Dina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang.
"Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya.
"Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.
Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"
Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?
"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.
Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti biasanya.
Dina bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang terjadi? Apakah masalah keuangan yang membuat Danang marah? Atau ada sesuatu yang lain? Dina merasa harus mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Berbagai pertanyaan itu menghuni kepala Dina, wanita dua puluh tiga tahun yang baru enam bulan merasakan manisnya berumah tangga dengan Danang, pria berusia dua puluh sembilan tahun. Mereka menikah bukan karena perjodohan, melainkan karena cinta pada pandangan pertama menurut Danang.
Sepeninggal Danang, Dina terdiam, masih bingung dengan sikap dan kemarahan suaminya. Dia memandang pakaian daster yang dikenakannya dengan perasaan was-was.
"Apa yang salah dengan bajuku? Bukankah ini bagus?" gumam Dina, mencoba mencari tahu apa yang membuat Danang tiba-tiba marah.
Dina selalu berusaha menjadi istri yang baik, membelanjakan uang dengan hemat dan memilih pakaian yang sesuai dengan kenyamanannya. Namun, sikap Danang yang mengejek dan tidak menyukai pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya pada keuangannya yang dikelolanya.
Perlahan-lahan, perasaan bersalah dan khawatir mulai merayapi hati Dina. Apa yang salah? Apa yang telah dilakukannya sehingga membuat Danang marah? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang suami?
Setelah merenung sejenak mengenai perubahan sang suami, Dina memutuskan untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam, berharap Danang akan merasa lebih baik setelah makan. Namun, kerisauan tetap memenuhi benaknya. Apakah semua ini pertanda dari sesuatu yang lebih besar?
Di dalam kamar, Danang duduk termenung. Rasa bersalah mulai merayap, namun gejolak emosi dan kemarahan yang dirasakannya mengalahkan semua itu.
Danang terduduk di ranjang, gelisah dengan ucapannya sendiri kepada Dina. Ia merasa bersalah telah menyinggung istrinya dan bersikap kasar. Namun, gejolak dalam dirinya yang ingin Dina berubah sesuai keinginannya sulit untuk ditahan.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaannya," gumam Danang, memijat pelipisnya. Tapi di sisi lain, bayangan istrinya yang berpakaian sederhana terus mengganggu pikirannya.
Sebagai seorang manajer di perusahaan ternama, Danang merasa malu jika harus memperkenalkan Dina dengan gaya hidup yang terlalu kampungan. Ia ingin Dina tampil lebih glamor, agar sesuai dengan statusnya sebagai istri seorang eksekutif.
"Dina harus berubah. Dia harus belajar berpenampilan lebih baik, seperti istri-istri teman kantorku," gumam Danang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa tindakannya adalah benar.
Namun, di dalam hatinya, Danang tahu bahwa Dina adalah wanita baik yang selalu mencoba memahami dan mendukungnya. Meskipun sederhana, Dina adalah istri yang setia dan penuh kasih.
Danang menghela napas berat. Akankah ia mampu menyeimbangkan tuntutan gaya hidup dan mempertahankan cinta yang telah terjalin dengan Dina selama enam bulan ini.
"Apa yang harus aku lakukan? Sudah sering aku katakan padanya, untuk merubah penampilan. Tapi, dia tetap tidak berubah. Apa uang lima juta setiap bulan, kurang?" batin Danang.
Setelah selesai memasak, Dina perlahan melangkah menuju kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, namun ternyata pintu kamar terkunci.
"Dikunci," gumam Dina sedikit heran, karena biasanya kamar tidak pernah dikunci oleh Danang jika ia berada di dalam.
Akhirnya, Dina mengetuk pintu kamar.
Tok... Tok... Tok...
Dina mengetuk pintu kamar dengan lembut.
"Mas... Mas Danang, sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan mas," ujarnya dengan lembut.
Tak ada jawaban dari dalam. Dina menunggu sejenak, berharap Danang akan keluar dan mereka bisa makan dengan tenang seperti biasa. Namun, ruang hening masih menjawab panggilannya.
Dina menghela napas perlahan. Ia tahu Danang mungkin masih marah atau terlalu lelah untuk bergabung dengannya. Dengan sedikit kecewa, Dina memutuskan untuk tidak menggangu Danang.
Saat Dina sedang menata meja makan, tiba-tiba Danang muncul dari kamar. Dina menoleh dengan harapan melihat Danang dalam keadaan lebih baik, namun ekspresi Danang masih tampak gelisah dan tidak nyaman.
"Ayo kita makan, mas ," kata Dina hati-hati.
Danang terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada ragu, "Aku... nanti saja. Aku masih ada pekerjaan."
Dina mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan dalam hatinya. "Baiklah, nanti kalau sudah selesai, katakan, Mas. Biar aku hangatkan sayurannya."
Dengan langkah berat, Danang kembali masuk ke kamar, meninggalkan Dina yang terdiam di dapur. Dina menghela napas, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya.
Dina menatap meja makan yang telah ditata rapi dengan makanan lezat yang dimasaknya. Tapi, kursi di hadapannya tetap kosong, mengingatkannya akan ketidakhadiran Danang untuk makan bersama.
Dengan hati yang sedikit terluka, Dina mulai menyantap makanannya seorang diri. Setiap suapan terasa hambar, tidak lagi semanis biasanya ketika mereka makan bersama.
"Kenapa, Mas Danang?" gumam Dina dalam hati. "Belakangan ini sikapnya begitu berubah. Apa ada masalah dengan pekerjaannya?"
Dina mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya mengganggu suaminya. Apakah ada masalah di kantor? Atau mungkin ada sesuatu yang lain yang membebani pikirannya?
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar bisa membantu Danang menyelesaikannya. Sebagai istri, Dina selalu berusaha menjadi sandaran bagi Danang, tempat dia bisa berbagi dan mencurahkan segala bebannya.
Namun, kali ini Danang tampak menjauh dan enggan terbuka. Dina merasa khawatir, sekaligus sedih melihat perubahan sikap suaminya yang semakin hari semakin dingin.
Dina perlahan menghabiskan makanannya, berharap Danang akan segera keluar dari kamar dan bergabung dengannya. Namun, harapan itu tampaknya harus kembali tertunda.
Setelah menyelesaikan makan malamnya seorang diri, Dina membereskan dapur dan perlahan berjalan menuju kamar. Hatinya masih dipenuhi kekhawatiran akan perubahan sikap Danang.
Saat Dina membuka pintu kamar, dilihatnya Danang sudah berbaring memunggungi pintu, tampak tertidur pulas. Dina menghampiri sisi ranjang dan memperhatikan wajah suaminya yang terlihat lelah.
"Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu, Mas?" bisik Dina lirih, tangannya dengan lembut menyentuh rambut Danang.
Dina menghela napas panjang. Ia ingin sekali mengetahui apa yang membuat Danang berubah menjadi dingin dan tidak bersemangat seperti ini. Sebagai istri, Dina sangat ingin bisa membantu Danang mengatasi masalahnya.
Sebelum membaringkan diri di ranjang, Dina memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Ia berjalan menuju kamar mandi, berharap air hangat dapat menenangkan pikirannya yang dipenuhi kekhawatiran.
Saat bercermin, Dina memperhatikan pantulan dirinya. Pakaian daster sederhana yang tadi dikritik Danang masih melekat di tubuhnya. Dina menghela napas, menyentuh kain halus itu dengan lembut.
"Apa yang salah dengan pakaianku?" gumamnya pelan. "Bukankah Mas Danang selalu bilang dia menyukai gaya berpakaianku yang sederhana?"
Dina teringat akan perubahan sikap Danang yang tiba-tiba. Kemarahan dan ejekan suaminya terhadap pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.Dengan hati-hati, Dina melepas pakaiannya dan mulai membasuh tubuhnya. Air hangat yang mengalir membuatnya sedikit lebih tenang, namun pertanyaan-pertanyaan masih terus berputar di benaknya."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang membuatmu berubah seperti ini?" bisik Dina, berharap suaminya akan segera kembali menjadi sosok yang dicintainya.Setelah membersihkan diri, Dina mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamar dan memperhatikan Danang yang masih terlelap. Dina berharap, esok hari akan membawa perubahan yang lebih baik.°°°°Pagi itu, Dina terbangun lebih awal seperti biasanya. Ia bergegas menyiapkan sarapan, berharap Danang akan sarapan pagi. Namun, saat Dina memanggilnya, Danang hanya menjawab singkat bahwa ia harus cepat berangkat ke kantor."Aku ada pertemuan pagi ini," ucap
Sementara Danang sibuk dengan pikirannya di kantor, Dina di rumah kedatangan tamu tak terduga yaitu mertuanya, Ibu Endang.Dina menyambut kedatangan Ibu Endang dengan senyum ramah, namun ekspresi sang mertua terlihat kaku dan tidak senang."Selamat pagi, Bu. Silakan masuk," ucap Dina, mempersilakan Ibu Endang untuk masuk.Namun, alih-alih membalas senyuman Dina, Ibu Endang justru memandang pakaian Dina dengan tatapan menilai."Pakaian apa ini? Kenapa kau selalu berpakaian seperti ini di rumah?" tanya Ibu Endang dengan nada ketus.Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. "Eh? Ini hanya pakaian rumah biasa, Bu. Memangnya kenapa?" tanya Dina dengan suara tetap lembut, walaupun suara sang mertua menghinanya."Biasa? Kau istri seorang manajer, tapi penampilanmu seperti ini?" Ibu Endang menggeleng-gelengkan kepala. "Kemana uang yang Danang berikan padamu? Kenapa kau tidak bisa berpakaian yang layak? Kau pasti beli pakaian di pasar, kan ?"Dina merasa tersinggung mendengar kritikan Ibu Endang
Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan.""Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan."Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya," ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang."Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan."Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusi
"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya."Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa."Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya."Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma."Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma."Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati."Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.Ked
Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap."Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras."Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlam
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama."Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara ke
Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus. Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya
Jika tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hal-hal besar, temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian besar, tetapi juga dari apresiasi terhadap apa yang kita miliki. Nikmati keindahan sederhana, seperti senyum seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari, atau cahaya matahari yang menyinari wajah. Kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan penghargaan terhadap momen-momen kecil yang kita alami setiap hari.~~**~~"Eh, Bu Linda, berapa sih harga sewanya?" tanya Alma. Suaranya menunjukkan keingintahuan yang mendalam."Harga sewanya 5 juta per bulan," jawab Bu Linda. Suaranya menunjukkan kepercayaan diri, menawarkan harga sewa yang terjangkau."Wah, cukup mahal juga ya," kata Dina dalam hati. Raut wajahnya menunjukkan keprihatinan, mencoba mempertimbangkan harga sewa yang ditawarkan."Bisa di tawar. Kalau ambil pertahun bi
Dina sudah mantap untuk berpisah dengan Danang dan mulai merancang masa depan tanpa ada Danang di dalamnya. Sedangkan Danang masih bergulat dengan suara Dina yang mau berpisah dengannya. Sampai-sampai Danang berulang kali salah dalam mengerjakan tugasnya."Aahhh!" Danang menggeram dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya."Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu, Dina. Kau akan menjadi istriku selamanya. Seorang pria kan bisa memiliki istri lebih dari satu," kata Danang dalam hati. "Kesederhanaan Dina, membuat aku nyaman. Tapi, aku membutuhkan istri yang bisa diajak untuk bersosialisasi, dan dari Sinta bisa ketemukan itu."Tok..tok, suara ketukan disertai suara mengagetkan Danang yang melamun. "Dan, melamun saja. Ada apa? Apa gaji mu sudah habis," Toni, rekan kerjanya masuk dan duduk di depan meja kerja Danang.Danang tersentak kaget dan langsung menutup layar laptopnya. Ia mencoba menutupi kesedihannya dengan senyum palsu."Ah, Toni. Nggak apa-apa. Lagi mikirin proyek b
Dina terdiam, merenungkan perkataan Alma. Ia mencoba memikirkan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Ia mengingat masa-masa ketika ia bekerja di pabrik sarung tangan. Ia merasa bosan dan lelah dengan pekerjaan itu. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru."Kenapa kau tidak menerima jahitan saja. Kau kan bisa menjahit," kata Alma untuk membuka pikiran Dina mengenai apa yang akan dilakukannya setelah bercerai."Aku ada melihat ruko di dekat rumahku, bisa dijadikan tempat menjahit Dina," kata Alma dengan bersemangat."Aku melihat ada ruko di dekat rumahku. Ruko itu bisa dijadikan tempat menjahit, Dina," kata Alma dengan bersemangat."Menjahit? Apa aku mampu?" gumam Dina, ragu."Ini yang aku nggak suka darimu, Din. Kamu itu langsung mempertanyakan kemampuanmu. Jangan pesimis, Din. Harus optimis, biar bisa sukses," kata Alma dengan nada serius."Aku kan
Alma memeluk Dina, "Tenang Din. Jangan keluarkan air mata untuk laki-laki seperti itu," kata Alma pada sahabatnya yang baru selesai menceritakan apa yang terjadi padanya."Aku ingin pisah! Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrinya," kata Dina di sela-sela isakan."Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Din?" tanya Alma. Ia tahu betapa Dina mencintai Danang."Aku sudah berusaha, Alma," kata Dina. "Aku sudah mencoba menyelamatkan pernikahan kami. Tapi Danang terlalu egois. Dia tidak peduli perasaanku. Lama-lama aku bisa gila menghadapinya.""Lakukan, Din," kata Alma. "Aku akan selalu ada untukmu.""Terima kasih, Alma," kata Dina. Ia merasa terhibur oleh kehadiran Alma."Sekarang kamu harus kuat, Din," kata Alma. "Kamu harus fokus pada dirimu sendiri.""Aku akan baik-baik saja, Alma," kata Dina. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk diriku