Share

Emak Oh Emak

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-29 18:29:54

Paman dan bibinya Rika melotot melihat nama yang tercantum di surat yang menjadi bukti kalau Emak gak asal ngomong. Emak memang rempong, selalu membawa benda-benda yang menurutku tidak penting.

 

Hari ini minggu, rasanya tak akan ada razia. Oleh sebab itu, aku tak membawa surat-suratnya. Siapa sangka, kesiagaan Emak sangat berguna. Kami dirazia orang sombong.

 

"Juned! Cepat keluarkan surat-surat kenderaan roda empat milikmu! Bapak yakin kalau ini palsu," perintah pamannya Rika. Semua orang menonton kegaduhan yang ia ciptakan di pesta putrinya sendiri. 

 

"A-ada di mobil, Pak," jawab Juned gugup. Kipas angin yang dipasang di empat sudut rumah besar ini tak bisa menyejukkannya. Peluh mengucur di wajahnya yang pucat. 

 

"Pak Azka! Sebaiknya, kita lanjutkan akad nikahnya saja. Buat apa mempermasalahkan harta? Mereka bisa mencarinya kalau sudah menikah. Bisa saja, rejeki orang tua menompang pada anak menantu, sehingga setelah berumah tangga, mereka bagai dihujani rejeki berlimpah dari Yang Maha Kuasa. Itu semua karena ada bagian kita di sana," ujar Emak dengan bijaksana. Harusnya perempuan yang suka mencubitku itu berdiri saja dan melakukan hal yang sama pada lelaki sombong itu.

 

"Diam kamu perempuan tua! Ini urusan keluargaku. Kalian hanya orang luar. Aku tak suka kalau mereka menggosipkan menantuku. Juned memang benar-benar orang kaya," hardik lelaki yang memakai peci hitam itu. 

 

Dia berani membentak Emak, orang tuaku satu-satunya dan juga surgaku. Kutarik kerah baju pria paruh baya yang lebih pendek dariku itu. 

 

"Asal kamu tahu, Paman. Juned ini pekerja di perkebunan sawit milik keluarga besar Hadi Wijaya. Perempuan tua itu adalah emak yang melahirkan bos calon menantumu. Dia juga mertua dari keponakanmu, Rika. Kalau saja Emak tak melarangku berlaku kasar, apalagi pada orang tua, wajahmu ini tidak akan selamat," bentakku, lalu melepaskan kerah bajunya. Dia mungkin tak menyangka akan mendapat perlawanan dariku atau memang tak percaya dengan kata-kataku. 

 

"Berani kamu melawanku, Hadi? Aku akan ...."

 

"Pak! Tolong jangan berlaku kasar pada Pak Hadi. Dia memang bosku. Aku takut kehilangan pekerjaan," sela Juned, menangkap tangan calon mertuanya.

 

"Apaaa?" Paman dan Bibi histeris. Aku malas menoleh melihat ekpresi mereka yang tentunya jelek dipandang. Mataku lebih fokus pada Emak yang terperangah melihat jagoannya ini. Kuharap, Rika juga terpesona dan memujiku nantinya. 

 

Aku mendirikan Emak yang dibantu Rika, lalu mengajak mertuaku untuk keluar. Tak tahan rasanya melihat kaum hawa menangis. Aku bisa kepancing nangis kalau lama-lama melihat bulir bening ajaib itu. 

 

"Bu! Bolehkah kami minum sebentar di rumah Ibu?" tanyaku. Ibu mengangguk dengan mata basah. Emak juga menangis lalu memelukku. Ibu dan Bapak langsung menuntun besan mereka menuju rumah sederhana dimana permaisuriku dibesarkan. 

 

Kalau aku belum bisa menampakkan rasa citaku pada Rika secara terang-terangan, ini saat yang tepat memperlihatkan cinta pada orang tuanya. Aku juga ingin melihat keduanya bahagia melihat putri mereka berada dalam keluarga yang peduli dan penyayang. Saatnya jadi suami dan menantu idaman. 

 

Berubaaaaaah. Action.

 

"Dinda Rika! Abang boleh pinjam duitnya untuk ngajak mertuaku jalan-jalan? Uang pegangan abang sepertinya tidak akan cukup," ucapku setelah duduk lesehan di atas tikar yang digelar mertuaku. Aku mengedipkan mata agar Rika sadar kalau ini hanya sandiwara di depan orang tuanya. Bukan karena sudah terlanjur cinta. Ingat! Wanita suka menindas kalau terlalu ditampakkan bahwa dia dicintai.

 

Dinda, eh maksudnya Rika, dia terperangah dan tak juga menjawab pertanyaanku. Gagal dong tebar pesona di depan mertua. Harusnya ia menjawab dengan berkata, 'tak usah minta izin, Bang! Jangankan uang, aku sendiri milikmu seorang.' Eaaak. Sayangnya, itu hanyalah harapanku saja. 

 

"Dinda Sayaaang," ucapku lagi sambil mencubit pergelangan tangan wanita berkulit kuning langsat itu. Rika menjerit, lalu mengusap-usap tangannya. Dramatis sekali. 

 

"Kamu kesempatan ya, Di, nyolek sekaligus nyubit menantuku. Nih, rasain," seru Emak bersamaan dengan tangannya yang beraksi. Rasa sedikit panas menjalar di telingaku. Emak kadang tak tahu situasi. Aku kan jadi malu karena dijewer di depan mata mertua. Semuanya serba salah. Menantunya dibentak, aku yang salah. Giliran dirayu, tetap saja tidak benar. Padahal Bapak dan Ibu, orang tua kandungnya saja hanya tersenyum melihat kelakuan kami. 

 

Aku jadi curiga kalau sebenarnya aku dan Rika, anak yang tertukar saat di rumah bersalin. Makanya Emak lebih membelanya daripada aku. Sedangkan aku, entah anak kandung siapa? Tak ada yang membela. Haduuh. Kuteguk air putih yang tinggal separuh dengan cepat sebagai pengalihan rasa malu. 

 

"Kita harus mencari tempat di mana kita di hargai, Besan. Di pesta itu, kita tak dihargai. Sepertinya kita harus jelong-jelong, menikmati kebersamaan dengan anak menantu kita. Kalau kita sudah punya cucu nantinya, akan lebih senang menghabiskan waktu dengan anak mereka." Emak mulai memakai bahasa gaul yang membuat mertua kebingungan. Tapi kata 'cucu' yang sengaja ditekankan Emak membuatku dan Rika terbatuk-batuk.

 

Gimana ceritanya? Aku dan Rika saja saling memunggungi sewaktu tidur. Aduh, stop! Emak memang memiliki racun yang membuatku menginginkan malam segera tiba. Rika memandangiku dengan senyum terkulum. Menggemaskan. Mau cubit pipinya, takut kena jewer.

 

Emak ini lagi puber kedua atau diajari Rika, ya. Perasaan, bahasa Rika juga biasa-biasa aja. 

 

"Jelong-jelong itu semacam kue kah, Bu?" Bapak bertanya pada Ibu mertua yang langsung geleng kepala. Tuh kan, mereka kebingungan. 

 

"Maksud Emak, jalan-jalan, Pak!" ujar Rika terpingkal-pingkal. Kupandangi Rika yang bahagia tanpa tekanan batin setiap kumarahi saat di rumah. Dia jauh lebih cantik akhir-akhir ini. 

 

"Ayo, Hadi! Kamu mau lihatin Rika kayak baru melihat bidadari saja. Selama ini kemana aja? Kapan kita berangkatnya?" hardik Emak dan menjewer telingaku sekali lagi. 

 

"Mak! Kasihan, Bang Hadi. Dia sudah sangat baik hari ini," bela istriku. Aku berdiri dan berjalan mendahului agar senyumku tak terlihat keempat orang itu. 

 

"Ah, menantuku. Hanya tarikan pelan di telinganya tak begitu sakit, Ri. Lihat! Dia jadi besar kepala karena kamu belain. Tapi Emak senang melihat kalian saling membela," ujar Emak terbahak yang diikuti mertua. 

 

Aku tak menoleh pada keributan yang terjadi di rumah sebelah. Bukan urusanku lagi. Sekarang saatnya berbagi rejeki dengan keluarga. Ini saatnya aku melihat apakah Rika dan keluarganya memang sebaik yang Emak sanjungkan. 

 

Karena Emak sangat suka ke Plaza, kukira mertuaku juga akan senang ke sana. Kukemudikan mobil setelah memastikan Rika duduk di sampingku? 

 

"Bapak?" Aku membeliakkan mata saat mataku bersiborok dengan bapaknya Rika. Duh, Rika harusnya di depan, bukan malah dikawal kedua hulubalang.

 

"Pakai sabuk pengaman ya, Pak," ujarku, menyamarkan rasa kecewa. Bapak masih bingung. Terpaksa harus kubantu memasang seat belt itu tanpa ada suasana romantis. Apes banget.

 

Aku fokus menatap jalanan, walau telingaku terus mendengar ocehan Emak yang terus memuji Sang Primadona. Tak ketinggalan perjalanan ke plaza bersama menantunya menjadi trending topik. Padahal, aku juga pernah mengajak Emak ke sana, tapi tidak diungkit sama sekali. 

 

Ketika sampai di Plaza, Emak langsung bercerita bagaikan pemandu wisata. Karena kami belum makan, Emak mengajak keluarga ke lantai tiga, dimana ayam dengan tepung crisypy yang katanya enak berada di sana. 

 

"Ini tangga kok berlari ke atas? Ibu takut Pak," rengek mertua pada suaminya. Aku yang menyadari kekhawatiran mereka berinisiatif memanggil satpam untuk menuntun Emak. 

 

"Jangan takut, Besan! Rika akan membantuku, satpam akan membantu Bapak, sedangkan Ibu ...." Emak menggantungkan kalimatnya. 

 

"Ibu akan digendong Hadi. Kalau enggak digendong, kaki Ibu bisa terjepit," tandas Emak. 

 

Mendadak kepalaku terasa keliyengan. Apa tidak sebaiknya aku menggendong Rika saja daripada ibunya? Oh, Emak! Jangan siksa anakmu ini! Ibu mertua memang mungil, tapi itu bukan kewajibanku. Karena masih ada suaminya yang lebih berhak. 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Mirna Lusiani
astaga baru Nemu cerita ky gini... lucu gemesss ............
goodnovel comment avatar
Yanti Gunawan
ceritanya bener" ngocak perut emaaak ooh emaakkk lucu bener deh
goodnovel comment avatar
kunami asdamo
ya allah si emak,ngocok perutku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Catatan Utang Seorang Istri   Kesal Sekaligus Bahagia

    "Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika."Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung."Maksudnya ….""Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan."Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Memalukan

    "Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Panaas

    "Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Ngajak Kencan Sang Istri

    "Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Dikira Sakaratul Maut

    "Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya."Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh, aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku."Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab."Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan perempua

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   I love You, Rika

    "Makasih udah khawatir sama abang, Rika," ujarku sesaat setelah berhasil berdiri lalu duduk di balai bambu."Ya, iyalah Rika khawatir. Masa baru tiga bulan udah jadi janda," jawabnya yang membuatku lesu. Harusnya kan dia bilang tak bisa hidup tanpa aku. Eh, enggak ding. Allah lah yang memberikan nafas, dan tidak akan tandingannya di muka bumi. Mencintai dan dicintai adalah kesempatan yang patut kusyukuri dalam doa-doa. Baru dalam doa, semoga nanti ada keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatiku."Apa gak ada kata-kata yang lebih manis, sih Rika?" ucapku dengan wajah cemberut."Lalu kenapa tangan Abang dingin dan gemetar? Sekarang juga masih dingin? Muka Abang juga pucat." Rika mulai meraba keningku yang tidak panas. Dalam jarak sedekat ini, Rika terlihat lebih cantik."Abang belum makan siang. Sekarang udah sore aja," balasku malu-malu. Rika terbahak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Catatan Utang Seorang Istri   Digosipkan Para Wanita

    "Ah, Abang dermawan deh. Diminta satu kata, dikasih bonus tiga kata. Aku jadi …"Tiiiiiiin. Suara klakson mengganggu suasana hati yang tak hanya berbunga, tapi juga berbuah."Maju, Bang. Nanti kita bisa didemo orang," ujar Rika cekikikan. Aku menoleh ke kaca spion dan nampaklah Fia dan lelaki yang memboncengnya. Huh, dasar iri! Mereka hanya naik motor dan jalan keluar masih lebar. Udah, ah. Yang penting hatiku sudah lega karena berhasil mengeluarkan isi hati. Kalau gengsi dipelihara, aku akan rugi lebih lama.Aku mengemudikan mobil dengan pelan. Andai ada nenek-nenek yang memakai tongkat sedang berjalan di samping mobil, ia pasti kalah. Bukan karena laju kenderaanku terlalu cepat, melainkan si nenek udah kecapekan dan gak jadi jalan. Eh, aku kok mulai membicarakan hal yang unfaedah. Intinya, aku ingin berlama-lama dengan Rika, walau hanya di dalam mobil yang melaju enggan, ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Catatan Utang Seorang Istri   Tidur Di Luar

    [Cepat pulang, Bang! Mau makan]Pesan dari Nifa membuatku harus pulang walai kaki terasa gontai mau melangkah. Untung saja celotehan dari gadis kecil ini membuatku terhibur. Rasanya pengen punya banyak anak cewek, agar mereka juga bahagia nanti bila sudah dewasa karena dimanajakan mertua mereka. Uhh, pikiranku kejauhan. Satu aja belom jadi, udah mikir sampai anak menikah."Engkol! Kita mau kemana?" tanya gadis yang kugendong. Aku tersentak mendengar penuturannya. Kok engkol sih? Emangnya pamanmu ini motor bebek, sampai harus diengkol? Jangan sampai pula orang salah faham dan mengira kalau aku ini engkong-engkong yang menyamar menjadi pria tampan yang sudah menikah, tapi belum punya anak.Inilah salah satu polah asuh yang banyak gaya. Kenapa harus sok berbahasa asing sih? Nifa sejak gadis memang gaul dan aku rasa dia juga yang mempengaruhi Emak. Mereka biasa video call-an saat kutingg

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08

Bab terbaru

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status