Beranda / Horor / Catur Rogo / Mediumship

Share

Mediumship

Penulis: Triana Dewi1403
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang.

"Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. 

"Ngomong aja."

"Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. 

"Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. 

"Lo dapat pengelihatan juga?"

Taksa mengangguk mantap. "Bukan cuma rumah, tapi keberadaan kita di sana ganggu pikiran gue awal-awal dikasih gambaran."

"Gue curiga sama rumah itu. Gimana buat konten besok kita ke sana? Sekalian cari tau apa hubungannya kita sama rumah itu." Mahes menutup tas kamera dan mengambil tempat duduk di samping Taksa yang serdiri sembari memasukkan beberapa makanan dalam tempat makan. 

***

Waktu menunjukkan tengah malam, sekelompok pemuda memasuki rumah kosong yang sudah lama tak terpakai dan terbengkalai. Di tangan masing-masing membawa senter, ada satu pemuda yang membawa kamera untuk merekam aksi mereka. 

"Kita mulai. Oke, opening."

"Selamat malam, kali ini kita mendatangi rumah yang sudah lama kosong dan terbengkalai. Bisa dilihat langsung bagaimana kondisi rumah ini."

Asep berbicara di depan kamera, setelah itu Mahes yang bertugas merekam mengambil gambar-gambar bagian rumah itu. 

Angin yang awalnya berembus bersahabat kini lenyap. Hening, sunyi, dan cukup mencekam. Hawa aneh itu mulai menyapa mereka. Ada rasa terintimidasi yang dirasakan Asep. Bulu kuduk Bagas sudah berdiri sejak tadi, tapi karena gengsinya ia mencoba berani. 

Tiba-tiba layar kamera buram. Hal itu hanya terjadi beberapa detik sebelum kamera kembali normal. Namun, saat sudah normal pemandangan berbeda membuat Mahes memundurkan kaki beberapa langkah ke belakang. Di sana Asep berdiri dengan wajah dan tatapan berbeda dari sebelumnya. Sebelum terjadi hal yang tak diinginkan Mahes segera mematikan kamera dan mendekati Asep untuk mengecek keadaannya. Sementara itu Bagas panik dan memilih membawa tas kamera. Mahes dan Taksa membawa Asep kembali ke mobil. 

"Sep. Sep, lo kenapa?" diguncangkannya tubuh Asep dari mulai pelan sampai cukup bertenaga. Namun, tak ada perubahan. Tatapan mata Asep kosong dan tubuhnya mulai dingin. 

Dengan cepat Taksa membawa mobil pergi meninggalkan rumah itu dan segera ke indekos Seto. Pak Kiai belum pulang dan masih tinggal di sana, hal itu mereka ketahui dari Seto yang bercerita bahwa pakliknya ada menetap di sana sementara untuk tujuan yang ia sendiri tak mengetahuinya. 

***

Pak Kiai menaruh tangannya di kepala Asep, lalu bergerak sampai ujung kaki tanpa menyentuhnya sembari mulutnya berkomat-kamit merapal doa. Setelahnya Asep tersadar, di dudukkannya dan beri air putih. 

"Lo enggak apa-apa, Sep? Apa yang lo rasain?" tanya Bagas khawatir.

Alih-alih menjawab Asep justru mengajukan pertanyaan kepada pak Kiai. "Apa yang terjadi, Pak? Kemampuan apa ini?"

Dengan senyuman pak Kiai menjawab, "Kamu memiliki kemampuan mediumship. Bukan hanya bisa berkomunikasi kamu bisa menjadi perantara untuk mereka menyampaikan sesuatu." 

"Maksudnya, Pak? Saya belum paham." Asep masih mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Ia masih bingung dan belum paham. Bukankah berbicara dengan mereka ia sudah menjadi perantara? Lalu apa maksud sebenarnya mediumship itu. 

"Mediumship adalah kemampuan di mana ragamu dipinjam untuk digunakan roh lain agar bisa berkomunikasi. Jadi saya bisa berbicara dengan roh tertentu melalui jasadmu. Meski begitu kamu tetap bisa mengendalikan tubuhmu sendiri. Kamu juga bisa memilih untuk digunakan pada siapa. Hal itu bisa kamu kuaisai kalau mau belajar. Di awal memang akan seperti itu, kamu belum bisa memilih roh mana yang memasuki tubuhmu dan bagaimana cara agar tubuh tak dikuasai sepenuhnya." Mendengar penjelasan pak Kiai Asep tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. 

"Seperti beberapa konten kreator horor di youtube, ya, Pak?" tanya Mahes. Menurut penjelasan pak Kiai, ia menyimpulkan seperti apa seorang mediumship dari yang sudah ia lihat dalam beberapa konten horor. 

"Saya tidak tahu, tapi mungkin iya."

"Pak, apa yang sebenarnya terjadi kepada kami. Kenapa ini terasa sangat tiba-tiba? Lalu bukankah aneh kami berempat memiliki kemampuan berbeda hampir dalam waktu yang bersamaan? Tidak masuk di akal," ucap Taksa dengan wajah serius. 

"Saya sudah bilang. Ini bukan tiba-tiba. Bukan pula kalian mendapatkan kemampuan ini bersama dalam waktu yang bersamaan. Kalian sudah memilikinya sejak lahir." 

Mereka Bagas dan Mahes membulatkan mata dan sedikit membuka mulut karena terkejut. Taksa dan Asep sudah biasa mendengarnya, sebab Asep memang sejak kecil sudah istimewa dan Taksa ia sedikit tahu dari pak Kiai waktu pertama kali datang ke rumah beliau. Namun, tetap saja baginya itu tak masuk akal, karena sebelum ini ia tak percaya dengan hal seperti itu. 

"Saya hanya menjadi perantara untuk membangunkan kemampuan kalian yang lama tertidur."

"Maksud Bapak ini apa?" Mahes kali ini yang mengutarakan rasa penasarannya. 

"Entah karena apa saya tidak tahu jelas. Kemampuan kalian sengaja dikunci, mungkin itu untuk kebaikan kalian. Namun, sekarang waktu yang tepat untuk membukanya. Saya merasa jika kalian memerlukannya."

"Benar kecurigaan gue saat di rumah pak Kiai itu," gumam Taksa amat pelan. 

"Saya tahu di kepala kalian banyak pertanyaan. Tapi saya tak mampu menjawabnya. Kalian sendirilah yang akan mencari tahu. Bukan dari saya, mungkin dari orang tua kalian. Karena sedari kecil mereka yang merawat. Pasti mereka juga tahu alasannya mengapa disembunyikan dari kalian."

Pak Kiai menatap satu persatu wajah pemuda itu, ia memiliki firasat buruk soal mereka. "Pesan saya, berhati-hatilah dan juga gunakan kemampuan kalian untuk kebaikan. Khusus untuk Mas Taksa, saya harap Mas bisa bijak dalam mengambil segala keputusan. Pertimbangkan baik buruknya di kemudian hari. Jangan terbawa emosi dan nafsu dalam mengambil keputusan itu."

***

Taksa duduk sendirian di teras rumah, udara pagi hari yang dingin tak mengusiknya. Juga angin berembus yang memainkan rambutnya yang sedikit panjang. Bisa dilihat dengan jelas bahwa saat ini ia sedang melamun. Asep yang melihat itu merasa kasihan. Ada rasa penasaran yang harus dituntaskan, tetapi di sisi lain ada amarah yang sedang berusaha dikendalikan. Pulang ke rumah adalah hal yang paling dihindari Taksa selama ini. 

Bagas yang melihat Asep diam di depan pintu menghampirinya. Hendak bertanya, tatapi ia urungkan. Ia mengikuti arah pandangan Asep saat ini. Bagas pun menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Ia mengerti kenapa Asep memilih tak menghampiri Taksa. "Kita aja yang balik, dia di sini aja. Enggak tega gue lihat dia kayak gitu," bisiknya pada Asep. 

Enggan menjawab, Asep memilih pergi. Meninggalkan Bagas dengan dengusan kesal."Kampret banget anak itu," kesalnya. Taksa menoleh saat mendengar kekesalan Bagas. Sementara Bagas yang kepergok memperhatikannya sedari tadi memilih menunjukkan deretan giginya dan belalu pergi tanpa mengucap sepatah kata. 

"Gue harus gimana? Enggak bisa lo kasih tau semuanya?" Taksa menatap penjaganya yang sekarang duduk di kursi sampingnya. 

"Saya tak memiliki hak untuk menjelaskannya, Tuanku. Hal ini juga salah satu proses untuk Tuan."

"Gue risih. Jangan bicara tuan tuan gitu. Santai aja. Lagipula gue enggak tahu harus panggil lo dengan sebutan apa. Ditambah gue bukan majikan yang bisa lo panggil dengan sebutan tuan."

"Kamu sama seperti kakekmu, sama persis," ujarnya diakhiri kekehan membuat Taksa ikut tersenyum. Tiba-tiba ia merindukan kakeknya itu. 

Ia sudah sedikit lupa tentang rupa kakeknya. Hal itu terjadi karena kakeknya meninggal saat ia masih kecil. Namun, sampai sekarang ia masih suka mendapat hal-hal yang tak terduga dari orang yang setia bekerja untuk kakeknya. Kadang saat ulang tahunnya ia mendapat foto dirinya dan kakek itu. Lalu beberapa buku kuno yang ia tak mengerti bahasanya. Taksa menyimpan itu dengan baik, karena menurutnya kasih sayang kakeknya ada bersama barang-barang itu. 

"Rumah tua. Gue yakin, pasti ada hubungannya sama rumah tua." Taksa beranjak setelah mengucapkan itu. 

"Kita harus segera pulang sekarang. Untuk distro biar Seto yang urus." Mahes, Asep, dan Bagas terkejut dengan apa yang Taksa ucapkan. 

"Apa maksud lo. Kenapa mendadak?"

"Kalau perkiraan gue bener. Kita akan menghadapi sesuatu yang tak terduga. Lebih baik kita segera tahu jawabannya." Setelah mengucapkan itu Taksa meninggalkan mereka dengan kepala penuh pertanyaan. 

"Dia kenapa? Kok aneh," ujar Mahes menatap punggung Taksa yang menghilang di balik pintu kamar. 

"Gue rasa dia tahu sesuatu. Cuma dia belum yakin. Kita harus nurut, gue mencium bau-bau petualangan," tutur Asep dengan riang. Asep memang sangat suka dengan hal-hal berbau petualangan. Petualangan di sini bukanlah seperti biasanya, tetapi petualangan menyangkut hal-hal tak masuk di akal. 

"Gue enggak suka saat lo bilang soal petualangan," sinis Bagas menutup pembicaraan. 

Bab terkait

  • Catur Rogo   Rumah Tua

    "Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak

  • Catur Rogo   Keris dan Gadis Cantik

    "Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng

  • Catur Rogo   Pemilik Keris

    Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 

  • Catur Rogo   Gadis Bergaun Biru

    Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada

  • Catur Rogo   Gambaran kematian

    "Lo serius?" Wajah Bagas mendekat ke wajah Mahes. Matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Ia terkejut dengan cerita Mahes. Dengan gemetaran Mahes menjawab, "iya, gue enggak bohong. Itu yang gue lihat." Bagas berbalik dan pergi menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kemudian dengan cepat pula ia kembali dan memberikannya pada Mahes di ruang tamu. "Minum dulu. Tenangin diri lo," ucap Bagas dan mengelus pundak Mahes. "Lo tenangin diri dulu. Gue panggil Asep sama Taksa." Mahes menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar dengan napas sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran. Ia seperti orang berlari maraton dengan jarak cukup jauh. Setelah meneguk air minum, ia mencoba menetralkan degub jantungnya. Menarik napas, lalu diembuskan. Begitu terus dan berulang. Sementara itu Bagas keluar mencari Asep dan Taksa. Mereka berdua pamit untuk ke warung sebentar untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan kopi. Saat sampai di j

  • Catur Rogo   Komunikasi

    Angin berembus tenang malam ini. Meski begitu, pintu, dan jendela yang ada di rumah itu ditutup oleh Bagas. Sementara Mahes menyiapkan beberapa lilin yang disusun melingkar dan tetap diberi jarak satu dengan lainnya. Tidak terlalu lebar tidak pula terlalu sempit. Pas untuk dua orang di dalamnya. Jarum jam menunjuk pukul tujuh malam. Asep berkali-kali mencoba menenangkan diri. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, begitu terus secara berulang. Taksa sedang di kamar dan berbicara dengan penjaganya. Memastikan bahwa akan baik-baik saja. Dan meminimalisir keadaan dan mengurangi resiko gagal. Tangan Taksa menepuk pelan pundak Asep yang sedang bersandar di dinding dengan memejamkan matanya saat keluar dari kamar. Bibirnya tersenyum dengan tatapan menenangkan. Mengatakan seolah jangan takut dan semua akan baik-baik saja. Mahes menyalakan lilin yang sudah disusun melingkar di tengah ruang tengah. Bagas menyilangkan tangannya di depan dada

  • Catur Rogo   Tato?

    "Jangan sampai ada yang tertinggal. Jam delapan kita berangkat." Taksa mengingatkan mereka agar mengemasi barang-barangnya dengan baik dan tak ada yang tertinggal. Pagi ini, setelah sarapan mereka akan kembali ke rumah. Tak terasa sudah satu minggu mereka ada di rumah itu. Ada banyak hal yang mereka dapatkan dari sana. Bahkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya. Kematian kakek mereka yang awalnya dikira tidak wajar sebenarnya adalah karena ilmu hitam. Angkoro Darso adalah orang yang bertanggung jawab untuk kematian mereka. Niat hati ingin menghentikan kebengisan dan kekejaman, tetapi nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Kakek mereka tak hanya diserang langsung. Santet, guna-guna, dan lainnya digunakan Angkoro Darso untuk mempercepat kematian mereka selain dengan bertarung. Ia tak puas hanya dengan kematian musuhnya itu. Ia juga berniat menghabisi anak keturunannya. Karena jika tidak kemungkinan keturunan mereka bisa mengalahkannya.

  • Catur Rogo   Rumah Tusuk Sate

    Setelah diingatkan Asep, Taksa sedikit membenarkan. Tak benar jika dia terus menyalahkan. Meski begitu ia belum bisa menerima sepenuhnya. Malam itu mereka tidur cepat. Karena esok mereka akan menangani toko. Ditambah laporan Seto bahwa ada kenaikan penjualan membuat esok harus membeli barang dagangan kembali. Hari sebentar lagi berganti. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima malam. Asep terbangun, keluar kamar perlahan menuju ruang tengah. Langkahnya sangat hati-hati, sebisa mungkin tak menimbulkan suara karena Taksa tengah tertidur pulas sesudah ia nasehati. Ia menghidupkan lampu tengah. Dengan tangan kanan ia menutup mulutnya yang menguap. "Masak mi enak kali, ya," gumamnya seraya mengucek mata. Tangannya membuka lemari dapur, mengambil sebungkus mi instan kuah dan sebutir telur di kulkas. Menghidupan kompor dan membiarkan air mendidih sementara ia mencuci wajahnya. Saat keluar kamar mandi, ia melihat Pethak ad

Bab terbaru

  • Catur Rogo   Gangguan Toko Rengganis

    Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men

  • Catur Rogo   Kedekatan Rengganis dan Taksa

    "Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber

  • Catur Rogo   Kegelisahan Rengganis

    "Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal

  • Catur Rogo   Kebaikan Taksa

    Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi

  • Catur Rogo   Ki Broto dan Aura Rumah Rengganis

    Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo

  • Catur Rogo   Pelaku kejahatan atas Mayang

    Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n

  • Catur Rogo   Perkenalan; Rengganis

    Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak

  • Catur Rogo   Cincin Bagas

    Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw

  • Catur Rogo   Akibat Ikut Campur

    Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil

DMCA.com Protection Status