"Sudah mau pulang? Kamu mau bude bawakan makanan tidak Nis?" Sira menawarkan makanan pada Nisa, namun Nisa menggelengkan kepalanya, jelas tentu menolaknya karena Nisa terlalu sungkan selalu di berikan makanan seperti itu pada bude Sira setiap harinya.
"Enggak usah bude, nanti Nisa makan di rumah. Oiya kalau bude enggak keberatan, Nisa boleh minta satu keripiknya?" Sudah Sira tebak, jika wanita itu pasti akan berbohong lagi, Sira sungguh sampai tidak sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Sakit sekali rasanya, sudah Sira tebak, jika Nisa tidak akan makan di rumah suaminya itu. Nisa akan mengganjal perutnya dengan sebungkus kripik pisang saja. "Nis, sini dulu. Kebetulan tadi ada lebih bakso, yuk kita makan bareng" Sira menarik tangan Nisa membawanya menuju ke meja. "Tapi nanti, bang Doni udah pulang bude" "Enggak apa-apa. Kalau Doni marah, biar bude yang hadapi. Kamu jangan takut. Kita cuman makan bakso bareng" ucap Sira, bukannya tidak sopan mengajarkan yang tidak-tidak pada Nisa, namun Sira rasanya geram sendiri dengan keponakannya itu. Kadang Doni akan bersikap kelewatan saat istrinya hanya membuat kesalahan sedikit saja. "Des, sini makan bareng" teriak Sira kepada anak bungsunya itu. Desi tersenyum lalu menghampiri keduanya duduk di samping Nisa. "Makan yang banyak mbak Nisa. Biar Dede bayinya tumbuh baik di dalam" ucap Desi, tangannya terulur mengelus perut buncit milik Nisa. Nisa tersenyum, sungguh baik sekali Desi ini. "Makasih Desi." Mereka lalu makan dengan lahap. • Nisa berjalan pulang dengan perut kenyang, tangannya membawa dua bungkus keripik pisang dari tempat bude Sira. Tadi dirinya hanya meminta satu, tapi wanita paruh baya itu malah meminta Nisa untuk membawa beberapa, tapi Nisa menolaknya. Sudah di gaji, makan di sana, ini di beri banyak keripik pisang lagi, malu rasanya. Wanita itu sangat baik, tidak mungkin Nisa memanfaatkan kebaikan orang. Cukup dirinya di beri uang upah sewaktu dirinya membantu bude Sira itu sudah cukup. Karena besok dirinya akan pergi memeriksakan kandungannya. "Hebat, hari gini baru pulang. "Cetus Mirna saat melihat Nisa baru saja memasuki rumahnya. "Enak banget ya, pasti habis hangout bareng sama temen-temen sosialitanya, padahal bang Doni udah pulang dari tadi. Enggak mikirin suami nya. Dasar perempuan enggak tau diri. Taunya mikirin perut sendiri aja. Suka hambur-hamburin uang." Timpal Kemuning. Nisa meremas tangannya dengan kuat. Sungguh pedas sekali ucapan adik iparnya itu. Apakah gadis itu tidak tau, jika dirinya tidak memiliki uang . Bagaimana dirinya akan pergi jalan-jalan. Uangnya saja tadi sudah habis untuk membeli bahan makanan untuk mereka. Seenaknya saja berbicara, apakah di pikir Abangnya itu pernah memberikannya uang. Uangnya akan di berikan kepada ibunya semua. Sedangkan Nisa, tidak pernah di beri walaupun sedikit pun. Terkadang Nisa meminta sedikit saja, suaminya akan marah-marah. "Hueh memang begitu kelakuan mbak mu itu Muning. Kamu besok kalau sudah menikah jangan mengikuti sifat buruknya ya. Bisa-bisa kamu di benci nanti sama keluarga mertua kamu" cetus Mirna. Nisa sampai memejamkan kedua bola matanya, saking sakitnya hatinya saat sekarang ini. Bagaimana bisa ibu mertuanya berkata seperti itu. Apakah dirinya pernah bersikap buruk kepada mereka. Nisa bahkan selalu diam saja saat mereka menghina Nisa. "Itulah ajaran dari orang tuanya. Kalau orang tua miskin emang seperti itu. Enggak bisa mendidik anak." Cukup, sudah cukup, jika mereka hanya menghina Nisa, Nisa akan diam saja, tapi ini mereka menghina kedua orang tuanya. Orang tuanya mendidik Nisa sedemikian rupa, mereka tidak pernah lelah mencari uang agar Nisa bisa bersekolah, tapi nyatanya dengan seenak nya ada seseorang menghina kedua orang tuanya. "Buk! Ibuk bisa menghina ku, tapi jangan pernah sekalipun menghina ibuk dan bapak ku. Mereka baik, dan mereka tidak pernah mendidik ku berperilaku buruk!"pekik Nisa. Sudah cukup kesabarannya, kesal dan marah sekali dirinya saat ini. Mirna menggeram marah, "kamu ya sudah berani-beraninya membentakku!" Teriak Mirna tak kalah emosinya. "Kalau ibuk enggak bicara tentang kedua orang tuaku, aku enggak bakalan bicara kayak gini buk." Sahut Nisa. "Kamu!" "Nisa!" Pekik Doni. Doni langsung menghampiri sang Istri lalu menariknya masuk ke dalam kamar. "Ajarkan sama istri kamu itu sopan santun Don. Ibuk enggak suka ya sama istri kamu yang selalu membangkang. Benci sekali ibuk" teriak Mirna yang masih bisa di dengar oleh Doni dan Nisa. Nisa terisak saat Doni mencengkram kuat lengannya. "Bang, sss-sakit" lirih Nisa. "Diam" Plak Satu tamparan langsung mendarat di pipi milik Nisa, sampai wanita itu jatuh tersungkur di tempat tidur. Nisa merasakan sakit yang bertubi-tubi di dalam dirinya. Sakit hatinya, dan sakit akibat tamparan dari suaminya itu. Pipinya sudah memerah, tanda telapak tangan Doni pun tercetak jelas di pipi wanita itu. "Aku sudah katakan bukan! Kalau ibuk marah itu kamu diam saja. Kenapa kamu malah melawan ibuku ha?! Kamu mau membuat ibuku terkena stroke lantas meninggal gitu?! Kamu mau membuat aku kehilangan orang tua ku! Dasar wanita tidak tau di untung. Beruntung aku menikahimu. Mungkin kalau tidak kamu masih menjadi anak tukang pangkas. Kamu tidak akan tinggal di rumah enak seperti ini. Sialan" "Kamu itu perempuan miskin! siapa yang mau menikah denganmu kalau bukan aku yang menikahimu. Pria di luaran sana, mana mungkin mau dengan perempuan hina seperti mu itu." Pedas sekali kata-kata yang keluar dari mulut pria yang berstatus suaminya itu. Kejam, itu kata yang tergambar untuk sosok Doni. Pria itu dengan gamblang mengatakannya di depan Nisa, tanpa mau mengingat bagaimana rasa hancurnya hati Nisa. Nisa memegangi perutnya, lalu menangis meraung di sana. Kalau di suruh pilih, dirinya akan memilih tinggal bersama dengan ibu dan bapaknya. Ibu dan bapaknya tidak pernah memperlakukan Nisa seperti ini. Semua karena Nisa, ini semua karenanya, karena dirinya tidak mau mendengarkan nasihat orang-orang di kampungnya dulu. Mereka selalu menasihati Nisa, agar Nisa tidak menerima lamaran dari Doni. Mereka sangat tau watak pria itu dan keluarganya. Karena rasa cinta Nisa, Nisa sampai tidak mendengar kan semua nasihat itu. Nasihat itu seperti angin lalu, yang tidak di hiraukan olehnya. Saat itu Nisa di buta kan oleh rasa cintanya pada pemuda tampan bernama Doni. Hingga dirinya tidak bisa berpikir lagi, Nisa langsung menerima lamaran dari Doni. Ibu dan bapaknya hanya pasrah saja, walaupun keduanya sebenarnya keberatan dengan keputusan anaknya itu. Tapi mereka ingin Nisa bahagia, dan mereka hanya bisa berdoa semoga apa yang di ucapkan oleh orang-orang tidak benar, dan Nisa bahagia. Namun semuanya hanya angan-angan semata. *Hari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja. Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik. Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa. Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bang
"Mau cerai ya cerai saja sana! Enggak ada ruginya untuk keluargaku! Kamu itu hanya parasit yang datang di keluarga kami. Dasar perempuan hina, miskin." Ucap Mirna dengan pedas. Nisa terkejut dengan kehadiran Mirna, karena setahunya, tadi dirinya tidak melihat keberadaan ibu mertua atau adik iparnya. Tapi, Mirna tiba-tiba datang. Malas berdebat dengan ibu mertuanya yang pasti tidak ada ujungnya, Nisa langsung berlalu pergi dari sana, meninggalkan Mirna yabg menggerutu. Nisa memilih menyusul sang suami ke dalam kamar. Mirna mengumpat sarkas. "Dasar menantu tidak tau diri. Emang dasarnya orang miskin ya begitu, pendidikannya kurang. Sopan santun saja tidak ada." Mirna langsung bergegas mengambil tas miliknya, tadi dirinya sudah di pertengahan perjalanan, dan tasnya ketinggalan. Terpaksa Mirna harus kembali ke rumah. Namun, siapa sangka dirinya malah mendengar obrolan anak dan menantunya. Miran langsung pergi, malas mengurusi perihal itu, biarkan saja mereka cerai, karena hal itu
"Ibu ngapain ke sini? Bukannya ibu tadi ada sama bapak?" Joko tergeragap saat mendapati sang ibu yang menatap ke arahnya. Matanya sesekali melirik ke arah Kemuning yang masih diam di tempatnya. Joko mengumpat, kenapa perempuan itu masih berdiri di sana, dan tidak pergi. Kalau sampai ibunya curiga bagaimana? Joko tidak mau image buruknya di ketahui oleh sang ibu. "Ibu ya memang cari kamu. Kamu aja di cariin enggak ada dari tadi. Lagi, ngapain itu kamu dari semak-semak? Kurang kerjaan kamu?" Omel sang ibu, matanya memicing ke arah Joko. Joko tersenyum, walaupun jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Sungguh dirinya sangat takut sekali jika ibunya sampai mengetahui perbuatannya itu. "Emm anu, itu Bu" "Anu apa? Jangan kebanyakan anu Joko, kamu ini. Cepat, budemu sudah menunggu di depan, tidak baik tamu datang di tinggal pergi." Cetus ibu Joko. Joko menganggukkan kepalanya, lalu berjalan bersama dengan ibunya pergi dari tempat itu, tapi baru beberapa langkah, ternyata Kemuning
Hujan sudah berhenti mengguyur, tapi Nisa masih betah meringkuk di dalam selimut tebal yang membalut tubuhnya. Entah mungkin karena efek kelelahan, Nisa sampai terlelap lama. Beruntung ibu mertuanya masih belum pulang, jadi Nisa tidak akan terkena masalah apapun . Doni yang melihatnya hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar, pria itu sedikit terenyuh dengan pemandangan yang ada di depan matanya saat ini, namun lagi dan lagi dirinya teringat dengan ucapan ibunya. Tidak di pungkiri, Doni mencintai wanita yang berstatus istrinya itu. Bahkan rasa cintanya tidak pernah hilang sedikit pun. Namun perkataan sang ibu yang selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya langsung membuat Doni mengubah ekspresi wajahnya kembali. Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, lalu berlalu keluar dari rumah, tujuannya ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu. "Doni" Doni menghentikan langkah kakinya, pria itu menoleh dan langsung menatap ke arah wanita paruh baya yang tidak lain adalah buden
Doni termangu sesaat saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut budenya itu. Sungguh dirinya tidak akan mau jika harus berpisah dengan Nisa. Dirinya mencintai Nisa, namun Doni tidak bisa membela wanitanya itu. Perkataan bude Sira tadi sangat mengusik hati dan pikirannya. Karena biar bagaimanapun Doni ingin bersama dengan Nisa, tapi wanita itu saja yang merubah semuanya, membuat Doni tak menyukai perempuan itu lagi. Bude Sira sudah kembali ke warung baksonya, rasanya bude Sira percuma saja menasehati keponakannya itu. Keponakannya itu ternyata sama-sama kejamnya seperti ibunya-Mirna. Padahal bude Sira sudah berharap, jika Doni membuka matanya, mendengarkan apa yang dikatakan olehnya, dan lebih melihat lagi bagaimana perjuangan Nisa selama ini. Nisa, wanita itu pontang-panting ke sana kemari. Belum lagi hinaan maupun cercaan yang keluar dari mulut Mirna, serta keluarga yang lainnya, terlebih ibu-ibu biang gosip yang selalu berbicara sesuka hati mereka, ah entahlah, rasanya
"Astaghfirullah, Nisa kamu harus bertahan nak, bude akan membawa kamu segera ke klinik." Bude Sira bahkan meminta tolong pada beberapa orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya untuk membangunnya membawa Nisa ke klinik. Sungguh dirinya sangat resah, takut terjadi sesuatu pada wanita itu. Terlebih melihat kondisi Nisa yang bisa di katakan sedang tidak baik-baik saja. Kemungkinan buruk bisa terjadi, namun bude Sira berdoa semoga kemungkinan buruk itu hilang. "Nak, bertahan sayang. Nisa wanita yang kuat. Bude yakin Nisa pasti bisa melawan ini semuanya. Ingat sayang, ada nyawa bayi yang selama ini kamu perjuangkan." Bude Sira tidak berhenti mengucapkan kata-katanya, walaupun Nisa sama sekali tidak merespon perkataannya. Sungguh, hati bude Sira bergemuruh hebat, apa lagi membayangkan wanita itu selama ini bekerja keras untuk mempertahankan anak yang ada di dalam kandungannya, bahkan keluarga suaminya saja sama sekali tidak peduli. Nisa seperti hidup sebatang kara, jauh dari kedu
Nisa sudah sadarkan diri, tapi perutnya masih terasa sangat sakit. Nisa bahkan tidak sanggup untuk bangun dari ranjang klinik itu. Bude Sira datang membawakan teh dan makanan untuk Nisa, tadi sempat pulang sebentar ingin memberitahukan Doni dan keluarganya, tapi sayang, Doni tidak ada di rumah, serta keluarga Doni, ya seperti itu lah, mereka sama sekali tidak peduli dengan apapun yang terjadi pada Nisa. Mereka malah tertawa dan menyumpah serapah Nisa. Mereka bahkan tidak sudih sedikitpun untuk datang melihat keadaan Nisa, mau Nisa mati sekalipun mereka tidak akan pernah peduli. Sebegitu jahatnya mereka pada Nisa, tanpa menghiraukan perasaan Nisa sedikitpun. "Makan Nis, bude bawakan nasi dan teh hangat untuk kamu, kamu harus banyak makan, biar kamu banyak tenaga lagi." Nisa memang sudah sadar, tapi hatinya sedih tak karuan, karena mengingat perkataan bidan barusan saat dirinya sadarkan diri, jika dirinya harus segera di rujuk ke rumah sakit yang ada di kota. Siapa yang tak sedih,
"Nisa mana Bu?" Tanya Doni yang baru saja pulang entah darimana itu. Mirna langsung mendengus, tangannya sibuk melipat baju yang baru saja di angkatnya dari jemuran, biasanya Nisa, tapi karena Nisa tidak ada dirinya harus apa-apa sendiri. Sudah minta tolong sama Kemuning, tapi anak gadisnya itu mana mau di suruh-suruh oleh Mirna. Sudah hampir sore saja, Kemuning masih asik tertidur di dalam kamarnya, dan Mirna juga sama sekali tidak menegurnya. Mirna malah menyalahkan Nisa yang tidak becus. "Istri kamu itu manja banget, sakit perut mulas kayak begitu aja udah caper minta anter sama si Sira ke rumah sakit. Ck, lebay banget kan? Ibu sudah bilang sama kamu sebelumnya Don! Jangan hamil, lihatlah kalau orang miskin hamil, pasti manjanya enggak ketulungan kayak begini" ucap Mirna. Doni tersentak, matanya menatap lekat wajah sang ibu. "Nisa masuk rumah klinik?" "Ya! Dia caper! Biar di kiranya dia yang paling tersakiti. Terserah, ibu juga enggak peduli. Tadi si Sira datang kasih tau ko
"Ya Allah" ibunya Nisa sampai memegangi dada yang tiba-tiba sesak saat mendengar cerita dari Nisa. Dirinya tidak menyangka jika Doni sudah menalak anaknya itu. Nisa jelas tentu menceritakan singkatnya saja, tentang Doni yang menalaknya, bukan tentang sikap pria itu dan keluarganya yang semena-mena pada dirinya. Diri nya akan simpan hal itu, dan tidak akan di ceritakan kepada bapak dan ibunya. "Ini salah Nisa buk, karena Nisa tidak becus menjadi istri untuk bang Doni." Ucap Nisa di sela tangisnya. Tubuhnya bergetar hebat, sang ibu langsung memeluknya dengan erat. Sungguh entah terbuat dari apa hati wanita itu, Nisa di sini tidak bersalah sama sekali, karena dirinya lah yang menjadi korban. Doni dan keluarganya yang salah. Namun wanita itu selalu menganggap ini kesalahannya. Kurang apa Nisa? Dirinya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari anggota keluarga Doni, namun wanita itu terus saja sabar dan selalu menuruti keinginan mereka. Tapi tidak ada sedikitpun rasa iba yang
"Assalamualaikum" "Wa'alaikum salam." "Ya ampun, masuk-masuk bude. Maaf ya saya tidak menyambut kedatangan anda tadi." Ibunya Nisa langsung membuka pintu yang terbuat dari kayu itu lebar-lebar, lalu mempersilahkan bude Sira masuk ke dalam rumah. Bude Sira tersenyum, lalu segera bangkit dan mengambil beberapa bungkusan yang memang tadi di siapkan di rumah untuk kedua orang tua Nisa. "Maaf, saya tidak bawa apa-apa" bude Sira menyerahkannya pada ibunya Nisa, membuat ibunya Nisa terkejut bukan main saat menerima bungkusan yang di bawa oleh wanita itu. "Ini repot sekali ya ampun. Ayo silahkan masuk, dan duduk. Saya akan buatkan minuman, pasti haus ya kan." Bude Sira menganggukkan kepalanya, lalu masuk dan duduk di kursi rotan yang ada di dalam rumah itu. Rumah yang tampak lebih luas bagi bude Sira saat terakhir kalinya dirinya datang ke rumah ini. Di sana juga sudah ada kursi rotan, sebuah televisi, dan lemari, yang sebelumnya tidak ada. Karena waktu itu mereka datang duduk beralas
Benar saja, sekitar jam lima sore mereka sudah tiba di desa milik ibu dan bapaknya Nisa. Desa yang sangat sejuk, banyak sekali pemandangan sawah yang membentang di sepanjang perjalanan. Sungguh sangat memanjakan mata. Desa yang sudah beberapa bulan tidak Nisa kunjungi, membuat hati Nisa mendadak sedih. Jahat sekali dirinya tidak pernah menengok keadaan bapak dan ibunya selama ini. Padahal merekalah orang yang sangat mengerti dirinya. Sungguh rasa bersalah itu muncul di dalam dirinya. "Nis, bude terakhir kalinya datang kemari waktu nikahan kamu sama Doni. Itu udah lama banget, setelah nya bude enggak pernah kemari lagi." Ucap bude Sira yang duduk tepat di samping Nisa. "Iya bude, Nisa juga udah lama banget enggak ke sini" ucap Nisa sambil menundukkan kepalanya, merasa sedih. Bude Sira menghela nafasnya kasar, dirinya sangat tau, bagaimana mungkin wanita itu datang ke rumah orang tuanya, suaminya saja tidak pernah mau mengajak Nisa ke sana. Kalau Nisa pergi sendiri, bagaimana mun
Malam itu terasa sangat lama bagi Nisa. Rasanya matanya sangat sulit sekali terpejam. Nisa berulangkali mencoba memejamkan kedua bola matanya, namun sayang, bayang-bayang kejadian kemarin terus saja menghantui dirinya. Nisa melirik ke arah sampingnya, tepatnya pada bude Sira yang sedang tertidur lelap, bergelung dengan selimut tebal. Tidur wanita paruh baya itu tampak sangat pulas sekali, mungkin karena wanita itu kelelahan seharian ini. Bude Sira yang mengemasi barang-barang miliknya yang ada di rumah Mirna. Wanita paruh baya itu di bantu oleh Desi anaknya. Nisa tadi ingin ikut, dan biarkan saja dirinya yang mengemasi semua barangnya. Rasanya tidak enak dan sungkan sekali, membiarkan orang lain mengemasi barang-barangnya. Tapi bude Sira dan Desi melarang Nisa. Keduanya menyuruh Nisa untuk tetap berada di rumah bude Sira dan beristirahat saja. Sedangkan Tiar pemuda itu sudah pergi mencari becak keliling yang akan mereka gunakan besok untuk mengantar Nisa pulang ke rumah kedua
"Doni!!!" Bude Sira langsung marah mendengar perkataan dari Doni itu. Namun semuanya sudah terlambat, talak sudah jatuh dan hubungan mereka telah berakhir. Mirna langsung tersenyum puas, akhirnya, apa yang di tunggu-tunggu selama ini tercapai. Dirinya yang sangat membenci wanita miskin itu tidak akan lagi melihat wanita itu. "Kamu keterlaluan Don! Dia istri kamu, dan dia baru saja keguguran!" Sentak bude Sira. "Aku enggak peduli bude! Dia sekarang bukan istriku lagi! Dan mulai sekarang dia harus pergi dari sini! Aku juga akan menikah" "Kamu kejam Doni!" "Aku enggak peduli. Mau kalian mengatakan apa tentang diriku, Pokoknya aku sudah menjatuhkan talak dengan Nisa." "Don--" "Hei sudah! Kenapa kau yang repot-repot sih? Doni anakku, dia sudah memberikan keputusan, dia sudah tidak mau lagi dengan Nisa. Jadi kamu Sira jangan ikut campur. " Ucap Mirna dengan sinis, tidak ada embel-embel kakak, padahal dirinya itu bersaudara kandung dengan Sira, dan Sira adalah kakak Mirna. Bude Sira
Nisa berdiri terpaku, matanya melebar penuh ketakutan saat Joko mendekatinya dengan tatapan yang menggambarkan nafsu serakah. "Jangan, Joko," suaranya bergetar, pelan tetapi penuh keputusasaan. Joko, yang sudah kehilangan akal sehat, hanya menggertakkan giginya seraya menggenggam erat lengan Nisa. Air mata mulai mengalir deras di pipi Nisa, dia berusaha mendorong Joko yang lebih besar dan lebih kuat darinya, namun sia-sia. "Tolong... jangan," ratapnya lagi, suaranya tercekat oleh tangisnya yang pecah. Joko, dengan tangan yang kasar, mencoba membuka baju Nisa yang terbuat dari kain tipis. "Kamu mau apa ?" Pekik Nisa saat Joko sudah semakin dekat dengan dirinya . Joko menyeringai melihat nya semakin tidak tahan dengan wajah perempuan yang ada dihadapan nya saat ini . "Aku mau kamu mbak, bersenang-senang lah denganku, mumpung tidak ada orang di rumah" "Gila! Kamu gila ya" pekik Nisa, perempuan itu sudah akan ingin berlari namun Joko langsung menahan tangannya, pria itu me
"Aku nggak mau tau bang. Pokoknya kamu harus menceraikan istri kamu itu. Aku nggak mau ya jadi istri kedua. Aku mau jadi istri satu-satunya kamu" ucap Sari pada Doni.Doni tersenyum lebar, mendekatkan dirinya pada Sari, lalu mencium pipi wanita itu.Cup"Kamu tenang saja sayang, Abang memang berencana akan menceraikan dia."Sari mendorong sebal wajah Doni. "Kapan? Abang selalu berkata seperti itu. Katanya Abang akan ceraikan dia setelah dia pulang dari rumah sakit. Tapi, ini udah dua hari dia pulang dari rumah sakit, tapi Abang sama sekali belum menjatuhkan talak sama dia." Sari jadi kesal sendiri karena Doni nyatanya tidak menepati janjinya sama sekali. Padahal pria itu sendiri di yang berjanji padanya akan menceraikan Nisa secepatnya."Abang jangan bohong. Kalau Abang bohong, pekerjaan Abang taruhannya." Ancam Sari. Dan Sari ini adalah sepupu pemilik kebun karet yang saat ini Doni kerja. Sari yang sering datang ke kebun karet itu jatuh cinta pada sosok Doni yang wajahnya tampan. Dan
Tiar adalah anak bude Sira. Anak bude Sira yang merantau di Kalimantan dua tahun lalu dan baru kembali pulang hari ini. Entah suatu kebetulan atau apa, tapi Tiar ini adalah mantan kekasih Nisa dulu. Dan Tiar juga sama sekali tidak tau menahu jika Nisa menikah dengan sepupunya Doni. Berita sepupunya menikah memang terdengar di telinganya, namun Tiar sama sekali tidak tau jika yang menjadi istri dari sepupunya itu adalah mantan kekasihnya. mantan kekasih yang masih sangat di cintainya. Dan salah satu alasan Tiar merantau ke pulau lain adalah ingin mencari uang dan segera melamar Nisa. namun, siapa sangka jika Nisa telah menikah. Kecewa, jelas. Hubungan mereka berakhir juga tanpa kepastian yang jelas. Karena Nisa yang tiba-tiba dulu mengakhiri sepihak, padahal Tiar tidak mau hubungan mereka berakhir. Tiar sangat mencintai Nisa.Nisa meremas kedua tangannya dengan kencang, rasa canggung itu jelas terlihat di raut wajahnya, bagaimana pun, dirinya di sini yang bersalah pada pria itu. Diri
"Ya ampun Sari sayang, kamu bawa apa itu? Banyak sekali makanan yang kamu bawa?" Mirna menyambut calon menantunya itu dengan rasa penuh gembira. Sari tersenyum lebar. Menyerahkan beberapa bingkisan pada Mirna. "Cuman makanan biasa kok Bu. Semoga ibu dan Kemuning suka ya." Kata Sari sambil tersenyum lebar. Tangannya memamerkan emas yang menggantung di bagian tubuhnya itu. Mirna meneguk ludahnya susah payah. Rasanya pengen banget memiliki emas banyak seperti itu. Dan jika saja, anaknya Doni berhasil menikah dengan Sari, dirinya akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa, termasuk emas yang berjejer di tubuh wanita itu. "Ayo kita makan bersama-sama" Mirna menggamit lengan Sari, namun Sari malah mengibaskan tangan Mirna. Sari juga mengambil tisu yang ada di dalam tasnya. Lalu membersihkan bekas tangan Mirna yang ada di lengannya itu. "Biar nggak ada kumannya buk. Ibuk juga pasti nggak bersih kan? Lihat, bajunya juga lusuh sekali." Ucap Sari menatapi Mirna dengan pandangan jij