Hari ini sesuai yang di ucapkan oleh Nisa kemarin, wanita itu pergi ke klinik yang berada di Desa itu. Pastinya, setelah Nisa sudah siap dengan pekerjaan rumah, serta pergi ke pasar. Jarak klinik itu lumayan jauh, Nisa berjalan kaki, karena uangnya hanya cukup untuk memeriksa kandungannya saja.
Nisa menarik nafasnya, saat merasakan perut nya kram, wanita berhijab itu langsung menghentikan langkah kakinya. Beruntung di pinggir jalan ada bangku kayu panjang, Nisa mendudukkan dirinya sejenak di sana, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi. Nafas nya terengah-engah, keringat terus mengucur deras di keningnya. Badannya sudah lelah sekali, rasanya sudah tidak kuat berjalan kembali, namun dirinya harus tetap memaksakan diri. Hanya tinggal beberapa meter lagi, dirinya akan sampai di klinik. Nisa mengelus dengan lembut perutnya yang membesar. "Sayang, kamu yang kuat ya, sebentar lagi kamu bakalan di periksa sama ibu bidan," monolog Nisa. Setelah di rasa sudah lebih baik, Nisa lalu bangkit dari duduk nya lagi, wanita itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke klinik itu. Ya klinik satu-satunya yang berada di Desa itu. Desa tempat tinggal suami Nisa memang terbilang masih pelosok, jauh sekali dari perkotaan, jika ingin menuju ke kota, mereka harus menempuh jarak hingga sepuluh jam-an. Itu juga terbilang cepat kalau tidak ada kendala, karena biasanya mereka harus menghadapi jalanan yang licin saat hujan turun tiba-tiba. Sesampainya di klinik itu, sudah ramai banyak sekali ibu-ibu hamil yang tengah mengantri untuk memeriksa kan kandungan mereka masing-masing. Karena Nisa datang agak terlambat, Nisa mendapatkan nomor urut antrian ke sepuluh. Nisa mencecap bibirnya yang kering itu, sungguh mengantri membuatnya kehausan. Apa lagi tadi dirinya berjalan cukup lumayan jauh. Perutnya juga terasa perih karena lapar, tadi di rumah dirinya tidak makan apa-apa. Nisa hanya minum air putih dan setelahnya wanita itu pergi. Bukannya Nisa tidak mau makan, tapi lagi dan lagi ibu mertuanya lah yang melarangnya. Ibu mertuanya itu selalu mengancam Nisa jika Nisa akan makan. Setiap harinya memang selalu seperti itu. Beruntung bude Sira selalu menawari dirinya untuk makan, kalau tidak, Nisa akan berpuasa seharian, dan akan makan jika datang ke rumah bude Sira kembali. Tersiksa, jelas Nisa tersiksa, tubuhnya bahkan yang hamil itu sudah kurus kering. Hanya perutnya saja yang menonjol. Mirna melakukan hal itu memang sengaja, dirinya memang ingin membuat Nisa tidak tahan dan berakhir pergi dari kehidupan anaknya. Mirna tidak akan pernah sudih memiliki menantu seperti Nisa. Nisa meneguk ludahnya saat melihat pedagang es buah keliling yang tengah berhenti di depan klinik. Banyak ibu-ibu yang mengantri menunggu panggilan dari ibu bidan menghampiri penjual itu dan membelinya. Rasanya air liur Nisa ingin menetes saja saat membayangkan air es bercampur dengan buah itu memasuki tenggorokannya. Nisa sampai mengelus perutnya. Berulangkali membuang pandangannya agar tidak melihat seplastik minuman itu, namun matanya seakan tidak bisa di ajak kompromi. Matanya terus memandangi seorang ibu-ibu yang tengah menyeruput air es buah itu. "Ya Allah" lirih Nisa. Sesak sekali rasanya seperti ini. Ingin sekali Nisa membelinya, namun lagi dan lagi wanita itu tidak mempunyai uang. Uangnya hanya cukup untuknya memeriksa kandungannya. Menit yang terasa mencengkam itu berlalu, hingga kini giliran Nisa yang di panggil. Nisa mengucapkan syukur di dalam hatinya, akhirnya dirinya terhindar dari rasa inginnya akan es buah itu. Nisa berjalan menuju ke ruangan tempat dirinya akan memeriksa kandungannya. "Silakan berbaring dulu Buk. Saya akan memeriksa bayinya." Ucap ibu bidan. Nisa berbaring di brangkar itu, lalu sang bidan menyibak sedikit baju lusuh milik Nisa yang langsung menampilkan perut buncitnya itu. Beberapa menit setelahnya. "Maaf buk, saya harus menyampaikan berita ini. Maaf sekali, anak ibuk di dalam kandungan saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ibuk juga, ibuk sepertinya sangat kekurangan gizi. Postur tubuh ibuk hamil tidak seperti ini buk. Ibuk kekurangan berat badan. Bahkan janin ibuk bisa keguguran jika ibuk tidak ada kemajuan sama sekali." Deg Hancur sekali hati Nisa saat mendengarnya. Bulan kemarin dirinya masih mendengar kabar baik tentang kandungannya, namun bulan yang menginjak bulan ke lima ini, Nisa harus mendengar kabar buruk. Sungguh terasa sesak dadanya. "Buk bidan,, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan agar anak saya tidak kenapa-kenapa?" Tanya Nisa. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Sungguh dirinya tidak tahan untuk tidak menangis. Ibu bidan itu menghela nafasnya dengan kasar. "Saya sarankan segeralah ibuk ke rumah sakit. Bukannya apa buk. Kami hanya klinik, alat dan obat kami tidak memadai di sini. Di sana nanti ibuk akan di rawat. Mumpung belum terlambat, ibuk bisa segera pergi ke rumah sakit." Bertambahlah hancur hati Nisa saat mendengarnya. Sungguh bagaimana dirinya bisa pergi ke kota jika seperti ini. Uang saja dirinya tidak punya. Tapi dirinya akan membicarakan ini kepada suaminya nanti, berharap Doni mau mendengarkannya, ini juga demi anak mereka berdua. Semoga • Dengan langkah lunglai, Nisa sudah sampai di rumah mertuanya. Beruntung hari ini ibuk mertuanya dan adik iparnya tengah pergi ke pesta sanak saudara mereka di desa seberang. Kemungkinan besar keduanya akan pulang nanti malam. Dan bersyukur sekali Nisa, setidaknya tidak ada suara-suara hinaan yang terdengar di telinga nya. Nisa masuk ke rumah dan langsung di tatap oleh suaminya yang rupanya sudah pulang dari bekerja. Nisa langsung menghampiri Doni, meraih punggung tangan pria berstatus suaminya itu lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. "Assalamualaikum bang. Abang udah lama pulangnya?" Tanya Nisa lembut. Walaupun kemarin suami nya itu berbuat kasar dengannya, namun Nisa sudah mencoba melupakannya. Nisa berharap Doni tidak berkelakuan kasar lagi dengan dirinya. "Hm" sahut Doni. Nisa tersenyum kecut mendengarnya. Entah mengapa sikap suaminya terbilang cuek beberapa hari ini. "Abang udah makan? Nisa ambilkan, atau mau Kopi?" "Enggak usah. Abang mau ngomong sama kamu" cetus Doni. Nisa menganggukkan kepalanya. "Kamu darimana?" Tanya Doni. Nisa tersenyum mendengarnya, entah mengapa hal itu membuat hati Nisa menghangat, jika suami nya bertanya seperti itu, berarti Doni masih perhatian kepadanya bukan. Ini adalah kesempatan untuk Nisa membicarakan tentang kehamilannya kepada suaminya itu. "Bang, aku dari klinik, periksa kandungan." Ucap Nisa, lalu Nisa menceritakan semuanya perihal kandungannya. "Bagaimana menurut Abang? Apakah kita bisa ke kota segera?" Tanya Nisa. Doni terkekeh mendengarnya, lalu bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah istrinya itu. "Jangan ngimpi! Mau dia mati juga aku enggak peduli. Karena sejak awal aku memang tidak mengharapkan kehadirannya." Duarrrr Perkataan suaminya bagaikan petir disiang hari, langsung menyambar sampai ke relung hati Nisa. Air mata Nisa meluruh, "ya Allah, sampai kapan semua ini. Hamba tidak kuat" lirih Nisa. "Kalau tidak kuat ya minta cerai saja!" degh Mata Nisa terbelalak mendengar perkataan seseorang yang baru saja masuk kedalam rumah mertuanya itu."Mau cerai ya cerai saja sana! Enggak ada ruginya untuk keluargaku! Kamu itu hanya parasit yang datang di keluarga kami. Dasar perempuan hina, miskin." Ucap Mirna dengan pedas. Nisa terkejut dengan kehadiran Mirna, karena setahunya, tadi dirinya tidak melihat keberadaan ibu mertua atau adik iparnya. Tapi, Mirna tiba-tiba datang. Malas berdebat dengan ibu mertuanya yang pasti tidak ada ujungnya, Nisa langsung berlalu pergi dari sana, meninggalkan Mirna yabg menggerutu. Nisa memilih menyusul sang suami ke dalam kamar. Mirna mengumpat sarkas. "Dasar menantu tidak tau diri. Emang dasarnya orang miskin ya begitu, pendidikannya kurang. Sopan santun saja tidak ada." Mirna langsung bergegas mengambil tas miliknya, tadi dirinya sudah di pertengahan perjalanan, dan tasnya ketinggalan. Terpaksa Mirna harus kembali ke rumah. Namun, siapa sangka dirinya malah mendengar obrolan anak dan menantunya. Miran langsung pergi, malas mengurusi perihal itu, biarkan saja mereka cerai, karena hal itu
"Ibu ngapain ke sini? Bukannya ibu tadi ada sama bapak?" Joko tergeragap saat mendapati sang ibu yang menatap ke arahnya. Matanya sesekali melirik ke arah Kemuning yang masih diam di tempatnya. Joko mengumpat, kenapa perempuan itu masih berdiri di sana, dan tidak pergi. Kalau sampai ibunya curiga bagaimana? Joko tidak mau image buruknya di ketahui oleh sang ibu. "Ibu ya memang cari kamu. Kamu aja di cariin enggak ada dari tadi. Lagi, ngapain itu kamu dari semak-semak? Kurang kerjaan kamu?" Omel sang ibu, matanya memicing ke arah Joko. Joko tersenyum, walaupun jantungnya sudah berdebar tidak karuan. Sungguh dirinya sangat takut sekali jika ibunya sampai mengetahui perbuatannya itu. "Emm anu, itu Bu" "Anu apa? Jangan kebanyakan anu Joko, kamu ini. Cepat, budemu sudah menunggu di depan, tidak baik tamu datang di tinggal pergi." Cetus ibu Joko. Joko menganggukkan kepalanya, lalu berjalan bersama dengan ibunya pergi dari tempat itu, tapi baru beberapa langkah, ternyata Kemuning
Hujan sudah berhenti mengguyur, tapi Nisa masih betah meringkuk di dalam selimut tebal yang membalut tubuhnya. Entah mungkin karena efek kelelahan, Nisa sampai terlelap lama. Beruntung ibu mertuanya masih belum pulang, jadi Nisa tidak akan terkena masalah apapun . Doni yang melihatnya hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar, pria itu sedikit terenyuh dengan pemandangan yang ada di depan matanya saat ini, namun lagi dan lagi dirinya teringat dengan ucapan ibunya. Tidak di pungkiri, Doni mencintai wanita yang berstatus istrinya itu. Bahkan rasa cintanya tidak pernah hilang sedikit pun. Namun perkataan sang ibu yang selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya langsung membuat Doni mengubah ekspresi wajahnya kembali. Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, lalu berlalu keluar dari rumah, tujuannya ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu. "Doni" Doni menghentikan langkah kakinya, pria itu menoleh dan langsung menatap ke arah wanita paruh baya yang tidak lain adalah buden
Doni termangu sesaat saat mendengar perkataan yang keluar dari mulut budenya itu. Sungguh dirinya tidak akan mau jika harus berpisah dengan Nisa. Dirinya mencintai Nisa, namun Doni tidak bisa membela wanitanya itu. Perkataan bude Sira tadi sangat mengusik hati dan pikirannya. Karena biar bagaimanapun Doni ingin bersama dengan Nisa, tapi wanita itu saja yang merubah semuanya, membuat Doni tak menyukai perempuan itu lagi. Bude Sira sudah kembali ke warung baksonya, rasanya bude Sira percuma saja menasehati keponakannya itu. Keponakannya itu ternyata sama-sama kejamnya seperti ibunya-Mirna. Padahal bude Sira sudah berharap, jika Doni membuka matanya, mendengarkan apa yang dikatakan olehnya, dan lebih melihat lagi bagaimana perjuangan Nisa selama ini. Nisa, wanita itu pontang-panting ke sana kemari. Belum lagi hinaan maupun cercaan yang keluar dari mulut Mirna, serta keluarga yang lainnya, terlebih ibu-ibu biang gosip yang selalu berbicara sesuka hati mereka, ah entahlah, rasanya
"Astaghfirullah, Nisa kamu harus bertahan nak, bude akan membawa kamu segera ke klinik." Bude Sira bahkan meminta tolong pada beberapa orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya untuk membangunnya membawa Nisa ke klinik. Sungguh dirinya sangat resah, takut terjadi sesuatu pada wanita itu. Terlebih melihat kondisi Nisa yang bisa di katakan sedang tidak baik-baik saja. Kemungkinan buruk bisa terjadi, namun bude Sira berdoa semoga kemungkinan buruk itu hilang. "Nak, bertahan sayang. Nisa wanita yang kuat. Bude yakin Nisa pasti bisa melawan ini semuanya. Ingat sayang, ada nyawa bayi yang selama ini kamu perjuangkan." Bude Sira tidak berhenti mengucapkan kata-katanya, walaupun Nisa sama sekali tidak merespon perkataannya. Sungguh, hati bude Sira bergemuruh hebat, apa lagi membayangkan wanita itu selama ini bekerja keras untuk mempertahankan anak yang ada di dalam kandungannya, bahkan keluarga suaminya saja sama sekali tidak peduli. Nisa seperti hidup sebatang kara, jauh dari kedu
Nisa sudah sadarkan diri, tapi perutnya masih terasa sangat sakit. Nisa bahkan tidak sanggup untuk bangun dari ranjang klinik itu. Bude Sira datang membawakan teh dan makanan untuk Nisa, tadi sempat pulang sebentar ingin memberitahukan Doni dan keluarganya, tapi sayang, Doni tidak ada di rumah, serta keluarga Doni, ya seperti itu lah, mereka sama sekali tidak peduli dengan apapun yang terjadi pada Nisa. Mereka malah tertawa dan menyumpah serapah Nisa. Mereka bahkan tidak sudih sedikitpun untuk datang melihat keadaan Nisa, mau Nisa mati sekalipun mereka tidak akan pernah peduli. Sebegitu jahatnya mereka pada Nisa, tanpa menghiraukan perasaan Nisa sedikitpun. "Makan Nis, bude bawakan nasi dan teh hangat untuk kamu, kamu harus banyak makan, biar kamu banyak tenaga lagi." Nisa memang sudah sadar, tapi hatinya sedih tak karuan, karena mengingat perkataan bidan barusan saat dirinya sadarkan diri, jika dirinya harus segera di rujuk ke rumah sakit yang ada di kota. Siapa yang tak sedih,
"Nisa mana Bu?" Tanya Doni yang baru saja pulang entah darimana itu. Mirna langsung mendengus, tangannya sibuk melipat baju yang baru saja di angkatnya dari jemuran, biasanya Nisa, tapi karena Nisa tidak ada dirinya harus apa-apa sendiri. Sudah minta tolong sama Kemuning, tapi anak gadisnya itu mana mau di suruh-suruh oleh Mirna. Sudah hampir sore saja, Kemuning masih asik tertidur di dalam kamarnya, dan Mirna juga sama sekali tidak menegurnya. Mirna malah menyalahkan Nisa yang tidak becus. "Istri kamu itu manja banget, sakit perut mulas kayak begitu aja udah caper minta anter sama si Sira ke rumah sakit. Ck, lebay banget kan? Ibu sudah bilang sama kamu sebelumnya Don! Jangan hamil, lihatlah kalau orang miskin hamil, pasti manjanya enggak ketulungan kayak begini" ucap Mirna. Doni tersentak, matanya menatap lekat wajah sang ibu. "Nisa masuk rumah klinik?" "Ya! Dia caper! Biar di kiranya dia yang paling tersakiti. Terserah, ibu juga enggak peduli. Tadi si Sira datang kasih tau ko
"Maaf, bayi-nya tidak bisa di selamatkan." Ucap seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi. Dokter laki-laki itu baru saja selesai mengoperasi Nisa, dan telah menyatakan jika bayi yang ada di dalam kandungan Nisa telah meninggal dunia. Bude Sira membekap mulutnya syok, bahkan hampir jatuh saat dirinya mendapati satu fakta ini. Sungguh, tidak menyangka, bayi yang belum lahir ke dunia itu sudah meninggal duluan. Sesak, hati siapa yang tidak sesak, apa lagi mengingat bagaimana Nisa sangat memperjuangkan bayi yang ada di dalam kandungannya itu. Bahkan Nisa akan melakukan cara apapun untuk bisa mempertahankan bayi itu. Lantas, jika sudah seperti ini, bagaimana nanti bude Sira mengatakannya pada Nisa? "Bu, tenang, jangan seperti ini." Ucap Desi yang ikut menemani ke kota. Desi dan bude Sira yang membawa Nisa ke kota, sedangkan Doni-suami Nisa, dengan tak tau dirinya malah pergi setelah kejadian tadi. Sungguh sangat kejam, pria itu bahkan tidak peduli sama sekali saat m
Setelah mendapatkan kabar dari Tiar, bude Sira, Doni dan juga Desi langsung menuju ke rumah sakit tempat dimana keberadaan Kemuning yang saat itu sedang di rawat. Untuk sementara waktu, acara tahlilan Mirna di hentikan sebentar, sampai mereka kembali ke desa. Bukannya apa, karena tidak ada yang mengurus acara tersebut. Denny? Bahkan batang hidungnya saja tidak muncul. Pria itu bagaikan di telan bumi, entah kemana. "Tiar, bagaimana dengan kondisi Kemuning?" Tanya bude Sira pada anaknya itu. Tiar menatap sendu mereka semuanya. "Kemuning, Kemuning masih kritis. Bahkan, setelah di operasi pun, keadaannya belum baik-baik saja. Ia bahkan harus kehilangan banyak darah. Akibat perdarahan hebat." Ucap Tiar sambil menundukkan kepalanya. Bude Sira dan Desi saling memeluk, mereka menumpahkan tangis mereka. Begitupun dengan Doni yang sudah terduduk lemas di sana. Ia benar-benar merasa sudah gagal menjadi seorang Abang.Hingga beberapa saat, seorang dokter keluar dari ruangan ICU itu. Raut w
"loh, mbak Nisanya mana tadi buk?" Tanya Desi yang baru saja kembali dari rumah warga, ia sudah tidak mendapati lagi keberadaan Nisa di sana. Padahal Desi ingin sekali ngobrol dengan Nisa, sudah lama sekali ia tidak ngobrol dengan wanita itu. "Mbak Nisa pulang. Bapaknya ada kerjaan besok, nggak bisa menginap, nak." Desi mengerucutkan ujung bibirnya. "Yahh. Padahal tadi aku sempat pulang loh buk, udah siapin kamar buat ibu dan bapaknya mbak Nisa. Aku juga udah semprotin parfum di kamar aku, aku pengen tidur sama mbak Nisa, udah lama banget nggak ngobrol, pengen ngobrol semalaman sama mbak Nisa." Bude Sira tersenyum. "Lain kali saja. Ibu juga nggak bisa menahan mbak Nisa, kasihan dia juga pasti harus menahan diri agar traumanya tidak kambuh." Ucap bude Sira membuat Desi mengerutkan keningnya bingung. "Trauma? Trauma apa yang ibuk maksud? Mbak Nisa juga baik-baik aja tadi Desi lihat." Bude Sira menatap sekelilingnya, saat di rasa sepi dan tidak ada orang selain ia dan Desi, bude S
Di rumah sakit. Tiar duduk termenung di depan ruangan operasi itu. Pikirannya benar-benar kacau lebur saat ini. Ia masih tak menyangka jika Kemuning harus segera di operasi, karena bayinya tidak bisa di selamatkan. Ia tak tau bagaimana hancurnya hati wanita itu nantinya jika sampai tau kenyataan ini. Joko, pria itu juga masih ada di sana, ia tak pulang ke rumahnya, perasaan bersalah di dalam dirinya terus menyeruak, membuat Joko merasa sangat menyesal. Ia hanya bisa berandai-andai. Andai saja ia bisa mengulang waktu lagi, ia tak akan menyia-nyiakan Kemuning. Walupun kedua orangtuanya melarang keras hubungan mereka berdua, tapi akan Joko usahakan untuk tetap mempertahankan hubungan keduanya. Ia tak peduli dengan restu keduanya, yang penting ia tak akan menyakiti hati wanita itu. Terutama anak yang ada di dalam kandungan wanita itu. Tapi, semuanya sudah menjadi bubur. Joko tak bisa berkata-kata, dokter sudah mengatakan jika anaknya tidak bisa di pertahankan lagi. “Bang
"Nis, boleh Abang ngomong sebentar?" Doni menatapi Nisa dengan tatapan yang sulit di artikan. Ada tatapan penyesalan yang paling mendalam di dalam diri Doni, entahlah, apalagi saat melihat sosok mantan istrinya yang terlihat lebih baik dari sebelumnya itu, ada perasaan tak rela jika sampai suatu hari nanti Nisa menikah lagi dengan seorang pria. Nisa menoleh ke arah sang ibu dan bude Sira yang juga menatap ke arah Doni. "Kamu mau ngomong apo toh, Don. Kalau kamu mau ngomong, yaudah di sini aja, ada ibu mertuamu sama bude." Kata Bude Sira. Doni menghembuskan nafasnya kasar. "Doni mau ngomong berdua saja sama Nisa, bude. Ada hal yang harus kami luruskan lagi di dalam hubungan kami, lagian Nisa belum resmi Doni talak, masih ada harapan bukan?" Ucap Doni penuh dengan harap. Ibunya NIsa dan bude SIra melotot mendengar perkataan dari Doni, terlebih Nisa yang juga sangat terkejut. "Kamu ngomong apa bang? Kita sudah berakhir saat kamu menjatuhkan talak sama aku waktu itu. Kita su
"Win, mertuamu kan meninggal, kok kamu sama keluargamu malah di rumah saja? Enggak pada ke rumah almarhumah ibunya suami kamu?" Tanya Kokom pada Wina yang saat ini sedang sibuk memilih sayuran di depan rumah gadis itu. Wina berdecih mendengarnya, namun tetap memasang wajah biasa saja. "Saya ada ke sana kok buk Kokom, mama dan bapak saya juga ke sana kok." Sahut Wina sambil tersenyum. Kening Kokom berlipat mendengarnya. Setau dirinya semalam dirinya pergi membaca doa di rumah Mirna, batang hidung Wina dan keluarganya saja tidak ada. Padahal bapak Wina kan RT di kampung ini. "Tapi tadi malam kamu enggak ada Win." Wina tergeragap mendengarnya, kalau sudah seperti ini dirinya harus mengatakan apa? Tidak mungkin dirinya mengatakan yang sebenarnya pada mereka semuanya. "Saya tadi malam datang loh Win. Duduk di dalam lagi. Yang ada di dalam rumah juga bude Sira doang sama anak gadisnya. Denny dan Doni entah pergi kemana. Kemuning lagi. CK, entah kemana enggak ada nampak. " Ucap Koko
Kemuning dan Tiar saling pandang, lalu sedetik kemudian, Tiar melengos ke samping. "Enggak usah! Enggak perlu juga bantuan dari kamu! Saya dan Doni akan melakukan apa pun, demi kesembuhan Kemuning dan bayi nya . Dan kami tidak perlu bantuan orang seperti dirimu " tegas Tiar , sungguh dirinya amat marah pada pemuda itu . Bagaimana pun , Joko tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah di perbuat oleh nya . Dan keluarga nya malah mencerca Kemuning . Joko menundukkan kepala nya . Rasa sesal itu tidak ada di dalam dirinya . Dirinya tetap kekeuh tidak mau bertanggung jawab pada bayi yang sedang Kemuning kandung . Ini semua di lakukan oleh nya , saat seorang pria pengacara yang ada di desa nya tadi melihat semua yang di lakukan oleh sang ibu. Dan pria itu mengancam akan melaporkan ibu nya Joko dan Joko ke kantor polisi atas tindakan kekerasan . Joko yang tidak mau dirinya dan sang ibu di penjara langsung berinisiatif mengatakan jika dirinya akan menanggung semua biaya pengobatan Ke
Mereka masih saja menangis pilu mengantarkan jenazah Mirna ke peristirahatan terakhir nya . Apa lagi saat ini , hati mereka sungguh resah saat mendengar kabar jika Kemuning di bawa ke rumah sakit akibat pendarahan hebat . Sungguh hati mana yang tidak pilu , ujian begitu silih berganti menghampiri keluarga Doni . Entah bagaimana Doni harus menyingkapi nya , tapi rasanya sungguh teramat sesak di dalam dada nya sana . "Buk, maafkan Denny . Maaf Denny yang sudah menjadi anak durhaka buk . " Denny masih saja menangis , meratapi nasibnya kehilangan sang ibu. Dirinya baru menyadari bahwa ibu nya sangat lah penting . Doni hanya diam saja , dirinya enggan berdebat untuk sekarang ini , apa yang di katakan oleh bude nya tadi benar , mereka tidak boleh ribut di depan jenazah sang ibu, yang mengakibatkan sang ibu di sana menangis melihat mereka . Masih dengan keterbungkaman nya , sampai jenazah sang ibu di masukkan di liang lahat , dengan Denny yang menangis meraung-raung . Doni hanya diam saj
"Mertuamu meninggal, Nis" Deg Nisa yang sedang melipat kain itu di buat terkejut saat mendengar perkataan dari sang ibu. Matanya langsung menoleh, dan menatap ibunya dengan lekat. "Ibu yang bener? Dapat kabar darimana?" Tanya Nisa penasaran, sebab mereka tidak pernah sama sekali berkomunikasi dengan mereka yang ada di desa keluarga mantan suaminya itu. "Tadi ada orang yang datang kemari, katanya dia suruhan bude Sira, dia menyampaikan kabar katanya mertuamu meninggal." Ucap ibunya Nisa. "Innalilahi," Nisa bahkan sampai menitikkan air matanya mendengar perkataan ibunya. "Bagaimana Nis, kita ke sana?"Nisa mengangguk. "Iya buk." * Doni masih saja menangis saat mengantar sang ibu ke peristirahatan yang terakhir kali nya. Sungguh dirinya tidak pernah menyangka sang ibu akan pergi secepat ini . "Buk ..." "Yang sabar Doni . Ibuk mu sudah tidak merasakan sakit lagi di sana. " Ucap bude Sira yang masih setia menunggu di samping keponakan nya itu , dirinya tetap berada di r
Doni akhirnya terpaksa menerima konsekuensinya, dirinya harus mencicil biaya pengobatan pak Danto, karena pria itu terluka parah. Beruntung dirinya masih di berikan keringanan untuk mencicilnya, kalau saja tidak, entah darimana Doni uang, mungkin dirinya saat ini sudah masuk penjara. Hari demi hari di lewati oleh mereka seperti beban yang menumpuk di pundak mereka. Bahkan tidak ada kebahagiaan lagi yang hadir di hidup mereka. Hanya sebuah penderitaan yang datang silih berganti terus memutari kehidupan mereka. Kemuning menangis saat mendengar penolakan yang kesekian kalinya dari Joko . Pria itu bahkan dengan enteng nya mengatakan jika akan menikab dengan orang lain, jauh lebih cantik bahkan kaya raya . Tidak seperti Kemuning yang hanya gadis miskin saja . "Enggak usah nangis , mending sana kamu pulang , urusin itu ibuk kamu yang cacat . " Celetuk Joko mengusir Kemuning . Ya saat ini Kemuning datang ke rumah Joko, dan meminta pertanggung jawaban lagi pada laki-laki itu . Tapi sa