Hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Suara guyuran airnya membisingkan telinga. Siang belum berlalu, namun langit telah menampakkan wajah gelap. Seluruh area desa Windmill Village basah. Bahkan beberapa bagian telah tergenang. Got-got kecil meluap. Airnya tumpah ke jalan.
Mobil jip hitam yang dikendarai Alicia Eva melaju membelah terpaan hujan badai. Dia mengemudi dengan ekspresi serius. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Sepasang wiper di kaca depan bergerak cepat. Air yang menurun sesekali tersapu oleh pergerakannya.
Kedua sisi jalan yang ditempuh mobil jip Alicia berderet pepohonan. Tak seperti di area pemakaman tadi, pohon-pohon yang ada di sana berdaun rimbun.
Keadaan cukup gelap. Hujan yang turun membuat jarak pandang terbatas.
Pria yang tadi bertemu dengan Alicia juga ada di dalam mobil. Dia terkekeh lagi. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali dia menoleh ke samping. Lekuk wajah Alicia yang indah ditatapnya dengan saksama. Penampakan hidung mancung dan bibir tipis gadis itu sangat menggoda.
“Masih jauh?” tanya Alicia Eva tanpa menoleh. Sambil memegang setir dengan sebelah tangan, dia menyibakkan rambutnya. Lehernya yang jenjang terlihat. “Aku benci hujan seperti ini.”
Pria itu terkekeh sambil mengusap rambut ikalnya. Dia lalu menepuk jaket lusuhnya yang sedikit basah. “Di depan sana belok kanan.”
Alicia mendesah panjang. Dia lantas menggeleng. Dari tadi dia sesekali menahan napas. Bau apek dari pakaian pria yang duduk di sebelah membuatnya mual. Karna sudah tak tahan, dia pun menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil pun melaju kian kencang.
Pria berjaket lusuh tersentak kaget. Mobil jip yang tiba-tiba bertambah cepat membuat punggungnya terlempar ke sandaran jok. Pantulannya lalu memajukan tubuhnya. Hampir saja dia membentur kaca depan. Beruntung dia sempat berpegangan pada dashboard.
“Ini ketiga kalinya kau hampir mencelakakan aku, Nona.” Suara kekeh terdengar lagi. “Aku harap tak ada kali keempat.”
Alicia tak memedulikan orang di sampingnya. Dia terus melajukan kendaraannya tanpa mengurangi kecepatan.
Tak lama kemudian, mobil jip hitam milik Alicia memasuki sebuah pekarangan luas berumput pendek. Air hujan setinggi tumit memenuhi seluruh permukaannya.
Di atas tanah pekarangan berdiri sebuah rumah kayu yang cukup besar. Seluruh badan bangunannya berwarna coklat tua. Atap dan keempat sisi rumah itu basah kuyup. Cuaca yang gelap, ditambah dengan teras yang tak berlampu, membuat rumah itu terkesan angker.
Mobil jip hitam berhenti tepat di depan teras rumah tua. Kedua pintunya terbuka. Alicia dan penumpangnya turun dengan cepat. Setelah menutup kembali pintu mobil, keduanya berlari memasuki teras depan rumah.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, si pria berjaket lusuh mengedor pintu. Percikan air hujan masuki teras. Seluruh lantainya menjadi basah.
Air hujan menghantam atap terdengar keras. Halilintar pun sesekali menyambar dengan nyaring. Keduanya menghasilkan suara yang membisingkan telinga.
Pintu terus digedor. Sambil menunggu orang di dalam sana mempersilakan masuk, Alicia Eva membuka kancing jaket satu per satu. Dia lalu melepaskannya. Tubuhnya yang molek dalam balutan tank top hitam terlihat. Pistol pendeknya pun tampak terselip dalam sarung di pinggang kanannya.
Si pria berjaket lusuh menoleh ke samping. Penampilan wanita di sebelahnya yang memamerkan sepasang lengan berkulit putih mulus membuatnya terpana. Dia kontan cengengesan dan mengedipkan sebelah matanya.
Tingkah genit pria paruh baya itu tak dipedulikan Alicia. Dia meletakkan jaketnya yang sedikit basah di atas pundak kiri.
Kilat berkedip. Teras depan rumah menjadi terang sekejap saja. Setelah itu, sekali lagi halilintar menyambar dengan keras. Suaranya seolah membuat jantung bergetar.
Tiba-tiba pintu terbuka. Sesosok pria kontan terlihat. Dia berdiri di ambang pintu. Ruangan di belakangnya terang benderang.
“Aku bawa tamu dari luar.” Si pria berjaket lusuh buka suara. Sekali lagi dia terkekeh. “Tamu jauh.”
Pria yang baru saja membuka pintu itu bertubuh tinggi tegap. Dia mengenakan celana panjang dan kaos ketat. Otot lengan dan dada yang kekar membuatnya terkesan gagah. Karena posisinya berdiri melawan cahaya, wajahnya terlihat tak jelas. Sebaliknya, dia bisa melihat raut kedua orang di hadapannya dengan jelas.
Alicia Eva berdiri terpaku. Dia seolah salah tingkah.
Pria yang merupakan pemilik rumah kayu memandangi Alicia dengan lekat. Wajah cantiknya diamati, kemudian tubuh indahnya juga menjadi sasaran tatapan.
Alicia memalingkan wajahnya. Pipinya bersemu merah. Dalam hati, dia merasa menyesal telah melepaskan jaketnya.
Sementara itu, Si pria berjaket lusuh terus terkekeh.
“Jason, siapa wanita ini?” tanya Si pemilik rumah kayu. Dia terfokus menatap pistol di pinggang Alicia. “Kau yakin dia tak berbahaya?”
Pertanyaan barusan membuat Alicia tersentak. Dia kembali menatap ke depan. Keningnya kontan berkerut. Apa yang ditanyakan Si pemilik rumah membuatnya sedikit tersinggung.
Pria berjaket lusuh yang bernama Jason itu lantas terkekeh. “Entahlah, Pak Kepala Desa.”
“Pelaksana tugas kepala desa,” ralat si pemilik rumah kayu. Dia memindahkan tatapannya pada Jason. “Ingat itu!”
“Yang jelas dia sudah menembak dua kali tadi,” lanjut Jason. Dia terkekeh di ujung kalimatnya. “Dua korban. Aku saksinya.”
“Apa?” Si pemilik rumah kayu berkacak pinggang. Dia kembali menghadapkan wajahnya ke Alicia.
“Aku rasa yang kutembak tadi bukan manusia!” seru Alicia Eva. Dia memindahkan jaketnya dari pundak kiri ke pundak kanan. “Aku tak berminat menjadi santapan kedua makhluk aneh itu.”
Si pemilik rumah kayu membuang napas kasar. Dia lalu menurunkan kedua tangannya dari pinggang. Posisi berdirinya yang melawan cahaya tetap membuat raut wajahnya terlihat tak jelas. Alicia penasaran. Dia hanya bisa melihat rambut pendeknya yang bermodel jabrik dan tertata rapi.
“Apa tindakan menembakku sudah benar, Pak kepala ....” Alicia terdiam sejenak. Dia berdeham. “Maksudku Pelaksana tugas kepala desa.”
“Carnivore!” seru Jason dengan wajah cengengesan. Dia terkekeh bersamaan dengan bunyi gemuruh guntur. “Si pemakan daging.”
“Hah?” Alicia menoleh ke arah Jason. “Carnivore?”
“Makhluk yang menyerangmu,” jelas Jason. Dia mengedipkan sebelah matanya pada Alicia. “Kami menyebutnya begitu.”
“Terserah apa sebutannya.” Alicia Eva mengerutkan kening tanda tak mengerti. “Dari mana asal mereka? Kenapa semua makam di area pekuburan tadi rusak? Lalu, kenapa keadaan desa ini berantakan? Tak ada tanda-tanda kehidupan.”
Jason menggeleng. Dia lalu melebarkan kedua tangannya. “Aku tak berhak menjawab pertanyaanmu, Nona.”
Alicia Eva menarik napas, lalu mengembuskannya. Dia menoleh ke belakang sejenak. Terpaan hujan menghalangi pandangan. Dia tak dapat melihat jelas pemandangan pekarangan.
“Kalau mau tinggal saja beberapa lama di sini,” lanjut Jason. Seperti kebiasaannya, dia terkekeh lagi. “Aku jamin semua pertanyaanmu akan terjawab.”
Alicia Eva tertawa kecil. Dia lalu menggeleng.
“Kau belum memperkenalkan dirimu, Nona,” kata Si pemilik rumah kayu. “Siapa namamu? Asalmu? Dan apa tujuanmu ke desa ini?”
“Alicia Eva, dari Southland City,” ujar Alicia sambil mengulurkan tangannya. “Tujuanku ke sini akan kujelaskan nanti.”
Si pemilik rumah kayu menyambut tangan Alicia. Mereka bersalaman erat. “Aku Steve Santana. Pelaksana tugas kepala desa Windmill Village.”
Satu minggu yang lalu.Southland City, 15 Mei 2021, pukul 13.25.Sebuah kota besar terbentang luas di bawah langit biru. Matahari bersinar dengan terik. Cahayanya yang panas terasa membakar kulit. Layaknya metropolitan, tanah di atas kota itu berdiri banyak gedung pencakar langit. Rata-rata tingginya di atas dua puluh lantai.Beberapa ruas jalan raya terjadi kemacetan panjang. Berbagai macam kendaraan, besar dan kecil, berderet bak ular. Deru mesin-mesin dan suara klakson saling bersahutan.Selain itu, bunyi sirene pun terdengar membisingkan. Raungannya membahana di angkasa. Kendaraan para petugas, seperti mobil polisi dan ambulans juga terjebak kemacetan. Semuanya terdiam tanpa bisa melaju sedikit pun.Di angkasa terlihat tiga unit helikopter sedang terbang. Jarak ketiganya cukup berjauhan. Kendaraan-kendaraan udara itu memutari satu titik. Dari atas, orang-orang yang berada di dalamnya memantau keadaan kota.Para penduduk kota berlarian di
Alicia Eva sedang berendam dalam bath tub yang penuh busa sabun pada permukaan airnya. Aroma segar jasmine tercium. Wanginya merasuk ke dalam hidung. Dia sangat menikmati kesendiriannya.Mata Alicia terpejam. Bibirnya menampilkan senyum manis. Suasana kamar mandi yang sunyi memberinya ketenangan. Rambut coklatnya yang pendek sebahu terlihat sedikit basah. Busa sabun pun menempel tak banyak di sana.Sebagian besar tubuh Alicia tenggelam dalam air yang hangat. Bahu hingga wajahnya yang berkulit putih mulus berada di atas permukaan air. Mandi malam merupakan hal yang menyenangkan baginya.Kedua tangan Alicia keluar dari air. Kulit mulusnya basah dan berbusa. Dia meraih spons kuning yang berada di sisi bath tub, lalu bergantian menggosok kedua lengan, bahu, dan wajah cantiknya.Alicia Eva bersenandung lembut sambil melakukan kegiatan membersihkan badannya. Suaranya terdengar merdu.T
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.