Alicia Eva sedang berendam dalam bath tub yang penuh busa sabun pada permukaan airnya. Aroma segar jasmine tercium. Wanginya merasuk ke dalam hidung. Dia sangat menikmati kesendiriannya.
Mata Alicia terpejam. Bibirnya menampilkan senyum manis. Suasana kamar mandi yang sunyi memberinya ketenangan. Rambut coklatnya yang pendek sebahu terlihat sedikit basah. Busa sabun pun menempel tak banyak di sana.
Sebagian besar tubuh Alicia tenggelam dalam air yang hangat. Bahu hingga wajahnya yang berkulit putih mulus berada di atas permukaan air. Mandi malam merupakan hal yang menyenangkan baginya.
Kedua tangan Alicia keluar dari air. Kulit mulusnya basah dan berbusa. Dia meraih spons kuning yang berada di sisi bath tub, lalu bergantian menggosok kedua lengan, bahu, dan wajah cantiknya.
Alicia Eva bersenandung lembut sambil melakukan kegiatan membersihkan badannya. Suaranya terdengar merdu.
Tiba-tiba keasyikan Alicia Eva terusik. Di luar sana terdengar ponselnya berbunyi. Nada deringnya yang cukup keras membuatnya menoleh ke arah pintu kamar mandi.
Alicia Eva mendesah panjang. Dia segera bangkit berdiri dan keluar dari air. Busa sabun cair mengalir menuruni tubuhnya yang indah bak model. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melangkah keluar dari bath tub. Sesampainya di pintu kamar mandi, dia mengambil sehelai handuk merah jambu yang tergantung.
Pintu kamar mandi terbuka. Alicia Eva yang tubuhnya terbalut handuk melangkah keluar. Nada dering terus terdengar. Dia berjalan pelan menuju sebuah meja kecil di samping ranjang. Di sanalah ponselnya berada.
Sesampainya, Alicia lantas meraih ponselnya. Sambil mendudukkan pinggulnya ke sisi ranjang, dia menatap layar telepon genggamnya. Keningnya berkerut. Panggilan dari nomor tak dikenal.
Alicia Eva menempelkan ponsel pada kuping kirinya. “Halo!”
Di ujung telepon sana terdengar suara seorang pria. Dia menanyakan, apakah benar dirinya berbicara dengan Alicia Eva, yang merupakan detektif swasta.
“Iya, benar, aku Alicia Eva,” jawab Alicia. Dia menyibak rambutnya yang sedikit basah dengan tangan kanan. “Ini siapa? Ada yang bisa kubantu?”
Orang yang menelepon itu langsung menyatakan maksud dan tujuannya. Suaranya terdengar berat dan sedikit serak. Alicia menebak dia adalah seorang pria paruh baya.
Alicia Eva berada dalam sebuah kamar yang cukup luas dan tertata rapi. Ranjang yang sedang dia duduki juga besar. Di sudut ruangan terdapat sebuah sofa panjang yang berhadapan dengan meja kayu.
“Badan intelijen?” tanya Alicia Eva. Dia bangkit berdiri sambil memegang ponsel yang tertempel di telinga kirinya. “Bukankah kalian punya banyak agen? Kenapa masih perlu jasa dan tenagaku?”
Alicia Eva beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkah menuju sebuah cermin panjang yang tertempel pada pintu lemari pakaian. Di sana dia berdiri diam. Sambil menatap bayangan seluruh raganya, dia menyimak pembicaraannya.
“Kalian membuat aku penasaran. Kenapa tak katakan saja sekarang?” tanya Alicia seraya membalikkan badannya. Dia berkacak pinggang dengan satu tangan. “Baiklah. Kalau begitu, besok aku akan ke sana.”
Percakapan selesai. Alicia Eva menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia lalu melemparkannya ke tengah ranjang. Alat komunikasi itu memantul dua kali, lalu tergeletak dalam keadaan terbalik.
“Badan intelijen,” gumam Alicia Eva seraya menyentuh bibirnya dengan ujung jari telunjuk. “Apa yang sebenarnya mereka inginkan?”
Setelah merenung beberapa saat, Alicia kembali bergerak. Badannya masih memakai handuk. Enggan rasanya menggantinya dengan pakaian. Dia bergegas menuju sofa panjang yang berada di sudut ruangan. Sesampainya, dia langsung melemparkan pinggulnya ke atas dudukannya.
Alicia Eva mengambil remote yang berada di atas meja. Dia lalu menyentuhkan punggungnya pada sandaran sofa. Kedua kakinya dinaikkan ke atas meja. Dia merasakan posisinya sangat santai dan nyaman.
Alicia Eva mengarahkan remote dalam genggamannya ke depan. Tak jauh di depannya ada sebuah televisi tipis berlayar lebar. Dia lalu menekan salah satu tombol. Dalam sekejap, layar kaca itu langsung menyala.
Televisi menampilkan siaran berita. Layarnya memperlihatkan suasana kota yang kacau balau. Kemacetan panjang dan orang-orang yang berlarian, serta meronta dan menjerit kesakitan ditampilkan. Suara seorang wanita yang merupakan reporter terdengar dari audio televisi. Dia menjelaskan segala sesuatu yang telah terjadi.
Alicia meletakkan remote di atas sofa sampingnya. Sambil menonton tayangan televisi, dia melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap lurus ke depan. Dia terlihat menyimak dengan serius.
Adegan yang ditampilkan layar televisi merupakan kejadian tadi siang, di mana keadaan kota menjadi kacau balau karna banyaknya orang yang mendadak terjangkit virus COBRA-V.
Suara decak keluar dari mulut Alicia. Dia lalu menggeleng. Remote diraihnya kembali. Setelah mengarahkannya ke depan, dia menekan satu tombol angka. Channel berubah. Posisi tangannya yang memegang remote tetap. Dia belum menurunkannya.
Channel televisi yang tadinya menampilkan berita kini berubah. Walau saluran berlainan, namun acaranya sama, yaitu siaran berita malam. Apa yang dikabarkan juga mengenai penyebaran virus COBRA-V.
Alicia Eva membuang napas kasar. Dia menggeleng sambil tetap menyandarkan punggungnya pada sofa. Layar di depan sana menampilkan data negara-negara yang terpapar virus COBRA-V.
“Eh, sudah 181 negara yang terserang COBRA-V?” Alicia membaca data yang tertampil dengan mata terbelalak. “Cepat sekali penyebarannya. Seingatku, minggu lalu 175 negara.
Angka kematian akibat wabah COBRA-V juga diberitakan dengan rinci dalam berita. Alicia Eva terpaku menontonnya.
“Aku tak suka situasi ini. Benar-benar masa yang sulit,” ujar Alicia Eva. Dia menengadah menatap langit-langit. Suara pembaca berita terus terdengar. “Ya, Tuhan, kapan pandemi ini akan berakhir?”
Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 21.35. Alicia Eva memindahkan pandangannya pada jam berbentuk bulat yang tergantung di dinding. Jarum penunjuk detiknya berputar mengelilingi angka-angka. Sesekali dia menguap. Rasa kantuk mulai menyerang.
Televisi masih dalam keadaan menyala. Suara pembaca berita pun terus terdengar. Alicia Eva menumbangkan tubuhnya pada dudukan sofa. Matanya terasa berat. Dia pun memejamkannya. Tak lama kemudian, dia terlelap dalam keadaan tubuh berbalut handuk.
***
Jaffar Corporation, sebelah utara Southland City, pukul 23.15.
Jaffar Corporation adalah sebuah perusahaan besar pengembangan obat dan bahan kimia. Letaknya berada di pinggiran Southland City, tepatnya di sebelah utara.
Gedung Jaffar Corporation merupakan bangunan tertinggi dan termegah di Southland City. Ketinggiannya mencapai 35 lantai. Bagian atap gedung mampu menggapai awan.
Dalam kegelapan malam, gedung Jaffar Corporation terlihat elegan. Cahaya bulan purnama membuat kaca-kaca yang menempel pada badan bangunannya mengkilap.
Jimmy Jaffar, pria yang kepalanya licin tanpa sehelai rambut, berada di lantai ke 20 gedung Jaffar Corporation. Dia merupakan presiden direktur sekaligus pemilik tunggal perusahaan farmasi besar tersebut. Jimmy Jaffar berdiri menghadap sebuah kaca jendela besar. Tatapannya tertuju keluar. Dari sana, dia bisa melihat pemandangan Southland City yang terbentang luas.
Tak seperti dulu, saat malam, Southland City akan memperlihatkan wajah gemerlap. Semua bangunan akan menampakkan lampu-lampu yang berkilauan, sehingga pemandangan seluruh kota tampak indah.
Virus COBRA-V telah melenyapkan kegemerlapan Southland City. Sejak wabah itu menyebar, kota itu seolah telah kehilangan semangat dan keceriaannya.
Jimmy Jaffar berpostur tinggi dan besar. Lain dengan kepalanya yang plontos, alis, kumis, dan berewok yang tumbuh pada area wajahnya malah tebal. Umurnya 52 tahun. Kulitnya hitam legam.
Daster tidur berwarna putih yang membalut tubuh Jimmy Jaffar terlihat kontras dengan kulitnya yang hitam. Sambil menatap pemandangan suram kota, dia menikmati segelas minuman keras berkualitas tinggi. Sesekali dia mendekatkan gelas ke bibirnya. Isinya diseruput perlahan.
Ruang tempat Jimmy Jaffar berada merupakan sebuah kamar mewah yang interiornya menawan. Ranjang besar yang ada di sana tertutup seprei indah. Selimut bulu hangat juga berada di atasnya. Selain itu, pada keempat sudut ruangan berdiri patung malaikat berwarna abu-abu. Pada bagian kepala masing-masing patung terpasang lampu tidur yang cahayanya remang-remang.
Terdengar suara pintu kamar diketuk. Jimmy Jaffar tak bereaksi. Dia terus menatap keluar kaca jendela. Sekali lagi dia meneguk minumannya.
Pintu kamar diketuk lagi. Kali ini lebih keras.
Kening Jimmy Jaffar. Dia lalu membuang napas kasar. “Masuk!”
Suara Jimmy Jaffar yang terdengar cukup keras membuat orang di luar sana mendorong pintu kamar.
Jimmy Jaffar tidak membalikkan badannya. Dia meneguk habis sisa minumannya.
Seorang pria bertubuh pendek dengan setelan jas rapi berdiri di ambang pintu. Dia memakai dasi kupu-kupu. Selain penampilan atasnya rapi, sepatu yang dikenakannya juga hitam mengkilap. Rambut pria itu keriting dan matanya sipit. Dia berdiri diam tanpa berucap.
“Ada apa, Alex?” tanya Jimmy Jaffar. Dia kembali memperdengarkan suaranya yang berat. Sedikit pun dia tak membalikkan badannya. “Harusnya kau tahu, aku tak suka jam malamku diganggu.”
Pria yang bernama Alex itu tersenyum tipis. Dia lalu menjawab, “Tamu penting telah tiba, Tuan.”
“Tamu?” Jimmy Jaffar lantas menaikkan tangan kiri dan menatap arlojinya yang berlapis emas putih. “Semalam ini?”
“Mereka baru saja turun dari pesawat,” jelas Alex.
“Mereka?”
“Benar, Tuan. Dua orang. Pria dan wanita,” jawab Alex. “Mereka memaksa bertemu Tuan malam ini.”
Akhirnya Jimmy Jaffar membalikkan badannya. Tanpa menunggu dia melangkah. Sesampainya di tempat Alex berdiri, dia menyodorkan gelas kosongnya.
Alex menyambut pemberian majikannya itu dengan dua tangan. Badannya sedikit membungkuk.
“Aku harap mereka tak berniat menginap di sini,” ujar Jimmy Jaffar sambil menepuk pundak Alex. Matanya menyorot tajam. “Tak ada kamar tamu yang tersedia.”
Alex tak menjawab. Dia berdiam sambil memegang gelas kosong dari Jimmy Jaffar.
Jimmy Jaffar pun bergerak kembali. Dia melangkah melewati samping Alex.
Di lantai ke 20 tempat Jimmy Jaffar berada terdapat sebuah ruang tamu yang sangat luas. Cahayanya terang benderang. Di tengah ruangan tersimpan satu set sofa dengan jok kulit. Meja kayu berukiran indah dikelilingi oleh sofa itu.
Sebuah mini bar terlihat di sudut ruangan. Pada raknya yang bertingkat tersusun deretan minuman kelas tinggi. Beberapa lukisan berukuran besar pun tergantung berderet pada keempat sisi dinding. Selain itu, potret diri Jimmy Jaffar yang memakai jas dan dasi juga ada di sana.
Tamu tengah malam yang memaksa bertemu Jimmy Jaffar berjalan mondar-mandir. Seperti kata Alex, mereka adalah seorang pria dan wanita. Dekorasi ruang tamu yang indah dan mewah membuat keduanya terpukau.
Terry dan Tsugumi, itulah nama kedua tamu Jimmy Jaffar. Mereka berpakaian serba hitam. Keduanya mengelilingi ruang tamu sambil melihat dan menyentuh kemewahan yang ada di sana.
Terry berperawakan tinggi kurus dan masih muda. Usianya bahkan tak melebihi 30 tahun. Tubuh jangkungnya setinggi dua meter. Dia berambut gondrong. Tatanannya rapi dan terikat ke belakang. Wajahnya menampakkan mata yang sipit dan hidung mancung.
Tamu yang wanita bernama Tsugumi. Umurnya 25 tahun. Dia berkebangsaan Jepang. Wajahnya cantik dengan kulit putih mulus. Sama seperti Terry, dia juga berpakaian serba hitam. Rambutnya pendek sebahu. Lain dengan rekannya, tubuhnya tak terlalu tinggi.
Saat Terry dan Tsugumi tengah asyik mengitari ruang tamu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Keduanya lantas menoleh.
Jimmy Jaffar melangkah masuk. Dia tetap mengenakan daster tidur. Pintu ruangan dibiarkannya terbuka. Sambil berjalan, dia bergantian menatap Terry dan Tsugumi. Sorotnya tajam menusuk.
Terry dan Tsugumi bergerak. Keduanya bergegas menghampiri Sang tuan rumah. Sesampainya, mereka lalu berdiri diam berhadapan.
Kedua pihak saling menatap untuk sesaat. Wajah ketiga orang itu menampilkan ekspresi datar.
“Aku tak menyangka kalian akan tiba secepat ini,” ujar Jimmy Jaffar. Dia terkekeh. “Dan juga semalam ini.”
Terry dan Tsugumi saling berpandangan sesaat, lalu kembali menatap ke depan.
“Serta memaksa bertemu denganku di waktu yang tak tepat,” lanjut Jimmy Jaffar. “Keberanian kalian patut diacungi jempol.”
“Kami tak suka buang waktu, Tuan Jaffar,” ujar Terry. Mata sipitnya menyorot tajam. “Karna itu, setelah Anda membayar uang muka, kami langsung bergerak.”
“Bukankah lebih cepat lebih baik?” tanya Tsugumi. Dia tersenyum tipis. “Aku yakin, Tuan Jaffar akan puas dengan waktu dan cara kerja kami.”
Jimmy Jaffar tertawa, lalu memfokuskan tatapannya pada Tsugumi. Dia dan kedua tamunya berdiri berhadapan dalam jarak satu meter.
Melihat wajah Tsugumi yang cantik jelita, ditambah dengan bentuk tubuhnya yang indah, Jimmy Jaffar pun menelan ludah. Dia mengamati wanita Asia Timur itu dari wajah sampai ujung kaki. Rasa tertarik membuat Bos besar itu mengeluarkan ujung lidah dan menjilat bibirnya sendiri.
Pakaian serba hitam yang dipakai Tsugumi sangat ketat. Tubuhnya yang padat berisi tercetak jelas. Dia mengenakan atasan berlengan panjang, sedangkan bagian bawahnya celana pendek. Sepatu bot bertali yang membalut kakinya juga berwarna hitam.
Tsugumi pun tak melepaskan tatapannya. Dia tahu, Bos besar yang berada di hadapannya itu tertarik pada dirinya. Baginya itu kesempatan emas untuk menggaetnya.
“Kapan kami bisa mulai bertugas?”
Pertanyaan Terry membuyarkan lamunan Jimmy Jaffar. Dia lantas menoleh ke arah pria berambut gondrong itu.
“Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya,” jawab Jimmy Jaffar. Dia mengembalikan tatapannya pada Tsugumi. “Ada seorang lagi yang harus terlibat dalam misi ini. Karna itu, dia harus terlibat dalam pembicaraan kita.”
“Seseorang?” tanya Tsugumi. Keningnya sedikit mengerut. “Siapa dia?”
Jimmy Jaffar terkekeh pelan. “Besok kalian akan tahu.”
Terry dan Tsugumi kembali saling menoleh. Mereka berdua adalah pembunuh bayaran yang disewa Jimmy Jaffar untuk melaksanakan sebuah misi. Keduanya berangkat dari kota sebelah menuju Southland City dengan menggunakan pesawat terbang. Setelah mendarat, mereka pun langsung menemui pemilik Jaffar Corporation.
“Sebenarnya aku tak ingin kalian menginap di sini malam ini.” Tatapan Jimmy Jaffar tetap menempel pada Tsugumi. Dia melangkah maju. “Tapi aku berubah pikiran.”
Jimmy Jaffar berhenti tepat di depan Tsugumi. Kini jarak mereka hanya sejengkal. Aroma tubuh wanita itu sangat harum dan memikat. Sang bos Jaffar Corporation menghirupnya dalam-dalam.
Postur tubuh Jimmy Jaffar tinggi besar. Tsugumi hanya setinggi dagunya. Karna itu, untuk menatap wajah penyewa jasanya itu, dia harus sedikit mengangkat wajahnya.
Tanpa basa-basi, Jimmy Jaffar melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Tsugumi. Dia menarik dan mendekapnya erat.
Bukannya menolak dan meronta, Tsugumi malah bertingkat genit. Dia menaikkan tangannya untuk mengelus dagu Jimmy Jaffar yang berewok. Tatapan mereka tajam dan saling beradu.
“Aku punya tugas khusus untukmu malam ini, Cantik,” ujar Jimmy Jaffar seraya mempererat dekapannya. “Tugas yang juga memberimu kesenangan.”
“Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Jaffar,” tanggap Tsugumi. Dia meletakkan kedua telapak tangannya pada dada Jimmy Jaffar, lalu mengelusnya lembut. “Semoga aku tak mengecewakanmu.”
Terry tak memedulikan kelakuan Jimmy Jaffar dan rekan kerjanya, Tsugumi. Baginya, apa yang akan dilakukan kedua orang itu sama sekali bukan urusannya. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
***
Keesokan harinya, 16 Mei 2021, pukul 08.05.
Markas Besar Badan Intelijen.
Markas badan intelijen berdiri megah di atas tanah berumput hijau yang cukup luas. Taman Indah yang lengkap dengan kolam bulat berada di hadapan gedung bertingkat lima itu. Di tengah-tengah kolam dibangun sebuah monumen berupa burung rajawali yang bertengger di puncak bukit.
Bagian samping kiri dan kanan markas intelijen adalah lapangan parkir beraspal hitam. Kendaraan-kendaraan besar dan kecil tersusun rapi di atas tanahnya. Di setiap sudut dan sisi luar gedung terpasang kamera CCTV. Keseluruhan area gedung dikelilingi oleh tembok tinggi.
Alicia Eva baru saja tiba. Setelah melalui pemeriksaan ketat di pintu gerbang, dia pun diizinkan masuk. Mobil jip hitamnya memasuki lapangan parkir.
Setelah mendapatkan tempat parkir kosong, Alicia langsung meletakkan mobilnya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, dia segera turun dan bergegas menuju teras depan markas intelijen.
Alicia Eva mengenakan pakaian formal berwarna abu-abu. Celana panjangnya serasi dengan sepatu hitam berhak tinggi. Bagian atas tubuhnya dibungkus oleh blazer, dan blus berwarna putih pada bagian dalam membuat dirinya terlihat elegan.
Rambut Alicia Eva yang berwarna coklat dan pendek sebahu bermandikan cahaya matahari pagi. Kilaunya memukau. Langkah anggunnya menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitarnya. Setiap lelaki yang berpapasan dengannya kontan melirik. Ada juga yang melemparkan senyum. Alicia membalas keramahan mereka dengan senyuman juga.
Sesampainya di teras depan markas intelijen, Alicia menapaki lantainya. Tapak sepatunya yang beradu dengan ubin menghasilkan suara kelotak. Dia bergegas menuju pintu yang seluruhnya terbuat dari kaca. Di depannya berjaga dua pria berseragam khusus. Warnanya hijau tua. Mereka menggenggam senjata api laras panjang.
“Identitas!” Salah satu penjaga membentangkan tangannya ketika Alicia Eva sampai di depan pintu. “Ada keperluan apa?”
Alicia Eva terdiam. Dia menatap bergantian kedua penjaga di hadapannya. Wajah mereka berekspresi serius.
“Identitas!” seru Si Penjaga sekali lagi. “Lekas tunjukkan!”
“Semalam aku ditelepon seseorang dari sini,” jelas Alicia Eva. Dia tersenyum dan berusaha ramah. “Dan aku diminta kemari.”
Kedua penjaga saling menatap sesaat dengan kening berkerut. Setelah itu mereka kembali memandangi Alicia Eva.
“Maaf, keterangan Anda ditolak!” tegas Si Penjaga. “Tanpa identitas dilarang masuk. Silakan pergi!”
Alicia Eva mendesah. Dia lalu bergumam, “Seharusnya aku menanyakan nama si penelepon tadi malam.”
Kedua penjaga tadi tetap membentangkan tangan. Posisi mereka berdiri menghalangi pintu masuk.
Alicia memasang wajah muram. Dia membuang napas kasar, lalu menggeleng. Setelah itu, dia membalikkan badannya dan bergegas pergi. Tanpa menunggu lebih lama lagi dia mulai melangkah.
“Tunggu, Nona Alicia Eva!”
Baru saja berjalan dua langkah, Alicia Eva berhenti. Suara barusan yang memanggil namanya membuat dia kembali membalikkan badan.
Seorang pria berpakaian rapi, lengkap dengan jas biru dan dasi, berdiri di antara kedua penjaga tadi. Pintu kaca belakangnya terbuka. Dia baru saja keluar dari sana.
Pria yang memakai jas biru itu tersenyum ramah. Postur tubuhnya setinggi kedua penjaga yang berdiri kedua sisinya. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya terlihat kuno dengan model belah tengah.
Alicia Eva membalas senyum ramah pria itu. Dia mengangguk sekali. Dilihatnya pria itu berjalan mendekatinya sambil mengukurkan tangan kanan. Sesampainya, mereka berdua kontan bersalaman.
“Perkenalkan, namaku Jeremy.” Pria itu menggenggam erat tangan Alicia Eva. “Mohon maaf! Barusan dua penjaga kami mempersulit Anda.”
“Tidak masalah, Tuan Jeremy!” balas Alicia Eva. Dia juga memperkuat genggaman tangannya. “Itu sudah tugas mereka. Keduanya sangat disiplin.”
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.