Home / Horor / Catur Rogo / Keistimewaan Taksa

Share

Keistimewaan Taksa

Author: Triana Dewi1403
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. 

Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu. Ia beberapa kali memergoki Taksa berbicara, meski begitu ia tak melihat siapa yang diajak bicara. Namun, belakangan ia sadar, mungkin jika orang lain yang melihat akan mengira Taksa berbicara sendiri. Sebab yang diajak bicara oleh Taksa adalah makhluk tak kasat mata. Asep mengetahuinya saat Mahes bercerita akan ketakutannya karena Taksa suka berbicara sendiri. 

"Gue khawatir sama Taksa, dia suka ngomong sendiri." Saat itu Asep sadar, bahwa hanya ia yang mengetahui bahwa Taksa sama sepertinya. Namun, ia tak mengerti kenapa Taksa menyembunyikan dan menunjukkannya sekarang. "Apa hal itu yang membuat Taksa menjadi pendiam atau ada alasan lain," pikir Asep. 

***

Malam kian larut saat Mahes melintasi jalan kota yang mulai sepi. Sisa-sisa hujan terlihat dari hadir genangan yang ada. Ban motor melintas dan membuat air terciprat ke sisi jalan. Pengendara mengendari dengan kecepatan sedang. Angin malam menusuk kulit meski sudah mengenakan jaket berkupluk berwarna hitam. Suasana sunyi membuat bulu kuduk Mahes meremang. Meski begitu ia tampak biasa saja, ia bukanlah penakut seperti Bagas. 

Ia pulang ke distro setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan setelah pergi dari rumah. Tadi pagi ia dihubungi untuk pulang karena ada sedikit masalah bisnis yang harus ia selesaikan. Keluarganya memiliki usaha tour and travel. Meski tak sekaya Taksa, tetapi ia tetap mendapat cap anak orang kaya sejak zaman sekolah. 

Saat sedang asik berkendara, tiba-tiba telinganya mendengar suara tabrakan. Lalu riuh orang yang memekik karena keterkejutan. Langkah-langkah mendekat para saksi mata didengarnya jelas. Suara itu nampak tidak jauh, karena penasaran ia memutar arah dan mencari sumber suara. Namun, ia tak menemukan tanda-tanda adanya kecelakaan di daerah itu. Kembali, suara aneh menyapa gendang telinganya. Kali ini suara sirine mobil ambulan yang terdengar. Samar-samar suara meminta tolong terasa amat dekat dari tempatnya saat ini. 

Karena merasa ada keanehan serta bulu kuduk yang semakin tegak karena merinding. Mahes menancapkan gas untuk kembali ke jalurnya dan segera pulang. Namun, suara minta tolong masih terdengar meski samar-samar. Suara itu seperti mengikuti dirinya. 

"Apa lagi ini? Gue enggak sompral enggak nantang kenapa mistis gini. Ya Tuhan, lindungi hambamu yang sempurna ini," gumamnya dengan tetap memacu kuda besinya dengan kecepatan cukup tinggi. 

Beberapa saat kemudia ia telah sampai di rumah, lebih tepatnya distro yang menyatu dengan rumah di bagian belakangnya. Setelah menaruh motor, ia segera menuju dapur dengan membawa kresek berukuran sedang berwarna merah. Ia menaruh beberapa bahan makanan ke dalam kulkas dan menata mi instan di rak dapur bagian atas. Setelahnya ia segera membersihkan diri. Di kamar ia melihat kasur di sampingnya kosong dan masih rapi. Itu artinya Taksa belum tidur, tetapi di mana Taksa sekarang? Malam sudah larut, motornya pun ada di rumah. Lalu di mana dia berada? 

Saat sedang memakai baju, samar-samar ia mendengar percakapan setelah suara pintu tertutup. Ia tak langsung keluar untuk memastikan karena sudah mengenal suara yang didengar. Memilih diam dan menguping. 

"Lo serius? Sejak kapan. Lalu apa maksud lo kita dalam bahaya?"

"Gue enggak tahu sejak kapan. Tapi setelah minum air yang disugukan gue langsung liat apa yang tadi gue bilang ke lo. Gue udah tanya. Dan ternyata udah sejak kecil."

"Terus ... dia siapa?" tanya Asep. Karena penasaran Mahes membuka pintu sedikit untuk melihat apa yang terjadi. Mahes melihat Asep menatap jendela. Bukan, mungkin yang dimaksud Asep di belakang Taksa. Saat ini Taksa berdiri membelakangi jendela, sementara Asep duduk di pinggiran sofa. 

"Saya hanyalah seorang penjaga. Saya ditugaskan untuk melindungi Tuan Taksa."

Mahes terbelalak. Ia mendengarnya. Mendengar suara tanpa wujud. Ia yakin ia tak salah mendengar. 'Sialan. Apaan ini, gue kenapa.' Belum hilang rasa terkejutnya ia kembali dikejutkan oleh sebuah fakta yang diungkap Taksa. 

"Kita semua istimewa. Lo, gue, Mahes, bahkan Bagas. Gue enggak paham gimananya. Tapi pak Kiai bilang pengelihatan gue enggak akan membuka semuanya. Disaranin untuk tanya ke nyokap bokap. Karena mereka yang lebih tau kita dari siapa pun."

"Apa lo juga liat kematian kita?" Taksa menggeleng. Ia tak tahu, bahkan ia mendapatkan pengelihatan hanya sesekali dan sekilas. Ia belum bisa mengendalikannya dan menggunakan sesuai keinginan. 

"Apa benar yang gue denger?" Suara Mahes mengudara, membuat Taksa dan Asep terkejut. Mereka berdua memandang Mahes kikuk. Karena kebenaran itu mereka sembunyikan. 

"Lo dengar semuanya? Lo nguping? Sejak kapan?" Asep memberondong banyak pertanyaan kepada Mahes yang berdiri di depan pintu kamar. Menyender pada kusen dan tangannya bersidekap di depan dada. Matanya menatap sedikit tajam dengan wajah serius menyiratkan ketegasan untuk dijawabnya pertanyaan. 

"Apa benar yang gue dengar?" Kembali Mahes menanyakan hal yang sama. Ia enggan menjawab pertannyaan Asep. 

Suasana tegang tercipta di antara ketiganya. Kesunyian malam membuat hawa yang sudah dingin menjadi lebih dingin karena diamnya mereka. Taksa menatap Mahes, ia bingung memulai dari mana untuk menjelaskan semuanya. Sebab ia juga masih meraba untuk bisa memahami. 

"Sambik duduk enak kali, ya, enggak pegal apa kaki kalian," ujar Asep berusaha membuat suasana untuk lebih hangat. 

Mereka bertiga duduk di sofa depan TV. Ada sofa yang disusun membentuk huruf U di depan TV. Asep berada di tengah, sementara Taksa di samping kanan dan Mahes di samping kiri. "Jadi, siapa yang mau jelasin?" tanya Mahes menatap Asep dan Taksa bergantian. 

Asep dan Taksa saling berpandangan. Asep menghela napas panjang. Ia tahu Taksa bingung. Ia mengambil alih untuk menjelaskan. Setidaknya ia sudah tahu yang sebenarnya. Meski baru mengetahui hal itu kemarin malam saat memergoki Taksa sedang berbicara dengan penjaganya di dapur jam dua pagi. Saat itu pun ia tak sengaja terbangun, tetapi ia bersyukur, karena itu bisa mengetahui kebenaran lebih awal. 

"Kita enggak bermaksud menyembunyikan kebenaran dari lo atau Bagas. Serius, gue baru tahu kemarin malam. Itu pun secara enggak sengaja. Dan lo tau sendiri Taksa orangnya gimana." Mahes menarik napas panjang dan membuangnya. Ia tahu bahwa Taksa tak akan mengatakan suatu hal sebelum ia benar-benar siap dan yakin. 

"Jadi, sebenarnya ada apa? Kenapa sama kita berempat? Lalu, lo punya penjaga maksudnya gimana?"

Kembali, keterkejutan menjumpai Taksa dan Asep. Bagaimana Mahes mengetahui penjaga Taksa. Perasaan baik Asep maupun Taksa tak menyinggung hal tersebut. Lalu, bagaimana Mahes mengetahuinya. Keduanya menatap Mahes. 

"Gue dengar suara. Bukan suara kalian atau pun Bagas. Gue paham suara lo berdua pada. Tapi ini beda. Dan saat dengar hawanya beda. Mana gue enggak ngelihat apapun." Mahes menyenderkan punggungnya pada sofa setelah menyelesaikan kalimatnya. 

"Serius lo denger suara selain gue sama Taksa?" Asep memastikan dan mendapat jawaban mantap dari anggukan Mahes. 

"Gokil. Jangan-jangan kemampuan lo bisa mendengar tapi gak bisa lihat." Asep menarik sudut bibirnya, matanya berbinar. "Setelah Taksa dengan kemampuan prekognision, lo bisa mendengar mereka. Sejak kapan?"

"Gue juga enggak, tahu. Cuma baru tadi pertama kali kayaknya," jawab Mahes sedikit tak yakin. "Eh, tapi maksudnya prekognision apa?" 

"Prekognision adalah kemampuan untuk mengintip masa depan. Ada dua macam cara bagi pemilik kemampuan ini untuk mendapatkan gambaran masa depan. Pertama mereka bisa melihat secara langsung--biasanya tanpa aba-aba sekilas gambaran ditunjukkan. Kedua adalah mereka yang membaca tanda-tanda dari berbagai macam data, dan membuat sebuah analisa tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pun dengan memegang suatu benda. Gokil, sih, kemampuan ini." Asep menjelaskan dengan wajah antusias. Wajahnya berseri-seri saat menjelaskan hal itu. 

"Sebelum malam ini pernah mendengar suara? Lebih tepatnya setelah pulang dari rumah pak Kiai?" tanya Taksa memandang Mahes dengan tatapan yang tak depat diartikan olehnya. 

"Pernah sekali, suara minta tolong, tapi gue liat gak ada orang. Oh, iya. Pernah, belum lama ini. Motor gue macet di jalan gelap deket pohon. Kayaknya juga abis ujan gitu. Anjir, ada suara ketawa. Gue pikir halusinasi gue aja karena emang hawanya serem. Jadi waktu itu.... Kampret," umpat Mahes saat menyadari bahwa sebenarnya saat itu ia mengalami gangguan gaib. 

"Apa setelah dari rumah pak Kiai?" tanya Taksa kembali dengan pertanyaan yang sama. Ia curiga, ada hal yang dilakukan pak Kiai. Sebab jika benar mereka berubah setelah dari sana. Taksa yakin ada apa-apanya di minuman yang disuguhkan. 

Mahes dan Asep tak mengerti kenapa Taksa berkata demikian. "Tapi setelah dipikir-pikir. Iya, deh, Sa. Apa ini ulah pak Kiai?" Mahes ikut menaruh curiga kepada pak Kiai. 

"Keistimewaan ini enggak bisa didapat atau diberi gitu aja secara singkat. Gue rasa kita emang punya kemampuan ini sejak kecil." Asep mengatakan hal demikian bukan tanpa sebab. Karena yang ia tahu tidak bisa kemampuan seperti itu diberikan secara singkat. Apalagi diberikan tanpa sebuah tujuan. Pasti ada alasan yang tepat. 

Related chapters

  • Catur Rogo   Astral Projection

    "Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya

  • Catur Rogo   Kemampuan Mereka

    Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny

  • Catur Rogo   Mediumship

    Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel

  • Catur Rogo   Rumah Tua

    "Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak

  • Catur Rogo   Keris dan Gadis Cantik

    "Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng

  • Catur Rogo   Pemilik Keris

    Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 

  • Catur Rogo   Gadis Bergaun Biru

    Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada

  • Catur Rogo   Gambaran kematian

    "Lo serius?" Wajah Bagas mendekat ke wajah Mahes. Matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Ia terkejut dengan cerita Mahes. Dengan gemetaran Mahes menjawab, "iya, gue enggak bohong. Itu yang gue lihat." Bagas berbalik dan pergi menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kemudian dengan cepat pula ia kembali dan memberikannya pada Mahes di ruang tamu. "Minum dulu. Tenangin diri lo," ucap Bagas dan mengelus pundak Mahes. "Lo tenangin diri dulu. Gue panggil Asep sama Taksa." Mahes menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar dengan napas sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran. Ia seperti orang berlari maraton dengan jarak cukup jauh. Setelah meneguk air minum, ia mencoba menetralkan degub jantungnya. Menarik napas, lalu diembuskan. Begitu terus dan berulang. Sementara itu Bagas keluar mencari Asep dan Taksa. Mereka berdua pamit untuk ke warung sebentar untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan kopi. Saat sampai di j

Latest chapter

  • Catur Rogo   Gangguan Toko Rengganis

    Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men

  • Catur Rogo   Kedekatan Rengganis dan Taksa

    "Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber

  • Catur Rogo   Kegelisahan Rengganis

    "Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal

  • Catur Rogo   Kebaikan Taksa

    Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi

  • Catur Rogo   Ki Broto dan Aura Rumah Rengganis

    Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo

  • Catur Rogo   Pelaku kejahatan atas Mayang

    Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n

  • Catur Rogo   Perkenalan; Rengganis

    Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak

  • Catur Rogo   Cincin Bagas

    Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw

  • Catur Rogo   Akibat Ikut Campur

    Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil

DMCA.com Protection Status