"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu.
"Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih.
Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh?
Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menyarankan untuk meminta bantuan pakliknya lagi. Namun, kali ini pakliknya yang dipanggil untuk datang. Mengingat kondisi Bagas yang susah bila harus dibawa dalam kondisi seperti itu. Mereka menduga tak sadarnya Bagas ada kaitannya dengan hal gaib. Sebab secara medis tak ada keanehan ataupun masalah serius.
Setibanya Pak Kiai, ia langsung menemui Bagas dan mengecek kondisinya. Ia tak memperlihatkan raut ketakutan atau kecemasan. Ia mengatakan bahwa Bagas baik-baik saja. Hanya saja rohnya sedang tidak berada dalam jasad. Pak Kiai meminta ketiganya untuk meletakkan Bagas di tengah-tengah sementara mereka duduk di sekitarnya.
Pak Kiai menuntun roh Bagas kembali. Katanya, Bagas secara tidak sadar menggunakan kemampuannya. Namun, karena tidak mengetahui ia memiliki kemampuan untuk mampu meninggalkan raga dan berjalan-jalan dengan rohnya. Ia tersesat dan tak bisa kembali. Untung saja ketiganya segera meminta Pak Kiai untuk membantu. Sebab bila terlalu lama Bagas di alam lain, ia bisa meninggal. Hal itu karena jasadnya akan melemah karena tak mendapat asupan.
Perlahan mata Bagas terbuka. Ia bingung dengan sekitarnya. Di mana ia dikelilingi oleh Taksa, Mahes, Asep, dan Pak Kiai. Setelah mendudukkan dirinya, Bagas langsung diberi segelas air putih oleh Pak Kiai. Karena merasa haus ia langsung meminumnya hingga habis. "Kalian kenapa? Kok natap gue gitu amat," ujarnya penasaran sembari mengembalikan gelas kepada Pak Kiai. Suaranya memang sedikit berbeda--seperti orang sakit.
Ketiganya langsung memeluk tubuh Bagas. Karena badannya masih lemas, mereka jatuh ke lantai membuat Pak Kiai terkekeh. "Woy apaan, sih. Awas-awas! Kalian ini kenapa, sih!" ucap Bagas dengan nada meninggi dan mencoba melepaskan diri.
"Kamu hampir saja tak bisa kembali. Mereka sangat khawatir. Untung saja tidak terlambat," tutur Pak Kiai membuat Bagas mengerutkan keningnya.
"Emang gue kenapa?" tanyanya kepada Taksa, Mahes, dan Asep saat mereka sudah kembali duduk.
"Lo hampir mati."
Bagas terdiam dan menampilkan wajah cengo. Sungguh Asep ingin memukul kepala Bagas. Namun, ia mengurungkan niatnya. Tak mungkin ia bisa bertindak demikian saat nyawa Bagas baru saja terselamatkan.
"Jadi itu bukan mimpi?" gumamnya pelan dan hanya dirinya sendiri yang mendengarnya.
***
Mereka berempat tengah berkumpul di kamar Taksa. Dengan Mahes dan Bagas di tempat tidur Mahes. Sementara Asep dan Taksa duduk di tempat tidurnya. Hari sudah telalu larut, bahkan sudah hampir pagi, tetapi mereka masih terjaga. Setelah pak Kiai pulang selepas Isya untuk ke indekos Seto, mereka masih memikirkan penjelasan demi penjelasan yang justru semakin dijelaskan semakin membingungkan. Tentang silsilah keluarga, masa lalu, dan masa depan yang mungkin terjadi.
"Lo percaya sama ucapan pak Kiai itu?" Asep membuka suara lebih dahulu dari pada ketiganya. Memang di antara mereka Asep-lah yang paling banyak bicara alias cerewet.
Pak Kiai mengatakan bukan hanya Asep yang istimewa dengan kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk astral, pun dengan Taksa dengan kemampuan prekognisinya--kemampuan bisa melihat masa depan atau sesuatu yang akan terjadi, meski begitu bukan berarti seseorang yang memiliki kemampuan ini bisa melihat masa depan secara runtut dan terperinci. Namun, Bagas dan Mahes pun memiliki kemampuan yang berbeda dari keduanya. Pak Kiai menjelaskan bahwa Mahes memiliki kemampuan untuk mendengar mereka dan melakukan retrokognisi.
