Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.
Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.
Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.
Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan."
"Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan.
"Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya," ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang.
"Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan.
"Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusiasme.
Yoga kemudian menambahkan, "Dia menanyakanmu, dan minta nomor ponselmu. Tapi, aku tidak memberikannya, Dan. Kan belum minta izinmu."
Danang mengangguk mengerti, menghargai sikap bijaksana Yoga untuk tidak memberikan nomor teleponnya tanpa izin.
"Bagaimana? Kau suka dengannya, kan?" tanya Yoga, dengan suara penuh keingintahuan.
Ditanya demikian, Danang tersenyum sopan sebelum menjawab, "Sinta adalah teman yang baik. Kami dulu dekat, tapi itu kan dulu. Sekarang sudah punya jalan cerita yang berbeda."
Yoga mengangguk paham, "Tentu, kalian sudah punya cerita yang berbeda, dan mungkin dia sudah punya pasangan. Kenapa aku lupa menanyakannya," kata Yoga.
"Dari pengelihatan mata batinku, sepertinya dia masih sendiri," kata Yoga sambil memegang gelasnya sebagai alat medium dengan penuh kecermatan berpura-pura sedang melakukan penerawangan.
"Sok jadi cenayang," goda Danang dengan nada jenaka.
"Hehehehe, mungkin saja aku bisa beralih profesi menjadi cenayang," balas Yoga sambil tersenyum lebar, membalas ejekan Danang dengan santai.
Tok... tok...
Dina yang sedang sibuk di dapur menoleh ke arah pintu, "Sepertinya ada yang mengetuk pintu."
Dina dengan cepat mengelap tangannya, lalu bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat pintu terbuka, sorot matanya langsung bertemu dengan senyuman cerah.
"Alma!" seru Dina dengan gembira, lalu tanpa ragu ia melangkah maju dan memeluk temannya.
Keduanya memeluk erat di depan pintu, "Kau datang tanpa memberi kabar," ujar Dina dengan senyum hangat.
"Surprise," ucap Alma dengan senyuman yang tak kalah cerah.
"Surprise! Gaya lo," balas Dina sambil tertawa, menyambut kedatangan tak terduga dari Alma dengan antusiasme.
Mereka berdua tetap berpelukan di pintu, menikmati momen kejutan yang tak terduga. Dina merasa bahagia bisa bertemu Alma lagi setelah sekian lama tidak bersua. Mereka kemudian saling melepaskan pelukan dan masuk ke dalam rumah.
Dina tersenyum ramah, "Ayo, duduk. Maaf, tempatnya kecil," ia menawarkan kursi kepada Alma.
"Santai saja, Din. Kau kira rumahku besar," balas Alma dengan senyuman hangat.
"Berapa lama akan tinggal di sini?" Tanya Dina.
Alma tersenyum misterius, "Aku sekarang tinggal di kota ini," ungkapnya, memberikan kejutan lain kepada Dina.
Saat mendengar bahwa Alma akan tinggal di kota, Dina terkejut namun senang dengan keputusan temannya tersebut.
"Serius? Itu kabar baik! Kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama seperti dulu," ujar Dina dengan senyum cerah.
Alma mengangguk setuju, "Iya, aku pikir akan menyenangkan tinggal di kota ini dekat dengan teman-teman seperti kamu."
"Sebentar," ucap Dina sambil bangkit dari kursi.
"Mau kemana?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.
"Aku tadi membuat kue, kau harus mencicipinya," ujar Dina sambil melangkah menuju dapur.
"Wow, buatmu pasti sudah enak. Kau juga pandai membuat kue sejak dulu," kata Alma sambil mengikuti Dina ke dapur.
Dina tersenyum sambil menggoda, "Mulutmu manis sekali, Alma. Tidak pernah berubah."
"Mulutku ini penuh dengan gula, tidak pernah bicara pahit ," balas Alma sambil tertawa. Dan Dina juga tertawa menanggapi perkataan Alma.
"Ayo duduklah, kita ngobrol di dapur saja ya. Tidak apa-apa kan?" ajak Dina.
"Oke...oke saja, Dina. Tidak apa-apa," kata Alma sambil mengangguk setuju. Dia kemudian mengambil sepotong kue yang terletak di atas meja, yang baru dibuat Dina.
"Bagaimana?" Tanya Dina.
"Wow, enak sekali, Dina," puji Alma sambil menikmati kuenya.
"Serius, jangan kau bilang enak, karena untuk menyenangkan hatiku saja," kata Dina dengan serius.
"Din, benar enak. Kau sih, tidak percaya diri. Kau itu sudah bisa membuka toko kue. Kau kan suka membuat kue, sejak dulu," kata Alma sambil memberikan pujian tulus.
Alma melanjutkan, "Oh ya, kau kan suka menjahit, kan? Bagaimana? Apakah kau masih menjahit?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu. Dina menganggukkan kepalanya lalu berdiri.
"Ini hasil jahitanku sendiri," ucap Dina sambil menunjukkan gaun yang sedang dikenakannya.
"Serius, bagus sekali," kata Alma sambil melihat gaun yang dikenakan oleh Dina dengan penuh rasa kagum.
"Terima kasih," jawab Dina dengan senyum lembut, merasa bangga dengan hasil karyanya.
Tiba-tiba, Alma mengajukan permintaan yang membuat Dina terkejut, "Din, kau bisa buatkan aku gaun?" tanya Alma.
"Gaun? Ih... nggak ah!" tolak Dina cepat, terlihat sedikit canggung.
"Kenapa?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.
"Aku tidak bisa membuatnya."
"Yang kau pakai begitu bagus, kok tidak bisa?" tanya Alma heran.
"Ini kan baju rumahan, baju sederhana. Gaun? Aku tidak berani," jelas Dina dengan suara yang rendah, merasa ragu dengan permintaan Alma.
"Kau belum mencobanya, Dina ! Coba dulu, baru kau bisa berkata kau tidak mampu untuk melakukannya," kata Alma.
"Ayolah, Din."
Dina masih merasa ragu dengan permintaan Alma untuk membuat gaun. Namun, melihat ekspresi antusias dari wajah Alma, Dina mulai mempertimbangkan dengan hati-hati.
Alma meyakinkan Dina, "Din, aku percaya padamu. Aku yakin gaun yang kau buat pasti luar biasa."
Dengan dukungan dan keyakinan dari Alma, Dina mulai memikirkan kesempatan untuk menantang dirinya sendiri dan mencoba hal baru. Setelah beberapa saat berpikir, Dina akhirnya tersenyum, "Baiklah, aku akan mencoba membuat gaun untukmu. Tapi, ini mungkin butuh waktu ."
Alma berseri-seri, "Terima kasih, Din! Aku akan sabar, walaupun sebenarnya, Ihh... Aku tidak sabar melihat hasil karyamu."
Dina menyampaikan kekhawatirannya kepada Alma, "Jangan terlalu semangat, Alma. Aku masih belajar. Bagaimana jika jahitanku nanti jelek dan kau tidak suka?"
Alma dengan ramah menjawab, "Tenang saja, aku pasti suka. Jaminan 100%! Jahitanmu pasti bagus, kan dari dulu, kau bisa menjahit, bisa memasak, ih kau itu istri paling sempurna."
"Hai, ngomong-ngomong, di mana Mas Danang?" tanya Alma, mencari tahu keberadaan Danang.
"Ini kan jam kantor, sedang di kantorlah," jawab Dina dengan santai.
"Oh iya, lupa. Maklum pengangguran," kata Alma sambil tertawa, menciptakan suasana yang penuh canda di antara mereka.
Dina meledek Alma, "Kau sih pengangguran, elit pengangguran, tapi dompetnya terus tebal."
Alma membalas sambil bercanda, "Tapi kan malu pengangguran, dompetnya diisi ortu terus."
"Aku mikir, bagaimana kalau aku menikah saja ya," ucap Alma, mencoba mengalihkan perhatian dari topik sebelumnya.
"Wow, berita teranyar !! kau sudah punya pacar?" tanya Dina penasaran.
"Belum," jawab Alma dengan santai, "Menikah dengan siapa ya ? kalau tidak punya pacar," tambahnya.
"Dasar kau ! Aku kira ada kabar gembira," kata Dina.
"Kabar gembira dariku, masih lama sekali ," balas Alma.
Mereka berdua tertawa merespons percakapan ringan mereka, menciptakan suasana yang penuh keceriaan di antara teman baik tersebut.
"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya."Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa."Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya."Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma."Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma."Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati."Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.Ked
Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap."Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras."Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlam
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama."Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara ke
Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus. Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang
"Keluar Din.""Tidak, aku tidak mau keluar. Aku malu !" Kata Dina tegas."Baiklah," Alma membiarkan Dina berdiri di depan pintu kamar ganti. Dia menatap pakaian yang dikenakan Dina dengan seksama. Alma memicingkan matanya dan keningnya berkerut."Jelek kan bajunya di tubuhku ?" Tanya Dina dengan perasaan tidak nyaman, "Bagus kok," jawab Alma sambil melihat dengan seksama pakaian yang dikenakan oleh Dina."Bohong !" Kata Dina."Kau bohong, Alma? Lihatlah," kata Dina sambil menunggingkan bokongnya dan menunjukkan, "Terlihat pakaian dalamku."Alma tertawa terbahak-bahak, "Ha ha ha ha ha, baguslah, bagus," ucap Alma, menganggap candaan Dina sebagai kesempatan untuk mencairkan suasana."Bagus, apaan? Kau suruh aku pamer aurat," kata Dina dengan nada sedikit tajam membalas perkataan Alma."Ha ha ha, kau tidak suka?" tanya Alma."Iya, aku tidak suka. Aku tidak nyaman kalau harus memakai baju yang pendek seperti begini," kata Dina dengan tegas."Baiklah, tunggu sebentar ya," kata Alma, lalu d
Lalu, keduanya menuju ke gedung bioskop untuk menonton film. Sampai di sana, tiba-tiba Dina menarik Alma untuk bersembunyi di balik pot besar yang ditumbuhi oleh bunga yang rimbun."Ada apa, Din?" tanya Alma dengan heran saat mereka bersembunyi di belakang pot besar.Dina tidak menjawab pertanyaan Alma. Dia merenung dan menatap ke arah depan dari balik rimbunan bunga, wajahnya terlihat sedih."Dina, ada apa?" tanya Alma penasaran, karena melihat kegelisahan dari ekspresi Dina yang terlihat sedih.Alma menggoncang tubuh Dina sambil berkata, "Dina, ada apa? Katakan." Alma mencoba membuat Dina merespon pertanyaannya."Mas, mas, Mas Danang," kata Dina dengan suara yang lirih dan bergetar, mencoba mengungkapkan sesuatu yang membuatnya sedih."Mas Danang, Mas Danang, suamimu," tanya Alma. Dina menganggukkan kepalanya sambil tetap melihat ke arah di mana Danang terlihat."Mana, mana, yang mana, Din?" tanya Alma dengan penasaran."Tuh," kata Dina."Yang mana ? Banyak manusia di situ," kata Al
Hati Dina semakin sakit ketika melihat tangan Danang merapikan rambut panjang wanita yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. "Alma, ayo kita pergi," kata Dina, suaranya penuh dengan keputusan yang tegas."Kenapa? Kita tidak nonton?" Tanya Alma."Tidak, aku tidak minat untuk nonton lagi," balas Dina dengan mantap pada Alma. "Kita harus melabrak suamimu. Jangan diam-diam saja," kata Alma."Biar perempuan itu tahu, Danang itu suamimu ," kata Alma.Dina tidak merespons apa yang dikatakan oleh Alma, dia menundukkan kepalanya."Dina, ayolah," pinta Alma lagi, berharap agar Dina menghampiri Danang.Namun, Dina tidak merespons ajakan Alma. "Aku tidak mau, ayo kita pulang," kata Dina dengan suara penuh ketegasan.Tanpa ragu, Dina bergegas turun dari gedung bioskop, meninggalkan kebingungan dan rasa sakit yang memenuhi hatinya. "Din!" seru Alma sambil mengejar sang sahabat yang sudah lebih dahulu pergi dari gedung bioskop."Harusnya, kau jangan pergi. Temui suamimu, tanyakan apa hubungan
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya
Jika tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hal-hal besar, temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian besar, tetapi juga dari apresiasi terhadap apa yang kita miliki. Nikmati keindahan sederhana, seperti senyum seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari, atau cahaya matahari yang menyinari wajah. Kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan penghargaan terhadap momen-momen kecil yang kita alami setiap hari.~~**~~"Eh, Bu Linda, berapa sih harga sewanya?" tanya Alma. Suaranya menunjukkan keingintahuan yang mendalam."Harga sewanya 5 juta per bulan," jawab Bu Linda. Suaranya menunjukkan kepercayaan diri, menawarkan harga sewa yang terjangkau."Wah, cukup mahal juga ya," kata Dina dalam hati. Raut wajahnya menunjukkan keprihatinan, mencoba mempertimbangkan harga sewa yang ditawarkan."Bisa di tawar. Kalau ambil pertahun bi
Dina sudah mantap untuk berpisah dengan Danang dan mulai merancang masa depan tanpa ada Danang di dalamnya. Sedangkan Danang masih bergulat dengan suara Dina yang mau berpisah dengannya. Sampai-sampai Danang berulang kali salah dalam mengerjakan tugasnya."Aahhh!" Danang menggeram dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya."Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu, Dina. Kau akan menjadi istriku selamanya. Seorang pria kan bisa memiliki istri lebih dari satu," kata Danang dalam hati. "Kesederhanaan Dina, membuat aku nyaman. Tapi, aku membutuhkan istri yang bisa diajak untuk bersosialisasi, dan dari Sinta bisa ketemukan itu."Tok..tok, suara ketukan disertai suara mengagetkan Danang yang melamun. "Dan, melamun saja. Ada apa? Apa gaji mu sudah habis," Toni, rekan kerjanya masuk dan duduk di depan meja kerja Danang.Danang tersentak kaget dan langsung menutup layar laptopnya. Ia mencoba menutupi kesedihannya dengan senyum palsu."Ah, Toni. Nggak apa-apa. Lagi mikirin proyek b
Dina terdiam, merenungkan perkataan Alma. Ia mencoba memikirkan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Ia mengingat masa-masa ketika ia bekerja di pabrik sarung tangan. Ia merasa bosan dan lelah dengan pekerjaan itu. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru."Kenapa kau tidak menerima jahitan saja. Kau kan bisa menjahit," kata Alma untuk membuka pikiran Dina mengenai apa yang akan dilakukannya setelah bercerai."Aku ada melihat ruko di dekat rumahku, bisa dijadikan tempat menjahit Dina," kata Alma dengan bersemangat."Aku melihat ada ruko di dekat rumahku. Ruko itu bisa dijadikan tempat menjahit, Dina," kata Alma dengan bersemangat."Menjahit? Apa aku mampu?" gumam Dina, ragu."Ini yang aku nggak suka darimu, Din. Kamu itu langsung mempertanyakan kemampuanmu. Jangan pesimis, Din. Harus optimis, biar bisa sukses," kata Alma dengan nada serius."Aku kan
Alma memeluk Dina, "Tenang Din. Jangan keluarkan air mata untuk laki-laki seperti itu," kata Alma pada sahabatnya yang baru selesai menceritakan apa yang terjadi padanya."Aku ingin pisah! Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrinya," kata Dina di sela-sela isakan."Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Din?" tanya Alma. Ia tahu betapa Dina mencintai Danang."Aku sudah berusaha, Alma," kata Dina. "Aku sudah mencoba menyelamatkan pernikahan kami. Tapi Danang terlalu egois. Dia tidak peduli perasaanku. Lama-lama aku bisa gila menghadapinya.""Lakukan, Din," kata Alma. "Aku akan selalu ada untukmu.""Terima kasih, Alma," kata Dina. Ia merasa terhibur oleh kehadiran Alma."Sekarang kamu harus kuat, Din," kata Alma. "Kamu harus fokus pada dirimu sendiri.""Aku akan baik-baik saja, Alma," kata Dina. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk diriku