Beranda / Romansa / Catatan Utang Seorang Istri / Kesal Sekaligus Bahagia

Share

Kesal Sekaligus Bahagia

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-07 08:03:11

"Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika. 

 

"Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung. 

 

"Maksudnya …."

 

"Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan. 

 

"Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau membuat anaknya merana dan mendewikan anak orang lain. 

 

"Ini namanya eskalator, Bu. Kalau mau naik tangga,  ada di ...."

 

"Hadi! Cepatlah! Emak sudah lapar. Jangan permalukan emak karena tak memiliki anak yang berbakti pada mertuanya. Ayo, Rika, kita duluan!" Emak memandangku sinis, bagai terdakwa yang melakukan dosa besar. 

 

Kupersilakan satpam menuntun Bapak sampai ke lantai tiga. Aku menatap ke belakang dan ... puluhan orang sedang kasak-kusuk karena menungguku yang belum juga bergerak. 

 

Aku memasang wajah ramah dan menggendong Ibu dengan cepat. Semoga mereka tak berpikir kalau aku adalah brondong simpanan emak-emak. Fokus Hadi, jangan sampai Ibu terjatuh gara-gara memikirkan apa isi kepala orang lain. 

 

"Kahona pyiari heei … kahona pyiari heeei." Seseorang bernyanyi di belakangku. Ini bukan adegan romantis, tapi penyiksaan batin. Huh, ingin kulakban mulut yang menghasilkan suara cempreng itu. 

 

"Alhamdulillah, sampai juga. Makasih ya, Pak!" ucapku pada Pak Satpam sembari memberikan selembar uang warna biru. Aku menyusul rombongan rempong yang sudah memesan ayam berbalut tepung kriuk-kriuk itu. 

 

Kami masuk ke plaza ini terus saja dipandangi orang lain. Kalian tahu kenapa? Ya, betul. Karena mereka punya mata. Itu alasan utamanya dan tentunya ada alasan lain yang hanya bisa kuduga-duga. Kami, para lelaki terlihat ganteng kuadrat, tapi harus memakai baju couple dengan istri masing-masing. Semoga saja tidak ada yang kenal denganku di sini. 

 

"Ayo kita selfi dulu. Hadi, siniin hape kamu!" ujar Emak. Aku memberikan benda canggihku sambil geleng kepala. Bukan karena gak mau ngasih, tapi karena tingkah dan bahasa Emak yang berlebihan. 

 

"Selfi itu siapa, Bu? Apa ada keluarga yang mau datang lagi?" Oalah, Bapak bingung terus mendengar istilah gaul si Emak. 

 

"Maaf ya, Pak. Itu loh, berfoto maksudnya," jawab Emak cengar-cengir mendengar kedua besannya kebingungan. Bapak dan Ibu manggut-manggut. Seorang laki-laki berambut pirang yang juga mau memesan makanan, dimintai Emak agar mengabadikan momen kebersamaan kami. Aku terus mengawasi pria itu karena takut kalau dia melarikan ponselku yang mahal. 

 

Cekrek cekrek cekrek. Kami berfose sesuai arahan Emak. Tak hanya kami yang bergaya, si fotografer dadakan pun harus bergaya agar fotonya bagus. Hampir sepuluh menit waktuku habis sia-sia. Ini bukan kebiasan seorang lelaki. 

 

"Ini hapenya, Bang. Apa saya sudah boleh pergi?" tanya pria itu takut-takut. Benarlah istilah 'jangan suka menilai orang lain dari luarnya saja.' Dia sangat baik, sehingga kukeluarkan juga selembar uang untuknya sebagai ucapan terima kasih, juga permintaan maaf karena mencurigainya.

 

"Makanannya sudah datang. Ayo besanku! Ini adalah hasil keringat anak menantu kita. Selagi kita masih hidup, kita ciptakan kenangan baik untuk mereka ingat. Kelak, bila kita sudah tiada, mereka akan menceritakan hal-hal yang baik kepada anak-anak mereka," ujar Emak, mempersilakan mertua mencicipi.

 

"Mak! Jangan bilang gitu dong! Masa mau makan harus mewek duluan. Emak! Bapak! Ibu! Kalian harus sehat dan panjang umur, agar waktu kita untuk berbahagia lebih lama lagi. Kalian harus ikut melihat anak-anak kami besar dan tumbuh dewasa!"

 

Aduuh! Perkataan mengandung bawang merah yang terucap dari bibir istriku membuat kami semua tak kuasa menahan buliran bening yang menerobos keluar dari sudut mata. Aku akan protes kalau ayam crispy di depanku menjadi asin karena kejatuhan ingus yang juga ikut keluar. 

 

Ini semua gara-gara Emak dan Rika. Mereka berkonspirasi membuat kami menangis untuk bisa bersyukur atas nikmat yang Allah karuniakan. Ingin kupeluk Rika yang duduk di sampingku, tapi ...takutnya Rika sombong dan tak hormat lagi padaku. 

 

Ah sudahlah. Tahan selera! 

***

 

"Dek! Kalau dari pakaiannya, aku tahu kalau mereka berpasangan. Tapi melihat bajumu yang lain dari mereka, aku bisa mengambil kesimpulan. Kamu adalah jomblo yang meminta jodoh di mesjid ini."

 

Astaga! Seorang anak muda sedang merayu Emak yang sedang menjangkau tas mukenanya setelah usai memakai sandal. Pintu masuk jamaah laki-laki dan perempuan memang berdekatan. Pemuda yang sepertinya baru lulus SMA itu niat banget datang ke teras di mana Emak, Rika dan Ibu sedang duduk. Ingin kuhajar lelaki itu, tapi melihat tanggapan Emak, sepertinya lebih seru. 

 

"Dek! Abang baru putus cinta. Abang yakin, kamulah perempuan yang dikirimkan untuk mengisi hatiku yang kosong," lanjutnya, karena Emak tak juga menimpali. Emak pun berbalik perlahan, dan ....

 

"Ma-maaf, Bu. Saya kira …." Dia tidak berani melanjutkan kalimatnya. 

 

"Ayo kita selfi dulu," ujar Emak. Ia keluarkan ponsel bermerk buah-buahan dan berswafoto dengan pemuda yang masih melongo. 

 

"Makasih loh, Bang, sudah menyatakan cinta padaku. Kebetulan, saya juga jomblo. Perkenalkan, ini menantu, besan dan itu anak saya yang paling besar. Terima kasih telah menerimaku apa adanya. Hadiii! Ayo salam calon suami emak!"

 

Aku yang menahan tawa sontak terdiam. Apakah ini bagian dari rencana Emak atau memang Emak ingin membuka lembaran pernikahan yang baru. Aku berjalan pelan mendekati pemuda yang sudah pucat itu, lalu menyodorkan tangan. Dengan cepat, ia meraih tanganku dan menciumnya. 

 

"Heh, kebalik. Harusnya anak yang nyalam bapaknya," cetus perempuan yang kini terlihat serius. Aku pun terpaksa melakukannya. 

 

"Bu! Saya pergi dulu, kebelet," serunya, lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan kami. 

 

"Nomor telepon kamu belum, loh," teriak Emak, tapi tak digubris pemuda itu lagi. 

 

"Dasar! Udah tahu Emaknya digodain abege, kamu malah tertawa. Kamu rela kalau Emak dinikahi anak ingusan?" seru Emak mengulum senyum sambil mencubit perutku. Aduuuh, aku salah lagi. Padahal, Rika yang duduk di dekatnya juga hanya senyum-senyum. Serba salah memang. Kaum adam harus terima dengan keputusan sepihak dari hakim segala urusan itu. 

 

Emak dan Ibu berjalan duluan sambil bercerita, menyusul Bapak yang sudah menunggu di dekat mobil. Tumben Emak gak bawa menantunya ini. 

 

"Kamu kasih pelet apa sih sama Emak, Ri?" cecarku, mencekal tanganya Rika.

 

"Emangnya ikan, Bang? Masa' perempuan sesoleha Emak bisa kena pelet. Rika hanya menyayangi Emak seperti ibu sendiri. Emak tak mau marah sama Rika, karena sayang. Rika juga tak bisa emosi sama Abang, karena cinta,"  ujarnya malu-malu. Ia memilin-milin ujung jilbab warna hijaunya. 

 

Astaga! Rika beneran berani nyatakan cinta padaku. Aku harus jawab apa? 

 

"Ooh! Jadi maksud kamu, Emak marah padaku karena tidak sayang padaku?" seruku. Oh, mulut. Kenapa kata-kata itu yang keluar untuknya. Kuharap ia tidak merajuk dan mengadu sama orang tua dan mertuanya.

 

"Ada orang mengekspresikan cinta dengan kemarahan. Pipi Abang sudah merona. Itu sudah cukup membuktikan," jawabnya. Sebuah cermin kecil ia letakkan di atas tanganku, lalu berlari meninggalkan suaminya yang terperangah. Abang bukan bermaksud mengusirmu, Rika. 

 

Kupandangi cermin kecil itu dengan seksama. Astaga! Kali ini, aku tak suka dengan warna kulitku yang tak bisa berbohong. Mungkin aku harus segera mencari krim penghitam wajah. 

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
it's me sasha
jian koplak author.........
goodnovel comment avatar
jajiju
so sweet they two
goodnovel comment avatar
Ayun Retno
ya Allah AQ ngakak terus bacanya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Catatan Utang Seorang Istri   Memalukan

    "Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Panaas

    "Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Ngajak Kencan Sang Istri

    "Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Dikira Sakaratul Maut

    "Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya."Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh, aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku."Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab."Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan perempua

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   I love You, Rika

    "Makasih udah khawatir sama abang, Rika," ujarku sesaat setelah berhasil berdiri lalu duduk di balai bambu."Ya, iyalah Rika khawatir. Masa baru tiga bulan udah jadi janda," jawabnya yang membuatku lesu. Harusnya kan dia bilang tak bisa hidup tanpa aku. Eh, enggak ding. Allah lah yang memberikan nafas, dan tidak akan tandingannya di muka bumi. Mencintai dan dicintai adalah kesempatan yang patut kusyukuri dalam doa-doa. Baru dalam doa, semoga nanti ada keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatiku."Apa gak ada kata-kata yang lebih manis, sih Rika?" ucapku dengan wajah cemberut."Lalu kenapa tangan Abang dingin dan gemetar? Sekarang juga masih dingin? Muka Abang juga pucat." Rika mulai meraba keningku yang tidak panas. Dalam jarak sedekat ini, Rika terlihat lebih cantik."Abang belum makan siang. Sekarang udah sore aja," balasku malu-malu. Rika terbahak

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Catatan Utang Seorang Istri   Digosipkan Para Wanita

    "Ah, Abang dermawan deh. Diminta satu kata, dikasih bonus tiga kata. Aku jadi …"Tiiiiiiin. Suara klakson mengganggu suasana hati yang tak hanya berbunga, tapi juga berbuah."Maju, Bang. Nanti kita bisa didemo orang," ujar Rika cekikikan. Aku menoleh ke kaca spion dan nampaklah Fia dan lelaki yang memboncengnya. Huh, dasar iri! Mereka hanya naik motor dan jalan keluar masih lebar. Udah, ah. Yang penting hatiku sudah lega karena berhasil mengeluarkan isi hati. Kalau gengsi dipelihara, aku akan rugi lebih lama.Aku mengemudikan mobil dengan pelan. Andai ada nenek-nenek yang memakai tongkat sedang berjalan di samping mobil, ia pasti kalah. Bukan karena laju kenderaanku terlalu cepat, melainkan si nenek udah kecapekan dan gak jadi jalan. Eh, aku kok mulai membicarakan hal yang unfaedah. Intinya, aku ingin berlama-lama dengan Rika, walau hanya di dalam mobil yang melaju enggan, ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Catatan Utang Seorang Istri   Tidur Di Luar

    [Cepat pulang, Bang! Mau makan]Pesan dari Nifa membuatku harus pulang walai kaki terasa gontai mau melangkah. Untung saja celotehan dari gadis kecil ini membuatku terhibur. Rasanya pengen punya banyak anak cewek, agar mereka juga bahagia nanti bila sudah dewasa karena dimanajakan mertua mereka. Uhh, pikiranku kejauhan. Satu aja belom jadi, udah mikir sampai anak menikah."Engkol! Kita mau kemana?" tanya gadis yang kugendong. Aku tersentak mendengar penuturannya. Kok engkol sih? Emangnya pamanmu ini motor bebek, sampai harus diengkol? Jangan sampai pula orang salah faham dan mengira kalau aku ini engkong-engkong yang menyamar menjadi pria tampan yang sudah menikah, tapi belum punya anak.Inilah salah satu polah asuh yang banyak gaya. Kenapa harus sok berbahasa asing sih? Nifa sejak gadis memang gaul dan aku rasa dia juga yang mempengaruhi Emak. Mereka biasa video call-an saat kutingg

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Catatan Utang Seorang Istri   Kejutan Rencana Honeymoon

    "Gimana ini, Bang?" Ari menggaruk kepalanya yang mungkin gatal karena digigit kuntilanak, eh nyamuk."Kamu bawa uang? Kita bisa ke penginapan," usulku lagi. Ari menggeleng. Aku hanya membawa uang seadanya karena kupikir kita akan keluar sebentar saja," balasnya dengan wajah kebingungan.Rumah besar tapi tak bisa menampung anak menantu. Emak memang keterlaluan. Waktu aku masih remaja, Emak biasa melakukan ini. Tapi sekarang aku sudah menikah. Apa masih layak diperlakukan dengan cara yang sama? Apalagi sekarang ada menantunya."Maafkan Emak, ya, Ari," ujarku. Aku sungguh tak enak hati melihatnya."Sudahlah, Bang. Sampai kapan pun kita akan tetap seperti anak-anak di mata Emak. Kita yang salah, dan aku lah yang apes karena mengikuti Abang." Ari tergelak."Alhamdulillah, kita masih bisa tidur di mobil. Untu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09

Bab terbaru

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status