Home / Romansa / Catatan Utang Seorang Istri / Membela Istri dan Mertua

Share

Membela Istri dan Mertua

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ngapain muji Rika dengan berbisik-bisik, Di? Soswit banget," ujar Emak senyam-senyum. Suka sekali ngeledekin anaknya. Aku heran juga sama Emak, dia tahu banyak istilah anak muda. Baju couple, so sweet, darimana dia tahu istilah itu? 

 

"Bang! Ayo, Emak udah duluan tuh," ujar Rika mengulum senyum juga. 

 

"Jangan geer! Ini semua kulakukan hanya untuk memberi pelajaran pada bibimu itu," cetusku, lalu berjalan duluan mengekori Emak. 

 

"Justru itu yang membuatku terharu. Bang Hadi mau ikut saja, Rika udah seneng. Apalagi dibelain, itu sudah perwakilan rasa cinta. Jangan malu, Bang! Cintamu tidak bertepuk sebelah tangan," godanya. Rika mulai banyak bicara. Kuharap, pipiku tidak sampai memerah.

 

Rika berjalan menyejajari langkah lebarku. Pakaian couple pilihan Emak membuat kami terlihat seperti pasangan bahagia. Dengan terpaksa, senyuman tipis kuukir juga di bibirku saat hampir semua pasang mata menatap kami. 

 

Rika celingukan dan bertanya pada seseorang di dekat rumahnya yang bersebelahan dengan kediaman yang punya pesta. Emak beramah-tama dengan kaum perempuan lainnya lalu duduk di salah satu kursi tamu. 

 

Aku hanya mengikuti istriku melalui ekor mata. Dia berjalan ke samping rumah, dimana para kaum hawa sedang sibuk memasak. Tak lama kemudian, dia menemukan ibu mertua yang sedang sibuk memasak nasi dalam dandang besar. Sedangkan Bapak mertua sedang mengangkati air. Peluh membasahi baju kedua mertuaku. 

 

Entah apa yang mereka bicarakan, ketiga orang itu berjalan ke arahku. 

 

"Nak Hadi. Selamat datang ke kampung kami. Bapak gak usah nyalam, ya. Tangan bapak kotor, bekas ngupas nangka tadi. Udah dibersihin, tapi masih berminyak," ucap Bapak mertua, mengelap tangan ke celana lusuhnya. 

 

"Gak apa, Pak. Hadi juga suka main kotor," ujarku, lalu mengangsurkan tangan untuk bersalaman dengan keduanya. Mereka terlihat kaget dengan kedatanganku. Mungkin karena sikapku yang cuek saat hari pernikahanku dengan anak perempuan mereka. 

 

"Eh, Bu Suti, gak usah berdiri! Saya yang harusnya menghampiri," ucap ibu mertua, menyalami Emak yang sudah berdiri di dekatku. Mereka berbasa-basi selayaknya sesama besan. 

 

"Bapak sama ibu kamu kok gak pake baju bagus? Tuh, semua keluarga Bi Dija pada make baju seragaman loh," bisikku. Rika terdiam dan terus memandangi orang tuanya. 

 

"Woy! Malah nangis," ujarku saat melihat Rika menghapus sudut matanya. Aku takut kalau bedaknya sampai luntur. Bapak dan Ibu akhirnya pamit mau ganti baju yang  ditemani Rika. Aku menyusul ke rumah mertua dan duduk di kursi plastik yang sudah memudar warnanya. Sedangkan Rika dan orang tuanya masuk ke dalam kamar. 

 

"Kenapa kamu gak bilang kalau Hadi akan ikut, Ri. Ibu bisa nyari pinjaman untuk beli baju baru.  Bibimu minta uang batuan lima ratus ribu, padahal itu uang terakhir Ibu." Suara ibu mertua terdengar lirih.

 

"Maaf, Bu. Rika juga gak nyangka kalau Bang Hadi mau ikut. Memang karena dipaksa Emak. Jadi, gimana dong, Bu, Pak? Rika juga gak punya uang. Semua baju Bapak dan Emak sudah pudar warnanya karena sering dipakai." 

 

Astaga. Rika bilang tak punya uang, padahal benda tipis berisi uang banyak itu ada padanya. 

 

"Bu! Bapaak!" seruku dan berdiri di ambang pintu seperti mau masuk, agar mereka tak sadar kalau aku mendengar pembicaraan tadi. Mereka bertiga keluar dan menghampiriku. 

 

"Hadi mau ngajak Bapak sama Ibu keluar sebentar," ucapku. Orang tua Rika berpandangan tapi tetap melangkah mengikutiku. Walau tak ada buliran bening yang menetes , tapi kutahu kalau mata merah itu baru saja menangis. 

 

"Tamu akan datang sebentar lagi. Ayo kita ke rumah, Hadi," ajak Paman Azka, suaminya Bi Dija. 

 

"Lama banget nyampenya, ya, Paman? Ini udah hampir siang. Tapi, kami mau keluar sebentar kok. Permisi ...!" Aku membungkukkan badan dan berjalan melewati suami istri itu. 

 

"Kita mau kemana, Hadi? Bapak sama ibu mau siap-siap loh. Gak enak kalau tak ikut menyambut keluarga mempelai laki-laki," ucap Bapak sungkan. 

 

Aku membukakan pintu mobil lalu berkata, "Saya tak akan menculik Bapak dan Ibu mertua, kok," kelakarku, yang membuat mereka tersenyum simpul. 

 

Kulajukan kenderaan roda empat itu dengan pelan hingga sampai ke jalan besar. Jatah uangku hanya tiga juta, sedangkan ATM ada pada Rika. Masih cukuplah untuk membelikan baju untuk kedua mertuaku. Tadi, aku sempat melihat sebuah toko baju tak jauh dari simpang.

 

Aku menghentikan mobil di dekat sebuah mobil berwarna silver, lalu mengajak kedua mertua yang sedang kebingungan. 

 

"Bu! Tolong carikan baju yang sesuai dengan kedua mertua saya! Langsung dipakaikan saja. Kalau bisa, sedikit diandani" pintaku. Perempuan berjilbab merah muda itu mengangguk dan langsung mengajak Bapak dan Ibu masuk. 

 

Aku sebenarnya tidak pelit pada orang lain, terutama pada orang tua. Namun untuk seorang istri, aku harus hati-hati agar tidak kecolongan lagi. Dikhianati pas lagi jatuh cinta itu sangat menyakitkan. Sungguh. 

 

"Juned? Kamu di sini? Bukannya hari ini pernikahanmu" tanyaku heran saat melihat seorang anggotaku mau masuk ke mobil warna silver tadi. Juned yang sedang memakai stelan jas hitam dengan kemeja warna biru di dalamnya begitu terkejut melihatku. Dia sudah dua minggu tak masuk kerja karena akan menikah. Setahuku, keluarganya masih sering berkekurangan, tapi hari ini dia memakai mobil mahal. 

 

"Eh, Pak Hadi. Bapak juga kenapa di sini?" Ia balik bertanya. 

 

"Saya sedang mengantar mertua membeli baju. Kebetulan ada sodara istri yang lagi nikah hari ini," jelasku, memperhatikan semua anggota keluarganya yang juga berpakaian mewah. 

 

"Saya duluan ya, Pak! Sudah ditunggu dari tadi," pamitnya. Ia terlihat tidak nyaman dengan tatapanku. Jelas aku heran, karena ia sempat kasbon sebelum mengambil cuti. Aku mengiyakan dan mengikuti mobil yang membawa rombongan keluarganya dengan ekor mata. 

 

"Di! Ibu gak pantas pakai baju cantik seperti ini," ujar mertuaku yang sudah memakai baju gamis. Aku tak tahu dari bahan apa, tapi yang jelas, warna dan modelnya cukup cantik. 

 

"Tak ada yang tak pantas. Saya bayar dulu ya Bu, Pak," ujarku, lalu menghampiri perempuan yang telah membantuku hari ini. Dompet dengan isi yang tak seberapa telah berkurang. 

 

Aku merasa tergelitik melihat Bapak yang tak nyaman memakai baju yang ternyata couple sama Ibu. 

 

"Kita senasib, Pak. Kata Emak, kita harus pake baju seragaman. Walau terpaksa, kita harus turuti. Kecuali, kalau Bapak rela Emak mengusir menantu kalian ini," selorohku. Mereka berdua tersenyum malu-malu sambil sikut-sikutan. 

 

Aku melajukan mobil kembali menuju tempat pesta dengan hati bahagia. Senyum di bibir sepasang insan itu mengingatkanku pada Emak dan mendiang Bapakku yang selalu romantis. Aku juga ingin seperti itu dengan istriku, tapi setelah memastikan kalau Rika memang wanita yang tulus. 

 

Aku mengernyitkan kening saat melihat mobil yang tadi dinaiki oleh Juned, berhenti di tempat parkirku tadi. Apa dia pria yang ditunggu-tunggu Bi Dija? Kubuka pintu mobil dengan cepat dan mempersilakan mertuaku keluar dan menyusul ke rumah empunya pesta. 

 

"Memang beda, ya, pemuda berkelas dengan orang yang pura-pura kaya. Si Hadi sekarang sok kaya, karena tahu menantuku orang kaya. Jangan pernah ada yang membandingkan menantuku dengan suaminya Rika. Lihat Juned, mereka sangat sempurna." Suara Bi Dija terdengar melalui pengeras suara yang sepertinya tidak mereka tahu sedang menyala. 

 

"Iya, bapak yakin, Hadi itu cuma ngerental mobil, karena disuruh si Rika. Kalau gak percaya, kita lihat surat-suratnya, pasti bukan atas namanya," timpal Paman Azka. 

 

"Jangan nuduh sembarangan! Jangan-jangan, Juned yang pura-pura kaya, Paman," seruku. Semua pasang mata yang berada di dalam rumah sontak menatapku tajam. Emak semringah melihat kedatangan pahlawannya. Sedangkan Rika sedang sesenggukan di bahu Emak. Awas kalian! Bedak istriku jadi luntur karena hinaan kalian! 

 

Juned salah tingkah melihatku lalu menunduk dengan cepat. Aku sebenarnya tak ingin membeberkan hal yang ia sembunyikan. Tapi ini sudah menyangkut keluarga besarku. 

 

"Mak! Aku tidak bawa dompet surat-surat mobil," bisikku. Kebetulan mereka duduk tak jauh dari pintu. 

 

"Belagu. Bilang aja gak punya," cetus Paman Azka. Emak masih sibuk mengutak-ngatik isi tasnya dan mengeluarkan dompet berisi surat-surat mobilku. 

 

"Nih! Semuanya atas nama suami dari menantu kesayanganku, Hadi Wijaya," ujar Emak dengan lantang. Astaga, saat keadaan seperti ini, Emak masih memikirkan menantunya. Kenapa gak langsung sebut namaku saja, sih? Kesal sekaligus senang. 

 

"Gak mungkin, gak mungkin ...." teriak perempuan sombong yang  tadinya menghinaku dan istri tercinta, eh maksudnya menantu kesayangan Emak. 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khaila Putri
kok di ulang² ya. kan jadi bingung. lucu tp klo bacanya ngulang mulu ya kesel. :')
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Catatan Utang Seorang Istri   Emak Oh Emak

    Paman dan bibinya Rika melotot melihat nama yang tercantum di surat yang menjadi bukti kalau Emak gak asal ngomong. Emak memang rempong, selalu membawa benda-benda yang menurutku tidak penting. Hari ini minggu, rasanya tak akan ada razia. Oleh sebab itu, aku tak membawa surat-suratnya. Siapa sangka, kesiagaan Emak sangat berguna. Kami dirazia orang sombong. "Juned! Cepat keluarkan surat-surat kenderaan roda empat milikmu! Bapak yakin kalau ini palsu," perintah pamannya Rika. Semua orang menonton kegaduhan yang ia ciptakan di pesta putrinya sendiri. "A-ada di mobil, Pak," jawab Juned gugup. Kipas angin yang dipasang di empat sudut rumah besar ini tak bisa menyejukkannya. Peluh mengucur di wajahnya yang pucat. "Pak Azka! Sebaiknya, kita lanjutkan akad nikahnya saja. Buat apa mempermasalahkan harta? Mereka bisa mencarinya ka

  • Catatan Utang Seorang Istri   Kesal Sekaligus Bahagia

    "Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika."Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung."Maksudnya ….""Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan."Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau

  • Catatan Utang Seorang Istri   Memalukan

    "Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja

  • Catatan Utang Seorang Istri   Panaas

    "Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama

  • Catatan Utang Seorang Istri   Ngajak Kencan Sang Istri

    "Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Dikira Sakaratul Maut

    "Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya."Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh, aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku."Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab."Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan perempua

  • Catatan Utang Seorang Istri   I love You, Rika

    "Makasih udah khawatir sama abang, Rika," ujarku sesaat setelah berhasil berdiri lalu duduk di balai bambu."Ya, iyalah Rika khawatir. Masa baru tiga bulan udah jadi janda," jawabnya yang membuatku lesu. Harusnya kan dia bilang tak bisa hidup tanpa aku. Eh, enggak ding. Allah lah yang memberikan nafas, dan tidak akan tandingannya di muka bumi. Mencintai dan dicintai adalah kesempatan yang patut kusyukuri dalam doa-doa. Baru dalam doa, semoga nanti ada keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatiku."Apa gak ada kata-kata yang lebih manis, sih Rika?" ucapku dengan wajah cemberut."Lalu kenapa tangan Abang dingin dan gemetar? Sekarang juga masih dingin? Muka Abang juga pucat." Rika mulai meraba keningku yang tidak panas. Dalam jarak sedekat ini, Rika terlihat lebih cantik."Abang belum makan siang. Sekarang udah sore aja," balasku malu-malu. Rika terbahak

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digosipkan Para Wanita

    "Ah, Abang dermawan deh. Diminta satu kata, dikasih bonus tiga kata. Aku jadi …"Tiiiiiiin. Suara klakson mengganggu suasana hati yang tak hanya berbunga, tapi juga berbuah."Maju, Bang. Nanti kita bisa didemo orang," ujar Rika cekikikan. Aku menoleh ke kaca spion dan nampaklah Fia dan lelaki yang memboncengnya. Huh, dasar iri! Mereka hanya naik motor dan jalan keluar masih lebar. Udah, ah. Yang penting hatiku sudah lega karena berhasil mengeluarkan isi hati. Kalau gengsi dipelihara, aku akan rugi lebih lama.Aku mengemudikan mobil dengan pelan. Andai ada nenek-nenek yang memakai tongkat sedang berjalan di samping mobil, ia pasti kalah. Bukan karena laju kenderaanku terlalu cepat, melainkan si nenek udah kecapekan dan gak jadi jalan. Eh, aku kok mulai membicarakan hal yang unfaedah. Intinya, aku ingin berlama-lama dengan Rika, walau hanya di dalam mobil yang melaju enggan, ber

Latest chapter

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

DMCA.com Protection Status