Share

CORONA - awakening
CORONA - awakening
Author: Lienarto Lie

PROLOG

Author: Lienarto Lie
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Windmill Village, 22 Mei 2021.

Langit menampakkan wajah suram. Nuansa kelabu pekat menyelimuti angkasa secara keseluruhan. Dari ujung timur hingga ufuk barat, maupun arah utara sampai selatan, tak ada setitik pun warna biru yang tampak. Hari masih siang. Namun sedari pagi, mentari enggan memperlihatkan wujudnya.

Seiring berjalannya waktu, gumpalan awan di angkasa kian pekat. Warna kelabunya pun semakin tebal hingga menghitam. Angin sepoi kuat bertiup. Suara yang dihasilkan bak siulan panjang dengan melodi sedih.

Sesekali kilat berkedip. Cahayanya yang sekejap terlihat seolah membelah langit. Setelah itu, suara guntur pun menyusul terdengar. Gemuruhnya memenuhi angkasa.

Sebidang padang gersang terhampar luas di bawah kaki langit. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tanah tandus. Warna coklat tua menguasai seluruh permukaannya. Tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di atasnya, bahkan sepucuk rumput pun tidak.

Ada sebuah jalan panjang yang membelah di tengah padang bertanah tandus itu. Tidak terlalu luas. Sepi dan sunyi. Kedua ujungnya seolah menghubungkan arah utara dan selatan.

Kilat kembali berkedip berkali-kali. Setelah itu, bunyi guntur terdengar.

Sebuah mobil jip hitam melaju dengan kecepatan normal. Keempat rodanya yang kokoh bekerja sama menggesek aspal kasar. Suasana sunyi membuat suara mesinnya yang kasar terdengar jelas. Karena tidak ada kendaraan lain, mobil dengan fisik usang itu bisa bergerak maju dengan lancar.

Alicia Eva mengemudi dengan santai. Kedua tangannya yang berkulit mulus diposisikan pada kemudi jip, sedangkan punggungnya bertopang pada sandaran jok.

Wajah Alicia cantik jelita dengan bola mata biru dan hidung mancung. Bibirnya yang mungil, tipis, dan merah merona, membuat pesonanya kian memancar. Angin yang terbelah memasuki jendela mobil jip, sehingga membuat rambut Alicia berkibar. Tidak panjang, hanya pendek sebahu, namun warna coklatnya yang indah memberi kesan feminin. 

Alicia sangat menikmati perjalanannya. Musik klasik bermelodi lembut yang mengalir keluar dari speaker di atas dashboard memberinya ketenangan. Cuaca mendung dan pemandangan suram di luar sana tak diindahkannya. Sambil mengemudi, dia meresapi setiap nada yang melantun.

Dari dalam jip, Alicia memandang lurus ke depan. Di kejauhan sana terlihat sebuah gapura. Kedua tiangnya berdiri kokoh pada kiri dan kanan jalan. Bagian atas gapura yang menghubungkan kedua tiang itu tergantung sebuah papan bertulisan.

Alicia Eva memicingkan matanya. Rasa penasaran membuatnya menginjak pedal gas lebih dalam. Kecepatan mobil bertambah. Semakin lama, jarak gapura pun kian dekat. Akhirnya, tulisan pada papan yang tergantung di atas gapura pun terbaca.

‘WELCOME TO WINDMILL VILLAGE.’

Garis bibir Alicia membentuk senyum manis. Hatinya girang. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya dia sampai tempat tujuan.

‘Windmill Village,’ batin Alicia Eva, ‘nama yang unik.’

Fisik gapura yang merupakan ikon desa Windmill Village terlihat usang. Kedua tiangnya sudah retak. Warna catnya yang berwarna putih pun sudah kusam dan terkelupas.

Alicia Eva menoleh ke samping sejenak saat mobilnya melewati bawah gapura. Keningnya berkerut. Dia lalu kembali menatap ke depan. Sebelah tangannya dinaikkan untuk memijat ringan keningnya.

“Awal yang buruk untuk sebuah desa,” gumam Alicia. Dia lalu menghela napas. Tangannya yang berada pada kening dikembalikan ke setir. “Gapura itu perlu sedikit renovasi.”

Pemandangan di kedua sisi jalan tak berubah. Di kiri dan kanan masih terlihat hamparan tanah tandus. Alicia heran. Dalam hati dia bertanya, kenapa gapura yang baru saja dilewatinya malah berjarak jauh dengan desa.

Sambil menggeleng pelan, Alicia terus mengemudi. Di luar sana angin bertiup semakin kencang. Embusannya yang dingin membuat bulu kuduk berdiri. Langit lagi-lagi memperlihatkan kilatan cahayanya. Suara gemuruh guntur pun menyusul terdengar.

Setelah menempuh jarak sekitar dua kilometer, Alicia Eva sampai di daerah pemukiman penduduk. Kini, rumah-rumah dan toko-toko mulai terlihat. Jalan yang ada di sana pun lebih lebar.

Alicia memperlambat laju mobilnya. Dia bergerak maju sambil mengedarkan pandangannya. Matanya melirik ke luar kaca jendela jip. Kiri dan kanan diperhatikan dengan saksama. Sunyi. Sepi. Tak ada seorang pun yang tampak. Keningnya mengerut menatap pemandangan yang tak lazim.

Kesunyian semakin terasa saat suara embusan angin terdengar. Gumpalan awan kelabu di angkasa terus bergelora, saling menggulung satu sama lain.

Daerah itu kumuh. Banyak sampah berserakan di tengah jalan. Kaleng, plastik, kertas, dan bahkan sisa makanan tergeletak. Saking kotornya, Alicia bisa mencium bau tak sedap yang terbawa angin.

Selain sampah, tampak juga kendaraan-kendaraan yang terparkir dalam keadaan tak rapi. Beberapa sepeda motor tumbang di tepi jalan. Tak sedikit juga mobil-mobil yang kacanya terlihat pecah.

Kening Alicia Eva terus berkerut. Dia tetap menjalankan mobilnya perlahan. Tatapannya terus mengitari keadaan sekitar.

Rumah dan toko yang berderet di kedua sisi jalan dalam keadaan tertutup pintu-pintunya. Bahkan, ada beberapa yang dipalang dengan kayu.

Penampilan fisik bangunan di sana besar kecil. Ada yang bertingkat dua dan tiga, ada yang hanya memiliki satu lantai, bahkan ada juga yang hanya berupa kios kecil. Bangunan satu sama lain tak berdempet. Ada celah selebar satu sampai dua meter antar bangunan. Yang jelas, tak ada satu pun pintu yang kelihatan terbuka.

“Ini desa seperti desa mati. Apa aku tak salah alamat?” tanya Alicia dengan suara berbisik. Dia menghela napas. “Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini.”

Sesampainya di perempatan jalan, Alicia Eva memutar kemudi ke kiri. Matanya juga menatap ke arah yang sama. Tiba-tiba ada seseorang yang menyeberang jalan. Alicia yang baru saja memindahkan tatapannya ke depan terkejut. Dia refleks menginjak pedal rem. Mobil jip berhenti mendadak. Keempat rodanya menghasilkan suara decit.

Alicia Eva terbelalak. Dia melongo sambil mengelus dadanya.

Di depan mobil jip Alicia terlihat seorang pria paruh baya berdiri. Bagian depan jip bersentuhan dengan tubuhnya yang berpakaian kumal. Sedikit saja Alicia telat menghentikan kendaraannya, pastilah orang itu sudah menjadi korban tabrakan.

Pria itu berumur sekitar 45 tahun. Warna kulitnya sawo matang. Rambut keritingnya yang berwarna hitam terlihat acak-acakan. Kumis dan jenggot yang tumbuh mengitari bibirnya pun tak rapi.

Alicia Eva mengeluarkan kepalanya melalui jendela jip yang terbuka. Dia lantas menyapa orang yang hampir saja dia celakakan. “Selamat siang, Pak! Maaf, Anda tak apa-apa? Ada yang terluka?”

Pria itu tidak menanggapi. Dia membuka mulutnya sedikit tanpa bersuara. Beberapa giginya ompong. Matanya tajam menatap Alicia. Selain paras yang tak sedap dilihat, raga pria itu pun compang-camping. Dia mengenakan jaket hijau yang lusuh. Bagian dada dan lengan kanannya bahkan sudah koyak.

“Sekali lagi maaf, Pak! Aku benar-benar tak sengaja.” Alicia berusaha berucap santun. Kepalanya masih berada di luar jendela. “Anda terluka? Perlu kuantar pulang?”

Mata pria itu terus menatap sinis pada Alicia. Dia membuang napas kasar.

“Atau perlu kuantar ke mana?” lanjut Alicia.

Pria itu lantas membuang muka. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, dia berlalu. Tanpa memedulikan Alicia, dia lanjut menyeberang jalan.

Alicia memasukkan kepalanya kembali. Dari dalam mobil, dia menatap pria misterius itu melalui kaca depan. Setelah menggeleng dan mendesah, dia kembali menjalankan mobilnya.

“Semoga tak semua penduduk desa seperti dia,” gumam Alicia Eva sambil menginjak pedal gas. “Aku paling tak suka orang cuek.”

Pria tadi telah sampai di seberang jalan. Dia berdiri diam di atas trotoar yang lantainya retak dan penuh sampah berserakan. Sambil terkekeh, dia menatap mobil Alicia yang bergerak menjauh.

Setelah menoleh kiri kanan, si pria misterius mengusap hidungnya yang besar dan berkulit kasar. Sama seperti semula, tiada seorang pun di daerah sekitar sana. Sekali lagi dia terkekeh, lalu melanjutkan langkahnya. Dia berjalan ke arah yang juga dituju Alicia Eva.

***

Alicia Eva menepikan mobil jipnya. Dia berhenti di depan sebuah pagar tinggi berterali besi hitam. Di sana tergantung sebuah papan rapuh bertulisan. Huruf-hurufnya ditulis dengan cat merah. Walaupun sudah pudar, namun kalimatnya masih bisa terbaca jelas. Kata-katanya menggunakan huruf kapital.

‘TANAH PEMAKAMAN KHUSUS. AREA TERBATAS. DILARANG MASUK BAGI YANG TAK BERKEPENTINGAN!’

Alicia Eva membuka pintu mobil jip. Dia lantas turun. Pintu jip ditutupnya kembali dengan kuat hingga menghasilkan bunyi hantaman keras. Sambil bergerak maju, dia memfokuskan tatapannya pada tulisan tangan yang tak rapi itu.

“Tanah pemakaman khusus?” gumam Alicia Eva. Dia menyibakkan rambut coklatnya. “Jangan-jangan kuburan para korban wabah.”

Alicia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Kedua tangannya berkacak di pinggang. Dia berpenampilan modis dengan tank top hitam yang dilapisi jaket hijau tua. Sepasang kakinya dibalut celana panjang yang juga berwarna hitam. Sedangkan alas kaki, dia memakai sepatu kets bertali.

Rasa penasaran menggerogoti hati Alicia. Masih dalam posisi berkacak pinggang, dia menoleh kiri kanan. Dirinya berdiri di atas trotoar yang kotor karna taburan sampah. Area sekitar sana juga sepi dan sunyi. Rumah-rumah dan toko-toko juga tertutup semua pintunya. Suasananya sama persis dengan bagian depan desa.

Alicia menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Dia lalu memberanikan diri menyentuh pagar tinggi berterali besi di hadapannya. Setelah menyentuh salah satu batang terali besi, dia mendorongnya pelan. Pagar bergerak. Suara derit engselnya yang berkarat pun kontan terdengar.

Angin sepoi kuat berembus. Sampah-sampah yang berserakan di jalan dan trotoar beterbangan.

Alicia Eva semakin berani. Dia melangkah maju sambil menambah tenaga dorongan. Pagar besi terbuka kian lebar.

Kilat di angkasa tiba-tiba berkedip lagi. Alicia menengadah sejenak. Gumpalan awan hitam terlihat bak asap tebal. Suara gemuruh guntur pun terdengar. Kali ini bunyinya lebih nyaring.

Pemandangan yang berada di balik pagar membuat Alicia terperanjat. Matanya terbelalak dan keningnya berlipat. Sebuah area pekuburan terlihat. Tanahnya cukup luas dan ditumbuhi semak belukar, serta rerumputan yang telah menguning. Tingginya hampir selutut. Beberapa batang pohon yang tumbuh di sana sudah mati. Tiada selembar daun pun yang menempel pada dahan dan rantingnya.

“Astaga,” gumam Alicia sambil melangkah masuk lebih dalam. Dia mengedarkan pandangannya. “Apa yang terjadi di desa ini?”

Sebagian besar kuburan dalam keadaan rusak. Nisan-nisannya retak, bahkan ada yang pecah menjadi dua bagian. Tak sedikit juga yang tanahnya tergali, sehingga memperlihatkan lubang pada tanah.

Alicia Eva terus bergerak maju. Dia kini telah sampai ke tengah area pemakaman dan berdiri diam di sana. Sambil menyibak rambut, dia menurunkan tatapannya ke tanah. Semua lubang kuburan yang tergali kosong melompong. Tak ada mayat di setiap lubang. Kerangka maupun tulang belulang tak terlihat.

‘Apa-apaan ini? Kenapa semua makam rusak dan tergali?’ tanya Alicia Eva dalam hati. Dia memutar badan dan menatap sekeliling. ‘Apa mungkin semua jenazahnya dipindahkan?’

Sekali lagi langit memperlihatkan cahaya kilat. Bunyi guntur kembali bergemuruh. Angin yang berembus membuat rerumputan bergoyang kuat.

Tiba-tiba tercium bau tak sedap. Aromanya menusuk hidung. Karna tak mampu menahan, Alicia Eva sampai menutup lubang hidung dengan jari telunjuknya. Dia mual. Perutnya terasa teraduk-aduk. Bau yang terbawa angin itu mirip aroma daging busuk.

Alicia Eva memandang sekeliling. Suara angin terdengar. Area itu sungguh sunyi dan sepi. Selain pohon-pohon gundul, rerumputan kering, semak belukar, serta makam-makam rusak, tak ada lagi objek lain yang tampak.

Bulu kuduk Alicia berdiri. Dia merasa merinding. Jari telunjuk terus berada di bawah lubang hidungnya. Tangannya yang satu lagi dinaikkan untuk mengusap bagian belakang lehernya.

Sementara bau daging busuk terus tercium, kini terdengar suara seperti orang sedang mengunyah. Walau bunyinya bercampur dengan suara angin, namun terdengar cukup jelas.

“Suara apa itu?” gumam Alicia seraya menurunkan kedua tangannya. Bau amis langsung merasuki lubang hidungnya. “Apa ada orang lain di sini?”

Rasa penasaran Alicia Eva semakin besar. Keningnya berkerut. Tatapannya tertuju pada sebatang pohon yang berada tak jauh darinya. Dia melangkah maju. Sepatu kets bertalinya menapaki rerumputan kering.

Selangkah demi selangkah Alicia berjalan. Suara kunyahan terdengar kian jelas. Bau amis pun tercium makin kuat.

Alicia menatap tajam. Pohon gundul berbatang besar di depannya menjadi tujuan. Dalam hati, dia yakin di balik sana ada sesuatu. Ada seseorang. Dia meyakini suara kunyah yang terdengar dan bau amis yang tercium berasal dari sana.

“Halo!” seru Alicia Eva. Suaranya terdengar bersamaan dengan bunyi gemuruh guntur. “Ada orang di sana?”

Tak ada jawaban. Tak ada yang menanggapi. Hanya suara mengunyah yang terdengar seolah menjawab pertanyaan Alicia.

Bau amis semakin menusuk hidung. Alicia menahan napas sejenak. Aroma itu sungguh membuatnya ingin muntah.

“Permisi! Halo!” Alicia Eva telah tiba di depan pohon gundul berbatang besar. Cukup dekat. Jaraknya kurang dari satu meter. “Apa ada orang? Halo!”

Tidak adanya jawaban membuat rasa penasaran Alicia membesar. Dia bahkan jadi kesal. Dengan cepat, dia bergerak menuju balik pohon untuk melihat apa yang ada di sana.

Sesuatu yang mengerikan terlihat. Alicia Eva tersentak kaget. Dia refleks menjerit seraya melangkah mundur beberapa langkah.

Apa yang terlihat di depan sana membuat Alicia Eva melongo dan terbelalak. Sungguh pemandangan yang tak lazim. Seluruh tubuhnya langsung gemetaran.

Sesosok makhluk terlihat sedang memangsa seorang wanita. Makhluk itu berwujud manusia. Pakaiannya compang-camping. Badannya kurus kering, kulitnya berwarna pucat kelabu dan penuh dengan luka. Posisinya berlutut. Kedua telapak tangannya menopang di atas tanah.

Wanita yang menjadi korban terbaring di atas rerumputan. Pakaiannya terkoyak. Seluruh tubuhnya penuh luka. Cairan merah membasahi raganya dari wajah sampai ujung kaki. Yang lebih mengerikan, daging pada perutnya hancur karna dimakan oleh makhluk aneh itu.

Alicia Eva seperti tersihir. Dia tak mampu bergerak. Badan dan kakinya gemetaran. Makhluk yang ada di samping pohon itu tak memedulikan Alicia. Dia terus menikmati santapannya. Saking asyiknya, area sekitar bibirnya sampai berlepotan bercak merah.

“A ... apa-apaan ini?” Alicia mencoba bergerak mundur satu langkah. Walau kakinya terasa berat, tapi dia berhasil. Tatapan matanya tetap tertuju ke depan. “Makhluk apa itu?”

Makhluk berwujud manusia itu akhirnya menyadari keberadaan Alicia. Dia mengangkat kepalanya. Saat itulah tampak wajahnya yang menyeramkan. Matanya merah, pipinya kempot, dan warna kulitnya kelabu pucat, sama seperti badannya.

Alicia Eva menyadari adanya bahaya. Dia mundur lagi beberapa langkah. “Ka ... kau siapa? Apa yang kau lakukan?”

Seolah tak mengerti ucapan Alicia, makhluk itu tak menanggapi. Perlahan dia bangkit berdiri sambil mengunyah sisa daging yang berada dalam mulutnya. Dia lantas menggeram. Suaranya bak seekor singa yang bersiap menerkam mangsa.

“Diam di tempat!” seru Alicia sambil melangkah mundur satu langkah. Suaranya mengeras. “Jangan mendekat!”

Seruan Alicia Eva tak berpengaruh. Makhluk berkepala plontos itu malah meraung. Saat mulutnya menganga, dua deret gigi tajam terlihat. Bekas santapan yang berwarna merah menempel di sana. Dia segera bergerak maju. Langkahnya pelan dan kaku. Lututnya tak dapat ditekuk. Dia berjalan dengan kedua kaki lurus.

“Aku bilang jangan mendekat!” tegas Alicia. Dengan cepat dia mengeluarkan sepucuk pistol yang tersimpan dibalik jaketnya. “Diam di tempat atau kutembak!”

Sekali lagi makhluk itu meraung. Dia bergerak maju satu langkah lagi. Peringatan Alicia tak diindahkan. Sepertinya dia memang tak mengerti bahasa manusia.

Alicia memosisikan jari telunjuknya pada pelatuk pistol. Rasa ragu untuk menembak memaksa dia bergerak mundur beberapa langkah. Dia berusaha menenangkan diri. Tak dapat dipungkiri, rasa bingung dan takut menguasai batinnya.

Tiba-tiba dari tanah di belakang Alicia muncul sebuah telapak tangan. Pergelangan kakinya yang sebelah kanan kontan tercengkeram.

Alicia Eva tersentak kaget. Dia menjerit histeris. Tatapannya tertuju ke bawah. Tangan yang memegang pergelangan kakinya kurus kering. Yang tersisa hanya kulit pembungkus tulang.

Alicia yang panik meronta sekuat tenaga. Dia berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman tangan itu sangat kuat. 

Sementara itu, makhluk yang pertama tadi terus melangkah maju sambil memperlihatkan gigi tajamnya. Suara raungannya juga diperdengarkan.

Dalam keadaan terdesak, Alicia mengerahkan seluruh tenaga. Dengan kuat dia menarik kaki kanannya yang tercengkeram. Alhasil, tangan kurus itu tertarik keluar seluruhnya dari dalam tanah.

Alicia Eva yang berhasil melepaskan diri segera mundur menjauh. Rasa penasaran membuatnya enggan kabur. Dia tetap bersiaga sambil menjaga jarak. Walau merasa lelah dan berkeringat, dia tetap pada posisi mengacungkan pistol.

Sosok yang mencengkeram kaki Alicia menampakkan wujudnya. Tubuh bagian atasnya telah keluar dari dalam tanah. Bagian pinggang sampai kakinya masih terkubur. Sama seperti makhluk pertama tadi, dia juga bermata merah dan gigi tajam.

Alicia Eva terperangah. Makhluk yang baru saja muncul itu mengenakan setelan jas rapi. Rambut di kepalanya masih utuh. Dari penampilannya, Alicia menduga dia adalah salah satu jenazah yang terkubur di sana. Sambil meraung keras, makhluk kedua berusaha mengeluarkan pinggangnya dari dalam tanah.

Kilat berkedip. Kali ini halilintar menyambar keras. Suaranya memekakkan telinga. Makhluk pertama tadi mengganas. Dia mempercepat langkahnya. Sambil meraung, dia menyerang Alicia.

Alicia Eva mulai bisa menguasai kepanikannya. Rasa takutnya pun kian sirna. Dengan cepat dia mengarahkan pistol ke arah makhluk pertama. Tanpa ragu dia menarik pelatuknya. Suara letusan keras terdengar. Bersamaan dengan itu, sebutir peluru pun melesit keluar dari moncong pistol.

Makhluk pertama tadi tertembak tepat di keningnya. Tubuhnya terdorong ke belakang, kemudian tumbang di atas rerumputan. Timah panas dari Alicia bersarang di kepalanya. Dalam sekejap, dia tak dapat bergerak lagi. Suara raungannya pun kontan berhenti.

Sementara itu, makhluk kedua tadi sudah berhasil keluar dari dalam tanah. Dia masih pada posisi berjongkok. Sambil menatap Alicia Eva dengan sorot mata buas, dia memperdengarkan suara raungan.

Alicia balas menatap makhluk kedua dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Bahkan dia memberanikan diri maju beberapa langkah. Pistol di tangannya tergenggam erat.

Raungan makhluk kedua memekakkan telinga. Mulutnya yang menganga menampakkan dua deret gigi tajam. Perlahan dia bangkit berdiri. Setelan jas yang membalut tubuhnya penuh dengan tanah basah.

“Penampilanmu berantakan, Sobat. Aku tak suka itu,” gumam Alicia sambil menaikkan tangan dan mengacungkan pistolnya. “Ada baiknya kau beristirahat kembali dalam kuburanmu.”

Seiring dengan menyambarnya halilintar, makhluk kedua bergerak maju sambil meraung. Kedua tangannya di arahkan ke depan. Kuku di ujung kesepuluh jarinya tajam dan runcing. Nafsu membunuhnya besar. Sudah jelas, dia berniat memangsa Alicia Eva.

Alicia menggenggam senjata apinya hanya dengan tangan kanan. Makhluk kedua tak diberi kesempatan menyentuhnya. Dengan sigap, dia menembakkan pistolnya. “Rest in peace!”

Makhluk kedua bernasib sama. Kepalanya berlubang oleh tembusan peluru. Tanpa mampu bertahan, dia juga tumbang. Tubuhnya jatuh ke dalam sebuah liang.

Alicia Eva membuang napas kasar sambil menurunkan pistolnya. Dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangan sebelah kiri.

Suasana kembali sunyi. Selain bunyi embusan angin, tak ada suara lain yang terdengar. Bau amis yang dari tadi tercium masih menyengat. Aromanya tetap menusuk lubang hidung.

Akhirnya Alicia bisa bernapas lega. Namun kebingungan dan rasa penasaran masih menguasainya. Keningnya mengerut. Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedangkan tangan kanannya yang masih menggenggam pistol terjuntai ke bawah. Sambil mengedarkan pandangannya, Alicia mencoba menganalisis keadaan sekitarnya.

Ada apa dengan desa Windmill Village? Kenapa tak ada tanda-tanda kehidupan di sana? Kenapa dari bagian depan desa keadaannya berantakan? Makhluk apa yang tadi bangkit dan menyerang? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Alicia.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang menginjak semak belukar dari arah belakang. Alicia Eva tersadar dari lamunannya. Dia refleks membalikkan badannya dengan cepat. Pistolnya pun langsung diacungkan. Dia bersiap menembak lagi.

“Jangan tembak!”

Suara teriakan itu sempat mengejutkan Alicia. Pistol dalam genggamannya tetap diacungkan. Matanya menatap tajam pada seorang pria yang berdiri di hadapannya.

Sambil terkekeh, pria berjaket kumal yang mendadak muncul itu mengangkat kedua tangannya. Deretan giginya yang sedikit ompong terlihat. Beberapanya sudah menghitam. Dia menatap ke depan dengan penuh hasrat. Kecantikan Alicia membuat naluri lelakinya bergejolak.

“Eh, bukankah Anda yang tadi menyeberang jalan?” Kening Alicia mengerut. Dia menurunkan pistolnya.

“Ya! Tadi kau hampir menabrakku.” Pria itu menurunkan kedua tangannya. Dia lantas terkekeh. Tatapan matanya kini tertuju pada tubuh indah Alicia. “Dan sekarang kau hampir menembakku.”

Alicia Eva merasa resah dengan tatapan pria itu. Dia menyimpan kembali pistolnya ke balik jaket dan segera mengancingnya. “Maaf soal tadi. Aku sama sekali tak berniat menabrak Anda.”

Sekali lagi pria berhidung besar dan bibir tebal itu terkekeh. Tatapannya tak dipindahkan. Walaupun Alicia Eva sudah menutup jaket, namun tubuhnya yang montok masih terlihat bentuknya. Dia bak model. Keindahan wajah dan fisiknya sungguh sangat menarik perhatian kaum Adam.

“Sepertinya kau bukan penduduk desa ini, ya?” Angin yang berembus membuat rambut ikal si pria bergoyang. “Atau aku yang tak pernah melihatmu?”

Alicia Eva mendesah panjang. “Ini pertama kalinya aku ke sini. Bisa Anda jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Sebelum pertanyaan Alicia Eva sempat dijawab, kilat kembali berkedip. Tak lama kemudian, suara guntur terdengar. Rintik-rintik air dari langit pun mulai berjatuhan.

Alicia menengadah. Wajahnya yang berkulit putih mulus terkena beberapa tetes air. Dia segera menyekanya dengan telapak tangan.

“Di sini bukan tempat yang nyaman untuk bicara, Nona! Juga bukan waktu yang tepat.” Lagi-lagi pria itu memperdengarkan suara kekehnya. Kali ini lebih keras. “Kecuali kau mau basah kuyup.”

Alicia Eva mengerutkan keningnya. Dia menatap tajam pria di hadapannya. Setelah membuang napas kasar, dia melangkah.

Pria itu menatap Alivia berjalan melewatinya. Dia pun segera menyusul. Mereka berdua melangkah menuju pagar masuk area pekuburan.

Rintik-rintik air yang berjatuhan semakin banyak. Langit menggelap. Akhirnya, sedikit demi sedikit, hujan gerimis pun membasahi area pemakaman.

Related chapters

  • CORONA - awakening   Pertemuan

    Hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Suara guyuran airnya membisingkan telinga. Siang belum berlalu, namun langit telah menampakkan wajah gelap. Seluruh area desa Windmill Village basah. Bahkan beberapa bagian telah tergenang. Got-got kecil meluap. Airnya tumpah ke jalan.Mobil jip hitam yang dikendarai Alicia Eva melaju membelah terpaan hujan badai. Dia mengemudi dengan ekspresi serius. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Sepasang wiper di kaca depan bergerak cepat. Air yang menurun sesekali tersapu oleh pergerakannya.Kedua sisi jalan yang ditempuh mobil jip Alicia berderet pepohonan. Tak seperti di area pemakaman tadi, pohon-pohon yang ada di sana berdaun rimbun.Keadaan cukup gelap. Hujan yang turun membuat jarak pandang terbatas.Pria yang tadi bertemu dengan Alicia juga ada di dalam mobil. Dia terkekeh lagi. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali dia menoleh ke samping. Lekuk wajah Alicia yang indah ditatapnya dengan saksama. Penampakan hid

  • CORONA - awakening   Kekacauan

    Satu minggu yang lalu.Southland City, 15 Mei 2021, pukul 13.25.Sebuah kota besar terbentang luas di bawah langit biru. Matahari bersinar dengan terik. Cahayanya yang panas terasa membakar kulit. Layaknya metropolitan, tanah di atas kota itu berdiri banyak gedung pencakar langit. Rata-rata tingginya di atas dua puluh lantai.Beberapa ruas jalan raya terjadi kemacetan panjang. Berbagai macam kendaraan, besar dan kecil, berderet bak ular. Deru mesin-mesin dan suara klakson saling bersahutan.Selain itu, bunyi sirene pun terdengar membisingkan. Raungannya membahana di angkasa. Kendaraan para petugas, seperti mobil polisi dan ambulans juga terjebak kemacetan. Semuanya terdiam tanpa bisa melaju sedikit pun.Di angkasa terlihat tiga unit helikopter sedang terbang. Jarak ketiganya cukup berjauhan. Kendaraan-kendaraan udara itu memutari satu titik. Dari atas, orang-orang yang berada di dalamnya memantau keadaan kota.Para penduduk kota berlarian di

  • CORONA - awakening   Jaffar Corporation

    Alicia Eva sedang berendam dalam bath tub yang penuh busa sabun pada permukaan airnya. Aroma segar jasmine tercium. Wanginya merasuk ke dalam hidung. Dia sangat menikmati kesendiriannya.Mata Alicia terpejam. Bibirnya menampilkan senyum manis. Suasana kamar mandi yang sunyi memberinya ketenangan. Rambut coklatnya yang pendek sebahu terlihat sedikit basah. Busa sabun pun menempel tak banyak di sana.Sebagian besar tubuh Alicia tenggelam dalam air yang hangat. Bahu hingga wajahnya yang berkulit putih mulus berada di atas permukaan air. Mandi malam merupakan hal yang menyenangkan baginya.Kedua tangan Alicia keluar dari air. Kulit mulusnya basah dan berbusa. Dia meraih spons kuning yang berada di sisi bath tub, lalu bergantian menggosok kedua lengan, bahu, dan wajah cantiknya.Alicia Eva bersenandung lembut sambil melakukan kegiatan membersihkan badannya. Suaranya terdengar merdu.T

  • CORONA - awakening   Rencana Rahasia

    Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.

  • CORONA - awakening   Klien Istimewa

    Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila

  • CORONA - awakening   Windmill Village

    Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.

  • CORONA - awakening   Kematian dan Kebangkitan

    Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul

  • CORONA - awakening   Beraksi

    Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna

Latest chapter

  • CORONA - awakening   Memulai Penyelidikan

    Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i

  • CORONA - awakening   Kelinci Percobaan

    Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli

  • CORONA - awakening   Menyusun Rencana

    Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang

  • CORONA - awakening   Dia Telah Pergi

    Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.

  • CORONA - awakening   Beraksi

    Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna

  • CORONA - awakening   Kematian dan Kebangkitan

    Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul

  • CORONA - awakening   Windmill Village

    Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.

  • CORONA - awakening   Klien Istimewa

    Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila

  • CORONA - awakening   Rencana Rahasia

    Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.

DMCA.com Protection Status