[Cepat pulang, Bang! Mau makan]Pesan dari Nifa membuatku harus pulang walai kaki terasa gontai mau melangkah. Untung saja celotehan dari gadis kecil ini membuatku terhibur. Rasanya pengen punya banyak anak cewek, agar mereka juga bahagia nanti bila sudah dewasa karena dimanajakan mertua mereka. Uhh, pikiranku kejauhan. Satu aja belom jadi, udah mikir sampai anak menikah."Engkol! Kita mau kemana?" tanya gadis yang kugendong. Aku tersentak mendengar penuturannya. Kok engkol sih? Emangnya pamanmu ini motor bebek, sampai harus diengkol? Jangan sampai pula orang salah faham dan mengira kalau aku ini engkong-engkong yang menyamar menjadi pria tampan yang sudah menikah, tapi belum punya anak.Inilah salah satu polah asuh yang banyak gaya. Kenapa harus sok berbahasa asing sih? Nifa sejak gadis memang gaul dan aku rasa dia juga yang mempengaruhi Emak. Mereka biasa video call-an saat kutingg
"Gimana ini, Bang?" Ari menggaruk kepalanya yang mungkin gatal karena digigit kuntilanak, eh nyamuk."Kamu bawa uang? Kita bisa ke penginapan," usulku lagi. Ari menggeleng. Aku hanya membawa uang seadanya karena kupikir kita akan keluar sebentar saja," balasnya dengan wajah kebingungan.Rumah besar tapi tak bisa menampung anak menantu. Emak memang keterlaluan. Waktu aku masih remaja, Emak biasa melakukan ini. Tapi sekarang aku sudah menikah. Apa masih layak diperlakukan dengan cara yang sama? Apalagi sekarang ada menantunya."Maafkan Emak, ya, Ari," ujarku. Aku sungguh tak enak hati melihatnya."Sudahlah, Bang. Sampai kapan pun kita akan tetap seperti anak-anak di mata Emak. Kita yang salah, dan aku lah yang apes karena mengikuti Abang." Ari tergelak."Alhamdulillah, kita masih bisa tidur di mobil. Untu
Karena aku salah lagi, aku memutar otak mencari lagu yang biasa dinyanyikan laki-laki. Kapan sih aku terlihat elegan di depan istri sendiri. Aku tahu pernah salah karena berlaku tidak adil pada Rika, tapi Hadi udah taubat loh, Mak e."Kau masih gadis atau sudah janda? Katakan padaku, jangan malu." Aku menyanyi sambil melirik gerak-gerik Emak. Dan saat melihat Emak mengambil sapu ijuk, aku berlari ke kamar dan menguncinya dengan cepat."Dasar anak soleh! Suka sekali nyindir orang tua. Kamu di dalam saja. Gak usah keluar sekalian." Emak mulai mengancam. Ampun, Mak! Saat marah pun, Emak tak pernah mengataiku dengan hal-hal yang buruk. Dia tak mau kata-kata keramat seorang ibu menjadi doa pada anaknya. Oh, Emakku sayang. Aku merasa sangat beruntung lahir dari rahimmu, itupun kalau memang aku beneran anak kandung.Aku membuka pintu dan keluar dengan punggung menempel ke dinding. Tak
Jarak dari kampung kami ke Parapat, tepatnya ke danau toba, memakan waktu kira-kira tujuh jam naik mobil. Itupun kalau jalannya maju, kalau jalannya sambil mundur, mungkin akan lain ceritanya. Lagian, orang kurang kerjaan saja yang mengemudikan mobil dengan cara mundur, ye kan? Aku mah masih banyak pekerjaan yang belum tuntas, terutama membahagiakan istriku tersayang. Ehem. Yang jomblo mah mana tahu rasanya. Aku doain deh, kamu segera nyusul. Iya, kamu. Cie yang ngarepin jodoh seganteng aku, limited loh. Auw ah.Selama di perjalanan, tak ada sedikit pun rasa ngantuk menyapa. Ajaib sekali pengaruh perempuan muda nan cantik yang duduk di sampingku. Dengan memandangnya sesekali saja, aku bagai meminum kopi. Ampuh mengusir kantuk."Abang keringatan? Panas ya?" tanya Rika sambil mengeluarkan sapu tangan yang harum mewangi. Duh, perhatian banget istriku. Ah, rasanya pingin keringatan terus deh, biar dia tetap menyeka
Bagaimana bisa koper berisi baju-baju Alisya yang kami bawa? Rika sih aman, baju Nifa ada di koper. Tinggi dan berat badan mereka hampir sama. Dia bisa memakainya, sedangkan aku? Gak mungkin dong memakai selimut kalau mau keluar. Kelakuan Emak memang di luar prediksi orang secerdas aku.Coba saja kalau aku yang salah bawa koper, Emak akan memarahiku. Lah menantunya, tak ada tuh sedikit omelan pun yang keluar dari bibirnya. Aku jadi berburuk sangka kalau ini rencana Emak."Bang!" Rika menepuk bahuku pelan setelah obrolan unfaedah mereka berakhir. Sepertinya aku harus membeli baju. Dan dimana, ya? Huh, bikin kerjaan saja."Kata Emak, di kursi belakang ada tas berisi baju kita kok. Abang ambilkan yah," titahnya yang mmbuat mataku berbintang-bintang. Tuh kan, ketahuan kalau Emak gak ada kerjaan selain ngusilin anak menantunya. Sebaiknya, kurencanakan saja memberinya cucu kembar agar Emak
"Mau nyari apa, Bang?" tanya lelaki kekar berpakaian perempuan yang berpapasan denganku tadi. Aku yang tadi memandanginya dengan jijik, malah berpenampilan sama,. Astaga! Aku harus ngomong apa diam, ya? Dan dari mana dia tahu kalau aku lelaki. Sekarang, dia sudah berpakaian normal, sedangkan aku .... Oh, ini memalukan."Hallo, Bang. Jangan malu! Kamu pasti sedang dikerjain istrimu kan?" tanyanya sambil menepuk bahuku. Untunglah dia bukan peramal yang bisa menebak penderitaanku. Aku mah dikerjain emakku sendiri, bukan istri."Aku menariknya ke tempat sepi. Duh, aku malah merasa sedang mojok dengan lelaki. Aku bergidik ngeri. Jangan sampai orang mengira kami sedang berpacaran. Bisa jadi bahan konten youtuber iseng nantinya."Abang yang tadi make baju perempuan, kan?" tanyaku meyakinkan. Ia menganggu sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Mak! Nifa pulang dulu ya! Besan Emak sudah rindu sama menantu dan cucunya ini," ujar adik semata wayangku. Apa semua perempuan mendapatkan mertua seperti Emak dan mertua dari adikku? Mereka sungguh beruntung bisa mengendalikan suami berkat mertua.Aliysa tidak mau digendong mamanya dan masih lengket saja dipelukan neneknya. Mata Emak berkaca-kaca dan terus menciumi pipi cucunya yang menggemaskan. Padahal, hampir tiap hari mereka selalu video call. Masa serindu itu sih? Eh, aku juga sudah merasakan hal yang sama pada Rika. Ingin didekatnya terus. Syahdu sekali."Iya, Sayang. Makanya, Di, kamu harus cepat ngasih cucu buat emak. Kira-kira berhasil gak?" ujar Emak sambil mengerling. Kan? Aku lagi yang jadi sasaran. Gadis tua ini suka sekali menggoda anak lelaki satu-satunya ini. Sabar, Hadi! Slow saja.Kutarik nafas dan membuangnya perlahan. Aku meraih bahu Rika dan merangkulnya d
"Bang, ayo kasih nafas buatan!" titah Rika tanpa merasa bersalah. Rika, lihatlah bibir mertuamu itu. Senyuman meledek yang berusaha ia sembunyikan itu masih bisa kulihat.Rika mengambil minyak kayu putih yang tidak berwarna putih dan meletakkannya di dekat hidung Emak. Ya elah, pingsan boongan mana mempan pake itu. Rika terus saja mengoleskan minyak itu ke leher dan hidung Emak. Si gadis tua bersikukuh menahan senyum demi sempurna aktingnya."Dek! Kalau Emak pingsan saat abang gak ada di rumah, kamu gelitikin aja pinggangnya ya!" titahku sambil mencontohkan.Baru saja tanganku menyentuh pinggang yang dibungkus baju terusan itu, Emak langsung berteriak kegelian lalu balas menggelitikku. Aku persis seperti Emak, tidak tahan digelitikin. Karena posisiku sebagai anak, akhirnya aku yang kalah, lebih tepatnya mengalah."Ampun, Mak!" teriakku saat ce
"Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma
"Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m
Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam
"Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg
"Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T
"Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.
"Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes
Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara
Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb