Mereka sampai sore hari tepat sebelum hujan turun. Perjalanan panjang dengan jalan bebatuan membuat tubuh mereka terasa letih. Meski sudah tidur di mobil tetap saja tubuhnya tak merasa lebih baik. Namun, senyum ramah mereka dapatkan dari pasangan suami istri yang Seto maksud.
"Kalian ini memiliki kekuatan besar kenapa masalah sepele seperti ini harus jauh-jauh ke sini. Padahal kalian bisa menyelesaikannya sendiri," tutur Paklik Seto saat mereka sedang duduk di ruang tamu dengan asap mengepul dari gelas berisi teh yang disugukan tuan rumah.
"Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Asep penasaran.
"Sudah waktunya yang tertidur dibangunkan. Enggak baik terus-terusan tak digunakan. Sebuah keistimewaan akan tetap istimewa bila digunakan dengan benar. Namun, akan sia-sia bila tak digunakan. Kalian sudah mampu mengendalikan dan tak ada kesempatan untuk menghindarinya." Keempatnya menyerngit herat. Sementara Seto mencoba mengartikan ucapan Pakliknya. Ia pernah mendengar hal demikian sebelumnya saat dulu salah seorang kenalannya datang ke Pakliknya.
"Sudah-sudah jangan dipikirkan. Silakan diminum, mumpung masih hangat. Nanti kalian akan paham. Jadi jangan dipaksakan untuk mengerti." Dengan wajah menaruh curiga mereka meminum teh itu. Akan tetapi, senyuman diberikan Paklik sebagai balasan atas sebuah kecurigaan.
Hujan belum reda meski hari mulai malam. Waktu sore mereka habiskan dengan mengobrol dan mengkonsultasikan tentang kecurangan yang mereka dapat. Itung-itung untuk mereka istirahat setelah perjalanan panjanh. Tak hanya itu, Asep sangat antusias membahas hal-hal tentang kemampuan istimewanya. Ia juga mencari tahu tentang kekuatan istimewa lainnya dan menurutnya paklik Seto sangat bersahabatan karena menjawab dengan sangat ramah.
***
Malam kian larut, hujan sudah berhenti, tetapi langit masih berselimut mendung. Selepas salat magrib mereka makan bersama. Makanan yang dihidangkan terasa nikmat di lidah mereka, terkecuali Taksa. Ia kurang menikmati karena rasanya sedikit pedas, ia tetap memakannya demi menghormati tuan rumah. Setelah makan ia dipuji oleh Asep, bukan, bukan pujian, lebih tepatnya ejekan. Namun, hal itu tak berlangsung lama ketika suara pak Kiyai menginterupsi mereka untuk kembali duduk di ruang tamu. Kali ini empat gelas berisi air putih sudah terhidang di atas meja. Keempatnya diminta untuk meminumnya hingga habis dan diminta untuk berkumpul kembali pukul sembilan malam.
Sudah pukul sembilan malam. Mereka berkumpul kecuali Seto. Ia tak diperbolehkan ikut karena tidak ada sangkut pautnya. Keempat pemuda dan pak kiai memakai pakaian serba putih--ada yang memakai celana atau sarung dengan kaus putih sebagai atasan, kecuali pak kiai yang memakai sarung serta kurta. Keempatnya diminta untuk duduk. Pak kiai mulai membersihkan diri mereka. Satu persatu sampai tuntas. Hal tersebut berhasil membuat Mahes terbebas dan tak ada yang menempel. Namun, tanpa mereka sadari. Kekuatan istimewa yang tertidur sudah dibangunkan oleh pak Kiai.
"Wah, kerasa lebih ringan badan." Bagas tersenyum senang menyadari badannya terasa berbeda dari sebelumnya dan lebih baik. Padahal, dibalik itu, ada sesuatu yang telah terbuka dan akan membuatnya dalam bahaya.
Keempatnya dipersilakan duduk di kursi dan kembali disuguhkan masing-masing segelas air putih yang sudah dibacakan doa. Setidaknya itu yang dijelaskan pak Kiai. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan mereka meminumnya. Namun, ekspresi tak mengenakkan ditunjukkan Taksa. Ia merasa akan terjadi hal besar yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya setelah meminum habis air itu.
Sekelebat gambaran tentang sebuah pertarungan antara ia dan teman-temannya membuat Taksa terkejut. Ditambah dalam gambaran itu ia dan temannya terluka parah. Banyak darah pada badan mereka. Ada sosok perempuan yang membuatnya penasaran, sebab ia tak mampu melihat wajahnya. Hanya samar-samar yang diperlihatkan. Lalu gambaran itu langsung hilang dan kembali seperti semua. Dirinya merasa takut setelah melihat gambaran itu. Entah mengapa ada keyakinan bahwa hal tersebut akan terjadi.
Ia ingin menanyakannya, tetapi melihat teman-temannya merasa lebih baik dan segar ia mengurungkan niatnya itu. Hanya diam dan bereaksi apa adanya seolah tak terjadi apa-apa adalah hal yang ia lakukan. Namun, pak Kiai yang menyadarinya pun tersenyum. Tanda-tanda keaktifan kemampuan mereka sudah terlihat. Setidaknya ia senang karena bisa menyelamatkan mereka. Meski tetap saja nyawa mereka akan dalam bahaya jika tidak segera mengasah kemampuan itu. Akan tetapi, ia yakin. Bahwa mereka akan mampu untuk menang dan mengalahkan kejahatan yang mengincar nyawa mereka.
Malam yang kian larut membuat keempat pemuda itu diminta untuk segera beristirahat. Mengingat mereka akan kembali esok hari. Namun, salah satu dari keempat pemuda itu diam-diam menemui pak Kiai sendirian yang sedang berdiri di teras rumah. Ia tak kuat menahan rasa penasaran yang menggebu dalam dirinya. Sebenarnya, ketakutan besar tengah menghantuinya. Ketakutan bahwa ia akan membahayakan teman-temannya dan takut bahwa karenanya mereka akan kehilangan nyawa.
"Pak, apa yang sebenarnya bapak lakukan. Kenapa saya merasa seperti ini. Terlebih, ada sekilas gambaran-gambaran aneh yang menakutkan. Ada apa dengan saya, Pak." Taksa mendekati lelaki paruh baya itu dengan perasaan campur aduk--ya, takut, ya, khawatir, ya, penasaran.
"Saya tidak melakukan apa-apa. Saya hanya membantu kamu. Tidak lebih."
Jawaban pak Kiyai membuat Taksa semakin bingung. Membantu? Apa yang dibantu? "Maksudnya, Pak?" Taksa merasa belum puas.
Pak Kiyai berbalik dan memandang ke arahnya. "Apa yang kamu lihat adalah kejadian di masa depan. Kamu harus bisa membiasakan hal tersebut."
Mendengar ucapan pak Kiyai membuat matanya membesar dan rasa tak percaya yang begitu kuat. Mimik wajahnya kembali ia netralkan sebelum kembali bertanya. "Jangan bercanda, Pak. Saya ingin tahu yang sebenarnya dan kenapa saya bisa menjadi seperti ini."
Pak Kiyai melangkah mendekat ke arah Taksa. Ditepuknya pundak sebelah kanan Taksa. Sekelebat gambaran kembali ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Bola matanya kembali membesar dan ekspresi syok ia tunjukkan. "Apa yang kamu lihat akan terjadi. Sekarang tugasmu menghindari sebisamu atau menghadapinya dan mengubah akhir masa depan. Bukan hanya tentang kamu, tetapi juga dengan ketiga sahabat dan keluarganya. Kalian bukan pemuda biasa, kalian dibekali kemampuan istimewa. Terlebih kamu. Saya hanya ingin mengingatkan, kuasailah sebelum dikuasai. Kamu dianugerahi kekuatan besar, tapi bukan berarti kamu akan selamat. Justru karena alasan itulah kehidupanmu akan lebih berbahaya daripada mereka. Jangan sampai kekuatanmu menjadi alasan kamu tiada."
Sebelum benar-benar meninggalkan Taksa, pak Kiai kembali berujar, "Pilihlah jalan yang benar. Jika kamu menempuh jalan yang salah, benahi jalan tersebut. Jika untuk kebaikan banyak orang, jalan yang salah terkadang akan membuatmu mengatasi segalanya. Namun, jangan lupa bahwa semua kembali kepada niatmu. Niatkan semuanya untuk jalan terang, insyaallah apa yang kamu lihat tadi bisa kamu lewati."
"Apa maksudnya. Dan gambaran tadi, apa itu? Gue benar-benar enggak paham," gumamnya.
***
Setelah perjalanan panjang akhirnya Asep, Taksa, Bagas, Mahes, dan Seto kembali dengan selamat. Seto kembali ke indekosnya sesampainya di distro. Begitu Seto pergi, keempat pemuda itu langsung mencari sumber masalah dan membuangnya seperti yang diberitahukan pak Kiai.
Jam menunjukkan pukul tiga sore. Mereka segera bergegas untuk membersihkan diri. Namun, ketiganya merasakan ada keanehan terhadap Taksa. Pasalnya ia jauh lebih pendiam setelah pulang dari rumah pak Kiai. Selama perjalanan pun ia hanya diam dan fokus menyetir. Ya, saat pulang, giliran Taksa yang membawa mobil.
"Taksa kenapa? Mukanya kusut banget." Asep berujar sembari berjalan menuju kamarnya. Sementara Bagas dan Mahes yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.
Berbeda dengan Asep dan Taksa yang langsung mandi. Bagas dan Mahes menunggu giliran dengan menonton drama korea kesukan Mahes. Meski terlihat paling normal di antara ketiga pria yang ada, tetapi Maheslah yang sebenarnya paling aneh. Ia amat menyukai drama korea. Sementara Bagas hanya ikut-ikutan saja. Awalnya ia tak mau diajak menonton, lambat laun seiring mata dan telinganya yang sering dikotori dengan drama korea yang ditonton Mahes. Akhirnya Bagas pun ikut menyukai, meski tak separah Mahes.
Di depan kaca yang ada di sudut kamar. Taksa bertelanjang dada. Ia memperhatikan dengan saksama tanda di dada kirinya. Ia tak pernah mendapat luka atau tanda lahir di sana. Namun, sekarang terdapat sebuah sketsa--seperti tato--keris yang sama seperti di bandul kalungnya. Aneh. Kenapa tiba-tiba muncul. Gue rasa emang ada yang enggak beres. Saat sedang bermonolog dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesosok pria berperawakan tinggi besar. Meski badannya terlihat segar, tetapi terlihat jelas ada uban pada rambutnya yang dibiarkan terurai--rambutnya cukup panjang sebagai seorang lelaki.
"Siapa lo? Kenapa bisa di sini?" tanya Taksa dengan nada sedikit tinggi. Ia tak memperdulikan bila suaranya didengar oleh yang lain. Sebab ia sangat terkejut dengan hadirnya sosok itu.
"Saya sudah memperkenalkan diri semalam kepada anda, Tuanku." Pria yang menjadi lawan bicara Taksa menunduk memberi hormat di akhir kalimatnya.
Taksa menatapnya dari atas sampai bawah. Berpakaian kuno berwarna cokelat dengan keris di pinggang sebelah kiri, serta rambut panjang dengan beberapa uban menghias menegaskan bahwa usianya tak lagi muda. Meski begitu Taksa merasakan energi yang cukup kuat berasal darinya. Ia mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihatnya--selain dari semalam saat di rumah pak Kiai. Namun, untuk waktu pastinya ia lupa.
"Sa, ada apa?"
"Kenapa teriak?"
"Ngomong sama siapa?"
Begitulah pertanyaan yang terlontar dari ketiga sahabatnya itu. Taksa berucap setelah menyadari bahwa sosok yang dilihatnya telah hilang entah ke mana. "Enggak. Maaf ngagetin. Tadi cuma kaget liat sesuatu di HP." Taksa berbohong dengan cukup baik. Suaranya tak bergetar dan terdengar tegas. Begitu pula dengan raut wajah yang ditunjukkan. Tak menunjukkan kebohongan sama sekali.
"Beneran? Tapi gue ngerasa aneh. Hawanya beda," ujar Asep curiga. Ia masuk dan melihat sekeliling. Setelah memastikan tidak ada hal aneh, ia keluar dan segera berpakaian. Sebab ia masuk ke kamar Taksa hanya dengan handuk yang membelit bagian bawahnya.
"Semoga Asep enggak curiga. Gue belum siap ngasih tau semuanya."
Setelah semua pergi. Sosok itu kembali muncul dan membuat Taksa kembali menatapnya tak suka. Kali ini sosok itu lebih dekat dengannya. "Sebenarnya siapa anda?" tanya Taksa dengan nada bersahabat dan formal.
"Saya sudah mengatakan semuanya kemarin malam, Tuanku."
"Itu enggak masuk akal. Mana bisa gue punya begituan," ujar Taksa dengan nada frustrasi.
Kemarin malam, setelah obrolannya dengan pak Kiai selesai. Ia memilih tetap berada di teras. Lalu tiba-tiba angin berembus pelan menerpa dirinya. Menit berikutnya sosok yang sama muncul dan mengangetkan Taksa. Saat itu Taksa langsung mundur beberapa langkah karena terkejut. Setelah sosok itu memberi salam, barulah ia membuka suara dan bertanya siapa sebenarnya sosok itu. Namun, satu lagi kebenaran terkuak dan membuatnya terkejut. Sosok itu mengatakan bahwa ia adalah penjaga yang selama ini bersemayam dalam keris yang ada sebagai bandul kalung Taksa.
"Bagaimana bisa. Itu tidak mungkin," elaknya saat itu. Bagaimanapun juga ia tak pernah membayangkan hal demikian.
"Bukankah, Tuanku, sudah mendapat kalung itu sejak kecil? Di sana lah saya bersemayam. Sudah sejak lama, bahkan sudah ratusan tahun. Kalung itu adalah barang yang diberikan secara turun-temurun. Dan sekarang tugas saya adalah menjaga Tuanku. Sudah lama saya ingin menampakkan diri. Hanya saja saat itu Tuanku belum bisa melihat saya. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri dan memberikan ada pemahaman tentang kemampuan istimewa yang Tuanku miliki."
Taksa tak mampu berbicara. Ia terperangah setelah mendengar hal yang disampaikan sosok itu. Ia tak ingin mempercayai. Baginya hal seperti itu tidak ada, tetapi ia juga tak bisa menganggap hal yang terjadi hanyalah mimpi saja. Bagian mengejutkan lainnya adalah fakta dia memiliki kemampuan istimewa.
Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya
Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah."Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?""Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan.Mahes mengambil sendok dan memakan sarapanny
Hari ini distro cukup ramai. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan para karyawan kelelahan. Karenanya Taksa memutuskan menutup distro lebih cepat karena nanti malam adalah jadwal mereka membuat konten. Berarti Taksa, Asep, Mahes, dan Bagas akan tidur pagi. Setidaknya sekarang ia bisa beristirahat barang sejenak sembari menunggu Bagas dan Asep pulang. "Sa, gue mau ngomong serius," ucap Mahes di sela kesibukannya menyiapkan kamera dan beberapa barang lainnya untuk keperluan mengambil video nantinya. "Ngomong aja." "Entah gambaran masa lalu atau sebatas mimpi, gue lihat bangunan. Rumah tua, tempat di mana kalung itu bersimbah darah." Taksa mengerutkan dahinya dan membuat alisnya menukik ke bawah. Ia merasa ada yang aneh dari ucapan Mahes. "Rumah tua? Di depannya ada pohon besar bukan? Jendelanya besar-besar, model lawas pokoknya," papar Taksa sembari mengingat-ingat gambaran rumah yang mungk gkin dimaksud Mahes. "Lo dapat pengel
"Bukan mirip lagi, Sa, tapi ini yang gue lihat," ujar Mahes lalu keempatnya turun dari mobil. Keempat pemuda itu langsung bergegas pergi ke rumah tua sesuai petunjuk yang dikatakan oleh orang tua mereka. Tanpa membuang waktu setelah persiapan untuk tinggal beberapa hari di sana mereka langsung berangkat. Meninggalkan distro kepada Seto--karyawan kepercayaan mereka--agar tetap buka dan tak tutup meski ditinggal keempatnya. Di sinilah mereka sekarang, di halaman rumah tua bergaya klasik. Halamannya cukup luas dengan ditumbuhi banyak pohon besar, meski begitu tak ada satu pun daun yang terlihat berserakan. Rumah itu tampak dirawat baik, seperti itulah yang diperkirakan mereka. Catnya berwarna putih sedikit pudar, mungkin meski terawat tak dicat ulang, atau luntur karena air hujan. "Kita masuk?" tanya Bagas menoleh pada kakak-kakaknya. Ia merasakan takut, tapi juga senang. Itung-itung liburan. "Entah kenapa perasaan gue enggak
"Kita tidak bisa biarkan ini terus berlanjut." Sosok pria berusia sekitar lima puluhan dengan kumis cukup tebal bersuara di tengah tengangnya suasana. "Kita tidak boleh gegabah. Bukan hanya soal kita, tapi keluarga akan jadi taruhannya. Bukan kah kita tahu bahwa dia tak memiliki hati," ucap seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun yang membawa mengambil teh hangat di atas meja lalu menyeruput perlahan, uap panas masih mengepul menandakan panasnya suhu teh itu. Lelaki dengan rambut beruban menunjukkan raut khawatirnya. Ia merasakan hal buruk, ada gambaran yang cukup menghawatirkan ia dapatkan. "Aku rasa tiada guna menunda serangan. Sebab kita sudah cukup banyak menyebabkan kekacauan pada pihaknya. Ditambah kita sudah menyingkirkan guru besar. Jadi kita harusnya bersiap dan mengumpulkan kekuatan." Semua orang yang ada di sana menatapnya lekat. Seoalah menyadari bahwa akan ada kejadian buruk yang terjadi. Saling berpandangan dan meng
Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan. Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa. "Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh. "Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo." "Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 
Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak
Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw
Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil