Share

Bab 4

"Sudah mau pulang? Kamu mau bude bawakan makanan tidak Nis?" Sira menawarkan makanan pada Nisa, namun Nisa menggelengkan kepalanya, jelas tentu menolaknya karena Nisa terlalu sungkan selalu di berikan makanan seperti itu pada bude Sira setiap harinya.

"Enggak usah bude, nanti Nisa makan di rumah. Oiya kalau bude enggak keberatan, Nisa boleh minta satu keripiknya?"

Sudah Sira tebak, jika wanita itu pasti akan berbohong lagi, Sira sungguh sampai tidak sanggup menahan gejolak di dalam dadanya.

Sakit sekali rasanya, sudah Sira tebak, jika Nisa tidak akan makan di rumah suaminya itu. Nisa akan mengganjal perutnya dengan sebungkus kripik pisang saja.

"Nis, sini dulu. Kebetulan tadi ada lebih bakso, yuk kita makan bareng" Sira menarik tangan Nisa membawanya menuju ke meja.

"Tapi nanti, bang Doni udah pulang bude"

"Enggak apa-apa. Kalau Doni marah, biar bude yang hadapi. Kamu jangan takut. Kita cuman makan bakso bareng" ucap Sira, bukannya tidak sopan mengajarkan yang tidak-tidak pada Nisa, namun Sira rasanya geram sendiri dengan keponakannya itu. Kadang Doni akan bersikap kelewatan saat istrinya hanya membuat kesalahan sedikit saja.

"Des, sini makan bareng" teriak Sira kepada anak bungsunya itu.

Desi tersenyum lalu menghampiri keduanya duduk di samping Nisa. "Makan yang banyak mbak Nisa. Biar Dede bayinya tumbuh baik di dalam" ucap Desi, tangannya terulur mengelus perut buncit milik Nisa.

Nisa tersenyum, sungguh baik sekali Desi ini. "Makasih Desi."

Mereka lalu makan dengan lahap.

Nisa berjalan pulang dengan perut kenyang, tangannya membawa dua bungkus keripik pisang dari tempat bude Sira. Tadi dirinya hanya meminta satu, tapi wanita paruh baya itu malah meminta Nisa untuk membawa beberapa, tapi Nisa menolaknya. Sudah di gaji, makan di sana, ini di beri banyak keripik pisang lagi, malu rasanya.

Wanita itu sangat baik, tidak mungkin Nisa memanfaatkan kebaikan orang. Cukup dirinya di beri uang upah sewaktu dirinya membantu bude Sira itu sudah cukup.

Karena besok dirinya akan pergi memeriksakan kandungannya.

"Hebat, hari gini baru pulang. "Cetus Mirna saat melihat Nisa baru saja memasuki rumahnya.

"Enak banget ya, pasti habis hangout bareng sama temen-temen sosialitanya, padahal bang Doni udah pulang dari tadi. Enggak mikirin suami nya. Dasar perempuan enggak tau diri. Taunya mikirin perut sendiri aja. Suka hambur-hamburin uang." Timpal Kemuning.

Nisa meremas tangannya dengan kuat. Sungguh pedas sekali ucapan adik iparnya itu. Apakah gadis itu tidak tau, jika dirinya tidak memiliki uang . Bagaimana dirinya akan pergi jalan-jalan. Uangnya saja tadi sudah habis untuk membeli bahan makanan untuk mereka.

Seenaknya saja berbicara, apakah di pikir Abangnya itu pernah memberikannya uang. Uangnya akan di berikan kepada ibunya semua. Sedangkan Nisa, tidak pernah di beri walaupun sedikit pun. Terkadang Nisa meminta sedikit saja, suaminya akan marah-marah.

"Hueh memang begitu kelakuan mbak mu itu Muning. Kamu besok kalau sudah menikah jangan mengikuti sifat buruknya ya. Bisa-bisa kamu di benci nanti sama keluarga mertua kamu" cetus Mirna.

Nisa sampai memejamkan kedua bola matanya, saking sakitnya hatinya saat sekarang ini. Bagaimana bisa ibu mertuanya berkata seperti itu. Apakah dirinya pernah bersikap buruk kepada mereka. Nisa bahkan selalu diam saja saat mereka menghina Nisa.

"Itulah ajaran dari orang tuanya. Kalau orang tua miskin emang seperti itu. Enggak bisa mendidik anak."

Cukup, sudah cukup, jika mereka hanya menghina Nisa, Nisa akan diam saja, tapi ini mereka menghina kedua orang tuanya.

Orang tuanya mendidik Nisa sedemikian rupa, mereka tidak pernah lelah mencari uang agar Nisa bisa bersekolah, tapi nyatanya dengan seenak nya ada seseorang menghina kedua orang tuanya.

"Buk! Ibuk bisa menghina ku, tapi jangan pernah sekalipun menghina ibuk dan bapak ku. Mereka baik, dan mereka tidak pernah mendidik ku berperilaku buruk!"pekik Nisa.

Sudah cukup kesabarannya, kesal dan marah sekali dirinya saat ini.

Mirna menggeram marah, "kamu ya sudah berani-beraninya membentakku!" Teriak Mirna tak kalah emosinya.

"Kalau ibuk enggak bicara tentang kedua orang tuaku, aku enggak bakalan bicara kayak gini buk." Sahut Nisa.

"Kamu!"

"Nisa!" Pekik Doni. Doni langsung menghampiri sang Istri lalu menariknya masuk ke dalam kamar.

"Ajarkan sama istri kamu itu sopan santun Don. Ibuk enggak suka ya sama istri kamu yang selalu membangkang. Benci sekali ibuk" teriak Mirna yang masih bisa di dengar oleh Doni dan Nisa.

Nisa terisak saat Doni mencengkram kuat lengannya. "Bang, sss-sakit" lirih Nisa.

"Diam"

Plak

Satu tamparan langsung mendarat di pipi milik Nisa, sampai wanita itu jatuh tersungkur di tempat tidur.

Nisa merasakan sakit yang bertubi-tubi di dalam dirinya. Sakit hatinya, dan sakit akibat tamparan dari suaminya itu.

Pipinya sudah memerah, tanda telapak tangan Doni pun tercetak jelas di pipi wanita itu.

"Aku sudah katakan bukan! Kalau ibuk marah itu kamu diam saja. Kenapa kamu malah melawan ibuku ha?! Kamu mau membuat ibuku terkena stroke lantas meninggal gitu?! Kamu mau membuat aku kehilangan orang tua ku! Dasar wanita tidak tau di untung. Beruntung aku menikahimu. Mungkin kalau tidak kamu masih menjadi anak tukang pangkas. Kamu tidak akan tinggal di rumah enak seperti ini. Sialan"

"Kamu itu perempuan miskin! siapa yang mau menikah denganmu kalau bukan aku yang menikahimu. Pria di luaran sana, mana mungkin mau dengan perempuan hina seperti mu itu."

Pedas sekali kata-kata yang keluar dari mulut pria yang berstatus suaminya itu. Kejam, itu kata yang tergambar untuk sosok Doni. Pria itu dengan gamblang mengatakannya di depan Nisa, tanpa mau mengingat bagaimana rasa hancurnya hati Nisa.

Nisa memegangi perutnya, lalu menangis meraung di sana.

Kalau di suruh pilih, dirinya akan memilih tinggal bersama dengan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya tidak pernah memperlakukan Nisa seperti ini.

Semua karena Nisa, ini semua karenanya, karena dirinya tidak mau mendengarkan nasihat orang-orang di kampungnya dulu.

Mereka selalu menasihati Nisa, agar Nisa tidak menerima lamaran dari Doni. Mereka sangat tau watak pria itu dan keluarganya.

Karena rasa cinta Nisa, Nisa sampai tidak mendengar kan semua nasihat itu. Nasihat itu seperti angin lalu, yang tidak di hiraukan olehnya.

Saat itu Nisa di buta kan oleh rasa cintanya pada pemuda tampan bernama Doni. Hingga dirinya tidak bisa berpikir lagi, Nisa langsung menerima lamaran dari Doni.

Ibu dan bapaknya hanya pasrah saja, walaupun keduanya sebenarnya keberatan dengan keputusan anaknya itu. Tapi mereka ingin Nisa bahagia, dan mereka hanya bisa berdoa semoga apa yang di ucapkan oleh orang-orang tidak benar, dan Nisa bahagia.

Namun semuanya hanya angan-angan semata.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status