Lalu, keduanya menuju ke gedung bioskop untuk menonton film. Sampai di sana, tiba-tiba Dina menarik Alma untuk bersembunyi di balik pot besar yang ditumbuhi oleh bunga yang rimbun."Ada apa, Din?" tanya Alma dengan heran saat mereka bersembunyi di belakang pot besar.Dina tidak menjawab pertanyaan Alma. Dia merenung dan menatap ke arah depan dari balik rimbunan bunga, wajahnya terlihat sedih."Dina, ada apa?" tanya Alma penasaran, karena melihat kegelisahan dari ekspresi Dina yang terlihat sedih.Alma menggoncang tubuh Dina sambil berkata, "Dina, ada apa? Katakan." Alma mencoba membuat Dina merespon pertanyaannya."Mas, mas, Mas Danang," kata Dina dengan suara yang lirih dan bergetar, mencoba mengungkapkan sesuatu yang membuatnya sedih."Mas Danang, Mas Danang, suamimu," tanya Alma. Dina menganggukkan kepalanya sambil tetap melihat ke arah di mana Danang terlihat."Mana, mana, yang mana, Din?" tanya Alma dengan penasaran."Tuh," kata Dina."Yang mana ? Banyak manusia di situ," kata Al
Hati Dina semakin sakit ketika melihat tangan Danang merapikan rambut panjang wanita yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. "Alma, ayo kita pergi," kata Dina, suaranya penuh dengan keputusan yang tegas."Kenapa? Kita tidak nonton?" Tanya Alma."Tidak, aku tidak minat untuk nonton lagi," balas Dina dengan mantap pada Alma. "Kita harus melabrak suamimu. Jangan diam-diam saja," kata Alma."Biar perempuan itu tahu, Danang itu suamimu ," kata Alma.Dina tidak merespons apa yang dikatakan oleh Alma, dia menundukkan kepalanya."Dina, ayolah," pinta Alma lagi, berharap agar Dina menghampiri Danang.Namun, Dina tidak merespons ajakan Alma. "Aku tidak mau, ayo kita pulang," kata Dina dengan suara penuh ketegasan.Tanpa ragu, Dina bergegas turun dari gedung bioskop, meninggalkan kebingungan dan rasa sakit yang memenuhi hatinya. "Din!" seru Alma sambil mengejar sang sahabat yang sudah lebih dahulu pergi dari gedung bioskop."Harusnya, kau jangan pergi. Temui suamimu, tanyakan apa hubungan
"Bunda," ucapnya sambil terdengar sedikit gemetar. "Kenapa bunda meneleponku malam begini?" Kata Dina dalam hati, Dina kemudian mengusap air matanya dan mengangkat teleponnya. "Assalamualaikum, Bunda. Apa kabar, Bunda?" kata Dina dengan suara yang pura-pura ceria."Din, Bunda ingin memberitahukan, Ayah sakit," ujar Bunda dengan nada cemas."Ayah sakit? Kenapa, Bun? Ayah sakit apa, Bun?" kata Dina yang tidak bisa mengontrol apa yang ingin dikatakannya, karena panik mendengar ayahnya sakit."Tiba-tiba Ayah pingsan di kamar mandi tadi," kata Bundanya dengan suara yang khawatir. "Ayah berada di rumah sakit sekarang, belum sadarkan diri," lanjutnya.Dina terkejut dan terpaku sejenak, lalu dengan cepat berkata, "Dina akan pulang, Dina akan pulang sekarang, Bun." Tidak lama setelah itu, Dina memutuskan sambungan telepon dan bergegas untuk mempersiapkan apa yang akan dibawanya untuk pulang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung menyambar tasnya dan memasukkan pakaiannya dengan serampangan d
Dina yang masih dalam perjalanan bus, masih memikirkan mimpinya yang membuatnya ingin cepat sampai di tempat tujuannya, yaitu rumah sakit tempat Ayahnya berada. Matanya Dina melihat keluar jendela dengan tatapan mata hampa.Sementara bus melaju memecah kegelapan malam, Dina terus memikirkan mimpi yang berkaitan dengan Ayahnya. Suaranya terdengar halus di antara penumpang yang lain, "Ayah..." gumamnya dengan hati yang penuh kerinduan.Sedangkan Danang dan teman-temannya, setelah keluar dari dalam bioskop, bingung tujuan mereka setelah menonton film."Kemana kita?" tanya Yoga, mencoba mencari arah yang ingin mereka tuju."Dan?" Yoga menoleh ke arah Danang, menanyakan pendapatnya."Kemana?" Danang juga merasa bingung dengan tujuan setelah menonton."Mau ke mana, Yul?" Yoga bertanya pada kekasihnya, Yuli."Ke mana? Makan?" Yuli berusaha memberikan saran."Boleh," ucap Shinta, setuju dengan ide untuk makan."Makan di mana ya?" tanya Danang, ingin memastikan tempat yang akan mereka kunjun
Dina bergegas melangkah, melewati segerombolan preman tersebut. Para pria tersebut makin gencar menggoda dan ada yang mengikuti Dina.Tiba-tiba "Apa yang kalian lakukan !!" Suara laki-laki menegur pria yang mengikuti Dina."Maaf, pak. Hanya iseng," ujar pria tersebut dan kemudian berbalik badan dengan terhuyung-huyung, karena efek minuman keras."Terimakasih, pak," kata Dina."Mbak mau kemana?" "Mau ke rumah sakit, pak. Apa ada ojek motor pak ?" tanya Dina."Saya tukang ojek mbak.""Bisa antar saya ke rumah sakit." Dina menyebut rumah sakit tempat ayahnya di rawat."Bisa Mbak, tidak jauh dari sini. Ayo mbak."Lalu Dina mengikuti bapak tukang ojek, motor kemudian berjalan perlahan-lahan, setelah Dina duduk di atas boncengan."Mbak dari mana?" tanya pengojek yang menjadi pengemudi ojek yang ditumpanginya, dengan rasa ingin tahu.Dina kemudian menyebutkan asal kotanya dan mengatakan bahwa tujuannya adalah ke rumah sakit, untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit."Begitulah, Mbak. Jika
Dina menatap Deni, merasa sedikit penasaran. "Ada apa, Den? Apa ini menyangkut perihal Ayah?" tanya Dina.Deni menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kak. Ini mengenai lain, ini mengenai Kak Dina," kata Deni dengan serius."Mengenai Kakak? Ada apa dengan Kakak? Apa sakit ayah, karena kakak ?" tanya Dina, mulai merasa khawatir."Ayo kita duduk di situ, kak." Deni dan Dina melangkah menuju tempat duduk yang berada dekat toilet.Lalu, Deni segera membuka suaranya dengan bertanya pada kakaknya, "Kakak ada masalah dengan Mas Danang," tanya Deni dengan lugas, membuat keterkejutan pada Dina.Dina terkejut mendengar pernyataan Deni tentang adanya masalah antara dirinya dan Mas Danang. Hatinya berdebar cepat, mencoba untuk menenangkan diri sebelum menghadapi percakapan yang mungkin sulit ini."Masalah ? Kakak tidak ada masalah, Den ," kata Dina dengan suara yang mencoba tetap tenang meskipun rasa cemasnya mulai merayap. Dia takut adiknya tersebut tahu dan akan menjadi beban pikiran adiknya tersebut
Dina kemudian meminta penjelasan dari suster yang tengah berada di ruangan itu, "Ada apa, suster? Apa yang sudah suster katakan pada bunda saya?" Tanya Dina dengan suara yang sedikit keras."Saya hanya mengatakan..." sang suster belum sempat menyelesaikan ucapannya, Aini memotong, "A-ayah... ayah..." kata Aini dengan suara yang terbata-bata, dan ia tidak sanggup untuk berkata apa-apa."Ada apa dengan ayah, Bun? Suster, katakan !" Dina menatap wajah sang suster dengan tatapan khawatir, menunggu jawaban dari pertanyaannya."Kondisi Pak Abdi menurun," kata suster dengan hati-hati.Kedua saudara itu merasa terkejut dan khawatir mendengar kabar tentang kondisi ayah mereka yang memburuk. Mereka saling bertatapan, merasa tegang dan cemas atas apa yang akan terjadi selanjutnya."Ayah !! Mas Abdi !" Aini menangis histeris mendengar apa yang dikatakan oleh suster itu.Deni langsung memeluk bunda mereka yang menangis, turut merasakan kepedihan yang sama. Sementara itu, Dina terpaku, terdiam dal
Di klub malam Danang melupakan segalanya, suasana semakin ramai ketika Sinta menarik tangan Danang untuk ikut menari bersamanya, dan Yuli juga mengajak Yoga untuk ikut berdansa."Ayo kita dansa, Mas," ucap Sinta dengan antusias."Berdansa?" Danang terkejut mendapat ajakan berdansa dari Sinta. Dia mendengar kata dansa adalah hal yang benar-benar tidak tepat untuk dirinya."Iya, mas, dansa," kata Sinta."Aku tidak bisa dansa," tolak Danang dengan sopan, menolak keinginan Sinta untuk menari."Tidak sulit, Mas!" kata Sinta, mencoba meyakinkan Danang untuk bergabung."Mas, yuk dansa," ajak Yuli Yoga untuk ikut berdansa."Apa? Aku? Oh... tidak! Aku tidak bisa dansa!" tolak Yoga dengan tegas."Ihh... Mas Yoga nggak asik!" gerutu Yuli, menatap Yoga dengan ekspresi kecewa."Ini bukan musik untuk berdansa," ucap Danang, mencoba menjelaskan ketidaknyamanannya."Musik apa saja bisa dipakai untuk berdansa, Mas. Ayolah! Lihat, mereka berdansa," kata Sinta, menunjuk ke arah sepasang muda-mudi yang t
"Ada apa?" tanya Dina dengan nada yang lebih lembut, namun ada sedikit keraguan di suaranya. "Kenapa Kakak merasa seperti akan ada badai?" tambahnya dengan senyuman kecil yang masih menghiasi bibirnya, berusaha mencairkan suasana tegang yang perlahan mulai terasa.Namun, Deni tidak membalas senyuman itu. Wajahnya tetap tegang, rahangnya mengeras, dan matanya yang biasanya ceria kini tampak redup. Reaksinya itu membuat rasa penasaran Dina semakin besar. Senyuman kecil di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi serius yang mencerminkan kekhawatiran."Deni, ada apa ini?" desak Dina dengan nada sedikit lebih serius, tatapannya berusaha mencari jawaban di wajah adiknya.Deni tetap terpaku, pandangannya tidak bergeming dari wajah kakaknya, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Johnny, yang berdiri di sampingnya, akhirnya menyentuh leng
"Mas!"Sinta tersentak, matanya membulat saat melihat Danang tiba-tiba berlutut begitu mereka masuk ke dalam rumah. Tubuhnya kaku untuk sesaat, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.Danang menundukkan kepala, suaranya pelan tetapi penuh keteguhan. "Maafkan aku, Sayang. Aku tahu aku sudah banyak salah."Sinta mendekatinya dengan langkah cepat, ekspresinya campuran antara terkejut dan khawatir. "Bangkit, Mas. Jangan begini. Aku nggak suka melihatmu seperti ini," katanya sambil berusaha menarik tangan Danang agar berdiri.Namun, Danang tidak mau bergerak, tangannya tetap berada di lantai, seolah-olah ingin menunjukkan kesungguhannya. Ia menatap Sinta dengan mata yang sedikit berair. "Aku nggak akan berdiri sebelum kamu memaafkanku. Aku nggak bisa terus seperti ini, hidup tanpa kamu, Sinta."
°°Deni dan Johnny masih memantau dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di sisi jalan. Motor mereka diparkir agak jauh, agar suara mesin tidak menarik perhatian. Mata Deni terus memperhatikan rumah di depannya, sementara Johnny duduk di tanah dengan pandangan resah."Deni, apa kita harus terus begini? Dari tadi Mas Danang nggak ngapa-ngapain," bisik Johnny sambil mengusap tengkuknya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman.Deni tidak menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Danang yang terlihat duduk di teras rumah Sinta, tubuhnya tegak tetapi ekspresinya jelas menunjukkan ada beban yang berat.Johnny akhirnya berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke arah Deni. "Den, dia cuma duduk. Kelihatannya kayak orang lagi mikir berat. Apa yang sebenarnya kamu cari?"Deni menoleh seben
"Waalaikumsalam," sahut Dina ramah sambil tersenyum, melangkah mendekati seorang ibu yang berdiri di depan tokonya bersama anak kecil yang menggandeng tangannya. Wajah Dina memancarkan keramahan yang langsung membuat ibu itu merasa nyaman. "Mbak, mau jahit baju anak-anak, bisa?" tanya ibu itu dengan nada sopan, sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak sedikit malu-malu. "Bisa, Bu. Untuk adek ini, ya?" tanya Dina dengan nada lembut sambil menunduk sedikit agar sejajar dengan mata anak itu. Ia tersenyum hangat, mencoba membuat si anak merasa lebih tenang. "Iya, Mbak," jawab ibu tersebut sambil mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Masuk, Bu," ajak Dina sambil membuka pintu tokonya lebih lebar. Tangannya mengisyaratkan agar ibu dan anak itu melangkah masuk. "Mari, silakan duduk, Bu." Setelah mereka masuk, Dina mengambil sebuah kursi dan memberikannya kepada sang ibu, lalu menuntun anak itu untuk duduk di sampingnya. "Adek, sini duduk dulu, ya," ujarnya sambil menunjuk kur
Motor Danang melaju dengan cepat, menerobos jalanan yang masih sedikit sibuk. Bunyi klakson terdengar samar di telinganya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan apa pun selain gejolak di dalam dirinya. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, seolah-olah itu bisa membantu menahan emosi yang terus mendidih di dadanya."Dina nggak mau bicara. Aku nggak ngerti apa yang salah. Dia hanya diam, pura-pura nggak peduli..." pikirnya dengan kesal, bibirnya terkatup rapat.Ia menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong, tetapi hatinya terasa begitu sesak. "Aku mencoba bicara, mencoba memperbaiki semuanya, tapi dia hanya membisu. Seolah-olah aku ini nggak berarti lagi buat dia..."Danang menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi hal itu malah semakin memperburuk suasana hatinya."Dan Sinta... dia menghilang begitu saja. Aku ng
Suasana di meja makan terasa begitu hidup, penuh dengan percakapan ringan dan tawa kecil. Dina dan Danang tampak seperti pasangan sempurna, menghadirkan kesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, di balik senyum dan kata-kata mereka, Deni dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keheningan tak terlihat di antara mereka, sebuah ketegangan yang tersembunyi di balik gerak tubuh dan nada suara.Deni melirik kakaknya sesekali, mencoba menangkap petunjuk dari cara mereka bicara atau saling memandang, tetapi semuanya terlihat terlalu rapi, terlalu terkendali. Johnny di sampingnya sibuk menghabiskan makanannya tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi.Setelah beberapa saat, Danang akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa tak nyaman baginya. "Hari ini kalian mau kemana?" tanyanya sambil menatap Deni.Deni meletakkan sendoknya sejenak,
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit