Di klub malam Danang melupakan segalanya, suasana semakin ramai ketika Sinta menarik tangan Danang untuk ikut menari bersamanya, dan Yuli juga mengajak Yoga untuk ikut berdansa."Ayo kita dansa, Mas," ucap Sinta dengan antusias."Berdansa?" Danang terkejut mendapat ajakan berdansa dari Sinta. Dia mendengar kata dansa adalah hal yang benar-benar tidak tepat untuk dirinya."Iya, mas, dansa," kata Sinta."Aku tidak bisa dansa," tolak Danang dengan sopan, menolak keinginan Sinta untuk menari."Tidak sulit, Mas!" kata Sinta, mencoba meyakinkan Danang untuk bergabung."Mas, yuk dansa," ajak Yuli Yoga untuk ikut berdansa."Apa? Aku? Oh... tidak! Aku tidak bisa dansa!" tolak Yoga dengan tegas."Ihh... Mas Yoga nggak asik!" gerutu Yuli, menatap Yoga dengan ekspresi kecewa."Ini bukan musik untuk berdansa," ucap Danang, mencoba menjelaskan ketidaknyamanannya."Musik apa saja bisa dipakai untuk berdansa, Mas. Ayolah! Lihat, mereka berdansa," kata Sinta, menunjuk ke arah sepasang muda-mudi yang t
Dokter yang memeriksa kondisi ayahnya, mengatakan bahwa kondisi Abdi belum stabil. Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh dokter, Dina berusaha untuk menahan air matanya untuk turun, dia berdiri di samping ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit. Tangisannya hanya ada dalam hatinya saja, untuk mengeluarkannya, ia tidak bisa, karena tidak ingin membuat Ayahnya bersedih. Ayahnya, Abdi, melihat putrinya dengan tatapan lembut meskipun dirinya tengah berjuang dengan kondisi kesehatannya yang menurun.Abdi mengarahkan pandangan mata pada sang istri, "Buka," ucap Abdi pada sang istri, Aini."Buka apa mas?" tanya Aini.Abdi menunjuk alat bantu napas yang menempel di mulutnya."Jangan, Mas," sahut Aini dengan suara gemetar, mencoba melindungi suaminya dari kemungkinan yang lebih buruk."Ayah mau apa, minta buka itu?" tanya Deni, adik Dina, yang berdiri di samping mereka dengan raut wajah penuh kekhawatiran."Bicara," ucap sang ayah dengan lirih, menunjukkan keinginannya untuk berkomunik
Lima belas menit menunggu dalam dalam ketidakpastian , ketiganya terus melantunkan doa-doa keselamatan untuk sang ayah. Saat suster memanggil mereka untuk masuk kembali, Dina, Aini, dan Deni dengan wajah penuh ketegangan memasuki ruangan yang kini terasa begitu hening. Mereka melihat dokter dan suster dengan tatapan tegang, menunggu apa yang akan disampaikan oleh keduanya.Dengan suara lembut dan hati-hati, dokter menyampaikan berita yang mengguncang hati mereka, "Maafkan saya, pasien telah pergi untuk selamanya. Semoga dia tenang di sisi-Nya."Aini, Dina dan Deni terdiam, tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Lalu, Tangis histeris pecah dari bibir mereka, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Lalu suster menyibak kain putih dan terlihat sang kepala keluarga sudah terbujur ditutupi oleh kain putih."Ayah !!" Dina lari dengan berteriak histeris memanggil 'Ayah '.Sedangkan sang istri, Aini yang tidak kuat melihat sang suami sudah pergi untuk selamanya, luruh jatuh ke lantai
“Kak, kita tidak punya ayah lagi,” ucap Deni dengan suara penuh kepedihan.Dina melihat adiknya yang duduk dengan kepala tertunduk, lalu berkata, “Jangan tunjukkan kesedihan kita di depan Bunda, Deni. Kita harus kuat bersama.”Deni melirik ke arah Bunda yang duduk bersama dengan adik kandung Ayahnya, yang datang setelah mendengar kabar tentang kepulangan Ayah.“Bunda berusaha menutupi kesedihannya, kak,” kata Deni dengan pengertian yang dalam terhadap perasaan Bunda yang berusaha keras untuk memberikan kekuatan pada anak-anaknya dalam menghadapi cobaan yang menimpa keluarga mereka."Kita harus menghibur Bunda, karena Bunda yang paling kehilangan. Kita juga begitu kehilangan, tapi hubungan Bunda dengan Ayah sebagai suami istri sudah pasti lebih mendalam," ucap Dina dengan suara penuh kebijaksanaan dan pengertian.Deni mengangguk setuju, memahami betapa beratnya kehilangan bagi Bunda yang telah kehilangan pasangan hidupnya. Mereka berdua merasa tanggung jawab untuk memberikan dukungan d
Kedatangan jenazah Abdi, Ayah Dina, di kampung telah menyentuh hati semua warga dengan kesedihan yang mendalam. Abdi adalah sosok yang sangat disayangi dan dihormati oleh seluruh warga desa. Mereka menyambut kepulangan jenazah Abdi dengan perasaan sedih yang mendalam.Para tetangga memeluk Aini secara bergantian untuk memberikan dukungan pada masa sulit ini. Aini dengan suara berlinang air mata berkata pada tetangganya sebelah rumah, "Mas Abdi sudah tidak ada lagi, Bude. Mas Abi sudah meninggalkan kami." Air mata Aini tak tertahankan lagi, mengalir tanpa henti.Dina pun tidak mampu menahan kesedihannya, air mata yang tadi diusahakan untuk tidak mengalir lagi, kini tak tertahankan lagi, mulai mengalir. Saat semua tetangga yang mengenal Abdi berkumpul, Aini dan Dina sama-sama terhanyut dalam kesedihan yang tak terbendung. Dina tiba-tiba ambruk ke tanah, tak sanggup menahan beban duka yang begitu besar. Dalam satu hari, begitu banyak keju
Ketegangan dan kecemasan semakin memenuhi ruangan ketika Juragan Zuki menuduh bahwa kemungkinan Danang sibuk dengan wanita lain. Wanita yang duduk dekatnya, Bu Ida dan Bu Ayu, menjadi semakin gelisah dengan dugaan yang diajukan oleh Juragan Zuki.Dinda yang mendengar dengan tidak sengaja apa yang dikatakan oleh Juragan Zuki, merasa marah mendengarkan tuduhan yang dilemparkan padanya. Tanpa ragu, Dinda langsung menghentikan langkahnya, diikuti oleh Rizal.Dengan ekspresi yang tegas dan suara yang sedikit emosional, Dinda mengekspresikan kekesalannya yang sudah mencapai puncaknya, "Bapak jangan asal bicara! Bapak jangan menyebarkan fitnah!" ucapnya dengan tegas dan jelas.Rizal juga ikut angkat bicara, "Bapak itu datang untuk melayat, bukan untuk bergosip. Kita harus menghormati situasi ini."Juragan Zuki, Bu Ida, dan Bu Ayu terkejut mendengar suara keras yang menegurnya. Mereka tersentak dengan reaksi tegas dari Dinda dan Rizal, yang menegaskan bahwa dugaan dan tuduhan tanpa dasar sepe
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu membuat Danang terbangun dari tidurnya. "Ahh! Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" gumamnya sambil menggeliatkan tubuhnya.Ketukan di pintu terdengar lagi, membuat Danang semakin terjaga. "Dina!" serunya dengan mata masih terpejam, agak enggan untuk bangun dan membuka pintu.Namun, ketukan berulang kali terus terdengar, "Mana Dina ini?" Danang merasa semakin penasaran dan gelisah."Dina! Buka pintu!" teriak Danang dengan lebih keras, ingin segera mengetahui siapa yang ada di balik pintu.Yoga tersentak dari tidurnya akibat teriakan Danang. "Dan! Kenapa kau berteriak? Kau membuatku kaget," kata Yoga dengan wajah masih penuh kantuk.Danang yang baru terjaga tiba-tiba tersadar dan melihat sekelilingnya, "Di mana ini? Aduh! Kenapa aku lupa?" Danang segera bangkit dari kursi dan menuju pintu dengan cepat untuk melihat siapa yang datang menganggu tidurnya.Danang membuka pintu dengan raut wajah kesal saat melihat seorang pria di luar kamar. "Selamat
Danang kemudian mencoba menghubungi sang adik, karena ponsel Dina tidak dapat dihubungi. "Dinda."Namun, sebelum Danang bisa mengucapkan apa yang ingin dikatakannya, Dinda langsung memotong perkataan Danang dengan nada suara yang marah."Mas ini kemana saja? Kenapa tidak datang? Mas sudah membuat malu keluarga kita!" ucap Dinda dengan penuh amarah, mengungkapkan kekecewaan dan ketidaksenangan atas ketidakhadiran Danang.Danang merasa terhenyak dengan respons tegas dari Dinda dan ia merasakan penyesalan yang mendalam atas kesalahannya. Dengan suara yang penuh penyesalan dan kesadaran akan kesalahannya, Danang mencoba menjelaskan dan meminta maaf atas segala kesalahpahaman yang terjadi."Dinda, maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya. Aku akan segera pulang," ucap Danang dengan suara yang mencerminkan penyesalan dan tekad untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya.Deng
"Al, kamu lihat apa?" tanya Ayumi, yang melihat keanehan perilaku Alma."Lihat itulah," jawab Alma sambil menunjuk ke arah layar besar di depan."Kenapa kau tidak tertawa?" tanya Ayumi, heran dengan sikap Alma yang tampak serius."Untuk apa tertawa? Film seram kok harus tertawa, aneh," jelas Alma dengan tegas."Kau yang aneh. Semua orang tertawa dan berteriak, tapi kau malah diam saja," sindir Ayumi.Alma tidak menanggapi perkataan Ayumi, dia terus memperhatikan Danang, "Gila !" Alma kesal, saat melihat Sinta berteriak dan memeluk Danang."Cewek genit ! Sepertinya mereka ada hubungan terlarang," gumam Alma dalam hati.Setelah film selesai, Danang dan Sinta berdiri untuk meninggalkan tempat duduk mereka. Alma ingin mengikuti mereka, tetapi Ayumi mencegahnya."Tunggu sebentar, kita keluar nanti biar tidak
Setelah Danang selesai mandi, ia segera meluncur untuk menjemput Sinta di alamat yang telah diberikan oleh Sinta. Mobil Danang melambat saat mendekati lokasi, dan ia nampak Sinta berdiri di pinggir jalan menunggu dengan sabar. Danang langsung menghentikan mobilnya. Ia membuka kaca mobil dan memanggil Sinta, "Sinta!"Sinta, yang tidak menyadari keberadaan Danang dalam mobil yang berhenti di depannya, segera menoleh. Awalnya ingin menggeser tubuhnya menjauhi mobil tersebut, namun panggilan Danang baru ia tahu, yang mengemudikan mobil tersebut adalah Danang."Mas Danang !" Sinta tersenyum cerah saat melihat Danang."Masuk ," kata Danang.Dengan langkah ringan, dia masuk ke dalam mobil dan senyum lembut Danang menyambutnya."Tenyata, kamu mas, aku kira orang iseng yang berhenti depanku. Senang sekali bisa bertemu denganmu, Mas," kata Sinta dengan gembira.
Di sekolah, saat jam istirahat tiba, Deni bertanya kepada sahabatnya, Johnny, "Bagaimana cara saya mengembalikan file yang hilang, John?" Deni menunjukkan ponsel ayahnya yang dibawanya kepada Johnny.Johnny mengambil ponsel tersebut dan bertanya, "Ponsel siapa ini, Den?""Ini ponsel ayahku," jawab Deni. "File apa yang hilang?" tanya Johnny, sambil memandang ponsel ayah Deni yang dipegangnya."Aku tidak tahu file mana secara spesifik, tetapi aku ingin menemukan file tersembunyi di ponsel ini," ungkap Deni."Izinkan aku mencoba," kata Johnny. Selama 15 menit, Johnny mencoba mengutak-atik ponsel ayah Deni dengan keringat bercucuran dari dahinya. Akhirnya, Johnny menyerah, "Maaf, aku mencoba tapi aku tidak bisa menemukannya. Lebih baik dibawa ke tempat service ponsel daripada mencari sendiri dan berisiko kehilangan file lainnya," sarannya Johnny.Deni mengangguk mengerti, "Baiklah, aku akan mengikuti saranmu, Johnny. Terima kasih sudah mencoba." Deni merasa lega karena mendapatkan saran
Mobil Danang sudah meninggalkan pekarangan rumah Dina, dan Dina menatapnya dengan sedih. Sejak bangun tidur hingga kepergian Danang, tidak satu kata pun terucap antara keduanya. Perasaan sedih dan kehampaan terasa begitu kuat dalam hati Dina, seolah-olah kesalahannya begitu besar karena menolak untuk menjual bagian tanahnya.Bunda Dina memperhatikan ekspresi putrinya yang sedih, lalu bertanya, "Kenapa tidak ikut Danang pulang, Din?""Dina mau pulang setelah tujuh hari ayah, Bunda," jawab Dina dengan suara lembut.Dina menyimpan kerinduan yang mendalam terhadap ayahnya, dan rencana untuk kembali setelah tujuh hari sebagai tanda penghormatan dan cinta pada almarhum ayahnya. Meskipun hatinya terpukul dengan kepergian Danang tanpa komunikasi yang jelas, ia tetap mempertahankan keputusannya dengan penuh keyakinan.Saat keduanya duduk di teras rumah, dua orang sepasang suami istri mendekati Aini dan Dina d
Dina masuk ke dalam kamar dan melihat sang suami, Danang, sedang memasukkan pakaiannya ke dalam tasnya. Raut heran tergambar jelas di wajah Dina."Mas mau pulang?" tanya Dina heran dengan apa yang dilakukan oleh Danang."Iya," sahut Danang singkat, tanpa banyak penjelasan."Bukannya lusa baru balik, Mas?" tanya Dina, merasa semakin bingung dengan rencana pulang yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya."Kebetulan ada kerjaan mendadak," jawab Danang dengan nada datar, mencoba menghindari penjelasan lebih lanjut."Mas marah?" tanya Dina mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap Danang.Danang memutar badannya dan menatap Dina dengan tajam. "Menurutmu?" tanya Danang balik.Dina menatap Danang dengan lekat, "Mas marah karena apa yang dikatakan oleh bunda, karena bunda tidak ingin menjual sawah itu ? Sudah berkali-kali kami katakan, Mas, kamu tidak akan mau menjual peninggalan ayah. Kenapa Mas tetap ngotot terus membahas hal ini? Bunda kan tidak ing
Saat keduanya berada di dapur, Hanum mengajak Dina untuk bicara dari hati ke hati."Din, bagaimana ekonomi kalian? Apa kau mengalami kesulitan ekonomi?" tanya Hanum pada Dina dengan kehangatan dalam suaranya."Maaf, jika Tante menanyakannya," tambah Hanum dengan sopan, memberikan pengertian atas pertanyaannya yang mungkin bisa menyinggung perasaan Dina.Pertanyaan yang dilontarkan oleh tantenya membuat Dina terdiam sejenak."Maaf ya, pertanyaan Tante mungkin terlalu masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu. Tapi Tante heran, kenapa kau mengusulkan untuk menjual tanah? Apa kau membutuhkan uang ?" Tanya Hanum dengan penuh kehati-hatian."Tidak Tan, aku tidak membutuhkan uang. Uang yang diberikan oleh Mas Danang, lebih dari cukup untuk biaya hidup. Aku masih bisa menyisihkan sebagian uang untuk di tabung," kata Dina."Lalu untuk apa ju
Juragan Zuki menatap Deni dengan serius, "Maksudku, iparmu itu orang tidak baik. Aku hanya ingin kau hati-hati dengan Kakak iparmu itu. Dia tidak sebaik yang kau kira, anak muda. Lihatlah, kalian akan dibuat sengsara orang kota itu," ucap Juragan Zuki dengan nada peringatan yang tegas.Deni, terkejut dan bingung dengan kata-kata yang menohok dari Juragan Zuki. "Jangan-jangan memfitnah abang ipar saya ya," kata Deni dengan nada tegas, menolak dugaan yang dilontarkan oleh Juragan Zuki. Walaupun dia sedang kesal dengan Danang, tapi dia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Juragan Zuki."Lho... saya tidak menghina abang iparmu itu. Abang iparmu memang tidak baik, dia menipu kalian. Lihatlah, kakakmu tidak akan bahagia bersuamikan orang kota itu. Jika dulu kakakmu mau menikah dengan anakku, dia pasti akan bahagia," ucap Juragan Zuki dengan sinis, menyudutkan Danang dalam perkataannya.Deni merasa diserang dan kehilanga
Danang, dengan tekad yang kuat dan hati yang penuh keyakinan untuk membujuk Deni. Begitu ada kesempatan, melihat Deni sendiri di teras, ia mendekati Deni. Dengan langkah yang pasti, Danang melangkah menuju teras untuk bicara dengan Deni."Ngapain Den?" tanya Danang sambil menepuk lembut pundak Deni yang terlihat tengah terdiam dalam lamunan di depan rumah.Deni kaget dan mendongak menatap Danang sampingnya, ekspresi heran terpancar dari wajahnya. "Oh, Mas Danang. Maafkan aku, aku hanya sedang memikirkan berbagai hal," ucap Deni dengan suara datar. Karena Deni masih merasa kesal pada abang iparnya tersebut.Danang menatap dengan penuh perhatian, "Ada yang bisa mas bantu, Den? Jika ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakan pada Mas, Den. Kita bisa mencari solusi bersama. Apa masalah sekolah ? Kau bingung mau mengambil jurusan apa ?""Nggak ada, mas. Bosan saja di rumah, biasany
"Boleh kakak masuk?" tanya Dina dengan lembut.Deni menjawab dengan ramah, "Masuklah kak."Dina memasuki kamar Deni dan Deni kemudian menutup pintu kamarnya. Dina melangkah mendekati meja belajar Deni, kemudian melihat-lihat meja belajar Deni."Kakak datang bukan untuk melihat buku-buku pelajaranku, kan?" tanya Deni."Ada yang mau kak bicarakan denganku? Kalau kakak ingin membujukku, maaf kak, aku tidak akan mengubah keputusan," kata Deni tegas.Dina memutar badannya, "Kakak tidak akan menjual sawahnya, Den. Jangan marah kepada kakak ya," ucap Dina dengan menatap wajah adiknya dengan lekat."Aku tahu itu bukan rencanamu, kak? Mas Danang yang mengusulkan kepada Kakak, kan ?" tebak Deni.Dina menganggukkan kepalanya, "Sudah kuduga," ucap Deni dengan sedikit lega, karena ia mengetahui rencana penjualan itu bukan d