Nisa menghiraukan semua perkataan yang terlontar dari mulut mereka semuanya. Dirinya tidak ambil pusing, walaupun kenyataannya, rasa sesak di dalam dadanya itu ada. Tapi Nisa mencoba menahan rasa sesak itu.
Untuk apa dirinya bersedih, karena semua itu hanya akan mempengaruhi pikirannya saja, apa lagi saat ini dirinya tengah hamil. Mereka juga sudah biasa menghinanya seperti itu. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa. Berjalan beberapa langkah saja, Nisa sudah sampai di tempat tujuannya. Yaitu warung bakso Sira, satu-satunya wanita paruh baya yang menyukai Nisa. Sebenarnya Sira itu masih ada sangkut pautnya saudara dengan keluarga Doni. Lebih tepatnya kakak kandung ibu Mirna. Namun, karena Mirna merasa jika hidupnya Sira itu lebih baik dari dirinya, wanita itu selalu memusuhi Sira. Bahkan Mirna dengan terang-terangan membenci saudara kandungnya itu. Aneh memang, tapi bude Sira tidak pernah marah dan selalu bersikap baik pada wanita itu. "Assalamualaikum bude" "Wa'alaikum salam, wah ada bumil, sini nak masuk sayang." Lihatlah, wanita paruh baya itu menyambut kedatangan Nisa dengan ramah, bahkan rela meninggalkan pekerjaan nya demi menghampiri Nisa dan menanyakan kabarnya. Padahal mereka baru saja bertemu kemarin. "Bagaimana kabar kamu nak?" Sira bahkan mengelus perut buncit Nisa dan langsung menuntun Nisa untuk duduk di kursi yang memang ada di sana. Nisa tersenyum, senang sekali dirinya mendapatkan perhatian dari wanita ini. Ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya. Berjauhan dari kedua orang tuanya, membuat Nisa sangat merindukan kasih sayang seperti ini. Apa lagi perlakuan yang dirinya dapatkan dari keluarga suaminya. Membuat Nisa rasanya ingin pergi saja. Tapi sayang, Nisa tidak bisa melakukannya. Nisa terlalu baik untuk melakukan hal sejahat itu. Perasaan Nisa itu sangat emosional saat ini, entah kenapa Nisa tiba-tiba menetes air matanya, padahal sudah dirinya tahan sejak tadi. Namun nyatanya air mata itu tiba-tiba jatuh. Mungkin efek dari kehamilannya yang meningkat kan rasa emosional di dalam dirinya. "Kok kamu menangis sayang?" Sira langsung tersentak saat melihat Nisa menangis, segeralah dirinya memanggil Desi- anaknya untuk mengganti kan dirinya berjualan bakso, "Des, bantu gantiin ibu jualan dulu ya" ucap Sira. Dan Desi anak Sira ini sangatlah berbeda dari Kemuning, gadis yang berusia sama dengan Kemuning itu mengangguk patuh, bahkan dirinya sangat baik dan selalu bersikap ramah dengan Nisa. "Iya buk. Eh mbak Nisa nya kenapa buk? Kok nangis?" Tanya Desi sesaat melewati tempat Sira dan Nisa. "Enggak apa-apa, mungkin mbak mu kelelahan saja nak. Yaudah sana kamu bantu berjualan dulu ya. Ibuk enggak lama kok. Itu ada yang beli" tunjuk Sira saat melihat ada pelanggan yang datang. Warung Sira ini terbilang sangat ramai pembelinya. Tak jarang sampai pembeli dari luaran desa yang datang. Kata mereka bakso buatan Sira ini sangat lezat, dan Nisa mengakuinya itu. Setelah Desi pergi, Sira meraih satu gelas yang sudah berisi air putih, lalu memberikannya kepada Nisa. "Di minum dulu Nis." Ucapnya dengan lembut. Nisa menganggukkan kepalanya, lalu meraih gelas itu dan langsung meminumnya hingga habis. Rasanya sedikit ada yang lega di dalam dadanya. Rasa sesak itu berkurang sedikit. "Kamu kenapa nak? Mertuamu berbuat ulah lagi?" Tanya Sira yang memang sudah hafal dengan sifat Mirna. Karena Sira pernah memergoki Mirna sedang memarahi Nisa. Sira sempat menegur saudara kandungnya itu, namun dirinya malah berakhir menjadi amukan wanita paruh baya itu. Siapa yang tega melihat wanita hamil seperti Nisa di perlakukan seperti itu oleh Mirna. Bahkan anak wanita itu, yang notabene nya sebagai suami Nisa, hanya diam saja saat istri nya di perlakukan seperti itu. Kejam, bagi Sira mereka sangatlah kejam, meminta anak orang hanya untuk di perlakukan seperti itu. Sungguh hati mereka entah terbuat dari apa. Susah payah kedua orang tuanya membesarkan anaknya, dan selalu berdoa agar anak nya kelak bahagia, namun nyatanya malah hidup anak nya di jadikan seperti ini. Nisa menggelengkan kepalanya, mana mungkin Nisa membuka aib keluarga suaminya "enggak bude. Tapi Nisa lagi kangen aja sama ibuk dan bapak." Sahut Nisa. Sira menganggukkan kepalanya, lalu tangannya mengelus kepala Nisa yang tertutup oleh hijab lusuh dengan sayang. Sira tau jika itu hanya alibi Nisa saja, Sira tau semuanya, namun dirinya lebih memilih diam, dan tidak mau mengungkitnya. Agar Nisa tidak semakin kepikiran. Sungguh malang perempuan ini. Dulu awal mula mengenal Nisa, wanita ini tidak selusuh sekarang, walaupun kedua orang tuanya tidak mampu, tapi Nisa menjadi gadis yang cantik dan terawat. Orang tuanya selalu memanjakan Nisa. Walaupun bukan dengan barang-barang mewah dan mahal. Hanya sederhana. "Yaudah, Minggu ini bude antar kamu pulang mau? Bude juga mau berkunjung ke rumah orang tua kamu, bude kangen sama masakan ibuk kamu" ucap Sira. "Emm, nanti Nisa minta ijin sama bang Doni dulu ya bude." Dan selalu, wanita itu akan menjawabnya seperti itu. Sungguh wanita yang mulia. Tapi Sira tidak habis pikir kenapa suami dan mertuanya bisa memperlakukan wanita sebaik Nisa seperti itu. Sira tersenyum, "iya nak." Lalu bangkit dari duduknya dan mengambilkan nasi serta lauk pauk yang di masaknya siang ini. Sira meletakkannya di atas meja di depan Nisa. "Makan Nis. Bude tau kamu lapar " ucap Sira. Ya, lagi-lagi Sira tau bahwa Nisa pasti kelaparan. Walaupun Nisa tidak pernah memberitahunya dan selalu menyangkalnya, tapi Sira tau. Seperti ini. "Nisa baru makan bude, tadi ibuk masak ayam kecap" ucap Nisa. Sira tersenyum tipis, dirinya tau kalau Nisa pasti berbohong dan menutupinya. Hatinya rasanya amat sesak, melihat kebaikan wanita ini. "Di makan nak, wanita hamil pasti sering merasa lapar. Bude tadi masak makanan spesial untuk kamu nak" Air liur Nisa rasanya ingin menetes saat melihat makanan di depannya, dirinya yang memang kelaparan dari pagi belum makan apa pun rasanya ingin melahap saja. Namun sekali lagi, Nisa tidak mau menjatuhkan marwah keluarga suaminya. "Bude nanti saja, Nisa akan bantu Desi dulu baru Nisa makan" ucap Nisa yang akan bangkit dari duduknya. Namun langsung di tahan oleh Sira. "Makan dulu nak, Desi biar bude yang bantu. Nanti kalau sudah selesai makannya, kamu bisa langsung ke depan ya nak. Jangan menolak rezeki Nis, enggak baik." Ucap Sira. Dan akhirnya Nisa menurut, Nisa memakan makanan yang di meja itu dengan lahap. Sungguh Nisa sangat lapar sekali, mengingat dirinya belum makan dan hanya meminum air putih saja tadi. Sira langsung berlalu menghampiri anaknya yang ada di depan, tidak jauh, Desi masih bisa melihatnya. Desi langsung memeluk tubuh ibunya dengan erat. "Ya Allah buk, terbuat dari apa hati wanita sebaik mbak Nisa" isak Desi saat melihat Nisa. Sungguh hatinya rasanya sangat sesak. Sira menganggukkan kepalanya, diam-diam bulir bening jatuh menetes di pelupuk matanya."Sudah mau pulang? Kamu mau bude bawakan makanan tidak Nis?" Sira menawarkan makanan pada Nisa, namun Nisa menggelengkan kepalanya, jelas tentu menolaknya karena Nisa terlalu sungkan selalu di berikan makanan seperti itu pada bude Sira setiap harinya. "Enggak usah bude, nanti Nisa makan di rumah. Oiya kalau bude enggak keberatan, Nisa boleh minta satu keripiknya?" Sudah Sira tebak, jika wanita itu pasti akan berbohong lagi, Sira sungguh sampai tidak sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Sakit sekali rasanya, sudah Sira tebak, jika Nisa tidak akan makan di rumah suaminya itu. Nisa akan mengganjal perutnya dengan sebungkus kripik pisang saja. "Nis, sini dulu. Kebetulan tadi ada lebih bakso, yuk kita makan bareng" Sira menarik tangan Nisa membawanya menuju ke meja. "Tapi nanti, bang Doni udah pulang bude" "Enggak apa-apa. Kalau Doni marah, biar bude yang hadapi. Kamu jangan takut. Kita cuman makan bakso bareng" ucap Sira, bukannya tidak sopan mengajarkan yang tidak-tidak pada N
Hari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja. Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik. Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa. Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bang
"Mau cerai ya cerai saja sana! Enggak ada ruginya untuk keluargaku! Kamu itu hanya parasit yang datang di keluarga kami. Dasar perempuan hina, miskin." Ucap Mirna dengan pedas. Nisa terkejut dengan kehadiran Mirna, karena setahunya, tadi dirinya tidak melihat keberadaan ibu mertua atau adik iparnya. Tapi, Mirna tiba-tiba datang. Malas berdebat dengan ibu mertuanya yang pasti tidak ada ujungnya, Nisa langsung berlalu pergi dari sana, meninggalkan Mirna yabg menggerutu. Nisa memilih menyusul sang suami ke dalam kamar. Mirna mengumpat sarkas. "Dasar menantu tidak tau diri. Emang dasarnya orang miskin ya begitu, pendidikannya kurang. Sopan santun saja tidak ada." Mirna langsung bergegas mengambil tas miliknya, tadi dirinya sudah di pertengahan perjalanan, dan tasnya ketinggalan. Terpaksa Mirna harus kembali ke rumah. Namun, siapa sangka dirinya malah mendengar obrolan anak dan menantunya. Miran langsung pergi, malas mengurusi perihal itu, biarkan saja mereka cerai, karena hal itu
"Cuci itu baju! Jangan sampe ada yang ketinggalan! Kamu itu di sini sudah makan gratis, mau belagu pula sok menjadi ratu! Kamu kira anak saya kerja banting tulang cuman buat kamu habis-habiskan hm? Kamu shopping? Kamu leha-leha di kasur gitu?" cerca seorang wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.Nisa tersenyum miris mendengarnya, bahkan uang gaji suaminya juga dirinya tidak pernah mencicipinya sedikit pun. Jika suaminya gajian, juga ibu mertuanya lah yang selalu mengambil uangnya dan mengatur semua keperluannya. Bahkan Nisa tidak di kasih uang sepeser pun.Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Nisa harus pergi ke warung bakso di sebelah rumah mertuanya, wanita itu membantu pekerjaan di sana, dan mendapatkan upah. Barulah Nisa bisa membeli sesuatu."Kenapa?! Kamu mau marah ha? Silakan marah? Mau ngadu sama suami mu, ngadu saja sana, saya tidak takut"Ya mana mungkin takut, karena suaminya juga sama, jika Nisa mengaduhkan sikap sewenang-wenang ibunya itu,
Nisa merenggangkan otot-otot tubuhnya saat sudah sampai di rumah. Perutnya terasa kram, akibat berjalan terlalu jauh menuju ke pasar.Mau naik ojek, tapi Nisa tidak punya biayanya. Tadi saja uang belanja yang di berikan oleh ibu mertuanya kurang, terpaksa mau tidak mau Nisa mengambil uangnya yang digunakan untuk pemeriksaan agar bisa membeli barang-barang yang memang sudah ada di catatan itu.Padahal uang itu untuk mengecek kandungannya esok hari, namun karena uangnya sudah habis, terpaksa setelah selesai memasak makanan, Nisa harus bekerja di warung bakso Bude Sira.Terpaksa itu yang harus Nisa lakukan, Nisa harus bekerja demi bisa memeriksakan kandungannya esok hari.Padahal tubuhnya sudah lelah letih ingin sekali Nisa berbaring di atas ranjang, namun semua itu hanya angan-angannya saja. Nisa yakin ketika dirinya beristirahat Ibu mertuanya akan datang dan langsung memarahi dirinya.Sudah biasa, dan hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa.Nisa mengusap peluh keringat yan