Home / Romansa / Catatan Utang Seorang Istri / Istriku Makin Mempesona

Share

Istriku Makin Mempesona

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2021-09-29 18:26:37

"Emak bilang undangannya besok. Tak usah beli baju untukku, Mak! Aku sibuk," ujarku, berusaha menyelamatkan diri. Emak mendelik lalu menjewer telingaku. 

 

"Maak! Emakku yang paling cantik. Hadi bukan anak kecil lagi. Jangan main jewer dong, Mak!" rengekku menahan sakit. Percuma melawannya, lebih baik memuji perempuan ini. Emak malah menampar bibirku dengan pelan. 

 

"Hush! Kamu tetap anak kecil bagi emak. Buktinya, masih suka melakukan kesalahan," ucapnya yang membuatku ingin menciut sebesar semut. Rika tersenyum simpul melihat tontonan gratis di depan matanya. 

 

"Apa kamu tak bilang kalau Hadi harus ikut, Ri?" tanya Emak, memandang menantu satu-satunya. 

 

"Sudah, Mak. Tapi, Bang Hadi tak bisa ikut," balas istriku. Kali ini ia berkata jujur. Aku malas ke kampungnya.

 

"Kamu harus ikut, Di. Ini pesta pernikahan sepupunya Rika." Perintah yang tak akan bisa kutolak. Aku sebenarnya malas ke kampungnya Rika karena keluarga sepupunya sangat sombong. Hari itu, kami memang menikah tanpa mengadakan pesta di sana, karena pernikahan kami tanpa cinta. Emak yang memaksa dan menyetujui persyaratanku kalau hanya kenduri kecil-kecilan. 

 

Bibi dan sepupunya terus mencela penampilan kami yang sederhana, bahkan terlihat miskin. Aku dan Emak sepakat berpakaian sederhana saat melamar Rika hari itu. Semuanya, demi melihat ketulusan calon istri dan keluarganya. 

 

"Orang miskin mah cocok dengan orang miskin."

 

"Masih syukur si Rika ada yang mau. Lakinya tampan juga sih, badan tegap, tapi kere. Dia juga tak pernah senyum. Nyesel pastinya punya menantu miskin, padahal dia sendiri miskin."

 

Hinaan itu terngiang di telingaku. Keluarga Rika tetap bergembira, sedangkan semua orang mencemooh. Aku tak tahan kalau melihat mereka merendahkan istriku kali ini. Tapi, kalau aku membela Rika, dia akan besar kepala.  

 

"Tapi ...."

 

"Tak ada tapi-tapian. Besok kita ke pelaza, beli baju untuk kalian, baru berangkat ke kampung istrimu. Ayo pijitin emak sebentar, Ri! Dan kamu Hadi, sholat dan segera tidur. Kita akan cepat berangkat, besok," titah Emak. Mereka berdua berjalan ke kamar Emak, meninggalkanku yang hidup dalam tekanan para wanita. 

***

 

"Mak! Kita naik angkot lagi, kan? Aku belum telpon Mang Kusri untuk jemput kita," ucapku sambil mengutak-ngatik benda pintarku. Mang Kusri adalah orang yang membawa angkot milikku, mencari rejeki untuk keluarganya. Kadang, Emak suka bepergian dengan angkot daripada mobil pribadi, termasuk saat melamar dan acara pernikahanku dengan Rika. 

 

"Emak mau naik mobil," sahut perempuan bergamis motif janda bolong itu. Tubuhnya tinggi semampai dan proporsional, tapi wajah dan tangannya yang sedikit berkeriput. Aku takut kalau Emak digoda anak muda saat melihat dari belakang. Pantas saja kalau mendiang Bapak sering bercerita kalau Emak adalah kembang desa yang bersusah payah ditaklukkannya. 

 

Sikap tegas dan cerewetnya tidak pernah berubah. Bahkan saat sakit pun, perintahnya tetap keputusan final. Dia mendominasi keluarga kami, tapi tetap menghormati kepala keluarga. Dialah sosok panutanku sejak kecil. Jika Emak sudah tak mau bicara padaku, itulah tandanya kalau aku akan menjalani hidup dalam kehampaan. 

 

"Andai dulu Emak tinggal serumah denganku dan mantan istri, mungkin perpisahan tak akan pernah terjadi," gumamku.

 

"Heh! Kamu masih memikirkan perempuan itu? Jangan sampai Rika mendengar kamu mengungkit wanita itu!" bentak Emak. Aku hanya bergumam, tapi Emak mendengarnya. 

 

"Cepat panaskan mobilnya!" titah Emak. Aku memajukan bibirku dan meraih kunci. 

 

"Apa butuh korek untuk memanaskan mobilnya, Bang?" celetuk Rika dengan menenteng tas besar. Emak tertawa mendengar perkataan konyol menantunya. 

 

"Kalau pakai korek, meledak dong, stupid!" makiku. Rika mencebik. 

 

"Nama panggilan kamu, stupid, Ri?" tanya Emak heran.

 

"Enggak, Mak. Stupid itu bodoh. Aku tadi hanya bercanda, anak Emak malah mengataiku. Rika memang gak punya mobil, tapi Rika tahu kalau mesinnya harus dipanaskan dulu. Sama seperti mau lomba lari, harus pemanasan juga," ucap Rika. Berlebihan sekali. 

 

"Apa? Kamu bukan saja menghina Rika, tapi juga menganggap mak ini tidak mengerti bahasa asing." Emak mengambil sapu dan mengejarku.  Oh Tuhan, gerakan mulut dan tindakanku diawasi pihak yang sangat ketat. Semuanya harus sesuai dengan aturan yang Emak buat dan bisa berubah sewaktu-waktu. 

***

 

Kulajukan kenderaan dengan lambat, saat memasuki jalan berbatu menuju kampung istriku. Aku berkali-kali melirik Rika yang sedang tertidur. Dia terlihat menarik dengan baju gamis pilihan Emak. Tatanan jilbab dan riasan wajahnya juga sempat diperbaiki seorang wanita. Selain penjual pakaian, dia juga ahli dalam penampilan. Alhasil, upik abu itu terlihat mempesona. Aku sama sekali tak malu berdiri di sampingnya dan mengaku sebagai suami dari seorang perempuan bernama Rika Yunita. 

 

"Lihat ke depan! Jangan sibuk mencuri pandang pada menantuku!" sindir Emak. Astaga! Tadi kulihat Emak masih molor dengan posisi telentang di kursi belakang. Aku tak tahu kalau Emak sudah duduk dan menjawil pipiku. 

 

"Kita udah sampai, Bang?" Rika mengerjap dan membuka matanya perlahan. Semoga dia tak mendengar ucapan mertuanya. Aku bisa malu, euuy. 

 

"Kita parkir di sini saja, Mak! Nanti mobilnya kotor. Beberapa meter di sana ada jalanan yang sering tergenang air. Nanti Bang Hadi mengomel kalau mobilnya kena percikan air berlumpur," ujar Rika.

 

"Crazy! Mobil bisa dicuci, tapi kalau bajuku kotor, akan sangat memalukan," umpatku. Sebenarnya sih, aku marah karena takut melihatnya yang jarang cantik berubah jelek lagi karena terkena lumpur. 

 

"Mak! Bang Hadi bilang aku gak waras." Rika mengadu lagi. Apa dia hapal semua umpatan dalam bahasa inggris. Sepertinya Rika bukan orang bodoh, walau berasal dari keluarga tak mampu. 

 

Kini cubitan Emak mendarat di pinggangku yang membuat mereka tertawa. Kutarik nafas dalam dan membuangnya perlahan. Tahan, Hadi! Jangan sampai memperlihatkan kebahagiaanmu saat melihat tawa lepas di bibir kedua orang yang kini spesial di hidupmu. 

 

Aku memarkirkan mobil tak jauh dari keramaian. Beberapa anak-anak berlari melihat kenderaan mulus dan kinclong yang jarang masuk ke desa ini. Aku heran, bagaimana bisa Emak menemukan Rika sampai ke tempat ini. Setahuku, tak ada keluarga kami di sini dan Emak langsung menjodohkanku dengan Rika yang baru kukenal saat lamaran. 

 

"Awas! Minggir kalian! Nanti mobil mahalnya rusak. Ini pasti keluarga menantuku," ujar seorang wanita paruh baya. Dia adalah kakaknya Bapak mertua, yang suka menghina keluarga istriku. Sepertinya aku harus bersikap baik pada Rika, agar wanita itu tak terlalu sombong. 

 

Aku meminta Rika tetap di dalam dan keluar duluan. Kubantu duluan sang nyonya besar keluar, baru membukakan pintu untuk istriku. 

 

"Silakan keluar, permaisuriku! Hati-hati! Barang bawaanya, aku saja yang bawa," ujarku sambil mengedipkan mata. Kamu jangan sampai besar kepala Rika! Ini hanya untuk membungkam mulut busuk bibimu. 

 

Rika meletakkan tangannya di atas tanganku dan membimbingnya keluar hingga berdiri sempurna. Matanya melotot dengan mulut menganga. 

 

"Apa Abang kesurupan?" bisiknya. "Ini hanya untuk memberikan pelajaran pada keluarga bibimu!" balasku berbisik. 

 

"Hei! Cukup di rumah saja kalian bermesraan! Dasar pasangan baru nikah, bawaanya pingin berduaan terus," ujar Emak, lalu menyalami Bi Dija. Wajah bahagianya berubah masam, lalu melengos dan meninggalkan kami yang salah tingkah. Jangan sampai juga Emak tahu kalau aku sudah terjerat menantunya. Bisa-bisa, aku akan diledek sampai berminggu-minggu. 

 

 

 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Riri Rere
.........mantap
goodnovel comment avatar
Imas Djuhaeti
nah,,,sama mau nanya gtu...knp paragrafnya diulang2 terus kan jd agak cape bacanya...
goodnovel comment avatar
Nafee Si Pemberani
knp diulang2 terus yaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Catatan Utang Seorang Istri   Membela Istri dan Mertua

    "Ngapain muji Rika dengan berbisik-bisik, Di? Soswit banget," ujar Emak senyam-senyum. Suka sekali ngeledekin anaknya. Aku heran juga sama Emak, dia tahu banyak istilah anak muda. Baju couple, so sweet, darimana dia tahu istilah itu? "Bang! Ayo, Emak udah duluan tuh," ujar Rika mengulum senyum juga. "Jangan geer! Ini semua kulakukan hanya untuk memberi pelajaran pada bibimu itu," cetusku, lalu berjalan duluan mengekori Emak. "Justru itu yang membuatku terharu. Bang Hadi mau ikut saja, Rika udah seneng. Apalagi dibelain, itu sudah perwakilan rasa cinta. Jangan malu, Bang! Cintamu tidak bertepuk sebelah tangan," godanya. Rika mulai banyak bicara. Kuharap, pipiku tidak sampai memerah. Rika berjalan menyejajari langkah lebarku. Pakaian couple pilihan Emak membuat kami terlihat seperti pasangan bahagia. Dengan terpaksa,

    Last Updated : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Emak Oh Emak

    Paman dan bibinya Rika melotot melihat nama yang tercantum di surat yang menjadi bukti kalau Emak gak asal ngomong. Emak memang rempong, selalu membawa benda-benda yang menurutku tidak penting. Hari ini minggu, rasanya tak akan ada razia. Oleh sebab itu, aku tak membawa surat-suratnya. Siapa sangka, kesiagaan Emak sangat berguna. Kami dirazia orang sombong. "Juned! Cepat keluarkan surat-surat kenderaan roda empat milikmu! Bapak yakin kalau ini palsu," perintah pamannya Rika. Semua orang menonton kegaduhan yang ia ciptakan di pesta putrinya sendiri. "A-ada di mobil, Pak," jawab Juned gugup. Kipas angin yang dipasang di empat sudut rumah besar ini tak bisa menyejukkannya. Peluh mengucur di wajahnya yang pucat. "Pak Azka! Sebaiknya, kita lanjutkan akad nikahnya saja. Buat apa mempermasalahkan harta? Mereka bisa mencarinya ka

    Last Updated : 2021-09-29
  • Catatan Utang Seorang Istri   Kesal Sekaligus Bahagia

    "Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika."Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung."Maksudnya ….""Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan."Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau

    Last Updated : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Memalukan

    "Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja

    Last Updated : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Panaas

    "Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama

    Last Updated : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Ngajak Kencan Sang Istri

    "Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.

    Last Updated : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   Dikira Sakaratul Maut

    "Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya."Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh, aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku."Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab."Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan perempua

    Last Updated : 2021-10-07
  • Catatan Utang Seorang Istri   I love You, Rika

    "Makasih udah khawatir sama abang, Rika," ujarku sesaat setelah berhasil berdiri lalu duduk di balai bambu."Ya, iyalah Rika khawatir. Masa baru tiga bulan udah jadi janda," jawabnya yang membuatku lesu. Harusnya kan dia bilang tak bisa hidup tanpa aku. Eh, enggak ding. Allah lah yang memberikan nafas, dan tidak akan tandingannya di muka bumi. Mencintai dan dicintai adalah kesempatan yang patut kusyukuri dalam doa-doa. Baru dalam doa, semoga nanti ada keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatiku."Apa gak ada kata-kata yang lebih manis, sih Rika?" ucapku dengan wajah cemberut."Lalu kenapa tangan Abang dingin dan gemetar? Sekarang juga masih dingin? Muka Abang juga pucat." Rika mulai meraba keningku yang tidak panas. Dalam jarak sedekat ini, Rika terlihat lebih cantik."Abang belum makan siang. Sekarang udah sore aja," balasku malu-malu. Rika terbahak

    Last Updated : 2021-10-08

Latest chapter

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

DMCA.com Protection Status