Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah.
"Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?"
"Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.
Mahes mengambil sendok dan memakan sarapannya perlahan sampai sebuah suara kembali mengejutkannya. "Kalung baru?" Asep bertanya sembari mengarahkan dagu menunjuk kalung yang ada di meja makan di depan Mahes.
"Oh, ini, bukan. Ini Punya Taksa," jawabnya santai. Sementara itu Asep dan Taksa menyeringai. Bagas yang menyadari ada hal tak beres menelan ludah.
"Dari mana lo tahu?" Kembali, Asep menanyakan hal yang membuat Mahes gusar.
"Ya ... gue pernah liat Taksa pakai kalung ini," jawabnya senatural mungkin untuk menutupi kebohongannya.
"Udah percaya lo?" Taksa menatapnya dengan seringai. "Gue mau tanya tentang masa lalu kalung itu." Taksa amat penasaran, sebab beberapa kali bertanya pada penjaganya tak mendapat jawaban.
Kali ini Mahes yang menelan ludah. Ia gugup dan takut. Untuk menghilangkan rasa gugupnya ia meminum segelas air. Namun, bukannya hilang, rasa gugup itu semakin besar. Ditambah Asep dan Taksa menatapnya serius. "Kalian serem. Ada apa, sih. Gue ngerasa bego banget, dah." Ucapan Bagas membuat mereka menatapnya. Asep dan Taksa terkekeh melihat kepolosan adik bungsunya.
"Kalau ucapan bisa aja disangkal, tapi kalau mengalami langsung tak bisa terelak lagi."
Taksa dan Asep membuat rencana untuk membuktikan bahwa Mahes memiliki kemampuan retrokognisi. Ditambah Taksa penasaran dengan masa lalu kalung itu memutuskan untuk menggunakannya. Karena selama ini ia selalu menutupi bahwa ia memakai kalung itu.
Retrokognisi adalah kemampuan di mana seseorang bisa melihat masa lalu dengan memegang sebuah benda atau berada di sebuah tempat. Hal itu yang membuat Mahes bisa melihat masa lalu yang dilalui kalung itu hingga sampai di tangan Taksa. Kemampuan ini tidak hanya didapat oleh orang tertentu saja. Ada beberapa orang yang bisa memiliki kemampuan ini dengan belajar. Meski begitu seseorang yang mempunyai kekuatan ini tak bisa melihat masa lalunya sendiri.
Mahes yang belum bisa mengendalikannya merasa kepalanya pusing dan kesakitan karena terlalu banyak melihat kejadian di masa lalu. Selain itu, hal yang dialaminya adalah kali pertama ia melakukan retrokognisi. Rasa lelah dan lemas dirasakan Mahes membuat Taksa dan Asep sedikit panik. Karena Mahes seperti itu karena ide konyol mereka.
***
"Gue ngeliat kejadian di mana kita, lebih tepatnya kalian bertiga. Gue enggak ngeliat kalau ada gue di situ. Kalian terluka, bukan karena kecelakaan, tetapi seperti perkelahian." Taksa memberi tahu hal itu kepada Bagas dan Mahes.
"Gue ngeliat darah. Kalung itu bersimbah darah." Meski belum menerima sepenuhnya. Mahes tak bisa mengelak bahwa ia memiliki kemampuan seperti itu.
"Gue juga. Ada banyak darah, dan gue yakin itu darah kita. Kenapa masa lalu dan masa depan berhubungan dengan darah?" Taksa mencoba memahami hal itu. Mengapa kemampuan mereka menunjukkan hal buruk seperti itu.
"Gue penasaran. Apa alasan pak Kiai bilang nyawa kita terancam ada hubungannya sama apa yang kalian lihat? Dan soal kemampuan kalian, gue yakin kita dapatin keistimewaan ini enggak kebetulan. Pasti ada sebab kenapa kita memilikinya," ujar Asep dengan wajah yang masih dibaluri masker. Pagi ini adalah jadwalnya merawat wajah.
"Asep bisa komunikasi, Mahes bisa liat masa lalu, Taksa masa depan. Kalian enggak penasaran sama kemampuan gue?"
"Astral projection, 'kan? Gue enggak tuli waktu pak Kiai jelasin hal itu." Asep menjawabnya dengan wajah tengil dan nada suara meremehkan.
Bagas menyeringai, ia beranjak untuk mengambil selembar kertas dan kembali duduk. Ketiganya mengerutkan dahi, bingung. Apa hubungannya astral prokection dengan kertas. Jelas tak ada hubungannya.
"Ngapain lo ambil kertas?" Pertanyaan Asep dibiarkan mengudara tanpa niat menjawabnya. Bagas justru terfokus pada kertas yang ia letakkan pada telapak tangannya. Masih dengan seringainya, Bagas membuang kertas itu ke udara dengan tetap mata yang terfokus menatapnya. Lalu sebuah api muncul dan membakar kertas itu. Kertas jatuh dengan berubah menjadi abu dan membuat ketiga lainnya melongo melihat hal itu.
"Enggak cuma satu, tapi dua kemampuan sekaligus. Gila, keren, Men," ucap Bagas membanggakan dirinya.
"Kok bisa? Itu apa?" tanya Taksa seperti orang bodoh dengan wajah cengo.
"Pyrokinesis. Tapi belum yakin banget. Secara hal-hal seperti ini dianggap sebuah kebohongan. Yang gue tau sejauh ini itu, sih. Hasil nyari dari g****e."
"Seumur hidup gue baru liat ginian kecuali sulap," ujar Asep dengan raut kekaguman.
"Bisa lo jelasin apa itu pyrokinesis?" tanya Mahes.
"Pyrokinesis adalah kemampuan psikis yang diklaim memungkinkan seseorang untuk membuat dan mengendalikan api dengan pikiran. Itu yang gue baca. Cuma enggak tau juga. Gue rasa masih banyak hal yang bisa dilakuin dengan kekuatan ini. "
"Gue makin enggak ngerti kenapa kita punya kemampuan seperti ini. Ditambah pengelihatan kita soal masa lalu dan masa depan bikin gue enggak tenang. Meski enggak terlalu yakin, tapi gue rasa itu valid."
Pagi itu sarapan diramaikan dengan pembahasan yang selama ini tak pernah mereka pikirkan. Bukan tanpa apalasan, Taksa terus memikirkan perkataan pak Kiai soal mereka. Meski belum tahu kebenarannya, ia percaya. Ingatan-ingatan masa lalunya mulai menguasai untuk menyetujui hal itu.
***
"Bagaimana perkembangan tentang mereka?" Suara berat menyapa indra pendengaran dengan hawa yang menakutkan. Pakaian serba hitamnya memperjelas hal itu. Meski rambutnya ada sedikit uban tak membuat aura menakutkan dari sosok itu berkurang.
Seorang pria berbedan kekar berkaos hitam, celana jins, dan jaket dengan warna senada menunduk dan mengeluarkan suara dengan nada bergetar karena ketakutan. "Maaf, Tuan. Belum ada perkembangan. Maafkan kami."
Wajah yang sudah menakutkan kini semakin seram. Awalnya seperti awan mendung, tetapi kini seperti sedang ada badai disertai petir. Mulutnya yang berwarna hitam mengeluarkan asap dengan jari yang mengapit sebuah pipa berwarna sedikit cokelat yang berasal dari gading. Harum tembakau memenuhi ruangan itu.
Lelaki tua itu berdiri, berjalan mendekati lawan bicaranya yang berjumlah empat orang. Kembali, ia mengembuskan asap rokoknya. Kali ini tepat di wajah orang-orang itu. "Cari atau nyawa kalian sebagai gantinya." Suara itu terlontar dengan nada tegas dan ada tekanan dalam setiap intonasinya. Membuat pegawainya merinding dan segera menyanggupi.
"Baik, Bos. Secepatnya akan kami berikan kabar lagi." Setelah itu mereka cepat-cepat pergi sebelum tuannya marah. Mereka beruntung kali ini Tuannya berbaik hati. Bila tidak mungkin saat ini mereka tinggal nama saja.
"Tak akan kubiarkan kalian lolos dan menghancurkan apa yang sudah selama ini aku miliki. Bila ada yang harus mati itu adalah kalian." Kekehan menyeramkan keluar dari mulutnya. Membuat siapa saja yang mendengar akan bergidik ngeri.
Selama ini orang itu dikenal sebagai pribadi yang kejam dan tidak memiliki belas kasih. Sudah banyak nyawa melayang karena kemarahannya. Bagi pegawainya, jika ingin nyawa selamat, maka, haruslah mengerjakan tugas dengan baik dan tanpa kesalahan apapun. Karena orang itu jarang sekali memberikan kesempatan kedua.
"Benalu harus segera disingkirkan," ucapnya dengan sarat emosi. Di matikannya api pada rokoknya dengan cara menginjak-injak. "Akan kubuktikan ucapanku pada kalian. Lihatlah dari akhirat sana, kalian akan lihat akibat dari perbuatan kalian padaku," dengan kemarahan dan seringai menyeramkan ia berucap demikian.
Ia kembali duduk di kursi kebesarannya, memandang kalender dengan wajah masam. Semakin dekat waktu menuju tanggal yang ia lingkari dengan warna merah. Meski masih terlihat bugar dan belum terlalu tua, tetapi ia tak mampu menghianati usia sebenarnya. Penyakit lupa sudah mulai menganggunya. "Aku harus segera mendapatkan persembahan untuk bertahan hidup."
Di rabanya wajah yang sudah mulai terlihat banyak memiliki kerutan. "Tak akan kubiarkan kerutan ini ada semakin lama. Segera akan kusingkirkan," gumamnya dengan seringai menyeramkan.
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak
"Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng
Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 
Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada
"Lo serius?" Wajah Bagas mendekat ke wajah Mahes. Matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Ia terkejut dengan cerita Mahes. Dengan gemetaran Mahes menjawab, "iya, gue enggak bohong. Itu yang gue lihat." Bagas berbalik dan pergi menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kemudian dengan cepat pula ia kembali dan memberikannya pada Mahes di ruang tamu. "Minum dulu. Tenangin diri lo," ucap Bagas dan mengelus pundak Mahes. "Lo tenangin diri dulu. Gue panggil Asep sama Taksa." Mahes menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar dengan napas sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran. Ia seperti orang berlari maraton dengan jarak cukup jauh. Setelah meneguk air minum, ia mencoba menetralkan degub jantungnya. Menarik napas, lalu diembuskan. Begitu terus dan berulang. Sementara itu Bagas keluar mencari Asep dan Taksa. Mereka berdua pamit untuk ke warung sebentar untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan kopi. Saat sampai di j
Angin berembus tenang malam ini. Meski begitu, pintu, dan jendela yang ada di rumah itu ditutup oleh Bagas. Sementara Mahes menyiapkan beberapa lilin yang disusun melingkar dan tetap diberi jarak satu dengan lainnya. Tidak terlalu lebar tidak pula terlalu sempit. Pas untuk dua orang di dalamnya. Jarum jam menunjuk pukul tujuh malam. Asep berkali-kali mencoba menenangkan diri. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, begitu terus secara berulang. Taksa sedang di kamar dan berbicara dengan penjaganya. Memastikan bahwa akan baik-baik saja. Dan meminimalisir keadaan dan mengurangi resiko gagal. Tangan Taksa menepuk pelan pundak Asep yang sedang bersandar di dinding dengan memejamkan matanya saat keluar dari kamar. Bibirnya tersenyum dengan tatapan menenangkan. Mengatakan seolah jangan takut dan semua akan baik-baik saja. Mahes menyalakan lilin yang sudah disusun melingkar di tengah ruang tengah. Bagas menyilangkan tangannya di depan dada
"Jangan sampai ada yang tertinggal. Jam delapan kita berangkat." Taksa mengingatkan mereka agar mengemasi barang-barangnya dengan baik dan tak ada yang tertinggal. Pagi ini, setelah sarapan mereka akan kembali ke rumah. Tak terasa sudah satu minggu mereka ada di rumah itu. Ada banyak hal yang mereka dapatkan dari sana. Bahkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya. Kematian kakek mereka yang awalnya dikira tidak wajar sebenarnya adalah karena ilmu hitam. Angkoro Darso adalah orang yang bertanggung jawab untuk kematian mereka. Niat hati ingin menghentikan kebengisan dan kekejaman, tetapi nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Kakek mereka tak hanya diserang langsung. Santet, guna-guna, dan lainnya digunakan Angkoro Darso untuk mempercepat kematian mereka selain dengan bertarung. Ia tak puas hanya dengan kematian musuhnya itu. Ia juga berniat menghabisi anak keturunannya. Karena jika tidak kemungkinan keturunan mereka bisa mengalahkannya.
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak
Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw
Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil