Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.
Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.
Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.
Jimmy Jaffar tersenyum dingin. Dua tamu di belakangnya tak dipedulikan. Sekali lagi dia menyeruput minumannya. Sorot matanya yang tajam tetap tertuju ke luar jendela.
Terry membuang napas kasar. Dia menaikkan tangan untuk melihat arlojinya. “Berapa lama lagi kami harus menunggu? Sesulit itukah mengatakan apa tugas kami?”
Sementara rekannya angkat bicara, Tsugumi tetap terdiam. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia hanya tersenyum tipis sambil menatap ke depan. Kepala plontos Jimmy Jaffar terlihat mengkilap olehnya.
Jimmy Jaffar berdeham. Dia sama sekali tak menoleh ke belakang. “Bersabarlah sebentar lagi. Ikuti saja aturanku. Untuk itulah aku membayar mahal kalian!”
Terry mengerutkan keningnya. Rasa kesal menggerogoti hatinya. Dia membuang muka dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Tsugumi, Terry, dan Jimmy Jaffar, berada dalam sebuah ruang kerja. Keadaannya luas dan bersih. Interiornya mewah dan rapi. Hawa dingin yang keluar dari mesin penyejuk udara mengademkan kulit. Selain itu, pengharum ruangan yang beraroma lemon pun tercium menyegarkan hidung.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketok. Beberapa kali dan cukup keras. Tsugumi dan Terry kontan membalikkan badan. Mereka menatap ke arah pintu besar berwarna coklat tua.
“Masuk!” seru Jimmy Jaffar tanpa membalikkan badannya.
Pintu ruang kerja setinggi dua meter terbuka. Seorang pria berpakaian serba putih melangkah masuk. Dia lantas menutup kembali pintunya. Tatapannya kontan beradu dengan Terry dan Tsugumi.
Terry dan Tsugumi posisinya kini saling membelakangi dengan Jimmy Jaffar. Kedua pembunuh bayaran itu menatap orang yang baru masuk tanpa ekspresi.
Pria berpakaian serba putih itu sudah cukup tua. Rambutnya tipis dan seluruhnya putih. Netranya sipit dan berkacamata bulat. Seperti rambutnya, alis dan kumisnya juga berwarna putih.
“Kau sedikit terlambat, Profesor Voedo,” kata Jimmy Jaffar. Dia bangkit dari kursinya. “Tamu kita sudah protes.”
“Aku minta maaf.” Suara pria yang dipanggil Profesor itu serak dan pelan. Dia berdiri tak jauh di hadapan Terry dan Tsugumi. “Waktu memang sesuatu yang sangat berharga. Aku akan belajar lebih menghargainya.”
Jimmy Jaffar melangkah maju sambil memegang gelas yang isinya tinggal setengah. Sesampainya di samping Tsugumi, dia berhenti. Sebelah tangannya yang bebas dinaikkan untuk mengelus dagu wanita bertubuh padat itu.
“Sepertinya pria tua ini adalah orang yang Anda maksud, Tuan Jaffar.” Terry tertawa kecil. Dia menatap lekat Profesor Voedo. Jas dan celana putihnya tampak bersih. “Kalau memang begitu, kita tak perlu buang waktu lagi, bukan?”
Profesor Voedo menaikkan posisi kacamatanya. Dia membalas tatapan Terry dengan sorot tajam.
“Aku suka sikap antusiasmu, Anak muda!” seru Jimmy Jaffar seraya menyodorkan gelasnya pada Tsugumi. Setelah diterima, dia melingkarkan tangan pada bahu wanita itu. “Ayo, kita mulai rapat!”
Tsugumi meneguk habis sisa minuman dari gelas yang baru saja diterimanya dari Jimmy Jaffar. Tangan kekar yang berada di atas bahunya terasa berat.
“Tugas kalian simpel dan sederhana.” Profesor Voedo memperdengarkan lagi suaranya yang serak. “Kita akan melakukan uji coba vaksin.”
Perkataan Profesor Voedo membuat Terry dan Tsugumi tersentak kaget. Air muka mereka yang tenang berubah. Mereka kontan mengerutkan kening.
Jimmy Jaffar terkekeh. Dia menarik Tsugumi yang tengah kaget hingga menempel pada tubuhnya. Aksinya tentu saja tak membuat wanita Asia itu keberatan. Dia malah balas dengan melingkarkan tangan pada pinggang Jimmy Jaffar.
“Vak ... vaksin?” tanya Terry. Mata sipitnya terbelalak. “Apa yang kau maksud itu vaksin COBRA-V?”
“Tak salah!” jawab Profesor Voedo. Bibirnya membentuk senyum. “Tepatnya vaksin COBRA-V ciptaanku.”
“Jangan bercanda!” Terry menggeleng seraya tertawa. “Sehebat itukah kau? Sampai sekarang saja belum ada yang mampu menciptakannya. Bahkan perusahaan farmasi terhebat di dunia pun tidak.”
“Jangan samakan kemampuanku dengan ilmuwan lain, Gondrong!” tegas Profesor Voedo. Dia mengeraskan suaranya. Hatinya panas dengan ejekan Terry. “Kau sama sekali tak mengenal kebesaran Jaffar Corporation.”
“Sebaiknya kau jangan terlalu banyak bicara! Ikuti saja instruksi kami!” Jimmy Jaffar mengacungkan jari telunjuknya ke arah Terry. Nada suaranya meninggi. “Atau kau akan menyesal!”
Terry cengengesan sambil melebarkan kedua tangannya.
“Kau dibayar mahal bukan untuk banyak bicara!” tambah Profesor Voedo. “Ikuti aturan main kami!”
“Baik! Kalau begitu, jangan buang waktu lagi!” tegas Terry. Dia menggeram pelan. “Cepat katakan apa tugas kami!”
“Kalian berdua yang akan menangani proses uji coba ini,” ujar Jimmy Jaffar. Dia melepaskan tangannya dari bahu Tsugumi dan bergerak menjauhinya. “Dengan kata lain, kalian penanggung jawabnya.”
Tsugumi melangkah maju sambil memegang gelas kosong. Dia mendekati sebuah meja kerja besar. “Lalu siapa yang akan menjadi kelinci percobaannya?”
“Pertanyaanmu kurang tepat, Nona,” ujar Profesor Voedo. Dia berdiri dengan kedua tangan di balik punggung. “Bukan siapa, tapi di mana.”
Sambil melirik Profesor Voedo, Tsugumi meletakkan gelas kosong ke atas meja kerja. Dia lalu membalikkan badan dan menyandarkan pinggulnya pada sisi meja. Kedua tangannya kembali dilipat di depan dada. Dia tak mengerti maksud Profesor Voedo, tapi enggan bertanya.
“Apa maksudmu?” Terry lebih penasaran. Dia bergerak mendekati Profesor Voedo. Sesampai di depannya, dia berkacak pinggang. “Ada baiknya dijelaskan cepat dan ringkas!”
Jimmy Jaffar berjalan mondar-mandir sambil menatap tajam Terry. Dia tak menyukai sifat tak sabar pria gondrong itu. Baginya, orang sewaannya itu sudah terlalu banyak bertingkah.
“Yang akan menjadi kelinci percobaan, tidak hanya satu atau dua orang,” jelas Profesor Voedo. Karena lebih pendek tubuhnya, dia mengangkat dagu menatap wajah Terry. “Tapi sekelompok orang.”
“Lebih tepatnya orang satu daerah!” seru Jimmy Jaffar. “Tapi ingat, uji coba ini bersifat rahasia!”
“Rahasia?” Tsugumi masih pada posisi semula. Pinggulnya tetap menyandar sisi meja. Dia lalu menyibak rambut dengan kedua tangannya. “Itu berarti pergerakan dan vaksinnya belum ada izin.”
Jimmy Jaffar tertawa. Sorot matanya sinis. “Jika ada izin, aku tak perlu memakai kalian berdua.”
“Lalu apa yang harus kami lakukan?” Terry memegang dagunya. “Tadi kau bilang kami bertanggung jawab atas uji coba ini, bukan?”
“Profesor Voedo akan menjelaskannya!” Jimmy Jaffar melangkah maju. Dia menuju ke tempat Tsugumi berada. “Ikuti saja arahannya.”
“Jumlah vaksin COBRA-V ciptaanku sudah siap dalam jumlah banyak,” ujar Profesor Voedo. Dia menaikkan posisi kacamatanya. “Kita akan membawanya ke suatu daerah. Di sanalah uji coba akan kita lakukan.”
Terry membuang napas kasar. Dia berdiri tegak sambil menatap Profesor.
“Daerah?” tanya Tsugumi sambil mengangkat dagunya. Dia menatap wajah Jimmy Jaffar yang berada dekat di depannya. “Daerah mana?”
“Sebuah daerah kecil yang jauh dari kota. Di sanalah tempat yang cocok untuk melakukan misi rahasia ini,” jawab Jimmy Jaffar. Dia menyentuh bibir Tsugumi yang merah dan basah. “Kalian harus segera berangkat ke sana bersama Profesor Voedo dan tim medisnya.”
Tsugumi menjulurkan lidah. Ujungnya dan jari Jimmy Jaffar saling bersentuhan.
“Oh, hanya begitu?” Terry tersenyum. Dia lalu tertawa kecil. “Tugas yang mudah.”
“Ya, memang mudah!” seru Profesor Voedo. Dia tersenyum dingin sambil menatap Terry. “Tapi ingat, ini misi rahasia! Jangan sekali pun menyebut nama Jaffar Corporation saat bertugas!”
Profesor Voedo menjelaskan rencana percobaan vaksin ilegal pada Terry dan Tsugumi. Kedua orang itu merupakan pemain dunia hitam yang sering melanggar hukum. Karna itulah, bagi Jimmy Jaffar, tak masalah jika mereka mengetahui rencana liciknya.
Jimmy Jaffar ingin membesarkan perusahaannya dengan keberhasilan menciptakan vaksin COBRA-V. Karna itulah dia meminta Profesor Voedo, ilmuwan kepercayaannya, untuk melaksanakan niatnya.
Setelah melakukan penelitian dan percobaan, akhirnya Profesor Voedo menyelesaikan proyeknya. Vaksin COBRA-V selesai diciptakan. Jaffar Corporation pun segera memperbanyak anti virus itu.
Namun, Profesor Voedo tak sepenuhnya yakin akan keberhasilan vaksin ciptaannya. Dia butuh kelinci percobaan.
Ambisi besar membuat Jimmy Jaffar mengambil jalan pintas. Dia pun menetapkan satu daerah kecil untuk dijadikan kelinci percobaan.
Kegiatan uji coba vaksin akan dilakukan secara rahasia, tanpa izin resmi dari pemerintah maupun dinas kesehatan. Jimmy Jaffar tak ingin nama perusahaannya terbawa dalam kegiatan ilegal itu. Dia berniat segera cuci tangan, jika uji coba vaksin mengalami kegagalan. Dengan begitu, dia dan perusahaannya akan tetap aman.
Orang luar perusahaan dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan percobaan vaksin ilegal. Bagi Jimmy Jaffar, cara tersebut lebih aman. Karna itulah dia bersedia mengeluarkan uang yang banyak untuk menyewa sepasang pembunuh bayaran seperti Terry dan Tsugumi.
“Bravo! Rencana yang menakjubkan!” seru Terry setelah Profesor Voedo mengakhiri penjelasannya. Dia lalu tertawa sambil bertepuk tangan pelan. “Kalian lebih licik dari kelihatannya.”
“Malah kami perlu belajar kelicikan padamu!” balas Profesor Voedo. Dia geram dengan ucapan Terry. “Orang dari dunia hitam sepertimu tentunya lebih ahli soal strategi licik.”
“Aku harap kau memahami tugasmu, Mata sipit!” seru Jimmy Jaffar yang duduk di sisi meja kerjanya. Tsugumi berdiri di sampingnya. Pinggangnya dirangkul erat. “Jangan kecewakan aku dengan kegagalan!”
“Anda cukup duduk manis, Tuan Jaffar!” tanggap Terry sambil tersenyum dingin. Dia lalu menaikkan tangan dan menunjuk Tsugumi. “Siapkan sisa bayaran kami. Ini tugas paling mudah yang pernah kami dapat. Kupastikan akan selesai dengan cepat!”
“Jaminan yang menarik!” Jimmy Jaffar terkekeh. “Aku suka semangatmu.”
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.