kemarahan, sementara jemarinya sibuk mengetik pesan di ponselnya, bersiap untuk mengirimkan video itu kepada Dina.Namun, ketika ia hendak menekan tombol kirim, Dinda berhenti sejenak. Pikirannya diliputi keraguan. "Tidak... kalau aku langsung mengirim video ini
"Bunda, bau semur jengkolnya harum banget sampai kecium di depan rumah," seru Deni sambil masuk ke dapur dengan langkah santai. Di tangannya ada kantong plastik berisi keripik singkong dan talas yang ia beli di pasar untuk bekal ke kota. Ia meletakkan bungkusan itu di atas meja, lalu menarik kursi untuk duduk.Bundanya menoleh dari cobek yang sedang ia gunakan untuk menghaluskan bumbu, lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Den? Bunda biasa saja masaknya," jawabnya, meskipun senyumnya menunjukkan ia cukup senang mendengar pujian Deni."Iya, Bunda, serius! Harumnya enak banget," sahut Deni dengan nada meyakinkan. "Nggak salah kalau semur jengkol buatan Bunda dibilang terenak di kampung ini," tambahnya sambil terkekeh, mencoba menggoda bundanya.Bundanya tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala. "Kamu ini suka banget muji setinggi langit. Jadi, ada nggak kripiknya?" tanyanya, sambil melirik kantong pl
"Lumayan," gumam Dina sambil menatap dapur kecil di ruko yang baru saja disewanya untuk memulai usaha. Matanya mengamati setiap sudut dengan seksama—kompor sederhana yang ia beli dari tabungannya, rak kecil tempat menyimpan beberapa peralatan dapur, dan kulkas kecil yang mulai terisi bahan-bahan untuk masakan. Meski sederhana, ruangan ini terasa seperti langkah awal menuju impian besarnya.Ia menghela napas panjang, melepaskan sedikit lelah setelah seharian membereskan ruko itu. Di sudut ruangan, sebuah tikar mungil terbentang, tempat ia sekarang duduk. Tikar itu baru saja ia beli di pasar dekat rumah, menjadi pengganti sementara karena ia belum mampu membeli kursi makan.Dina meraih segelas teh hangat yang ia letakkan di sebelahnya, menyesap perlahan sambil memandang ruangan itu lagi. "Ini baru permulaan," katanya dalam hati, mencoba menguatkan diri. Ia membayangkan ruko ini kelak menjadi tempat yang ramai, penuh p
Danang menggeleng dengan senyum yang lebih lebar. Ia menatap Sinta dengan mata yang penuh perasaan, seolah kata-katanya keluar dari lubuk hatinya. "Cuma ada satu, Sin. Kamu. Kamu satu-satunya yang bisa bikin hati ini berdebar kayak gini," ucapnya dengan nada tulus, tatapannya tak berpaling dari wajah Sinta.Sinta tertawa kecil, suaranya terdengar bercampur rasa kaget dan bahagia. "Mas ini bisa aja. Awas ya, jangan bohong!" katanya sambil menunjuk Danang dengan ekspresi menggemaskan. Ia menatap pria di depannya dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. "Mas ngomongnya sweet banget, sih. Tapi aku masih penasaran. Serius, Mas suka sama aku se-segitu dalamnya?" tanyanya dengan nada bercanda, meski matanya terlihat menunggu jawaban yang tulus.Danang tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku serius, Sin. Aku nggak main-main," katanya dengan nada tenang tapi penuh arti. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Kamu adalah satu-satunya
Danang tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar saat menatap Sinta, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia menggaruk pipinya yang mulai berkeringat, lalu berkata dengan nada jujur, meski suaranya terdengar sedikit serak, "Aku suka menatap wajah cantikmu, Sinta."Sinta langsung tersipu mendengar kata-kata Danang. Pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Dengan gerakan pelan, ia mengelus pipinya menggunakan jari-jari lentiknya. "Mas ini bisa saja. Siapa bilang aku cantik? Itu kan cuma Mas yang bilang," balasnya dengan suara lembut sambil menundukkan pandangan, jelas tergambar rasa malunya.Danang tersenyum simpul, pandangannya tetap tertuju pada Sinta. "Ya, aku bilang kamu cantik," ucapnya tegas, meski ia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan kegugupannya. Tangannya perlahan menyentuh gelas di depannya, memainkan ujung-ujungnya, seolah mencari sesuatu untuk menenangkan dirinya.Sinta tertawa kecil, sua