Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.
Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.
Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.
Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan."
"Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan.
"Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya," ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang.
"Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan.
"Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusiasme.
Yoga kemudian menambahkan, "Dia menanyakanmu, dan minta nomor ponselmu. Tapi, aku tidak memberikannya, Dan. Kan belum minta izinmu."
Danang mengangguk mengerti, menghargai sikap bijaksana Yoga untuk tidak memberikan nomor teleponnya tanpa izin.
"Bagaimana? Kau suka dengannya, kan?" tanya Yoga, dengan suara penuh keingintahuan.
Ditanya demikian, Danang tersenyum sopan sebelum menjawab, "Sinta adalah teman yang baik. Kami dulu dekat, tapi itu kan dulu. Sekarang sudah punya jalan cerita yang berbeda."
Yoga mengangguk paham, "Tentu, kalian sudah punya cerita yang berbeda, dan mungkin dia sudah punya pasangan. Kenapa aku lupa menanyakannya," kata Yoga.
"Dari pengelihatan mata batinku, sepertinya dia masih sendiri," kata Yoga sambil memegang gelasnya sebagai alat medium dengan penuh kecermatan berpura-pura sedang melakukan penerawangan.
"Sok jadi cenayang," goda Danang dengan nada jenaka.
"Hehehehe, mungkin saja aku bisa beralih profesi menjadi cenayang," balas Yoga sambil tersenyum lebar, membalas ejekan Danang dengan santai.
Tok... tok...
Dina yang sedang sibuk di dapur menoleh ke arah pintu, "Sepertinya ada yang mengetuk pintu."
Dina dengan cepat mengelap tangannya, lalu bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat pintu terbuka, sorot matanya langsung bertemu dengan senyuman cerah.
"Alma!" seru Dina dengan gembira, lalu tanpa ragu ia melangkah maju dan memeluk temannya.
Keduanya memeluk erat di depan pintu, "Kau datang tanpa memberi kabar," ujar Dina dengan senyum hangat.
"Surprise," ucap Alma dengan senyuman yang tak kalah cerah.
"Surprise! Gaya lo," balas Dina sambil tertawa, menyambut kedatangan tak terduga dari Alma dengan antusiasme.
Mereka berdua tetap berpelukan di pintu, menikmati momen kejutan yang tak terduga. Dina merasa bahagia bisa bertemu Alma lagi setelah sekian lama tidak bersua. Mereka kemudian saling melepaskan pelukan dan masuk ke dalam rumah.
Dina tersenyum ramah, "Ayo, duduk. Maaf, tempatnya kecil," ia menawarkan kursi kepada Alma.
"Santai saja, Din. Kau kira rumahku besar," balas Alma dengan senyuman hangat.
"Berapa lama akan tinggal di sini?" Tanya Dina.
Alma tersenyum misterius, "Aku sekarang tinggal di kota ini," ungkapnya, memberikan kejutan lain kepada Dina.
Saat mendengar bahwa Alma akan tinggal di kota, Dina terkejut namun senang dengan keputusan temannya tersebut.
"Serius? Itu kabar baik! Kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama seperti dulu," ujar Dina dengan senyum cerah.
Alma mengangguk setuju, "Iya, aku pikir akan menyenangkan tinggal di kota ini dekat dengan teman-teman seperti kamu."
"Sebentar," ucap Dina sambil bangkit dari kursi.
"Mau kemana?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.
"Aku tadi membuat kue, kau harus mencicipinya," ujar Dina sambil melangkah menuju dapur.
"Wow, buatmu pasti sudah enak. Kau juga pandai membuat kue sejak dulu," kata Alma sambil mengikuti Dina ke dapur.
Dina tersenyum sambil menggoda, "Mulutmu manis sekali, Alma. Tidak pernah berubah."
"Mulutku ini penuh dengan gula, tidak pernah bicara pahit ," balas Alma sambil tertawa. Dan Dina juga tertawa menanggapi perkataan Alma.
"Ayo duduklah, kita ngobrol di dapur saja ya. Tidak apa-apa kan?" ajak Dina.
"Oke...oke saja, Dina. Tidak apa-apa," kata Alma sambil mengangguk setuju. Dia kemudian mengambil sepotong kue yang terletak di atas meja, yang baru dibuat Dina.
"Bagaimana?" Tanya Dina.
"Wow, enak sekali, Dina," puji Alma sambil menikmati kuenya.
"Serius, jangan kau bilang enak, karena untuk menyenangkan hatiku saja," kata Dina dengan serius.
"Din, benar enak. Kau sih, tidak percaya diri. Kau itu sudah bisa membuka toko kue. Kau kan suka membuat kue, sejak dulu," kata Alma sambil memberikan pujian tulus.
Alma melanjutkan, "Oh ya, kau kan suka menjahit, kan? Bagaimana? Apakah kau masih menjahit?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu. Dina menganggukkan kepalanya lalu berdiri.
"Ini hasil jahitanku sendiri," ucap Dina sambil menunjukkan gaun yang sedang dikenakannya.
"Serius, bagus sekali," kata Alma sambil melihat gaun yang dikenakan oleh Dina dengan penuh rasa kagum.
"Terima kasih," jawab Dina dengan senyum lembut, merasa bangga dengan hasil karyanya.
Tiba-tiba, Alma mengajukan permintaan yang membuat Dina terkejut, "Din, kau bisa buatkan aku gaun?" tanya Alma.
"Gaun? Ih... nggak ah!" tolak Dina cepat, terlihat sedikit canggung.
"Kenapa?" tanya Alma dengan rasa ingin tahu.
"Aku tidak bisa membuatnya."
"Yang kau pakai begitu bagus, kok tidak bisa?" tanya Alma heran.
"Ini kan baju rumahan, baju sederhana. Gaun? Aku tidak berani," jelas Dina dengan suara yang rendah, merasa ragu dengan permintaan Alma.
"Kau belum mencobanya, Dina ! Coba dulu, baru kau bisa berkata kau tidak mampu untuk melakukannya," kata Alma.
"Ayolah, Din."
Dina masih merasa ragu dengan permintaan Alma untuk membuat gaun. Namun, melihat ekspresi antusias dari wajah Alma, Dina mulai mempertimbangkan dengan hati-hati.
Alma meyakinkan Dina, "Din, aku percaya padamu. Aku yakin gaun yang kau buat pasti luar biasa."
Dengan dukungan dan keyakinan dari Alma, Dina mulai memikirkan kesempatan untuk menantang dirinya sendiri dan mencoba hal baru. Setelah beberapa saat berpikir, Dina akhirnya tersenyum, "Baiklah, aku akan mencoba membuat gaun untukmu. Tapi, ini mungkin butuh waktu ."
Alma berseri-seri, "Terima kasih, Din! Aku akan sabar, walaupun sebenarnya, Ihh... Aku tidak sabar melihat hasil karyamu."
Dina menyampaikan kekhawatirannya kepada Alma, "Jangan terlalu semangat, Alma. Aku masih belajar. Bagaimana jika jahitanku nanti jelek dan kau tidak suka?"
Alma dengan ramah menjawab, "Tenang saja, aku pasti suka. Jaminan 100%! Jahitanmu pasti bagus, kan dari dulu, kau bisa menjahit, bisa memasak, ih kau itu istri paling sempurna."
"Hai, ngomong-ngomong, di mana Mas Danang?" tanya Alma, mencari tahu keberadaan Danang.
"Ini kan jam kantor, sedang di kantorlah," jawab Dina dengan santai.
"Oh iya, lupa. Maklum pengangguran," kata Alma sambil tertawa, menciptakan suasana yang penuh canda di antara mereka.
Dina meledek Alma, "Kau sih pengangguran, elit pengangguran, tapi dompetnya terus tebal."
Alma membalas sambil bercanda, "Tapi kan malu pengangguran, dompetnya diisi ortu terus."
"Aku mikir, bagaimana kalau aku menikah saja ya," ucap Alma, mencoba mengalihkan perhatian dari topik sebelumnya.
"Wow, berita teranyar !! kau sudah punya pacar?" tanya Dina penasaran.
"Belum," jawab Alma dengan santai, "Menikah dengan siapa ya ? kalau tidak punya pacar," tambahnya.
"Dasar kau ! Aku kira ada kabar gembira," kata Dina.
"Kabar gembira dariku, masih lama sekali ," balas Alma.
Mereka berdua tertawa merespons percakapan ringan mereka, menciptakan suasana yang penuh keceriaan di antara teman baik tersebut.
"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya."Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa."Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya."Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma."Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma."Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati."Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.Ked
Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap."Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras."Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlam
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
"Yoga ingin mengajakku bertemu, bagaimana ini ? Aku sudah janji dengan Dina," gumam Danang. Rasa kebingungan mencengkram hatinya, karena ia sudah berjanji kepada Dina untuk menghabiskan waktu bersama."Oh ya, pagi ini aku bertemu dengan Yoga. Sore aku akan pergi dengan Dina," ucap Danang dengan suara tegas, membuat keputusan yang sulit namun penting. Tidak ingin mengecewakan Dina, Danang berkomitmen untuk tetap memenuhi janjinya kepada istri tercintanya.Dina kemudian keluar dari kamar mandi, rambutnya yang sedikit basah disisirnya asal dan wajahnya diberi sedikit bedak. Dengan tampilan segar, dia bergabung di meja makan bersama Danang. Dina kemudian mengambilkan nasi untuk sang suami dengan mulut tertutup rapat, menunjukkan kepedulian dan kasih sayangnya kepada sang suami, walaupun hatinya sedang sedih.Tanpa bicara, Dina mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dan Danang dengan perlahan. Suasana di meja makan terasa hening, hingga tiba-tiba Danang menghentikan makannya dan berbicara ke
Dina merasa kecewa dan sedih saat membaca pesan dari Danang yang memberitahukan bahwa ia tidak bisa pergi sore karena ada keperluan mendadak dengan temannya. Rasa kecewa dan kerinduan yang terpendam mulai menguasai hati Dina. "Bukan sekali ini kau ingkari janjimu, Mas. Aku seharusnya jangan terlalu berharap dengan janjimu, Mas," batin Dina sambil merenungkan secara dalam.Alma, yang peka terhadap perubahan wajah Dina, memilih untuk tetap diam. Dia merasa bahwa Dina perlu ruang dan waktu untuk mengekspresikan perasaannya sendiri. Bercermin pada persahabatan mereka yang kuat, Alma memilih untuk memberikan dukungan dan keberanian kepada Dina untuk berbagi dengan sukarela jika ia merasa perlu.Sampai di mall, Alma membawa Dina untuk berbelanja baju. "Ini bagus untukmu, Din. Ini juga bagus, Din," ucap Alma dengan antusias sambil menunjukkan beberapa pilihan baju yang menurutnya bagus. Dina menatap baju-baju tersebut dengan ragu. "Ah tidak, aku tidak suka, Alma," kata Dina menolak apa yang
"Keluar Din.""Tidak, aku tidak mau keluar. Aku malu !" Kata Dina tegas."Baiklah," Alma membiarkan Dina berdiri di depan pintu kamar ganti. Dia menatap pakaian yang dikenakan Dina dengan seksama. Alma memicingkan matanya dan keningnya berkerut."Jelek kan bajunya di tubuhku ?" Tanya Dina dengan perasaan tidak nyaman, "Bagus kok," jawab Alma sambil melihat dengan seksama pakaian yang dikenakan oleh Dina."Bohong !" Kata Dina."Kau bohong, Alma? Lihatlah," kata Dina sambil menunggingkan bokongnya dan menunjukkan, "Terlihat pakaian dalamku."Alma tertawa terbahak-bahak, "Ha ha ha ha ha, baguslah, bagus," ucap Alma, menganggap candaan Dina sebagai kesempatan untuk mencairkan suasana."Bagus, apaan? Kau suruh aku pamer aurat," kata Dina dengan nada sedikit tajam membalas perkataan Alma."Ha ha ha, kau tidak suka?" tanya Alma."Iya, aku tidak suka. Aku tidak nyaman kalau harus memakai baju yang pendek seperti begini," kata Dina dengan tegas."Baiklah, tunggu sebentar ya," kata Alma, lalu d
Lalu, keduanya menuju ke gedung bioskop untuk menonton film. Sampai di sana, tiba-tiba Dina menarik Alma untuk bersembunyi di balik pot besar yang ditumbuhi oleh bunga yang rimbun."Ada apa, Din?" tanya Alma dengan heran saat mereka bersembunyi di belakang pot besar.Dina tidak menjawab pertanyaan Alma. Dia merenung dan menatap ke arah depan dari balik rimbunan bunga, wajahnya terlihat sedih."Dina, ada apa?" tanya Alma penasaran, karena melihat kegelisahan dari ekspresi Dina yang terlihat sedih.Alma menggoncang tubuh Dina sambil berkata, "Dina, ada apa? Katakan." Alma mencoba membuat Dina merespon pertanyaannya."Mas, mas, Mas Danang," kata Dina dengan suara yang lirih dan bergetar, mencoba mengungkapkan sesuatu yang membuatnya sedih."Mas Danang, Mas Danang, suamimu," tanya Alma. Dina menganggukkan kepalanya sambil tetap melihat ke arah di mana Danang terlihat."Mana, mana, yang mana, Din?" tanya Alma dengan penasaran."Tuh," kata Dina."Yang mana ? Banyak manusia di situ," kata Al
Hati Dina semakin sakit ketika melihat tangan Danang merapikan rambut panjang wanita yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. "Alma, ayo kita pergi," kata Dina, suaranya penuh dengan keputusan yang tegas."Kenapa? Kita tidak nonton?" Tanya Alma."Tidak, aku tidak minat untuk nonton lagi," balas Dina dengan mantap pada Alma. "Kita harus melabrak suamimu. Jangan diam-diam saja," kata Alma."Biar perempuan itu tahu, Danang itu suamimu ," kata Alma.Dina tidak merespons apa yang dikatakan oleh Alma, dia menundukkan kepalanya."Dina, ayolah," pinta Alma lagi, berharap agar Dina menghampiri Danang.Namun, Dina tidak merespons ajakan Alma. "Aku tidak mau, ayo kita pulang," kata Dina dengan suara penuh ketegasan.Tanpa ragu, Dina bergegas turun dari gedung bioskop, meninggalkan kebingungan dan rasa sakit yang memenuhi hatinya. "Din!" seru Alma sambil mengejar sang sahabat yang sudah lebih dahulu pergi dari gedung bioskop."Harusnya, kau jangan pergi. Temui suamimu, tanyakan apa hubungan
Sampai di rumah, suasana di antara mereka masih dipenuhi keheningan. Sinta tetap bungkam sejak meninggalkan pantai, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. Danang sudah berusaha mengajaknya bicara selama perjalanan, tetapi Sinta tetap menutup rapat mulutnya.Setelah Sinta turun dari motor, Danang segera memanggilnya dengan suara penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang," ucapnya pelan, tetapi Sinta tidak merespons dan langsung berjalan menuju pintu gerbang rumahnya."Sinta!!" Danang menarik tangan Sinta dengan cepat, membuat langkahnya terhenti di depan pagar. Sinta menoleh dengan tatapan marah, menghentakkan tangannya dari genggaman Danang."Mas! Aku malu! Kenapa Mas melakukan itu di tempat umum?!" serunya dengan nada penuh emosi, air mata mulai menggenang di matanya.Danang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, aku salah. Aku nggak kepikira
Dinda keluar dari kamar dan melangkah perlahan menuju ruang keluarga, tempat Mamanya, Endang, sedang duduk santai di sofa dengan segelas teh hangat di tangannya. Televisi menyala, menampilkan acara favoritnya, drama favoritnya di salah satu televisi swasta. Dinda berdiri sejenak di ambang pintu, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk."Mama," panggil Dinda pelan sambil mendekat dan duduk di sebelah Mamanya. Suaranya terdengar sedikit ragu, membuat Endang meliriknya dengan alis sedikit terangkat."Ada apa, Din? Kok tiba-tiba manggil Mama seperti itu? Mau minta sesuatu, ya?" tanya Endang setengah bercanda, sambil menyeruput tehnya.Dinda tersenyum kecil, tetapi kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Ma, kalau ada orang yang Mama kenal… terus dia terlihat bersama pria lain yang bukan suaminya, tapi kelihatan sangat mesra… apa yang Mama akan lakukan?" tanya
Dina perlahan menurunkan ponselnya ke atas pahanya, tangannya gemetar dan wajahnya pucat. Tatapannya kosong, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Al... ini... ini..." katanya dengan suara bergetar, memandang Alma dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Melihat sahabatnya begitu terpukul, Alma langsung mengambil ponsel dari tangan Dina. "Coba sini, Din. Biar aku lihat," katanya cepat. Ia menatap layar ponsel itu, dan detik berikutnya matanya membelalak. Alma spontan berseru lantang, nyaris berteriak, "Sudah gila suamimu, Din! Terang-terangan dia main hati! Dia pikir dia siapa?!"Dina mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan diri, meski jelas emosinya bercampur aduk. "Semakin cepat aku ingin lepas darinya," ucap Dina lirih, suaranya sarat dengan kekecewaan dan kepedihan."Iya! Kau harus gugat cerai dia, Din! Laki-laki model begitu nggak pantas dipertahankan
Dinda masuk ke kamarnya sambil memegang kartu SIM baru yang baru saja ia beli. Ia membuka ponselnya, mengganti kartu SIM dengan hati-hati, dan memastikan nomor barunya aktif. Setelah beberapa detik, notifikasi dari operator muncul, menandakan nomor tersebut telah siap digunakan."Hm, sekarang semuanya sudah siap. Tinggal kirim videonya ke Kak Dina," gumam Dinda sambil menarik napas panjang, ekspresinya terlihat tegang. Ia membuka galeri dan melihat video Danang dengan wanita yang tidak dikenalnya, lalu mulai mulai mengetik. Dia menuliskan 'Suamimu main gila'.Namun, ia berhenti sejenak, menatap layar ponselnya dengan ragu. "Apa Kak Dina sanggup menerima ini ? Tapi kalau aku nggak kirim, dia nggak akan tahu kelakuan Mas Danang di luar sana," ujar Dinda, berbicara dengan dirinya sendiri.Ia menggigit bibirnya, kemudian menguatkan hati. "Nggak, aku harus kirim. Kak Dina berhak tahu kebenarannya!"
"Kena kau!!" seru Dinda dalam hati, amarahnya membuncah hingga wajahnya memerah. Tangannya gemetar saat ia terus merekam kemesraan Danang dan Sinta dari dalam taksi. Matanya tidak lepas dari layar ponselnya, memastikan setiap detik momen itu terekam dengan jelas."Kau selingkuh, Mas! Aku tidak akan tinggal diam. Kak Dina harus tahu!" ucap Dinda dengan suara keras, penuh emosi. Perkataannya menggema di dalam taksi, membuat sang sopir melirik ke arah kaca spion dengan rasa penasaran."Aku tidak akan membela Mas Danang. Walaupun dia saudaraku, aku tidak bisa diam melihat ini!" lanjut Dinda, suaranya penuh tekad. Wajahnya memancarkan kemarahan, sementara jemarinya sibuk mengetik pesan di ponselnya, bersiap untuk mengirimkan video itu kepada Dina.Namun, ketika ia hendak menekan tombol kirim, Dinda berhenti sejenak. Pikirannya diliputi keraguan. "Tidak... kalau aku langsung mengirim video ini
"Bunda, bau semur jengkolnya harum banget sampai kecium di depan rumah," seru Deni sambil masuk ke dapur dengan langkah santai. Di tangannya ada kantong plastik berisi keripik singkong dan talas yang ia beli di pasar untuk bekal ke kota. Ia meletakkan bungkusan itu di atas meja, lalu menarik kursi untuk duduk.Bundanya menoleh dari cobek yang sedang ia gunakan untuk menghaluskan bumbu, lalu tersenyum kecil. "Masa sih, Den? Bunda biasa saja masaknya," jawabnya, meskipun senyumnya menunjukkan ia cukup senang mendengar pujian Deni."Iya, Bunda, serius! Harumnya enak banget," sahut Deni dengan nada meyakinkan. "Nggak salah kalau semur jengkol buatan Bunda dibilang terenak di kampung ini," tambahnya sambil terkekeh, mencoba menggoda bundanya.Bundanya tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala. "Kamu ini suka banget muji setinggi langit. Jadi, ada nggak kripiknya?" tanyanya, sambil melirik kantong pl
"Lumayan," gumam Dina sambil menatap dapur kecil di ruko yang baru saja disewanya untuk memulai usaha. Matanya mengamati setiap sudut dengan seksama—kompor sederhana yang ia beli dari tabungannya, rak kecil tempat menyimpan beberapa peralatan dapur, dan kulkas kecil yang mulai terisi bahan-bahan untuk masakan. Meski sederhana, ruangan ini terasa seperti langkah awal menuju impian besarnya.Ia menghela napas panjang, melepaskan sedikit lelah setelah seharian membereskan ruko itu. Di sudut ruangan, sebuah tikar mungil terbentang, tempat ia sekarang duduk. Tikar itu baru saja ia beli di pasar dekat rumah, menjadi pengganti sementara karena ia belum mampu membeli kursi makan.Dina meraih segelas teh hangat yang ia letakkan di sebelahnya, menyesap perlahan sambil memandang ruangan itu lagi. "Ini baru permulaan," katanya dalam hati, mencoba menguatkan diri. Ia membayangkan ruko ini kelak menjadi tempat yang ramai, penuh p
Danang menggeleng dengan senyum yang lebih lebar. Ia menatap Sinta dengan mata yang penuh perasaan, seolah kata-katanya keluar dari lubuk hatinya. "Cuma ada satu, Sin. Kamu. Kamu satu-satunya yang bisa bikin hati ini berdebar kayak gini," ucapnya dengan nada tulus, tatapannya tak berpaling dari wajah Sinta.Sinta tertawa kecil, suaranya terdengar bercampur rasa kaget dan bahagia. "Mas ini bisa aja. Awas ya, jangan bohong!" katanya sambil menunjuk Danang dengan ekspresi menggemaskan. Ia menatap pria di depannya dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. "Mas ngomongnya sweet banget, sih. Tapi aku masih penasaran. Serius, Mas suka sama aku se-segitu dalamnya?" tanyanya dengan nada bercanda, meski matanya terlihat menunggu jawaban yang tulus.Danang tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku serius, Sin. Aku nggak main-main," katanya dengan nada tenang tapi penuh arti. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Kamu adalah satu-satunya
Danang tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar saat menatap Sinta, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia menggaruk pipinya yang mulai berkeringat, lalu berkata dengan nada jujur, meski suaranya terdengar sedikit serak, "Aku suka menatap wajah cantikmu, Sinta."Sinta langsung tersipu mendengar kata-kata Danang. Pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Dengan gerakan pelan, ia mengelus pipinya menggunakan jari-jari lentiknya. "Mas ini bisa saja. Siapa bilang aku cantik? Itu kan cuma Mas yang bilang," balasnya dengan suara lembut sambil menundukkan pandangan, jelas tergambar rasa malunya.Danang tersenyum simpul, pandangannya tetap tertuju pada Sinta. "Ya, aku bilang kamu cantik," ucapnya tegas, meski ia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan kegugupannya. Tangannya perlahan menyentuh gelas di depannya, memainkan ujung-ujungnya, seolah mencari sesuatu untuk menenangkan dirinya.Sinta tertawa kecil, sua