"Mau enggak percaya tapi gue ngalamin sendiri," ujar Bagas lemah. Tubuhnya belum begitu pulih. Masih sedikit lemas meski sudah diisi makanan.
Setelah sadar Bagas menanyakan hal yang dialaminya. Pak Kiai menjelaskan, secara tak sengaja rohnya meninggalkan jasad dan tersesat di alam lain. Ia tak menyadari karena menurut pengelihatannya tak ada yang berbeda. Ia merasa hanya beberapa jam di sana, tetapi ternyata ia sudah tiga hari tak sadarkan diri. Hal itu membuat tubuh yang ditinggalkannya menjadi lemah. Perbedaan waktu antara dunia gaib dan dunianyata cukup jauh. Beberapa saat di sana sudah berhari-hari di sini.
Hal yang terjadi pada Bagas bisa dibilang adalah astral projection. Astral projection sendiri adalah perjalanan di mana roh keluar dari tubuh dan melakukan perjalanan di alam lain. Bukan hal berbahaya jika sudah mampu mengendalikan, hanya saja di sini Bagas belum bisa. Hal itu yang membuatnya harus dituntun agar bisa kembali. Bila sudah terbiasa maka roh yang keluar mampu kembali pada jasadnya tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Namun, juga harus hati-hati. Bisa saja roh saat di alam lain ditahan agar tak bisa kembali. Percaya atau tidak hal gaib selalu berdampingan dengan dunia nyata.
"Gue belum percaya. Bisa aja apa yang gue alami cuma kebetulan." Mahes menatap ketiganya dengan tatapan cukup meyakinkan. "Kata lo mereka bisa menunjukkan tanda kehadiran mereka ke siapa aja, kan, Sep? Enggak salah dong kalau gue anggap hal itu kebetulan." Mahes masih tak percaya dan menyangkal apa yang disampaikan pak Kiai tentang keistimewaannya. Menurutnya mendengar suara mereka tak terlalu istimewa dan tentang retrokognisi, selama ia belum pernah mengalaminya. Ia menganggap pak Kiai hanya mengada-ada.
"Gue setuju, sih. Lo enggak terlalu meyakinkan untuk memiliki kekuatan itu. Lagi pula gitu aja bisa dialami semua orang." Menurut pengalaman Asep. Bisa saja orang yang tak memiliki kemampuan istimewa bisa melihat dan mendengar mereka yang tak kasat mata. Di beberapa kasus orang biasa bisa melihat dan mendengar karena 'mereka' jahil, atau mereka memang sengaja menampakkan diri untuk meminta bantuan kepada manusia.
"Sa, jangan diam. Menurut lo gimana?" Asep menanyakan hal yang mungkin ia sudah tahu jawabannya. Sebab, hal yang terjadi pada Taksa sangat sulit disangkal bila tak berkaitan dengan hal gaib.
"Apa ada alasan untuk gue menyangkal dan menganggap semua hal itu kebetulan?" Taksa mengembuskan napas kasar. "Lo tau sendiri apa alasan gue percaya." Taksa mengusap wajahnya kasar.
***
Bagas masih tak percaya atas apa yang terjadi. Ia juga bingung dengan topik pembicaraan Taksa dan Asep. Sementara Mahes menjadi aneh dan lebih banyak diam. Dia juga lebih mudah marah dari biasanya. Ia mencoba memahami, tetapi ia tak bisa. Sebab ia tak tahu akar permasalahannya.
Bagas terdiam sendiri di kamar. Kata Taksa ia harus istirahat agar kondisinya segera pulih. Taksa pun berjanji akan menjelaskan semuanya. Di atas kasur bersprei warna merah tua Bagas menyenderkan badannya ke dinding. Pikirannya mencoba menampilkan apa yang ia lalui. Astral projection? Benarkah ia melakukannya?
"Jadi saat gue lihat badan gue sendiri itu bukan mimpi?" gumam Bagas.
Sebenarnya saat astral projection. Bagas memang melihat tubuhnya sendiri terbaring. Ia pikir itu adalah mimpi, ternyata saat itu rohnya melihar jasadnya sendiri. Namun, karena ketidaktauannya, bukannya kembali ia justru pergi dan berakhir tersesat di dunia lain. Ia bingung apakah harus memberi tahu sahabatnya atau hanya diam dan menyembunyikan kebenaran yang ada. Meski begitu, setengah dirinya mengakui. Bila diingat-ingat lagi sepertinya ia pernah mengalami hal di luar nalar lainnya saat kecil. Namun, ia tak dapat mengingat dengan jelas. Entah kenapa ingatan akan hal itu sulit diingat.
Tangan Bagas terulur mengambil ponsel di meja yang ada di sebelah tempat tidurnya. Segera mengeser ikon kunci dan berselancar di internet. Jarinya lihai mengetikkan rangkain kata. Ia sedang mencari tahu apa itu astral projection dan apakah benar ada atau hanya mimpi saja?
Setelah melakukan pencarian. Beberapa sumber menyatakan ada dan tidak. Ternyata hal itu bisa dijelaskan secara medis, pun bisa dilakukan manusia biasa dengan latihan agar bisa melakukan astral projection. Akan tetapi, Bagas tak melakukan latihan ataupun hal lain. Lalu bagaimana bisa ia melakukan demikin padahal tak pernah mencoba? Jangankan mencoba, tahu istilahnya saja baru tadi dari Asep. Ntahlah ia bingung. Kepalanya berisi kemungkinan serta sangkalan terhadap hal itu.
Lalu tiba-tiba tak sengaja ia membaca tentang suatu hal yang membuatnya sedikit mengingat masa lalu. Dahinya berkerut, matanya berfokus pada tulisan-tulisan yang tersusun rapih pada layar ponselnya. Dengan tampang penasaran ia menaruh ponsel itu kembali ke tempatnya dan kembali menyenderkan badan.
"Apa iya hal seperti itu nyata? Emang, sih, di cerita yang gue baca ada, tapi itu, kan fiksi." Dengan raut tak yakin dan penasaran ia mencoba mengingat suatu hal. "Kenapa hal itu tak terdengar asing," gumamnya.
"Gue coba, ah. Siapa tahu benar."
Tangan Bagas terulur dan terbuka, telapaknya menghadap ke atas. Matanya berfokus pada telapak tangan. Ia memikirkan suatu hal dan mencoba menciptakan apa yang ia pikirkan. Lalu tiba-tiba sebuah api menyala di telapak tangannya. Karena terkejut sekaligus kagum Bagas kehilangan fokusnya dan api itu hilang. Y
"Ja-jadi, gue beneran bisa."
Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak
"Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng
Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 
Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada
"Lo serius?" Wajah Bagas mendekat ke wajah Mahes. Matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Ia terkejut dengan cerita Mahes. Dengan gemetaran Mahes menjawab, "iya, gue enggak bohong. Itu yang gue lihat." Bagas berbalik dan pergi menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kemudian dengan cepat pula ia kembali dan memberikannya pada Mahes di ruang tamu. "Minum dulu. Tenangin diri lo," ucap Bagas dan mengelus pundak Mahes. "Lo tenangin diri dulu. Gue panggil Asep sama Taksa." Mahes menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar dengan napas sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran. Ia seperti orang berlari maraton dengan jarak cukup jauh. Setelah meneguk air minum, ia mencoba menetralkan degub jantungnya. Menarik napas, lalu diembuskan. Begitu terus dan berulang. Sementara itu Bagas keluar mencari Asep dan Taksa. Mereka berdua pamit untuk ke warung sebentar untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan kopi. Saat sampai di j
Angin berembus tenang malam ini. Meski begitu, pintu, dan jendela yang ada di rumah itu ditutup oleh Bagas. Sementara Mahes menyiapkan beberapa lilin yang disusun melingkar dan tetap diberi jarak satu dengan lainnya. Tidak terlalu lebar tidak pula terlalu sempit. Pas untuk dua orang di dalamnya. Jarum jam menunjuk pukul tujuh malam. Asep berkali-kali mencoba menenangkan diri. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, begitu terus secara berulang. Taksa sedang di kamar dan berbicara dengan penjaganya. Memastikan bahwa akan baik-baik saja. Dan meminimalisir keadaan dan mengurangi resiko gagal. Tangan Taksa menepuk pelan pundak Asep yang sedang bersandar di dinding dengan memejamkan matanya saat keluar dari kamar. Bibirnya tersenyum dengan tatapan menenangkan. Mengatakan seolah jangan takut dan semua akan baik-baik saja. Mahes menyalakan lilin yang sudah disusun melingkar di tengah ruang tengah. Bagas menyilangkan tangannya di depan dada
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak
Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw
Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil