Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap.
"Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras.
"Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlambatannya yang tidak biasa.
Dina mulai merasa gelisah dan khawatir dengan keberadaan Danang yang belum pulang. Tanpa menunggu lama, ia mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Danang. Namun, panggilan tersebut tidak diangkat.
Dengan ketidakangkatan panggilan telepon dari Mas Danang, Dina mulai merasa semakin gelisah dan panik. Ia kembali mencoba menghubungi nomor sang suami, namun panggilannya sekali lagi tidak diangkat. "Ayo, Mas, angkatlah," gumam Dina dengan wajah yang penuh kepanikan, dihantui oleh pikiran-pikiran buruk.
Pikiran negatif mulai menghantui Dina, seperti kemungkinan bahwa Danang mengalami kecelakaan. Namun, Dina segera menenangkan diri dengan berpikir positif, "Tidak, tidak, Mas Danang pasti baik-baik. Tidak mungkin terjadi sesuatu yang buruk," ucapnya dalam hati. Namun, pemikiran lain muncul, "Apakah Mas Danang masih marah ? karena itu dia tidak bilang kalau lembur, dan tidak mau mengangkat telepon dariku?" pikir Dina.
Dina berusaha untuk tetap tenang dan mengendalikan rasa cemasnya, namun hatinya masih dipenuhi dengan ketidakpastian dan kegelisahan atas keberadaan suaminya yang masih belum dapat dihubungi. Dengan keprihatinan dan kecemasan yang memuncak, Dina berjuang untuk menenangkan dirinya di tengah ketidakpastian akan keberadaan suaminya, Danang.
Dengan kecemasan yang semakin memuncak, Dina merasa bingung tentang langkah selanjutnya. "Siapa yang harus aku hubungi? Aku tidak tahu teman-teman kantor Mas Danang. Atau apakah aku harus telpon ibu? Ah, tidak, ibu pasti nanti marah padaku," pikir Dina cepat dalam keadaan panik. Mengambil keputusan, Dina memilih untuk tidak menghubungi ibunya Danang dan memilih untuk menghadapi situasi ini sendirian.
Dina bangkit dan berdiri melihat jalan, lalu kemudian Dina kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Ia duduk di ruang tamu, dengan perut yang tadi lapar kini terlupakan karena kecemasan yang melanda pikirannya. Dalam keheningan ruang tamu, Dina merenungkan langkah selanjutnya yang harus diambil untuk menyelesaikan situasi yang mengganggu pikirannya.
Dengan perasaan cemas yang masih menghantui pikirannya, Dina akhirnya memutuskan untuk menunggu sambil berusaha untuk tetap tenang. "Ah, aku tunggu saja. Ini baru jam delapan," ucap Dina dengan suara yang lirih. Setelah itu, Dina mengambil remote TV dan menghidupkan televisi. Matanya menatap ke layar TV, namun pikirannya melayang ke berbagai arah yang penuh kekhawatiran.
Dina terbangun dari tidurnya dengan kaget, menyadari bahwa dia tertidur sambil menatap televisi. "Ah, aku ketiduran," gumam Dina, yang tersadar bahwa dia terlalu lelah sehingga tertidur tanpa sadar. Dengan cepat, ia bangun dan melihat jam, sudah pukul 11.00 malam. Kekhawatiran atas keberadaan Mas Danang yang belum pulang masih menghantuinya.
Dina lalu bergegas berdiri, melangkah ke arah pintu dan membuka tirai untuk melihat ke luar, mencari tanda keberadaan motor Danang. Namun, apa yang dia lihat, membuatnya terkejut. Dina bergegas menuju kamarnya, membuka pintu dengan hati-hati, dan melihat sang suami sudah terlelap di atas ranjang. Sang, suami telah pulang, namun tampaknya telah meninggalkan Dina di luar tanpa membangunkannya.
Dengan rasa sedih yang tak terlukiskan, Dina merasa terpukul ketika menyadari bahwa Danang telah pulang namun tidak membangunkannya. "Dia membiarkanku tidur di luar," gumam Dina dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa terluka karena kebiasaan Danang yang selalu membangunkannya saat tidur di luar tidak dilakukan kali ini.
"Segitunya mas Danang, marah."
Dalam keheningan ruang tamu, Dina terombang-ambing antara kekecewaan dan rasa sedih, mencoba mencerna tindakan sang suami yang tidak dimengertinya. Perasaan terpukul dan hati yang terluka membayanginya saat ia berusaha memahami alasan di balik perlakuan Danang yang tidak terduga ini.Dina, dalam kekecewaan dan kepahitan yang mendalam, merenungkan tindakan Danang yang meninggalkannya di luar tanpa memberitahunya. Perasaan tercampur aduk dari kekecewaan dan kesedihan menciptakan rasa tak menentu dalam dirinya.
"Hanya karena pakaian yang aku kenakan, Mas Danang begitu marah ?"
Dalam kamar, Danang menggeliat, "Panas sekali, Din, hidupkan AC," ucapnya dengan mata masih tertutup dalam keadaan setengah sadar.
Satu detik berlalu, dan ketika waktu mencapai detik ketiga, Danang kembali berkata tanpa mendapat respons, "Dina, hidupkan AC."
Namun, Danang tidak merasakan efek sejuk dari AC yang seharusnya menyala. Dengan ketidaknyamanannya yang semakin bertambah, Danang membuka matanya dengan niat untuk menegur Dina karena tidak mematuhi perintahnya. "Dina," ucap Danang dengan suara penuh ketidakpuasan. Namun, kejutan lain menunggunya, ketika ia menyadari bahwa Dina tidak berada di sampingnya. "Di mana dia? Ya ampun, kenapa aku lupa, dia kan tidur di luar tadi," kata Danang dengan perasaan campur aduk yang tak terkendali.
Saat ia pulang, ia melihat Dina tidur di sofa saat menunggu kepulangan, dan Danang memutuskan untuk membersihkan diri dulu, baru membangunkan Dina. Tapi, karena ia terlalu letih, ia lupa membangunkan Dina, setelah ia selesai mandi.
Semua rasa marah dan kekecewaan seolah lenyap dalam kegelisahan dan penyesalan. Danang merasa tidak bisa mempercayai kecerobohannya, menyadari bahwa Dina telah ditinggalkannya di luar ruangan tanpa sengaja. Dengan wajah penuh penyesalan, Danang bangkit dari ranjang dan kemudian keluar dari kamar untuk membangunkan Dina.
"Mana dia?" Danang bertanya-tanya, tidak melihat keberadaan Dina di ruang tamu di mana seharusnya Dina tidur. Dengan perasaan cemas yang semakin merayap, Danang mulai memeriksa ruangan-ruangan lain dalam rumah, mencari tanda-tanda keberadaan istrinya.
Mata Danang langsung tertuju pada sebuah kamar yang tertutup. "Apakah dia tidur di situ?" gumamnya, merenungkan kemungkinan keberadaan Dina di dalam kamar tersebut. "Sepertinya dia sedang menjahit lagi," tambah Danang, mencoba menebak aktivitas Dina.
Danang melangkah menuju ke kamar yang tertutup tersebut, berharap menemukan Dina di sana.
Ketika dia ingin membuka pintu kamar, Danang tersadar bahwa pintu tersebut terkunci dari dalam. Dengan perasaan yang semakin gelisah, Danang mengetuk pintu dengan lembut sambil memanggil nama Dina, "Dina, Dina, Din, tok-tok-tok, Din, tok-tok-tok." Danang berkali-kali memanggil Dina, diiringi dengan ketukan. Namun, tidak ada sahutan dari dalam.
"Mungkin Dina sudah tidur," ujar Danang dalam hati. Danang kemudian memutuskan untuk kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama."Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara ke
Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus. Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang
"Keluar Din.""Tidak, aku tidak mau keluar. Aku malu !" Kata Dina tegas."Baiklah," Alma membiarkan Dina berdiri di depan pintu kamar ganti. Dia menatap pakaian yang dikenakan Dina dengan seksama. Alma memicingkan matanya dan keningnya berkerut."Jelek kan bajunya di tubuhku ?" Tanya Dina dengan perasaan tidak nyaman, "Bagus kok," jawab Alma sambil melihat dengan seksama pakaian yang dikenakan oleh Dina."Bohong !" Kata Dina."Kau bohong, Alma? Lihatlah," kata Dina sambil menunggingkan bokongnya dan menunjukkan, "Terlihat pakaian dalamku."Alma tertawa terbahak-bahak, "Ha ha ha ha ha, baguslah, bagus," ucap Alma, menganggap candaan Dina sebagai kesempatan untuk mencairkan suasana."Bagus, apaan? Kau suruh aku pamer aurat," kata Dina dengan nada sedikit tajam membalas perkataan Alma."Ha ha ha, kau tidak suka?" tanya Alma."Iya, aku tidak suka. Aku tidak nyaman kalau harus memakai baju yang pendek seperti begini," kata Dina dengan tegas."Baiklah, tunggu sebentar ya," kata Alma, lalu d
Lalu, keduanya menuju ke gedung bioskop untuk menonton film. Sampai di sana, tiba-tiba Dina menarik Alma untuk bersembunyi di balik pot besar yang ditumbuhi oleh bunga yang rimbun."Ada apa, Din?" tanya Alma dengan heran saat mereka bersembunyi di belakang pot besar.Dina tidak menjawab pertanyaan Alma. Dia merenung dan menatap ke arah depan dari balik rimbunan bunga, wajahnya terlihat sedih."Dina, ada apa?" tanya Alma penasaran, karena melihat kegelisahan dari ekspresi Dina yang terlihat sedih.Alma menggoncang tubuh Dina sambil berkata, "Dina, ada apa? Katakan." Alma mencoba membuat Dina merespon pertanyaannya."Mas, mas, Mas Danang," kata Dina dengan suara yang lirih dan bergetar, mencoba mengungkapkan sesuatu yang membuatnya sedih."Mas Danang, Mas Danang, suamimu," tanya Alma. Dina menganggukkan kepalanya sambil tetap melihat ke arah di mana Danang terlihat."Mana, mana, yang mana, Din?" tanya Alma dengan penasaran."Tuh," kata Dina."Yang mana ? Banyak manusia di situ," kata Al
Hati Dina semakin sakit ketika melihat tangan Danang merapikan rambut panjang wanita yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. "Alma, ayo kita pergi," kata Dina, suaranya penuh dengan keputusan yang tegas."Kenapa? Kita tidak nonton?" Tanya Alma."Tidak, aku tidak minat untuk nonton lagi," balas Dina dengan mantap pada Alma. "Kita harus melabrak suamimu. Jangan diam-diam saja," kata Alma."Biar perempuan itu tahu, Danang itu suamimu ," kata Alma.Dina tidak merespons apa yang dikatakan oleh Alma, dia menundukkan kepalanya."Dina, ayolah," pinta Alma lagi, berharap agar Dina menghampiri Danang.Namun, Dina tidak merespons ajakan Alma. "Aku tidak mau, ayo kita pulang," kata Dina dengan suara penuh ketegasan.Tanpa ragu, Dina bergegas turun dari gedung bioskop, meninggalkan kebingungan dan rasa sakit yang memenuhi hatinya. "Din!" seru Alma sambil mengejar sang sahabat yang sudah lebih dahulu pergi dari gedung bioskop."Harusnya, kau jangan pergi. Temui suamimu, tanyakan apa hubungan
"Bunda," ucapnya sambil terdengar sedikit gemetar. "Kenapa bunda meneleponku malam begini?" Kata Dina dalam hati, Dina kemudian mengusap air matanya dan mengangkat teleponnya. "Assalamualaikum, Bunda. Apa kabar, Bunda?" kata Dina dengan suara yang pura-pura ceria."Din, Bunda ingin memberitahukan, Ayah sakit," ujar Bunda dengan nada cemas."Ayah sakit? Kenapa, Bun? Ayah sakit apa, Bun?" kata Dina yang tidak bisa mengontrol apa yang ingin dikatakannya, karena panik mendengar ayahnya sakit."Tiba-tiba Ayah pingsan di kamar mandi tadi," kata Bundanya dengan suara yang khawatir. "Ayah berada di rumah sakit sekarang, belum sadarkan diri," lanjutnya.Dina terkejut dan terpaku sejenak, lalu dengan cepat berkata, "Dina akan pulang, Dina akan pulang sekarang, Bun." Tidak lama setelah itu, Dina memutuskan sambungan telepon dan bergegas untuk mempersiapkan apa yang akan dibawanya untuk pulang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung menyambar tasnya dan memasukkan pakaiannya dengan serampangan d
Dina yang masih dalam perjalanan bus, masih memikirkan mimpinya yang membuatnya ingin cepat sampai di tempat tujuannya, yaitu rumah sakit tempat Ayahnya berada. Matanya Dina melihat keluar jendela dengan tatapan mata hampa.Sementara bus melaju memecah kegelapan malam, Dina terus memikirkan mimpi yang berkaitan dengan Ayahnya. Suaranya terdengar halus di antara penumpang yang lain, "Ayah..." gumamnya dengan hati yang penuh kerinduan.Sedangkan Danang dan teman-temannya, setelah keluar dari dalam bioskop, bingung tujuan mereka setelah menonton film."Kemana kita?" tanya Yoga, mencoba mencari arah yang ingin mereka tuju."Dan?" Yoga menoleh ke arah Danang, menanyakan pendapatnya."Kemana?" Danang juga merasa bingung dengan tujuan setelah menonton."Mau ke mana, Yul?" Yoga bertanya pada kekasihnya, Yuli."Ke mana? Makan?" Yuli berusaha memberikan saran."Boleh," ucap Shinta, setuju dengan ide untuk makan."Makan di mana ya?" tanya Danang, ingin memastikan tempat yang akan mereka kunjun
Sampai di rumah, suasana di antara mereka masih dipenuhi keheningan. Sinta tetap bungkam sejak meninggalkan pantai, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Danang sudah berusaha mengajaknya bicara selama perjalanan, tetapi Sinta tetap menutup rapat mulutnya.Setelah Sinta turun dari motor, Danang segera memanggilnya dengan suara penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang," ucapnya pelan, tetapi Sinta tidak merespons dan langsung berjalan menuju pintu gerbang rumahnya."Sinta!!" Danang menarik tangan Sinta dengan cepat, membuat langkahnya terhenti di depan pagar. Sinta menoleh dengan tatapan marah, menghentakkan tangannya dari genggaman Danang."Mas! Aku malu! Kenapa Mas melakukan itu di tempat umum?!" serunya dengan nada penuh emosi, air mata mulai menggenang di matanya.Danang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, aku salah. Aku nggak kepikira
Dinda keluar dari kamar dan melangkah perlahan menuju ruang keluarga, tempat Mamanya, Endang, sedang duduk santai di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya. Televisi menyala, menampilkan acara favoritnya, drama favoritnya di salah satu televisi swasta. Dinda berdiri sejenak di ambang pintu, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk."Mama," panggil Dinda pelan sambil mendekat dan duduk di sebelah Mamanya. Suaranya terdengar sedikit ragu, membuat Endang meliriknya dengan alis sedikit terangkat."Ada apa, Din? Kok tiba-tiba manggil Mama seperti itu? Mau minta sesuatu, ya?" tanya Endang setengah bercanda, sambil menyeruput tehnya.Dinda tersenyum kecil, tetapi kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Ma, kalau ada orang yang Mama kenal… terus dia terlihat bersama pria lain yang bukan suaminya, tapi kelihatan sangat mesra… apa yang Mama akan lakukan?" tanya
Dina perlahan menurunkan ponselnya ke atas pahanya, tangannya gemetar dan wajahnya pucat. Tatapannya kosong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Al... ini... ini..." katanya dengan suara bergetar, memandang Alma dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Melihat sahabatnya begitu terpukul, Alma langsung mengambil ponsel dari tangan Dina. "Coba sini, Din. Biar aku lihat," katanya cepat. Ia menatap layar ponsel itu, dan detik berikutnya matanya membelalak. Alma spontan berseru lantang, nyaris berteriak, "Sudah gila suamimu, Din! Terang-terangan dia main hati! Dia pikir dia siapa?!"Dina mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri, meski jelas emosinya bercampur aduk. "Semakin cepat aku ingin lepas darinya," ucap Dina lirih, suaranya sarat dengan kekecewaan dan kepedihan."Iya! Kau harus gugat cerai dia, Din! Laki-laki model begitu nggak pantas dipertahankan
Dinda masuk ke kamarnya sambil memegang kartu SIM baru yang baru saja ia beli. Ia membuka ponselnya, mengganti kartu SIM dengan hati-hati, dan memastikan nomor barunya aktif. Setelah beberapa detik, notifikasi dari operator muncul, menandakan nomor tersebut telah siap digunakan."Hm, sekarang semuanya sudah siap. Tinggal kirim videonya ke Kak Dina," gumam Dinda sambil menarik napas panjang, ekspresinya terlihat tegang. Ia membuka galeri dan melihat video Danang dengan wanita yang tidak dikenalnya, lalu mulai mulai mengetik. Dia menuliskan 'Suamimu main gila'.Namun, ia berhenti sejenak, menatap layar ponselnya dengan ragu. "Apa Kak Dina sanggup menerima ini ? Tapi kalau aku nggak kirim, dia nggak akan tahu kelakuan Mas Danang di luar sana," ujar Dinda, berbicara dengan dirinya sendiri.Ia menggigit bibirnya, kemudian menguatkan hati. "Nggak, aku harus kirim. Kak Dina berhak tahu kebenarannya!"
"Kena kau!!" seru Dinda dalam hati, amarahnya membuncah hingga wajahnya memerah. Tangannya gemetar saat ia terus merekam kemesraan Danang dan Sinta dari dalam taksi. Matanya tidak lepas dari layar ponselnya, memastikan setiap detik momen itu terekam dengan jelas."Kau selingkuh, Mas! Aku tidak akan tinggal diam. Kak Dina harus tahu!" ucap Dinda dengan suara keras, penuh emosi. Perkataannya menggema di dalam taksi, membuat sang sopir melirik ke arah kaca spion dengan rasa penasaran."Aku tidak akan membela Mas Danang. Walaupun dia saudaraku, aku tidak bisa diam melihat ini!" lanjut Dinda, suaranya penuh tekad. Wajahnya memancarkan kemarahan, sementara jemarinya sibuk mengetik pesan di ponselnya, bersiap untuk mengirimkan video itu kepada Dina.Namun, ketika ia hendak menekan tombol kirim, Dinda berhenti sejenak. Pikirannya diliputi keraguan. "Tidak... kalau aku langsung mengirim video ini
"Bunda, bau semur jengkolnya harum banget sampai kecium di depan rumah," seru Deni sambil masuk ke dapur dengan langkah santai. Di tangannya ada kantong plastik berisi keripik singkong dan talas yang ia beli di pasar untuk bekal ke kota. Ia meletakkan bungkusan itu di atas meja, lalu menarik kursi untuk duduk.Bundanya menoleh dari cobek yang sedang ia gunakan untuk menghaluskan bumbu, lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Den? Bunda biasa saja masaknya," jawabnya, meskipun senyumnya menunjukkan ia cukup senang mendengar pujian Deni."Iya, Bunda, serius! Harumnya enak banget," sahut Deni dengan nada meyakinkan. "Nggak salah kalau semur jengkol buatan Bunda dibilang terenak di kampung ini," tambahnya sambil terkekeh, mencoba menggoda bundanya.Bundanya tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala. "Kamu ini suka banget muji setinggi langit. Jadi, ada nggak kripiknya?" tanyanya, sambil melirik kantong pl
"Lumayan," gumam Dina sambil menatap dapur kecil di ruko yang baru saja disewanya untuk memulai usaha. Matanya mengamati setiap sudut dengan seksama—kompor sederhana yang ia beli dari tabungannya, rak kecil tempat menyimpan beberapa peralatan dapur, dan kulkas kecil yang mulai terisi bahan-bahan untuk masakan. Meski sederhana, ruangan ini terasa seperti langkah awal menuju impian besarnya.Ia menghela napas panjang, melepaskan sedikit lelah setelah seharian membereskan ruko itu. Di sudut ruangan, sebuah tikar mungil terbentang, tempat ia sekarang duduk. Tikar itu baru saja ia beli di pasar dekat rumah, menjadi pengganti sementara karena ia belum mampu membeli kursi makan.Dina meraih segelas teh hangat yang ia letakkan di sebelahnya, menyesap perlahan sambil memandang ruangan itu lagi. "Ini baru permulaan," katanya dalam hati, mencoba menguatkan diri. Ia membayangkan ruko ini kelak menjadi tempat yang ramai, penuh p
Danang menggeleng dengan senyum yang lebih lebar. Ia menatap Sinta dengan mata yang penuh perasaan, seolah kata-katanya keluar dari lubuk hatinya. "Cuma ada satu, Sin. Kamu. Kamu satu-satunya yang bisa bikin hati ini berdebar kayak gini," ucapnya dengan nada tulus, tatapannya tak berpaling dari wajah Sinta.Sinta tertawa kecil, suaranya terdengar bercampur rasa kaget dan bahagia. "Mas ini bisa aja. Awas ya, jangan bohong!" katanya sambil menunjuk Danang dengan ekspresi menggemaskan. Ia menatap pria di depannya dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. "Mas ngomongnya sweet banget, sih. Tapi aku masih penasaran. Serius, Mas suka sama aku se-segitu dalamnya?" tanyanya dengan nada bercanda, meski matanya terlihat menunggu jawaban yang tulus.Danang tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku serius, Sin. Aku nggak main-main," katanya dengan nada tenang tapi penuh arti. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Kamu adalah satu-satunya
Danang tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar saat menatap Sinta, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia menggaruk pipinya yang mulai berkeringat, lalu berkata dengan nada jujur, meski suaranya terdengar sedikit serak, "Aku suka menatap wajah cantikmu, Sinta."Sinta langsung tersipu mendengar kata-kata Danang. Pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Dengan gerakan pelan, ia mengelus pipinya menggunakan jari-jari lentiknya. "Mas ini bisa saja. Siapa bilang aku cantik? Itu kan cuma Mas yang bilang," balasnya dengan suara lembut sambil menundukkan pandangan, jelas tergambar rasa malunya.Danang tersenyum simpul, pandangannya tetap tertuju pada Sinta. "Ya, aku bilang kamu cantik," ucapnya tegas, meski ia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan kegugupannya. Tangannya perlahan menyentuh gelas di depannya, memainkan ujung-ujungnya, seolah mencari sesuatu untuk menenangkan dirinya.Sinta tertawa kecil, sua