Windmill Village, 23 Mei 2021.
Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.
Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.
Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Mobil-mobil yang berada di tepi jalan tersusun dalam keadaan tak rapi. Beberapa kendaraan roda dua, seperti motor dan sepeda tumbang di beberapa titik.
Suasana desa sepi dan sunyi. Tiada seorang pun yang tampak. Tak ada yang berani berkeliaran di luar rumah, kecuali mereka.
Ya, kecuali mereka, para makhluk pemangsa. Carnivore!
Raungan kelaparan terdengar. Suaranya serak, namun cukup keras. Bunyinya mampu membuat bulu kuduk berdiri. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa merinding.
Sekelompok Carnivore berkeliaran di jalanan desa. Mereka bergerak tak tentu arah dengan langkah kaku. Makhluk-makhluk itu berwujud dan berpakaian layaknya manusia, karna awalnya mereka memang manusia. Setelah melalui kematian, mereka bangkit, dan berubah menjadi makhluk pemangsa.
Kawanan Carnivore itu berpakaian kotor, bahkan ada yang compang-camping. Jenisnya wanita dan pria. Penampilan fisik semuanya sama seram.
Mata para Carnivore merah. Kulit mereka kelabu pucat dan penuh bercak darah, postur tubuh kurus, dan dua deret giginya tajam seperti taring.
Carnivore tersebar di mana-mana. Di jalanan, teras toko-toko kecil, taman desa, dan bahkan di dalam bangunan-bangunan yang pintunya terbuka pun ada mereka. Semuanya berjalan sambil memperdengarkan suara yang seram dan pilu.
Haus darah dan lapar akan daging, itulah yang selalu dirasakan para Carnivore. Bak kawanan hewan buas yang hidup di alam liar, mereka terus mencari mangsa untuk mengenyangkan perut.
***
Pekarangan depan rumah Steve Santana, Pelaksana tugas kepala desa Windmill Village, tergenang air dengan ketinggian satu jengkal. Rerumputan pendek yang tumbuh pada seluruh permukaannya terendam semua. Beruntung posisi rumahnya cukup tinggi dari permukaan tanah, sehingga bagian dalamnya tak kebanjiran.
Sinar matahari masuk melalui celah tirai jendela yang sedikit terbuka, dan jatuh tepat di atas wajah Alicia yang masih terlelap. Dia terbaring di atas sebuah kursi kayu bersandaran.
Tubuh Alivia Ena masih terbungkus pakaian kemarin, yaitu tank top dan celana panjang hitam. Sedangkan jaketnya yang berwarna hijau tua dijadikan selimut untuk menutupi perut dan pahanya. Sepatu bertalinya ditaruh dengan rapi di bawah kursi.
Tak lama kemudian, Alicia Eva membuka matanya perlahan. Dia kontan silau oleh cahaya matahari. Refleks dia memalingkan wajah dan menutup kembali matanya.
“Selamat pagi!”
Sapaan yang barusan terdengar membuat Alicia kembali melek. Dalam pembaringannya, dia menatap ke arah suara yang berada tepat di depan matanya.
Steve Santana duduk dengan posisi bersandar. Sebelah kakinya terangkat ke atas lutut. Tangannya memegang sebuah buku tebal yang terbuka. Dia tersenyum sambil beradu pandang dengan Alicia Eva.
Alicia Eva membuang napas pelan. Dia lalu membalas sapaan Steve. “Selamat pagi juga!”
Steve Santana masih sangat muda. Dia berumur 28 tahun. Parasnya tampan dengan tampilan kulit coklat muda. Rambut pendeknya bermodel jabrik, serasi dengan wajahnya yang lebar. Bola matanya hijau, berhidung mancung, serta bibirnya dikelilingi kumis dan berewok tipis rapi.
Tatapan Alicia Eva terus menempel pada pria gagah di hadapannya. Tanpa disadari pipinya merah merona. Tak bisa dimungkiri, naluri wanitanya bergejolak oleh ketampanan Steve Santana.
“Sepertinya tidurmu kurang nyenyak, ya?” tanya Steve. Dia menutup buku dan dilemparkannya ke atas meja. Suara timpuknya saat mendarat cukup keras. “Maaf! Fasilitas rumahku sangat kurang.”
Alicia Eva beranjak bangun sambil tersenyum. Dia menyingkapkan jaket hijau tua yang menutupi perut dan pahanya. Pistolnya yang terselip pada sarung di pinggang kanan kontan terlihat.
“SIG SAUER P226,” kata Steve Santana sambil menatap pistol hitam Alicia Eva. “Senjata yang cukup inovatif.”
“Dan juga enak dipakai,” sambung Alicia Eva. “Cukup ringan, tapi kuat.”
Steve Santana tertawa kecil. Wajahnya kian tampan. “Tapi terlalu bahaya dipakai oleh wanita.”
“Aku punya surat izin kepemilikan,” ujar Alicia yang sudah pada posisi duduk. Dia mengusap wajah, lalu menyibakkan rambutnya. “Sepertinya kau mengerti banyak soal senjata api.”
Steve Santana tertawa kecil. Dia menggeleng. “Hanya sekedar mengerti sedikit. Tapi aku tak punya keinginan memilikinya.”
Alicia Eva memindahkan tatapan pada meja rendah yang memisahkannya dengan Steve. Dia atas sana, selain ada buku tebal, juga tersaji dua cangkir kopi, dan setumpuk map kertas setinggi satu jengkal.
“Semalam aku sudah membongkar lemari arsip.” Steve menegakkan duduknya. Dia lalu memukul pelan tumpukan map kertas. Debu dari sana kontan menyebar sedikit. “Data orang yang kau cari tidak ada.”
Alicia kembali menatap Steve. Keningnya berkerut. “Kau lembur? Tak tidur semalaman?”
“Hanya dua jam.” Steve Santana menghela napas. Diangkat tangannya dari atas tumpukan map, lalu meraih cangkir yang berisi kopi. “Tapi nyenyak dan cukup.”
Alicia Eva menunduk dan membuang napas.
Steve dan Alicia berada dalam sebuah ruang yang cukup luas. Keempat sisi dinding, lantai, dan langit-langitnya terbuat dari kayu. Lampu yang semalam terang benderang telah dimatikan. Kini, cahaya matahari yang menembus masuk melalui ventilasi dan celah tirai jendelalah yang menjadi penerang.
“Profesor Raffie, orang yang kau cari,” ujar Steve Santana sambil mengangkat cangkir, bersiap menyeruput isinya. “Sepertinya dia memang penduduk Windmill Village. Namanya terdengar tak asing. Tapi datanya tak kutemukan.”
Alicia Eva merasa kecewa mendengar ucapan Steve Santana. Dia melihat pria tampan itu meminum kopinya.
“Atau mungkin data-datanya telah musnah,” lanjut Steve. Dia meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja, lalu kembali menyentuh tumpukan map, dan menepuknya pelan. “Setahun yang lalu kantor desa kebakaran. Hanya data-data ini yang tersisa. Kepala desa meninggal. Dia ikut terbakar.”
Semalam, sebelum tidur, Alicia telah menceritakan maksud kedatangannya ke Windmill Village adalah untuk mencari Profesor Raffie. Steve pun berjanji akan membantunya. Karna itu, saat Alicia tertidur, dia pun mencoba membongkar lemari arsipnya.
“Kalau boleh tahu, apa tujuanmu mencarinya?” Steve Santana kembali pada posisi duduk bersandarnya. “Dari semalam, pertanyaan itu belum kau jawab.”
Alicia melirik ke arah lain. Dia sedikit tertunduk. “Aku ....”
“Mungkin pria itu mantan suaminya.”
Alicia Eva dan Steve Santana menoleh bersamaan ke sudut ruangan. Di sana ada Jason yang sedang duduk di atas kursi goyang. Seperti biasa, dia terkekeh. Giginya yang sedikit ompong pun tampak.
Alicia Eva tersenyum kecut dan lantas memalingkan wajahnya dari Jason.
“Sejak kapan kau bangun?” tanya Steve Santana dengan nada judes. Sepertinya dia kurang menyukai Jason. “Ada baiknya kau tidur kembali.”
Jason terkekeh lagi. Tatapannya terfokus pada Alicia Eva, terutama pada bagian lengannya yang berkulit putih mulus.
“Sudahlah! Jangan pedulikan dia.” Steve Santana mengembalikan perhatian pada Alicia Eva. “Sampai mana tadi?”
“Maaf! Aku tak bisa mengatakan tujuan pencarianku,” ujar Alicia Eva. Dia menatap lekat wajah tampan Steve.
Steve Santana mengangguk. “Tak masalah. Wanita memang selalu punya rahasia.”
“Dan keinginan kuat untuk bercinta,” sambung Jason yang kemudian terkekeh. Dia menggerakkan kursi goyang. Suara derit kayu terdengar. “Gelora batin yang terpendam.”
Wajah Alicia Eva memerah. Dia melirik Jason dengan sinis. Karena resah dengan tatapan penuh hasrat pria paruh baya itu, dia lantas memakai jaketnya. Lengan dan bahunya tertutup kembali.
“Lalu apa rencanamu selanjutnya, Nona Eva?” tanya Steve Santana. “Maaf jika aku tak dapat membantu banyak.”
“Pencarian manual,” jawab Alicia Eva sambil menaikkan resleting jaketnya. “Aku akan mengelilingi desa ini.”
“Apa?” Kening Steve Santana mengerut cepat. Dia memicingkan matanya. “Jangan bercanda!”
Jason meledakkan suara tawa. Dia terkekeh dengan keras sambil terus menggerakkan kursi goyangnya. Bunyi derit kayu terdengar terus-menerus.
“Pelankan suaramu!” seru Steve sembari mengacungkan jari telunjuknya pada Jason. “Atau kulempar kau keluar!”
“Aku hanya mau memberi sedikit nasehat pada Nona cantik ini,” ujar Jason. Seolah tak mengindahkan peringatan Steve, dia cengengesan. “Ini demi keselamatannya juga.”
“Ya, tentu saja kita harus menjaga tamu.” Steve Santana membuang napas kasar. “Kau ada benarnya juga kadang-kadang.”
Alicia Eva menatap Steve dan Jason bergantian.
“Kau yakin ingin mengelilingi desa ini, Nona cantik?” Jason menegakkan duduknya. Dia bersiap turun dari kursi goyang. “Kalau begitu, kau harus melewati halangan dari para Carnivore.”
“Carnivore? Makhluk pemangsa itu?” tanya Alicia Eva.
“Tepatnya makhluk yang kau tembak di area pekuburan.” Jason telah turun dari kursi goyang. Dia berdiri sambil merapikan jaket lusuhnya.
“Ada baiknya kau urungkan niatmu,” sambung Steve Santana. “Pulanglah! Daerah ini tak aman bagimu.”
“Tidak! Aku tak akan pulang dengan tangan hampa.” Alicia Eva menatap lurus. Wajah Steve terlihat berekspresi serius. “Yang kalian sebut Carnivore itu, sebenarnya ada berapa jumlah mereka?”
“Yang jelas kau tak akan bisa menghitungnya dengan jarimu,” Steve Santana melipat kedua tangannya di depan dada. “Kemungkinan ratusan.”
“Dan mereka tersebar ke seluruh desa,” sambung Jason sambil melangkah. Sesampainya di kursi panjang tempat Steve berada, dia duduk di sampingnya. Wajahnya lalu menyeringai. “Siap menerkam dan mencabik-cabik tubuh mulusmu.”
“Bukankah kemarin kau berkeliaran?” tanya Alicia Eva. “Sendirian pula. Apa itu bukan tindakan bahaya?”
“Anggap saja aku sedang beruntung waktu itu,” tanggap Jason. “Tapi jika tidak, maka bersiaplah kau kehilangan organ-organmu.”
“Cukup, Jason!” Steve Santana menepuk keras bahu Jason. “Jangan menakuti orang!”
“Aku sama sekali tak takut, Pak Pelaksana tugas kepala desa!” seru Alicia Eva.
“Panggilanmu terlalu formal,” ujar Steve Santana. “Cobalah lebih santai.”
“Baiklah! Baiklah!” Alicia Eva mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. “Bisa beritahu aku? Sebenarnya Carnivore itu makhluk apa? Dari mana asal mereka? Dan apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini?”
Steve Santana dan Jason saling menatap sejenak. Seperti biasa, Jason terkekeh. Steve tetap berekspresi datar.
“Satu lagi,” tambah Alicia Eva, “apa semua ini ada hubungannya dengan wabah COBRA-V?”
“Pertanyaan-pertanyaanmu tak adil bagiku,” kata Steve seraya bangkit berdiri. “Satu pertanyaanku tadi tak kau jawab.”
“Pria jarang punya rahasia,” ujar Alicia. Dia menyibakkan rambutnya. “Aku harap kau juga begitu.”
“Ya, kau benar!” Steve Santana tertawa kecil. Dia berdiri sambil berkacak pinggang. Tubuhnya tinggi dan tegap. “Aku memang tak suka menyimpan rahasia.”
Jason tak memedulikan kedua orang di dekatnya. Dia duduk bersandar sambil memejamkan mata. Dalam waktu singkat, dia pun terlelap. Suara mengoroknya terdengar bindeng.
Alicia Eva tersenyum manis. Dia menatap Steve Santana tanpa berkedip.
“Baiklah, Nona Eva. Aku akan ceritakan padamu. Anggap saja ini sebagai oleh-oleh tanpa wujud dari desa ini.”
“Terima kasih, Pak pelaksana!”
“Ya!” Steve Santana mengangguk. “Panggilan itu lebih baik.”
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Windmill Village, 22 Mei 2021.Langit menampakkan wajah suram. Nuansa kelabu pekat menyelimuti angkasa secara keseluruhan. Dari ujung timur hingga ufuk barat, maupun arah utara sampai selatan, tak ada setitik pun warna biru yang tampak. Hari masih siang. Namun sedari pagi, mentari enggan memperlihatkan wujudnya.Seiring berjalannya waktu, gumpalan awan di angkasa kian pekat. Warna kelabunya pun semakin tebal hingga menghitam. Angin sepoi kuat bertiup. Suara yang dihasilkan bak siulan panjang dengan melodi sedih.Sesekali kilat berkedip. Cahayanya yang sekejap terlihat seolah membelah langit. Setelah itu, suara guntur pun menyusul terdengar. Gemuruhnya memenuhi angkasa.Sebidang padang gersang terhampar luas di bawah kaki langit. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tanah tandus. Warna coklat tua menguasai seluruh permukaannya. Tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di atasnya, bahkan sepucuk rumput pun tidak.Ada sebuah jalan panjang yang m
Hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Suara guyuran airnya membisingkan telinga. Siang belum berlalu, namun langit telah menampakkan wajah gelap. Seluruh area desa Windmill Village basah. Bahkan beberapa bagian telah tergenang. Got-got kecil meluap. Airnya tumpah ke jalan.Mobil jip hitam yang dikendarai Alicia Eva melaju membelah terpaan hujan badai. Dia mengemudi dengan ekspresi serius. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Sepasang wiper di kaca depan bergerak cepat. Air yang menurun sesekali tersapu oleh pergerakannya.Kedua sisi jalan yang ditempuh mobil jip Alicia berderet pepohonan. Tak seperti di area pemakaman tadi, pohon-pohon yang ada di sana berdaun rimbun.Keadaan cukup gelap. Hujan yang turun membuat jarak pandang terbatas.Pria yang tadi bertemu dengan Alicia juga ada di dalam mobil. Dia terkekeh lagi. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali dia menoleh ke samping. Lekuk wajah Alicia yang indah ditatapnya dengan saksama. Penampakan hid
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.