Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.
Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.
Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.
Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.
Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kulit. Raga mereka sangat kurus. Tak ada otot dan gizi lagi. Yang tersisa hanya kulit pembungkus tulang.
Suara raung dan geram yang menyeramkan terus terdengar. Sambil bergerak maju tak tentu arah, para Carnivore menoleh kanan dan kiri. Hidung mereka mengendus-endus.
***
“Para Carnivore itu,” kata Steve Santana, “awalnya memang manusia. Makhluk hidup seperti kita. Dan yang pastinya penduduk di sini.”
Alicia Eva menyimak serius perkataan Steve. Tubuhnya sedikit membungkuk. Kedua siku tangannya diletakkan pada lutut. Matanya menatap lurus ke depan.
“Mereka semua terjangkit virus COBRA-V. Itulah awal malapetaka di sini,” lanjut Steve Santana yang duduk bersandar. Sebelah kakinya terangkat ke atas lutut. “Semula hanya belasan penduduk yang terjangkit, namun lama kelamaan, wabah menyebar dengan cepat. Korban bertambah.”
Sementara Steve Santana tengah bercerita, Jason yang duduk di sebelahnya tertidur pulas. Dia terlelap dengan kepala miring ke bahu kanan. Punggungnya ditopang oleh sandaran kursi. Suara dengkurannya terdengar seperti mesin rusak.
“Setiap hari korban pasti bertambah. Sampai akhirnya dokter dan tenaga medis kewalahan. Mereka stres dan kelelahan. Lebih buruknya lagi, mereka juga terjangkit.” Steve berhenti sejenak. Dia lalu menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Dalam waktu tiga hari, semua lumpuh. Hancur. Dokter desa dan tim medisnya habis terjangkit virus COBRA-V.”
Kening Alicia Eva mengerut. Dia menatap lekat Steve Santana sambil menggeleng.
Steve Santana balas menatap Alicia Eva. “Saat itulah kami tak dapat berbuat banyak. Semua orang menyelamatkan diri sendiri dan juga keluarga.”
Alicia membuang napas kasar. Dia lalu menaikkan kedua tangan untuk menyibakkan rambutnya. Setelah itu, dia tertunduk sambil memegang kepalanya. Kedua sikunya tetap ditumpukan pada lutut.
“Beberapa hari kemudian,” lanjut Steve Santana, “mereka datang.”
Alicia Eva menegakkan kepalanya dengan cepat. Tatapannya dan Steve kembali bertemu. “Mereka? Mereka siapa?”
“Tim medis dari kota,” jawab Steve Santana sambil menurunkan kaki kanannya dari lutut. Dia lalu gantian menaikkan kaki kirinya. “Bantuan dari pemerintah. Jumlah mereka cukup banyak. Datang dengan tujuh unit helikopter.”
“Bantuan? Dari pemerintah?” Alicia Eva menggeleng. Keningnya masih mengerut. “Aku tak yakin.”
“Aku juga!” seru Steve Santana sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi berewok tipis rapi. “Dari awal kedatangan mereka, aku sudah curiga.”
“Kalian terima bantuan mereka?”
“Kami tak punya pilihan.”
Alicia Eva menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia melirik ke samping Steve. Jason yang tengah terlelap sambil duduk sedikit bergerak. Dengkurannya telah berhenti.
“Mereka membawa segala yang kami perlu. Karna itulah, para warga yang tersisa menyambut baik.” Steve Santana memijat leher dan bahunya. “Makanan, minuman, dan ....”
Alicia Eva terpaku. Dia terus menatap ke depan, menunggu Steve menyelesaikan kalimatnya.
“Vaksin!” lanjut Steve Santana.
“Hah? Vak ....” Alicia Eva tersentak kaget. Dia terbelalak dan melongo. “Vaksin?”
“Ya! Vaksin pencegah virus COBRA-V.”
“Tidak mungkin!” Alicia masih terbelalak. Dia menggeleng. “Sampai sekarang vaksin itu belum ditemukan.”
“Ya, kau benar! Namun sayangnya para warga antusias.”
“Lalu para korban disuntikkan?” tanya Alicia. “Maksudku para penduduk yang terjangkit COBRA-V.”
Steve Santana mengangguk. “Termasuk orang sehat.”
“Kau?”
“Aku tidak! Beberapa warga yang lain juga tidak,” jawab Steve. Dia lalu menoleh ke samping. Jason masih tertidur dalam posisi duduk. “Termasuk dia.”
Alicia Eva kembali melirik Jason sejenak.
“Kami tak percaya dengan mereka,” lanjut Steve Santana. “Karna itulah kami selamat sampai sekarang.”
“Lalu apa hubungan semua ini dengan para Carnivore?”
Steve Santana melanjutkan ceritanya. Setelah mendapatkan suntikan vaksin dari tim medis kota, kondisi para korban virus COBRA-V memburuk. Mereka meninggal lebih cepat dari waktu yang seharusnya, yaitu satu minggu. Setiap harinya, jumlah warga desa yang meninggal bertambah. Orang-orang sehat yang mendapat suntikan vaksin pun kondisi kesehatannya memburuk. Dalam waktu dua hari, semua meninggal.
Menyadari adanya kegagalan dalam pemberian vaksin, tim medis dari kota itu pun cuci tangan. Mereka kabur. Tanpa memedulikan kondisi desa yang berantakan, mereka kembali ke kota dengan helikopter.
Orang-orang yang telah menerima suntikan vaksin, baik yang terjangkit virus COBRA-V, maupun yang sehat, dikuburkan secara masal. Para warga desa yang tersisalah yang melakukan penguburannya.
Penguburan dilakukan dengan cepat, apa adanya, tanpa upacara, bahkan jenazah-jenazah pun tak dimasukkan pada peti mati. Semua dimakamkan secara langsung.
“Karna kekurangan lahan untuk memakamkan jenazah-jenazah,” lanjut Steve Santana, “kami pun terpaksa menggunakan tanah kosong di tengah desa.”
“Maksudmu area pemakaman khusus berpagar tinggi tak jauh dari sini?” tanya Alicia sambil menunjuk ke arah jendela yang tertutup tirai. “Yang ada peringatan dilarang masuk pada bagian depannya?”
“Ya, benar! Tempat kau menembak dua Carnivore,” jawab Steve Santana. “Yang terkubur di sana adalah orang-orang yang telah menerima vaksin gagal.”
Permasalahan belum selesai. Dalam waktu kurang dari satu hari setelah pemakaman, malapetaka baru pun terjadi. Para jenazah bangkit kembali. Mereka keluar dari dalam kuburan masing-masing. Tidak adanya peti mati membuat mereka bisa menembus tanah dengan mudah.
Celakanya, kebangkitan para jenazah bukan berarti mereka hidup kembali. Namun, mereka berubah menjadi makhluk lain. Makhluk yang selayaknya hewan buas. Mereka haus darah dan lapar akan daging. Karna itulah mereka disebut Carnivore.
Kebangkitan para jenazah terjadi saat malam hari. Setelah keluar dari kuburan, mereka pun berkeliaran dan tersebar ke seluruh area desa.
Dalam raga para Carnivore bukan hanya ada virus COBRA-V, namun juga virus baru yang akan membuat seseorang berubah menjadi Carnivore baru jika tergigit atau tercakar oleh mereka.
Cerita Steve Santana membuat Alivia Eva tercengang. Dia masih tak percaya, apa mungkin orang yang telah mati bangkit kembali? Tapi dia sendiri sudah bertemu, bahkan berhadapan dengan dua Carnivore. Sementara Pelaksana tugas kepala desa itu sedang berbicara, dia mendengarkannya dengan saksama.
“Tapi jangan salah, Nona Eva,” ujar Steve Santana. “Walaupun para Carnivore bangkit dari kubur, mereka bukan makhluk halus.”
“Ya, aku mengerti,” tanggap Alicia Eva sambil mengangguk. “Mereka makhluk biologis. Hanya saja, entah apa yang membangkitkan mereka.”
“Kegagalan vaksin!” seru Steve Santana.
“Hah?” Alicia Eva kembali terbelalak dan melongo. “Apa hubungannya?”
Steve Santana lanjut berkisah. Vaksin gagal dari tim medis kota, bukan hanya membuat para korban meninggal lebih cepat, namun juga menguatkan virus COBRA-V. Setelah dikuburkan, virus dalam jasad-jasad bermutasi.
Mutasi yang menguatkan virus COBRA-V menghidupkan jaringan otak, sehingga memberi kesadaran pada korban-korban yang telah meninggal. Carnivore merupakan makhluk biologis yang pergerakannya dikendalikan total oleh otak. Organ lain seperti hati, jantung, dan paru-paru, sama sekali tak berfungsi.
“Para Carnivore tak ada bedanya dengan hewan buas.” Steve menengadah. Dia mengembuskan napas ke udara. “Insting membunuhnya kuat. Mereka hanya tahu memangsa.”
“Sepertinya kau tahu banyak soal Carnivore.” Alicia Eva menurunkan resleting jaketnya. Hari semakin siang, udara mulai panas. “Sampai-sampai kau tahu proses kebangkitan dan mutasi virus dalam jasad mereka.”
Steve Santana terdiam. Dia melihat Alicia Eva membuka jaket, melipatnya, lalu diletakkannya ke samping. Bahu dan lengan mulus wanita itu kembali terlihat. Tank top yang dikenakannya tampak sedikit basah oleh keringat.
“Dia ilmuwan!” seru Jason tiba-tiba.
Steve Santana menoleh ke samping cepat. Begitu pun Alicia Eva, dia langsung menatap ke arah Jason yang tengah terkekeh. Matanya masih terpejam. Posisi punggungnya juga masih bersandar pada kursi.
“Ilmuwan?” Alicia memindahkan tatapannya pada Steve. “Dia serius?”
“Aku berharap kau tak bangun untuk selamanya!” hardik Steve sambil terus menatap Jason.
Jason kembali terkekeh. Dia lalu membuka matanya pelan, menguceknya, lalu segera duduk tegak. Tatapannya langsung jatuh pada lengan dan bahu Alicia yang terbuka. Pemandangan elok itu membuatnya menelan ludah dan menjilati bibir.
Alicia Eva tak memedulikan tatapan Jason. Dia fokus menatap wajah tampan Steve, berharap dia segera memberi jawab.
“Ya! Dia benar.” Steve Santana membuang napas kasar. Dia bangkit berdiri. “Ilmuwan tanpa gelar.”
Alicia Eva melihat Steve mulai melangkah. Pria berpostur tinggi tegap itu bergerak meninggalkan kursinya.
“Jika aku sempat menyelesaikan kuliahku,” lanjut Steve sambil berjalan menuju belakang kursi tempat dia duduk tadi, “mungkin saja gelar profesor sudah kudapat.”
Mata Alicia Eva melirik mengikuti pergerakan Steve Santana.
“Beberapa waktu lalu aku menangkap satu Carnivore, lalu kubunuh. Darahnya kuambil untuk kuperiksa. Karna itulah aku tahu proses kebangkitannya,” jelas Steve Santana. “Aku hanya menelitinya singkat, tapi aku yakin seperti itulah proses kebangkitan para Carnivore.”
Steve Santana lanjut mengisahkan pengalamannya. Dulu dirinya sempat tinggal di Southland City. Dia kuliah bidang sains dan juga ilmu farmasi di sana. Namun karena kesulitan biaya, dan ayahnya jatuh sakit, dia pun terpaksa pulang kembali ke Windmill Village. Saat itu kehidupan masih normal. Pandemi virus COBRA-V belum terjadi.
Sementara Steve sedang berbicara, dan Alicia fokus menyimak, Jason malah cengengesan. Sesekali dia terkekeh. Tubuh indah Alicia dalam balutan tank top ditatapnya tanpa berkedip.
Steve berjalan mondar-mandir di belakang kursi tempat Jason duduk. Kedua tangannya berada dibalik punggung. Kepalanya sedikit tertunduk.
“Maaf!” ucap Alicia.
“Maaf?” Steve melirik Alicia sambil terus bergerak. “Untuk apa?”
Alicia salah tingkah. Dia berdeham dan malingkan wajahnya. “Maaf karna aku membuatmu teringat hal yang tak enak.”
“Tak masalah!” Steve mengangkat telapak tangannya setinggi dada. “Jangan dipikirkan.”
Suara tawa terkekeh Jason terdengar lagi. Dia terus menggerayangi tubuh Alicia Eva dengan tatapannya.
Alicia berdecak kesal. Dia melirik sinis pada Jason. Hatinya resah dengan perilaku pria paruh baya berambut keriting itu.
Matahari naik semakin tinggi. Air yang menggenangi pekarangan depan rumah Steve Santana belum surut. Beberapa pasang kaki melangkah masuk. Tanah dengan rerumputan pendek itu terinjak. Bunyi percikan air terdengar. Selain itu, suara geraman dan raungan juga mengiringi.
Tiba-tiba Steve Santana menghentikan langkah mondar-mandirnya. Air mukanya berubah kaget. Dengan cepat dia menoleh ke arah jendela. Tirainya yang tertutup sedikit bergerak oleh tiupan angin.
“Ada apa?” tanya Alicia Eva seraya bangkit berdiri.
Steve menoleh Alicia sejenak sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Setelah itu, dia kembali menatap jendela. Di luar sana, bunyi langkah kaki yang menginjak air terdengar jelas, begitu pula dengan suara dan geraman.
Alicia Eva bangkit berdiri perlahan. Wajahnya berekspresi bingung. Dia menatap Steve melangkah mengendap-endap menuju jendela.
Jason memalingkan wajahnya dari Alicia. Masih pada posisi duduk, dia menoleh ke belakang.
Steve Santana telah sampai ke dekat jendela. Dari celah tirainya yang terbuka sedikit, dia mengintip keluar sana. Alangkah terkejutnya dia. Matanya kontan terbelalak.
Belasan Carnivore berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve Santana. Suara percikan air terdengar saat kaki mereka menapak. Semua berjalan tak tentu arah. Jumlah mereka tiga belas.
“Carnivore!” seru Steve dengan suara kecil. Dia menoleh ke belakang sejenak, lalu kembali mengintip keluar. “Jangan bersuara keras!”
Alicia Eva dan Jason tersentak kaget.
Tanpa banyak bertanya, Alicia bergerak mendekati Steve. Sesampainya, dia berniat mengintip juga.
Steve memberi ruang pada Alicia. Dia bergeser agar gadis itu bisa mengintip ke luar sana.
“Tiga belas,” kata Alicia Eva. Mata kirinya melihat para pemangsa di luar sana berjalan ke sana ke mari. “Itu jumlah mereka.”
“A ... Apa? Tiga ... Tiga belas?” Wajah Jason memucat. Dia berdiri dengan kaki dan tubuh gemetaran. “Sebanyak itu?”
Alicia Eva dan Steve Santana tak memedulikan Jason. Mereka saling memandang dalam jarak dekat. Masing-masing tenggelam dalam pemikiran. Mereka mencari ide untuk melakukan sesuatu.
“Bagaimana ini?” tanya Alicia berbisik. “Apa mereka bisa tahu kita ada di dalam sini?”
“Selama tak ada suara ribut dan bau darah, kita aman,” jawab Steve Santana. “Pendengaran dan penciuman mereka sensitif.”
Alicia membuang napas kasar. Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedangkan tangan kanannya bergerak menyibakkan rambutnya. Matanya menatap lekat wajah Steve.
“Kita ... Kita ha ... harus lakukan sesuatu.” Jason semakin ketakutan. Badannya bergetar. Wajahnya kian pucat dengan mata terbelalak. “Cepat atau lambat, mereka akan tahu keberadaan kita.”
Steve Santana berkacak pinggang sambil menatap tajam pada Jason. “Ya! Aku setuju!”
“Kau mau lakukan apa?” tanya Alicia.
“Sudah lama pekarangan depan rumahku tak dibersihkan.” Steve Santana mendekatkan wajahnya ke wajah Alicia. “Ini saat yang tepat untuk melakukannya.”
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Windmill Village, 22 Mei 2021.Langit menampakkan wajah suram. Nuansa kelabu pekat menyelimuti angkasa secara keseluruhan. Dari ujung timur hingga ufuk barat, maupun arah utara sampai selatan, tak ada setitik pun warna biru yang tampak. Hari masih siang. Namun sedari pagi, mentari enggan memperlihatkan wujudnya.Seiring berjalannya waktu, gumpalan awan di angkasa kian pekat. Warna kelabunya pun semakin tebal hingga menghitam. Angin sepoi kuat bertiup. Suara yang dihasilkan bak siulan panjang dengan melodi sedih.Sesekali kilat berkedip. Cahayanya yang sekejap terlihat seolah membelah langit. Setelah itu, suara guntur pun menyusul terdengar. Gemuruhnya memenuhi angkasa.Sebidang padang gersang terhampar luas di bawah kaki langit. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tanah tandus. Warna coklat tua menguasai seluruh permukaannya. Tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di atasnya, bahkan sepucuk rumput pun tidak.Ada sebuah jalan panjang yang m
Hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Suara guyuran airnya membisingkan telinga. Siang belum berlalu, namun langit telah menampakkan wajah gelap. Seluruh area desa Windmill Village basah. Bahkan beberapa bagian telah tergenang. Got-got kecil meluap. Airnya tumpah ke jalan.Mobil jip hitam yang dikendarai Alicia Eva melaju membelah terpaan hujan badai. Dia mengemudi dengan ekspresi serius. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Sepasang wiper di kaca depan bergerak cepat. Air yang menurun sesekali tersapu oleh pergerakannya.Kedua sisi jalan yang ditempuh mobil jip Alicia berderet pepohonan. Tak seperti di area pemakaman tadi, pohon-pohon yang ada di sana berdaun rimbun.Keadaan cukup gelap. Hujan yang turun membuat jarak pandang terbatas.Pria yang tadi bertemu dengan Alicia juga ada di dalam mobil. Dia terkekeh lagi. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Sesekali dia menoleh ke samping. Lekuk wajah Alicia yang indah ditatapnya dengan saksama. Penampakan hid
Satu minggu yang lalu.Southland City, 15 Mei 2021, pukul 13.25.Sebuah kota besar terbentang luas di bawah langit biru. Matahari bersinar dengan terik. Cahayanya yang panas terasa membakar kulit. Layaknya metropolitan, tanah di atas kota itu berdiri banyak gedung pencakar langit. Rata-rata tingginya di atas dua puluh lantai.Beberapa ruas jalan raya terjadi kemacetan panjang. Berbagai macam kendaraan, besar dan kecil, berderet bak ular. Deru mesin-mesin dan suara klakson saling bersahutan.Selain itu, bunyi sirene pun terdengar membisingkan. Raungannya membahana di angkasa. Kendaraan para petugas, seperti mobil polisi dan ambulans juga terjebak kemacetan. Semuanya terdiam tanpa bisa melaju sedikit pun.Di angkasa terlihat tiga unit helikopter sedang terbang. Jarak ketiganya cukup berjauhan. Kendaraan-kendaraan udara itu memutari satu titik. Dari atas, orang-orang yang berada di dalamnya memantau keadaan kota.Para penduduk kota berlarian di
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.