"Mak! Nifa pulang dulu ya! Besan Emak sudah rindu sama menantu dan cucunya ini," ujar adik semata wayangku. Apa semua perempuan mendapatkan mertua seperti Emak dan mertua dari adikku? Mereka sungguh beruntung bisa mengendalikan suami berkat mertua.Aliysa tidak mau digendong mamanya dan masih lengket saja dipelukan neneknya. Mata Emak berkaca-kaca dan terus menciumi pipi cucunya yang menggemaskan. Padahal, hampir tiap hari mereka selalu video call. Masa serindu itu sih? Eh, aku juga sudah merasakan hal yang sama pada Rika. Ingin didekatnya terus. Syahdu sekali."Iya, Sayang. Makanya, Di, kamu harus cepat ngasih cucu buat emak. Kira-kira berhasil gak?" ujar Emak sambil mengerling. Kan? Aku lagi yang jadi sasaran. Gadis tua ini suka sekali menggoda anak lelaki satu-satunya ini. Sabar, Hadi! Slow saja.Kutarik nafas dan membuangnya perlahan. Aku meraih bahu Rika dan merangkulnya d
"Bang, ayo kasih nafas buatan!" titah Rika tanpa merasa bersalah. Rika, lihatlah bibir mertuamu itu. Senyuman meledek yang berusaha ia sembunyikan itu masih bisa kulihat.Rika mengambil minyak kayu putih yang tidak berwarna putih dan meletakkannya di dekat hidung Emak. Ya elah, pingsan boongan mana mempan pake itu. Rika terus saja mengoleskan minyak itu ke leher dan hidung Emak. Si gadis tua bersikukuh menahan senyum demi sempurna aktingnya."Dek! Kalau Emak pingsan saat abang gak ada di rumah, kamu gelitikin aja pinggangnya ya!" titahku sambil mencontohkan.Baru saja tanganku menyentuh pinggang yang dibungkus baju terusan itu, Emak langsung berteriak kegelian lalu balas menggelitikku. Aku persis seperti Emak, tidak tahan digelitikin. Karena posisiku sebagai anak, akhirnya aku yang kalah, lebih tepatnya mengalah."Ampun, Mak!" teriakku saat ce
Aku mengikuti Rika ke kamar untuk ganti baju, sedangkan Emak masuk ke kamarnya."Dek! Abang terlanjur basah nih. Apa kita mandi aja sekalian," godaku sambil membuka gembok, eh kancing bajuku yang basah karena minumanku disenggol Emak. Rika tersenyum malu dan terlihat berpikir. Halah, jual mahal."Ya udah, Abang mandi saja. Emak gak suka nunggu lama. Aku pergi sama Emak saja," balasnya lalu menghilang di balik pintu.Jangan tinggalin abang, Rika! Kapan sih aku bisa mengerti bahasa tubuh istriku tersayang? Harusnya senyum malu, ya tanda mau. Ini malah ninggalin yayangnya.Aku mulai berganti kostum yang kuyakini dapat membuatku berkali-kali lebih tampan di mata perempuan yang sudah mencuri, mengambil, dan menguasai hatiku. Dia telah mengunci segumpal daging bernama hati itu untuk tidak bisa berpaling pada yang lain.B
"Mak! Ini martabaknya. Keburu dingin, gak enak loh," seruku setelah mengetuk pintu kamar Emak. Tak ada sahutan maupun pergerakan dari dalam. Aku menekan gagang pintu dan masuk untuk mencari keberadaan dua perempuan itu. Astaga! Udah capek beli pesanan, Emak malah tidur sambil berpegangan tangan dengan menantunya. Gak so sweet banget deh. Harusnya, aku yang ada di samping Rika.Duh nasib! Sudah bela-belain melewati gerimis untuk membeli pesanan Emak, tetap aja harus tidur sendirian. Kasihan kalau lagi enak tidur, dibangunin. Kalau dibangunin sebuah rumah, baru perempuan senang, ya kan? Bukan matre sih, tapi realistis."Husht ...."Aku menoleh ke belakang saat merasa sedang dipanggil dengan desisan. Aw, Emak ternyata tidak tidur dan sedang menarik tangannya pelan-pelan. Ia bangkit dan mengajakku ke ruang tamu dengan jari telunjuk menempel di bibirku. Duh, Emak ada-ada saja.
Aku mulai diserang rasa panik dan malu. Kuambil ponsel untuk menanyakan kembali merek susu kehamilan yang Emak maksud."Saya ini laki-laki asli dan murni, Bu. Istri saya yang sedang hamil dan Emak menyuruh membelikan ...." Suaraku mengambang karena mataku membaca pesan Rika. Aku terlambat membacanya karena begitu semangat melaksanakan perintah Emak yang lebih berpengalaman.[Bang, jangan lupa nama susunya pren@gen. Jangan bilang yang aneh-aneh]Astaga! Emak mengerjaiku. Teganya, teganya, teganya dikau, oh Emak. Aku mulai memasang wajah serius dan mendekat pada perempuan yang tadi."Saya ini waras, Bu. Jangan terlalu serius menjalani hidup ini. Saya memang suka bercanda. Maksud saya memang yang itu," ujarku tanpa senyum sambil menunjuk kotak susu yang tadi, agar terlihat tegas. Hey bibir! Tolong jangan ketawa!Aku m
"Kamu sudah sadar, Sayang? Mana yang sakit?" tanya Emak dengan mengulum senyum. Astaga! Emak selalu bisa menebak kepura-puraanku."Sayangku! Emak jahat," aduku pada Rika yang berdiri di sampingku. Sengaja kupeluk perutnya sambil melirik sang jagoan."Hmmm … moduus. Ayo kita pulang. Bawain semua belanjaan kita," titah Emak sembari menggandeng tangan kekasihku. Modus? Gapapa dong modusin istri sendiri, kecuali istri orang, ya kan? Harusnya aku yang menggandeng tangan istriku, Mak.Pemuda yang tadi disuruh Emak memberiku nafas buatan, menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Bro. Seorang mertua memang selalu membela putrinya," ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala."Jangan sok tahu! Gadis tua itu bukan mertua gue, tapi beliau emak gue, Bambaaaang," balasku kesal. Lelaki itu terperangah mata melotot ke arahku. Apa dia kesambet?
Kadang, kebahagiaan itu sesederhana ini. Memiliki Emak yang antik, eh unik dan juga istri yang baik hati. Seharian kerja, hilang semua penat karena melihat keduanya. Mereka tak akan pernah tergantikan.Aku terus saja bersiul dengan senyum terkembang mengingat kelakuan Emak. Dia selalu menjerumuskanku dalam jurang cinta menantunya. Sekarang aku benar-benar tidak bisa keluar dari jeratan cinta menantu kesayangan Emak. Sehari saja bekerja tanpa melihat Rika, rasanya hambar, tanpa rasa.[Abang udah sampe loh, Dek. Kamu tidak perlu khawatir. Abang akan jaga diri dengan baik]Kukirimkan pesan dari aplikasi warna hijau dan mengirim fotoku sedang bergaya di antara pohon sawit. Mana tahu Rika sudah merindukan suaminya ini. Lebih baik diantisipasi sebelum terjadi, ye kan? Aku tentu sudah memastikan keadaan aman dari mata manusia lain sebelum berfoto.Sebuah panggil
"Dek! Emak udah kasih kode tuh. Ayo servis abang, Dek!" ajakku dengan mata berkedip. Duh, anginnya kencang banget sih, sampai abunya masuk ke mataku. Ganggu pemandangan saja. Butiran debu zaman sekarang memang suka iri, tahu aja kalau aku sedang mandangi doi yang tersipu malu."Jangan dikucek, Bang. Nanti mata Abang bisa merah," larang Rika dan menarikku ke kamar. Aw, istriku tanpa aba-aba langsung membawa suaminya ke kamar kami yang sepi. Ya iyalah sepi, emangnya pasar?"Dek! Yang sabar dong! Kalau mata abang kelilipan begini, mana bisa memandangi wajah bidadariku dengan jelas," protesku, pura-pura keberatan. Kasih perhatian dong, Dek!"Kalau mata kena debu, masukkan muka Abang ke gayung ini. Buka matanya sampai tidak terasa perih lagi, Bang!" titahnya. Astaga! Kirain tadi mau langsung action. Tapi, ya sudahlah. Mungkin setelah ini dia akan kasih servis terbaik. Aku menghibur
"Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma
"Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m
Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam
"Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg
"Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T
"Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.
"Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes
Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara
Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb