Nisa merenggangkan otot-otot tubuhnya saat sudah sampai di rumah. Perutnya terasa kram, akibat berjalan terlalu jauh menuju ke pasar.
Mau naik ojek, tapi Nisa tidak punya biayanya. Tadi saja uang belanja yang di berikan oleh ibu mertuanya kurang, terpaksa mau tidak mau Nisa mengambil uangnya yang digunakan untuk pemeriksaan agar bisa membeli barang-barang yang memang sudah ada di catatan itu. Padahal uang itu untuk mengecek kandungannya esok hari, namun karena uangnya sudah habis, terpaksa setelah selesai memasak makanan, Nisa harus bekerja di warung bakso Bude Sira. Terpaksa itu yang harus Nisa lakukan, Nisa harus bekerja demi bisa memeriksakan kandungannya esok hari. Padahal tubuhnya sudah lelah letih ingin sekali Nisa berbaring di atas ranjang, namun semua itu hanya angan-angannya saja. Nisa yakin ketika dirinya beristirahat Ibu mertuanya akan datang dan langsung memarahi dirinya. Sudah biasa, dan hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa. Nisa mengusap peluh keringat yang ada di dahinya, wanita berambut di ikat asal itu langsung duduk lesehan di atas lantai, sesaat setelah selesai memasak. "Wow, enak banget, aromanya wangi banget, dek Nisa masak apa nih?" celetuk Wina, istri dari abangnya Doni. Nisa tersenyum simpul. "Masak ayam kecap mbak, silahkan cicipi." Wina mengangguk, lalu menarik kursi dan duduk di sana. "Win, makan yang banyak. Kamu harus makan yang bergizi biar cepet hamil. Ibuk udah enggak sabar loh mau menimang cucu." Mirna datang sambil membawa sepiring buah-buahan dan di letakkan di depan Wina. Wina- istri dari Dani Abangnya Doni itu memang belum hamil- hamil. Padahal keduanya sudah menikah hampir delapan tahunan. Sedangkan Nisa sudah hamil, saat bulan ke tiga pernikahannya. Wina tersenyum manis , sambil meraih nasi dan juga lauk-pauk di atas meja itu. "Iya buk. Ibuk tenang saja, sebentar lagi aku bakalan hamil. Ibuk doain saja ya, ini juga lagi usaha kok. Dan ibuk bisa menimang cucu" sahutnya. "Senang sekali ibuk mendengarnya Win. Ibuk selalu berdoa agar kamu bahagia, dan kamu bisa lemas punya anak" Mirna mengusap perut rata milik Wina. Nisa yang melihat pemandangan itu tersenyum kecut. Dirinya yang hamil tapi ibu mertuanya tidak pernah mengharapkan kehadiran bayinya. Nisa tidak pernah mendapatkan kasih sayang sedikit pun dari mertuanya. Lain dengan Wina yang selalu mendapatkan kasih sayang, dan perhatian penuh dari ibu mertuanya itu. Bahkan masalah anak saja, ibu mertuanya malah mengharapkan anak dari menantu tertuanya itu. Miris sekali rasanya nasib Nisa, sudah hamil dan memberikan yang terbaik, namun dirinya tetap tidak di anggap. "Oiya, sebentar lagi kan ibuk dapat cucu dari Nisa. Ibuk bisa nimang cucu dulu dong" ucap Wina di sela kunyahan makannya. Mirna berdecak tidak suka saat mendengarnya. "Malas! Kamu enggak tau apa, ibuk itu enggak suka sama dia. Ibuk enggak peduli. Mau dia hamil apa enggak bukan urusan ibuk. Alasannya, ya karena dia itu miskin, sedangkan kamu kaya Wina , kamu itu anak pak RT. Lah dia, cuman anak tukang pangkas doang. Cih, enggak sudih ibuk mendapatkan cucu dari wanita anak tukang pangkas seperti dia. "Entah kenapa Doni bisa menikah dengan dia, padahal berulangkali ibuk selalu menentangnya dulu. Doni emang keras kepala, alasan cantik doang. Kalau duit enggak punya kan sama saja. Lihat sekarang" Mirna lalu menunjuk ke arah Nisa yang tengah duduk lesehan di lantai, sambil menundukkan kepalanya. "Lusuh kan dia sekarang! Udah jelek juga. Ibuk jamin, sebentar lagi bakalan di cerai sama Doni" sambung Mirna sarkas. Hancur sudah pertahanan Nisa, Nisa langsung menangis saat mendengar kata-kata pedas yang terlontar dari mulut wanita paruh baya itu. Kejam sekali kata-katanya. Langsung menembus ke relung hati Nisa. Nisa yang hamil, perasaannya bisa langsung sensitif, tapi orang-orang di sekitarnya seakan tidak mau menghiraukan itu. Nisa langsung bangkit dari duduknya, tanpa mengatakan apapun, dirinya langsung pergi dari sana. Biarlah di anggap tidak sopan, tapi hatinya terlalu terluka karena penghinaan itu. Sedangkan Wina, tersenyum menyeringai saat melihatnya. Wanita itu sangat suka jika Nisa di perlakukan seperti itu oleh ibu mertuanya. Karena sebenarnya dirinya tidak pernah suka dengan wanita itu. Wina benci dan pura-pura suka di depan Nisa dan orang-orang, agar tidak kentara sekali jika dia tidak menyukainya. Dia benci, karena Nisa bisa hamil, sedangkan dirinya belum bisa hamil. Wina takut keluarga sang suami menyayangi wanita miskin itu, tapi Wina harus bersyukur, karena keluarga suaminya selalu memandang seseorang dari harta dan martabat. "Cih, baru di bilang gitu aja udah nangis. Dasar cengeng. Udah kamu enggak usah hiraukan dia. Makan yang banyak," Mirna langsung mengambil lauk lagi untuk Wina lagi, menantu kesayangannya itu. Wina tersenyum manis. "Terimakasih buk" sahut Wina. "Loh mbak Wina kapan datang? Kok enggak tau Muning." Kemuning datang dan langsung menyalami Wina. "Baru saja. Oiya tadi mbak membawa makanan ringan untuk kamu dan ibuk. Tapi masih ada di sepeda motor. Sebentar mbak ambilkan dulu." Wina langsung bangkit dan menuju ke sepeda motor miliknya yang terparkir apik di depan rumah sederhana milik Mirna. Kemuning langsung tersenyum sumringah. "Lihat buk, mbak Wina selalu saja membelikan aku oleh-oleh kalau kemari, beda banget sama mbak Nisa . Taunya menumpang saja. Tidak bisa membelikan apa-apa untukku." Celetuk Kemuning. Kemuning ini memang sama juga, tidak suka dengan Nisa, gadis berusia tujuh belas tahun itu sangat membenci Nisa. "Itu lah Muning, ibuk kan sudah bilang, mereka itu berbeda. Kalau mbak Wina itu kaya, Nisa itu miskin, orang bapaknya saja tukang pangkas kok, darimana dia uang mau belikan kita sesuatu. Untuk makan saja susah. Lihat mbak mu Wina, dia anak pak RT. Uangnya banyak lah, bisa dengan leluasa membelikan kita apapun." Timpal Mirna. Kemuning menganggukkan kepalanya. Jelas tentu setuju dengan perkataan dari ibunya. Keduanya sama, sama-sama gila uang. "Ibuk rayu bang Doni dong. Suruh ceraiin aja mbak Nisa. Cari wanita lain yang kaya. Orang bang Doni ganteng pasti banyak yang mau." "Ibuk udah usaha buat Nisa buruk di depan Abang mu itu. Tapi ya gimana, Abang mu masih di buta kan sama cinta, masih cinta kali dia sama Nisa. Tapi kamu tenang saja. Sebentar lagi ibuk yakin, Abang mu akan cerai sama Nisa." Kemuning tersenyum senang saat mendengar nya, itu memang yang di harapkan oleh dirinya. Benci sekali dirinya dengan Nisa itu. "Ini, silahkan di makan" ucap Wina sambil memberikan satu kresek makanan ringan kepada Kemuning. Kemuning menyambut nya dengan antusias. "Wah, makasih banyak mbak." Lalu matanya tanpa sengaja melirik ke arah depan sana, tepat saat Nisa baru keluar dari dalam kamarnya. "Enggak kayak yang itu, enggak punya uang, miskin, mana mampu beliin aku kayak yang mbak Wina beliin" sengaja sekali suara nya di keraskan agar Nisa bisa mendengarnya. Nisa hanya bisa beristighfar dan berlalu pergi dari rumah itu.Nisa menghiraukan semua perkataan yang terlontar dari mulut mereka semuanya. Dirinya tidak ambil pusing, walaupun kenyataannya, rasa sesak di dalam dadanya itu ada. Tapi Nisa mencoba menahan rasa sesak itu.Untuk apa dirinya bersedih, karena semua itu hanya akan mempengaruhi pikirannya saja, apa lagi saat ini dirinya tengah hamil.Mereka juga sudah biasa menghinanya seperti itu. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa.Berjalan beberapa langkah saja, Nisa sudah sampai di tempat tujuannya. Yaitu warung bakso Sira, satu-satunya wanita paruh baya yang menyukai Nisa.Sebenarnya Sira itu masih ada sangkut pautnya saudara dengan keluarga Doni. Lebih tepatnya kakak kandung ibu Mirna. Namun, karena Mirna merasa jika hidupnya Sira itu lebih baik dari dirinya, wanita itu selalu memusuhi Sira.Bahkan Mirna dengan terang-terangan membenci saudara kandungnya itu.Aneh memang, tapi bude Sira tidak pernah marah dan selalu bersikap baik pada wanita itu."Assalamualaikum bude""Wa'alaikum s
"Sudah mau pulang? Kamu mau bude bawakan makanan tidak Nis?" Sira menawarkan makanan pada Nisa, namun Nisa menggelengkan kepalanya, jelas tentu menolaknya karena Nisa terlalu sungkan selalu di berikan makanan seperti itu pada bude Sira setiap harinya. "Enggak usah bude, nanti Nisa makan di rumah. Oiya kalau bude enggak keberatan, Nisa boleh minta satu keripiknya?" Sudah Sira tebak, jika wanita itu pasti akan berbohong lagi, Sira sungguh sampai tidak sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Sakit sekali rasanya, sudah Sira tebak, jika Nisa tidak akan makan di rumah suaminya itu. Nisa akan mengganjal perutnya dengan sebungkus kripik pisang saja. "Nis, sini dulu. Kebetulan tadi ada lebih bakso, yuk kita makan bareng" Sira menarik tangan Nisa membawanya menuju ke meja. "Tapi nanti, bang Doni udah pulang bude" "Enggak apa-apa. Kalau Doni marah, biar bude yang hadapi. Kamu jangan takut. Kita cuman makan bakso bareng" ucap Sira, bukannya tidak sopan mengajarkan yang tidak-tidak pada N
Hari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja. Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik. Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa. Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bang
"Mau cerai ya cerai saja sana! Enggak ada ruginya untuk keluargaku! Kamu itu hanya parasit yang datang di keluarga kami. Dasar perempuan hina, miskin." Ucap Mirna dengan pedas. Nisa terkejut dengan kehadiran Mirna, karena setahunya, tadi dirinya tidak melihat keberadaan ibu mertua atau adik iparnya. Tapi, Mirna tiba-tiba datang. Malas berdebat dengan ibu mertuanya yang pasti tidak ada ujungnya, Nisa langsung berlalu pergi dari sana, meninggalkan Mirna yabg menggerutu. Nisa memilih menyusul sang suami ke dalam kamar. Mirna mengumpat sarkas. "Dasar menantu tidak tau diri. Emang dasarnya orang miskin ya begitu, pendidikannya kurang. Sopan santun saja tidak ada." Mirna langsung bergegas mengambil tas miliknya, tadi dirinya sudah di pertengahan perjalanan, dan tasnya ketinggalan. Terpaksa Mirna harus kembali ke rumah. Namun, siapa sangka dirinya malah mendengar obrolan anak dan menantunya. Miran langsung pergi, malas mengurusi perihal itu, biarkan saja mereka cerai, karena hal itu
"Cuci itu baju! Jangan sampe ada yang ketinggalan! Kamu itu di sini sudah makan gratis, mau belagu pula sok menjadi ratu! Kamu kira anak saya kerja banting tulang cuman buat kamu habis-habiskan hm? Kamu shopping? Kamu leha-leha di kasur gitu?" cerca seorang wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.Nisa tersenyum miris mendengarnya, bahkan uang gaji suaminya juga dirinya tidak pernah mencicipinya sedikit pun. Jika suaminya gajian, juga ibu mertuanya lah yang selalu mengambil uangnya dan mengatur semua keperluannya. Bahkan Nisa tidak di kasih uang sepeser pun.Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Nisa harus pergi ke warung bakso di sebelah rumah mertuanya, wanita itu membantu pekerjaan di sana, dan mendapatkan upah. Barulah Nisa bisa membeli sesuatu."Kenapa?! Kamu mau marah ha? Silakan marah? Mau ngadu sama suami mu, ngadu saja sana, saya tidak takut"Ya mana mungkin takut, karena suaminya juga sama, jika Nisa mengaduhkan sikap sewenang-wenang ibunya itu,