"Gue ngerasa ada yang beda semenjak kita pulang dari gedung terbengkalai. Iya enggak, sih?" Raut wajah serius ditunjukkan pemuda dengan alis tebal.
Tatapan tak suka terpancar dari lawan bicaranya yang sedang sibuk memakan mi. "Asep bilang enggak ada apa-apa, 'kan? Jangan parnoan. Lo udah duapuluh tahun masa takut sama setan," omel Mahes yang paling sebal jika sifat penakut Bagas muncul.
Badan besar dengan sedikit otot tak membuat Bagas berani dan ketakutannya hilang. Dibalik wajah tampan dengan sifat humoris tersimpan jiwa penakut yang sudah mendarah daging dan sulit dihilangkan. Mungkin karena selama ini ia hidup dikelilingi tiga pria membuatnya terbiasa untuk dilindungi membuat sifat penakutnya enggan menghilang. Terlepas dari itu, bukankah setiap manusia wajar bila memiliki rasa takut meski berlebihan? Asal rasa takut tak membuatnya hilang kewarasan.
"Takut mah takut aja, enggak ngaruh sama umur," ujar Bagas tak terima dibilang penakut. Sebab bukan hanya dirinyalah yang penakut. Banyak orang di belahan bumi lainnya pun memiliki ketakutan.
"Brisik," tegur seorang pria dengan wajah berwarna hitam yang berjalan ke arah di mana mereka berada. Wajahnya hitam bukan karena warna kulitnya, tetapi hitam karena sedang menggunakan masker wajah. Dia adalah Asep, pria yang sangat menjaga tubuhnya, terutama wajah.
"Noh, Bagas bahas hal yang sama. Padahal lo udah bilang minggu lalu kalau keadaan normal-normal aja." Mahes beranjak ke dapur untuk menaruh mangkuk mi yang baru saja ia makan.
Taksa yang ingin terlelap tidak bisa memejamkan matanya dan memilih bergabung dengan mereka karena suara bising menganggunya. Dengan celana bahan panjang berwarna hitam dan kaos pendek putih tulang ia keluar dengan wajah sedikit kesal. "Kebiasaan. Ini udah malam." Taksa memilih duduk di sofa dan mengambil remot untuk menonton.
"Berhubung kita lagi kumpul. Bahas konten sekalian enggak apa kali, ya, masih jam sebelas, belum malam, 'kan?" ucap Mahes yang melihat jam pada dinding dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil laptop, tak lupa ia memberikan senyum manis kepada ketiga pria yang sedang melihatnya dengan tatapan tak suka.
"Ini malam Jumat, Hes. Gue tonjok lo. Tidur aja, yuk!" ajak Bagas dan bersiap meninggalkan Taksa dan Asep.
"Sebentar, gue cuci muka dulu." Asep segera mencuci wajahnya dan membersihkan masker. Sementara itu Bagas yang ingin beranjak tidak jadi karena suara Taksa menginterupsi.
"Gas." Suara berat milik Taksa membuatnya kembali duduk dan diam. Ya, bagi penghuni rumah itu Taksa adalah kakak tertua. Dimana ucapannya akan dipertimbangkan untuk selalu dituruti. Meski begitu, Taksa bukan lelaki pengatur. Ia membiarkan Bagas, Mahes, dan Asep melakukan keputusan mereka sendiri karena mereka sudah dewasa. Namun, dalam kondisi tertentu ucapannya akan dituruti dan ia akan tegas dengan ketiganya.
Mereka bukanlah kakak beradik sedarah. Mereka hanya meneruskan persahabat yang dibuat sebelum mereka lahir--oleh kakek nenek mereka. Namun, mereka menyadari bahwa ada kecocokan yang membuat persahabatannya awet diluar masa lalu tersebut. Saling melengkapi dan sudah seperti keluarga sendiri mungkin alasannya. Hingga sekarang mereka membuat usaha bersama dan tinggal seatap. Meski terkadang keributan kecil mewarnainya.
"Nih, bulan depan udah cair duit kita," ucap Mahes membuat mata ketiganya memancarkan kebahagiaan dan kompak menarik sudut bibir masing-masing untuk menjelaskan apa yang dirasa sekarang. Taksa langsung mematikan TV dan berfokus pada Mahes.
"Akhirnya. Hampir setahun kita nunggu, enggak sia-sia gue nahan rasa takut." Bagas tersenyum dengan menampilkan deretan gigi putihnya serta nada riang mendominasi perkataannya.
"Apa perlu kita buat konten seminggu dua kali? Biar lebih banyak penghasilan kita."
Taksa menggeleng, ia tak setuju dengan usul Mahes. "Enggak, sekali satu minggu udah cukup. Kita semua punya kesibukan masing-masing. Kita udah sepakat bahwa ini buat sampingan aja."
Asep membenarkan ucapan Taksa. "Iya, Hes. Gue tau ini dunia lo, tapi bukan berarti gue, Taksa, dan Bagas harus masuk dan ikutan. Soal kesepakatan diawal. Gue enggak mau ada perubahan. Selamanya harus begitu. Lo tau sendiri jadwal kerja gue enggak tentu."
Asep bekerja sebagai fotografer panggilan. Ia mengerjaknnya bukan semata-mata untuk mencari uang, tetapi untuk kesenangan. Sebab hobinya sejak remaja adalah memotret. Asep pula, lah yang memotret baju-baju distro mereka untuk gambar promosi mereka.
***
Dengan mata yang belum sepenuhnya melihat dengan jelas, Bagas yang sudah tak tahan dengan perutnya yang mulas bergegas ke kamar mandi tanpa melihat jam. Baginya yang terpenting sekarang adalah menuntaskan hajatnya.
"Lega," gumamnya. Dengan mata yang sudah bisa melihat dengan jelas--sebab ia sudah mencuci wajahnya. Ia langkahkan kaki kembali ke kamar, tetapi belum sampai di depan pintu kamar. Ia melihat Mahes sedang duduk menonton TV yang sedang menyiarkan pertandiangan sepak bola. Saat melihat jam ternyata pukul dua pagi.
"Tumben nonton, padahal bukan tim lo, gue temenin, deh," ujar Bagas saat mendekat ke Mahes.
Karena Mahes tak kunjung menjawab, Bagas semakin mendekat. Saat diperhatikan dengan saksama, kulit Mahes terlihat sedikit pucat dari biasanya. Entah mengapa hawa dingin tiba-tiba dirasakan Bagas. "Hes, gue gak jadi nemenin, ya, ngantuk gue. Ditambah hawanya dingin, enak buat selimutan ehehe." Bagas tak jadi lebih mendekat, ia merasakan hawa dingin serta bulu kuduknya meremang.
Gue kenapa, dah. Kok ngerasa takut sama Mahes. Apa karena dia diem aja. Halah pasti perasaan gue, doang. Saat itu Bagas kembali tidur. Ia menganggap biasa hal yang baru saja terjadi.
Keesokan paginya. Rumah itu diributkan oleh fakta bahwa yang dilihat Bagas bukanlah Mahes. Karena saat sedang sarapan berdua ia menanyakan siapa yang menang dalam pertandingan bola semalam. Namun, bukannya menjawab siapa pemenangnya, Mahes justru mengatakan ia tidak tahu karena tak menonton. Hal itu langsung membuat jiwa penakut Bagas kambuh.
"Serius lo. Alah bohong, kan lo. Jangan takutin gue, bangsat," umpat Bagas saat mendengar hal mengejutkan dari Mahes.
"Apaan, sih, pagi-pagi udah ribut. Ganggu tidur gue, aja," omel Asep yang baru saja bangun dan langsung melahap nasi goreng milik Mahes.
"Jorok. Kebiasaan banget enggak cuci muka dulu," cibir Mahes yang sangat menjaga kebersihan dan amat sangat mudah merasa jijik akan sesuatu. Ia langsung menarik piring saat Asep sedang memakan makanannya.
Setelah selesai makan dengan sedikit perdebatan kecil, mereka berempat duduk di sofa di depan TV. Tak lupa dengan keadaan yang sudah mandi dan membereskan rumah. Mereka terdiam saat mendengarkan cerita Bagas, tentu dengan tambahan kata dan sikap yang memuakkan. Pasalnya jika hal itu berkaitan dengan hal gaib, Bagas akan selalu membuatnya heboh, bahkan lebih heboh dari kabar perselingkuhan artis.
"Gak usah lebay, deh, Gas. Kebiasaan kalau ngomong dilebih-lebihin." Asep yang risih dengan kerewelan Bagas angkat bicara, sebab apa yang dikatakannya memang berlebihan. Selama ini Asep dan Bagas tak akur jika membahas hal berbau horor.
"Sep, tapi apa memang ada ganggu. Apa benar ucapan Bagas soal gedung terbengkalai itu?" Suara Taksa yang sedikit berat membuat ketiganya langsung menoleh menatapnya. Hal itu sengaja Taksa tanyakan sebab ia juga merasakan hawa aneh. Namun, ia diam karena Bagas.
Asep yang memiliki kemampuan bisa melihat mereka yang tak kasat mata menghela napas panjang. Jika sudah Taksa yang berbicara artinya ia harus mengungkap kebenarannya. "Iya. Ada yang ganggu. Awalnya gue kira cuma main, ternyata dia ngikut salah satu dari kita." Wajah Bagas sedikit pucat dengan raut ketakutan. Ia langsung pindah tempat duduk dan langsung mendekat ke Asep.
"Apaan, sih, lo. Jauh-jauh sana, risih gue." Meski sudah disuruh pergi, Bagas tetap menempel pada Asep. Ia pun mengalah dan membiarkan Bagas.
"Waktu itu, gue ngeliat bayangan masuk kamar, gue pikir bayangan Mahes. Tapi paginya gue inget klo dia lagi pulang. Pernah juga gue liat Mahes lagi tidur pas mau ke toilet. Pas balik dia enggak ada. Enggak lama setelahnya Mahes masuk bawa laptop. Sengaja enggak cerita karena gue tau Bagas bakal kaya gini." Taksa menceritakan hal itu dengan menatap ketiganya bergantian.
Asep mengusap wajahnya kasar. "Gue udah wanti-wanti, jangan sompral, jangan sok jagoan, jangan ganggu. Yang namanya tamu harus menghormati tuan rumah." Asep kembali menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Kita lupa, kita sempet bercanda dan ngomong sompral di sana. Apalagi lo, Hes. Lo sempet nantang, dan akhirnya kejadiannya gini." Asep menatap Mahes yang juga menatapnya karena terkejut.
"Enggak bisa diusir atau dibujuk untuk pergi?" Kembali, Taksa bersuara. Ia merasa sudah gagal menjadi kakak bagi mereka karena tak mampu menjaga dan malah ikut bercanda di saat harus melarangnya.
"Gue udah coba, dia enggak mau. Dia udah nyaman di sini. Pas gue ajak ngomong lagi, dia menghindar. Gue samperin, dia ilang. Itu tandanya dia gak mau pergi. Bingung gue gimana caranya dia pergi."
"Enggak ada cara lain?" Kali ini Bagas kembali bersuara. Ia sangat ketakutan sekarang. Ia paling benci dengan kejadian horor meski ia seorang penulis horor.
"Bisa. Mungkin dengan pembersihan paksa atau gimana gue juga enggak paham. Ilmu gue enggak setinggi itu. Lagi pula selama ini gue belum pernah ngalamin gini." Bukannya takut, Asep justru menyeringai. "Tapi, ini seru enggak, sih. Gue bisa sekalian belajar dan memperdalam kemampuan yang gue punya."
"Pala lo seru. Hidup kita dalam bahaya. Ia kalau dia cuma nampakin diri, kalau sampai nyelakain. Bisa mati kita," ujar Bagas dengan wajah ketakutannya.
Asep yang semulanya biasa saja mengubah raut wajahnya. "Bener juga. Soalnya gue belum bisa bedain mana yang baik mana yang jahat. Enggak menutup kemungkinan kalau kita bisa celaka. Tapi sejauh ini enggak terjadi apa-apa, 'kan. Jadi tenang aja." Ia berusaha membuat keadaan tenang.
"Bukan mungkin lagi, gue pernah baca kalau yang seperti itu terlalu lama di dunia bisa terkena aura negatif. Bahkan lo gak tau, kan, kalau dia itu baik atau buruk. Manusia yang terlihat baik aja sebenarnya buruk. Apalagi mereka yang bisa dengan mudah memanipulasi. Lagi pula kita enggak tahu sejarah hidupnya dan belum terjadi apa-apa bukan berarti kedepannya juga iya. Jadi gue rasa secepatnya harus kita beresin urusan ini," ucap Bagas dengan tegas. Wajahnya menyiratkan keseriusaan terhadap omongannya barusan.
Mentari mulai meredupkan sinarnya, awan-awan kelabu menyelimuti. Angin berembus cukup kencang, debu-debu berterbangan. Raut wajah bosan menghias wajah tampan yang dihiasi alis tebal dengan hidung bangir. "Mendung, semoga enggak hujan. Beberapa minggu ini kita sepi bahkan beberapa hari kebelakang kita belum menjual apapun." Helaan napas kasar terdengar cukup nyaring di sore yang tak bersahabat itu. Biasanya ia tak suka mengeluh. Entahlah, akhir-akhir ia sangat berbeda."Namanya juga jualan, ada sepi ada ramainya. Gue jamin malam minggu besok bakal ramai. Teman-teman gue bilang mau borong," ucap Bagas menghibur Taksa. "Lagian gak biasanya lo gitu. Lagi ada masalah?""Biasa, urusan dia lagi. Padahal udah jelas gue enggak akan usik milik dia." Helaan napas kasar terdengar, wajah yang biasanya berseri kini sedang meredup. Ia memaksakan senyum untuk terlihat seolah baik-baik saja."Sa, bukannya mau ikut campur. Tapi, itu hak lo, dia gak berhak apa-apa. Bah
Mereka sampai sore hari tepat sebelum hujan turun. Perjalanan panjang dengan jalan bebatuan membuat tubuh mereka terasa letih. Meski sudah tidur di mobil tetap saja tubuhnya tak merasa lebih baik. Namun, senyum ramah mereka dapatkan dari pasangan suami istri yang Seto maksud."Kalian ini memiliki kekuatan besar kenapa masalah sepele seperti ini harus jauh-jauh ke sini. Padahal kalian bisa menyelesaikannya sendiri," tutur Paklik Seto saat mereka sedang duduk di ruang tamu dengan asap mengepul dari gelas berisi teh yang disugukan tuan rumah."Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Asep penasaran."Sudah waktunya yang tertidur dibangunkan. Enggak baik terus-terusan tak digunakan. Sebuah keistimewaan akan tetap istimewa bila digunakan dengan benar. Namun, akan sia-sia bila tak digunakan. Kalian sudah mampu mengendalikan dan tak ada kesempatan untuk menghindarinya." Keempatnya menyerngit herat. Sementara Seto mencoba mengartikan ucapan Pakliknya. Ia perna
Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya
Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak
"Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak
Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw
Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil