Share

bab 5

Hari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja.

Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi.

Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik.

Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa.

Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bangkit dari duduk nya lagi, wanita itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke klinik itu. Ya klinik satu-satunya yang berada di Desa itu.

Desa tempat tinggal suami Nisa memang terbilang masih pelosok, jauh sekali dari perkotaan, jika ingin menuju ke kota, mereka harus menempuh jarak hingga sepuluh jam-an. Itu juga terbilang cepat kalau tidak ada kendala, karena biasanya mereka harus menghadapi jalanan yang licin saat hujan turun tiba-tiba.

Sesampainya di klinik itu, sudah ramai banyak sekali ibu-ibu hamil yang tengah mengantri untuk memeriksa kan kandungan mereka masing-masing.

Karena Nisa datang agak terlambat, Nisa mendapatkan nomor urut antrian ke sepuluh.

Nisa mencecap bibirnya yang kering itu, sungguh mengantri membuatnya kehausan. Apa lagi tadi dirinya berjalan cukup lumayan jauh. Perutnya juga terasa perih karena lapar, tadi di rumah dirinya tidak makan apa-apa. Nisa hanya minum air putih dan setelahnya wanita itu pergi.

Bukannya Nisa tidak mau makan, tapi lagi dan lagi ibu mertuanya lah yang melarangnya. Ibu mertuanya itu selalu mengancam Nisa jika Nisa akan makan.

Setiap harinya memang selalu seperti itu. Beruntung bude Sira selalu menawari dirinya untuk makan, kalau tidak, Nisa akan berpuasa seharian, dan akan makan jika datang ke rumah bude Sira kembali.

Tersiksa, jelas Nisa tersiksa, tubuhnya bahkan yang hamil itu sudah kurus kering. Hanya perutnya saja yang menonjol.

Mirna melakukan hal itu memang sengaja, dirinya memang ingin membuat Nisa tidak tahan dan berakhir pergi dari kehidupan anaknya. Mirna tidak akan pernah sudih memiliki menantu seperti Nisa.

Nisa meneguk ludahnya saat melihat pedagang es buah keliling yang tengah berhenti di depan klinik. Banyak ibu-ibu yang mengantri menunggu panggilan dari ibu bidan menghampiri penjual itu dan membelinya.

Rasanya air liur Nisa ingin menetes saja saat membayangkan air es bercampur dengan buah itu memasuki tenggorokannya. Nisa sampai mengelus perutnya. Berulangkali membuang pandangannya agar tidak melihat seplastik minuman itu, namun matanya seakan tidak bisa di ajak kompromi.

Matanya terus memandangi seorang ibu-ibu yang tengah menyeruput air es buah itu.

"Ya Allah" lirih Nisa. Sesak sekali rasanya seperti ini. Ingin sekali Nisa membelinya, namun lagi dan lagi wanita itu tidak mempunyai uang. Uangnya hanya cukup untuknya memeriksa kandungannya.

Menit yang terasa mencengkam itu berlalu, hingga kini giliran Nisa yang di panggil.

Nisa mengucapkan syukur di dalam hatinya, akhirnya dirinya terhindar dari rasa inginnya akan es buah itu.

Nisa berjalan menuju ke ruangan tempat dirinya akan memeriksa kandungannya.

"Silakan berbaring dulu Buk. Saya akan memeriksa bayinya." Ucap ibu bidan.

Nisa berbaring di brangkar itu, lalu sang bidan menyibak sedikit baju lusuh milik Nisa yang langsung menampilkan perut buncitnya itu.

Beberapa menit setelahnya. "Maaf buk, saya harus menyampaikan berita ini. Maaf sekali, anak ibuk di dalam kandungan saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ibuk juga, ibuk sepertinya sangat kekurangan gizi. Postur tubuh ibuk hamil tidak seperti ini buk. Ibuk kekurangan berat badan. Bahkan janin ibuk bisa keguguran jika ibuk tidak ada kemajuan sama sekali."

Deg

Hancur sekali hati Nisa saat mendengarnya. Bulan kemarin dirinya masih mendengar kabar baik tentang kandungannya, namun bulan yang menginjak bulan ke lima ini, Nisa harus mendengar kabar buruk.

Sungguh terasa sesak dadanya.

"Buk bidan,, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan agar anak saya tidak kenapa-kenapa?" Tanya Nisa. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Sungguh dirinya tidak tahan untuk tidak menangis.

Ibu bidan itu menghela nafasnya dengan kasar. "Saya sarankan segeralah ibuk ke rumah sakit. Bukannya apa buk. Kami hanya klinik, alat dan obat kami tidak memadai di sini. Di sana nanti ibuk akan di rawat. Mumpung belum terlambat, ibuk bisa segera pergi ke rumah sakit."

Bertambahlah hancur hati Nisa saat mendengarnya. Sungguh bagaimana dirinya bisa pergi ke kota jika seperti ini.

Uang saja dirinya tidak punya.

Tapi dirinya akan membicarakan ini kepada suaminya nanti, berharap Doni mau mendengarkannya, ini juga demi anak mereka berdua.

Semoga

Dengan langkah lunglai, Nisa sudah sampai di rumah mertuanya. Beruntung hari ini ibuk mertuanya dan adik iparnya tengah pergi ke pesta sanak saudara mereka di desa seberang. Kemungkinan besar keduanya akan pulang nanti malam.

Dan bersyukur sekali Nisa, setidaknya tidak ada suara-suara hinaan yang terdengar di telinga nya.

Nisa masuk ke rumah dan langsung di tatap oleh suaminya yang rupanya sudah pulang dari bekerja.

Nisa langsung menghampiri Doni, meraih punggung tangan pria berstatus suaminya itu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim.

"Assalamualaikum bang. Abang udah lama pulangnya?" Tanya Nisa lembut. Walaupun kemarin suami nya itu berbuat kasar dengannya, namun Nisa sudah mencoba melupakannya. Nisa berharap Doni tidak berkelakuan kasar lagi dengan dirinya.

"Hm" sahut Doni.

Nisa tersenyum kecut mendengarnya. Entah mengapa sikap suaminya terbilang cuek beberapa hari ini. "Abang udah makan? Nisa ambilkan, atau mau Kopi?"

"Enggak usah. Abang mau ngomong sama kamu" cetus Doni.

Nisa menganggukkan kepalanya.

"Kamu darimana?" Tanya Doni.

Nisa tersenyum mendengarnya, entah mengapa hal itu membuat hati Nisa menghangat, jika suami nya bertanya seperti itu, berarti Doni masih perhatian kepadanya bukan. Ini adalah kesempatan untuk Nisa membicarakan tentang kehamilannya kepada suaminya itu.

"Bang, aku dari klinik, periksa kandungan." Ucap Nisa, lalu Nisa menceritakan semuanya perihal kandungannya.

"Bagaimana menurut Abang? Apakah kita bisa ke kota segera?" Tanya Nisa.

Doni terkekeh mendengarnya, lalu bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah istrinya itu.

"Jangan ngimpi! Mau dia mati juga aku enggak peduli. Karena sejak awal aku memang tidak mengharapkan kehadirannya."

Duarrrr

Perkataan suaminya bagaikan petir disiang hari, langsung menyambar sampai ke relung hati Nisa.

Air mata Nisa meluruh, "ya Allah, sampai kapan semua ini. Hamba tidak kuat" lirih Nisa.

"Kalau tidak kuat ya minta cerai saja!"

degh

Mata Nisa terbelalak mendengar perkataan seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah mertuanya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status