Satu minggu yang lalu.
Southland City, 15 Mei 2021, pukul 13.25.
Sebuah kota besar terbentang luas di bawah langit biru. Matahari bersinar dengan terik. Cahayanya yang panas terasa membakar kulit. Layaknya metropolitan, tanah di atas kota itu berdiri banyak gedung pencakar langit. Rata-rata tingginya di atas dua puluh lantai.
Beberapa ruas jalan raya terjadi kemacetan panjang. Berbagai macam kendaraan, besar dan kecil, berderet bak ular. Deru mesin-mesin dan suara klakson saling bersahutan.
Selain itu, bunyi sirene pun terdengar membisingkan. Raungannya membahana di angkasa. Kendaraan para petugas, seperti mobil polisi dan ambulans juga terjebak kemacetan. Semuanya terdiam tanpa bisa melaju sedikit pun.
Di angkasa terlihat tiga unit helikopter sedang terbang. Jarak ketiganya cukup berjauhan. Kendaraan-kendaraan udara itu memutari satu titik. Dari atas, orang-orang yang berada di dalamnya memantau keadaan kota.
Para penduduk kota berlarian di atas trotoar dan teras pertokoan. Suara hiruk-pikuk terdengar riuh. Semua orang histeris. Ada yang sampai jatuh terjerembap, namun tak ditolong. Semua insan mementingkan keselamatan diri sendiri.
Orang-orang dalam jumlah yang banyak tumbang satu per satu. Ada yang tumbang di atas jembatan, trotoar, taman kota, dan tempat lainnya. Bahkan, ada yang tiba-tiba kehilangan kesadaran dalam mobil masing-masing. Beruntung kendaraan mereka sedang diam karna macet.
Tak sedikit dari orang-orang yang tumbang kontan menjerit. Seperti kesakitan, mereka berguling-guling sambi memegang kepala masing-masing. Suasana kian kacau dan ribut.
Seperti halnya di luar sana, kekacauan juga terjadi di tempat tertutup. Para pengunjung di pusat perbelanjaan, serta orang di kantor-kantor, sekolahan, dan tempat-tempat umum lainnya, juga mengalami hal yang sama. Mereka tiba-tiba tumbang ke lantai, berguling-guling, dan memekik kesakitan sambil memegang kepala.
Korban yang berjatuhan semakin banyak. Suara jeritan mereka beriringan dengan teriakan orang-orang yang berlari kocar-kacir.
Keadaan sungguh kacau balau. Para petugas medis dan pihak kepolisian berupaya mengendalikan situasi. Para personilnya tersebar ke beberapa titik kekacauan. Jumlah yang terbatas, ditambah dengan tenaga bantuan yang terjebak kemacetan, mereka jadi kewalahan.
Salah satu helikopter yang tengah melayang merupakan milik militer. Seorang pilot dan rekannya yang berada di dalam sana mengenakan seragam angkatan udara. Sambil terbang berputar dengan kendaraan udaranya, mereka mengamati keadaan di bawah.
“Semua kacau!” seru Pilot. Dia mengenakan kacamata hitam. Headset terpasang pada kepalanya. Kedua tangannya berpegangan pada tuas kendali. “Kondisi ini sudah terjadi berkali-kali.”
“Aku rasa kali ini lebih parah, Pak,” tanggap Asisten pilot yang duduk di sebelah Pilot. Dia menggeleng. “Jumlah korban juga pasti lebih banyak.”
Helikopter angkatan udara itu menurunkan ketinggian terbangnya. Dari dalam, mereka bisa melihat kaca-kaca yang terpasang pada gedung-gedung bertingkat. Suara putaran baling-balingnya terdengar keras.
Pilot dan Asistennya menoleh ke samping. Keduanya melihat keluar melalui jendela helikopter. Dari kaca bening gedung-gedung yang mereka lewati, di dalamnya tampak kejadian yang serupa dengan di bawah sana. Orang dalam jumlah banyak tergeletak di lantai. Beberapanya masih meronta sambil memegang kepala.
Asisten pilot yang juga mengenakan headset dan kacamata hitam terperangah. Keningnya mengerut. Tiba-tiba dia merasakan helikopter berguncang sekali. Kontan saja dia menoleh ke samping, tempat Pilot berada.
Pilot yang semula kondisinya baik, tiba-tiba mengerang kesakitan. Wajahnya meringis. Sebelah tangannya memegang kepala. Satu tangan yang lain tetap diposisikan pada tuas kendali helikopter.
“Pak, ada apa?” tanya Asisten pilot. Dia memegang bahu Pilot dan mengguncangnya pelan. “Bapak baik-baik saja?”
Pilot tak mampu menjawab. Dia lalu berteriak keras. Rasa sakit yang teramat sangat menyerang kepalanya. Otaknya serasa akan meledak. Dia lalu melepaskan pegangannya pada tuas kendali. Dua tangannya kini berada pada kepalanya.
Akibat Sang Pilot meronta, helikopter hilang kendali. Kendaraan udara itu badannya memiring. Asisten pilot berusaha untuk tidak panik. Dia segera mengambil alih tuas kendali.
Pilot tiba-tiba menggila. Sambil menahan rasa sakit kepalanya, dia mencekik Sang Asisten. Teriakannya kian keras.
Asisten pilot berusaha melepaskan diri. Cekikan yang kuat pada leher membuatnya tak bisa bersuara. Dia kini menjadi panik.
Akibat insiden dalam cockpit, helikopter angkatan udara itu lepas kendali. Layang badannya tak beraturan. Semakin lama semakin miring ke kanan.
“Aku siapa? Aku siapa?” Pilot terus melancarkan aksinya. Dia terus berteriak sambil mencekik rekannya. “Cepat katakan aku siapa? Aku ada di mana?”
Badan helikopter terbang miring mendekati sebuah gedung pencakar langit. Putaran baling-balingnya kontan mengenai kaca-kacanya. Dalam waktu singkat, sederet kaca jendela di lantai 20 gedung pecah. Serpihan-serpihannya tertarik oleh gaya gravitasi, dan langsung jatuh ke bawah. Hantaman baling-baling helikopter sangat kuat.
Baling-baling helikopter terus berputar. Apa yang ada dalam gedung menjadi sasaran amuknya. Akhirnya, badan kendaraan udara itu pun mengenai gedung. Tabrakannya yang keras menghasilkan suara nyaring.
Pilot dan Asisten pilot yang berada dalam helikopter pun bernasib naas. Benturan demi benturan mereka alami. Mesin dan putaran baling-baling helikopter masih terus menyala. Badannya hancur sebagian.
Akhirnya, salah satu sayap baling-baling helikopter patah. Badannya yang setengah masuk ke dalam gedung hilang keseimbangan. Kendaraan udara itu jatuh bersama kedua penumpangnya.
Dari lantai 20 gedung, badan helikopter tertarik ke turun dengan cepat. Sesampainya di bawah, hantaman keras terjadi. Suara benturannya terdengar nyaring. Kendaraan-kendaraan yang sedang terjebak macet menjadi sasaran pendaratan. Percikan api muncul, kemudian ledakan pun tak terelakkan.
Efek ledakan menghancurkan segala yang berada di sekitarnya. Bisa dipastikan, Pilot dan Asistennya tak selamat, begitu juga dengan orang-orang yang berada di sana.
Kobaran api melahap bangkai helikopter. Asap hitam pun mengepul melambung ke angkasa. Para penduduk kota yang selamat segera berlarian menjauhi area jatuhnya helikopter. Semua bergerak cepat. Jerit histeris dan teriakan ketakutan terdengar riuh.
***
Beberapa jam kemudian, matahari mulai tenggelam. Di ufuk barat sana, cakrawala memperlihatkan warna jingga. Udara yang panas perlahan mulai menurun suhunya. Angin sepoi pun bertiup lembut.
Burung-burung pipit beterbangan di angkasa. Kicauannya yang merdu terdengar mendamaikan hati. Seolah lelah beraktivitas seharian, kawanan hewan bersayap itu pun pulang kembali ke sarang masing-masing.
Tak lama kemudian, paduan warna merah dan kuning di langit barat lenyap. Wajah matahari tak lagi terlihat. Keseluruhan angkasa kini berwarna hitam.
Jalan raya Southland City tak terlalu ramai. Tak seperti biasanya, kendaraan-kendaraan yang melintasinya sangat sedikit. Padahal biasanya jika malam tiba, kota itu akan gemerlap dan penuh kesibukan, serta keceriaan. Insiden yang terjadi tadi siang membuat warga kota enggan untuk keluar.
Lampu-lampu penerang yang tiangnya berderet di kedua sisi jalan tak semuanya menyala. Jalanan pun jadi terkesan remang-remang. Pencahayaan yang minim membuat jarak pandang terbatas. Suasana malam di kota besar itu jadi terasa mencekam.
Pada beberapa ruas jalan raya masih berserakan sisa-sisa kekacauan, seperti pecahan kaca dan bercak-bercak darah. Beberapa mobil terparkir dalam keadaan tak rapi di tepi jalan, bahkan tak sedikit sepeda motor yang tumbang dan tergeletak di tengah jalan.
Bangkai helikopter yang tadi siang jatuh belum dievakuasi. Posisinya menimpa atap sebuah mobil sedan. Keduanya dalam keadaan hancur. Api ledakan sudah berhasil dipadamkan. Namun dari badan helikopter masih keluar sedikit asap.
Tak seperti jalanan yang sepi, gedung balai pertemuan yang berada di pusat kota malah ramai. Keadaan di sana pun terang benderang. Lapangan parkir dipenuhi kendaraan-kendaraan besar dan kecil. Lampu sorot bersinar terang di keempat sudut lapangan.
Bagian dalam gedung merupakan sebuah aula yang sangat luas. Orang banyak memenuhinya. Ada juga wartawan-wartawan dari berbagai media yang hadir. Suasana pun jadi hiruk-pikuk. Para hadirin duduk sambil berbincang satu sama lain.
Semua kursi yang ada di ruang aula berderet dan berbaris. Semuanya menghadap ke arah yang sama. Di depan sana, ada sebuah panggung yang tingginya sekitar satu meter dari permukaan lantai. Di atas panggung terdapat sebuah podium kecil.
Di atas podium yang masih belum ada orang itu tergantung sebuah spanduk kain bertulisan. Latarnya berwarna merah, sedangkan tulisan itu sendiri berwarna kuning.
“JUMPA PERS BERSAMA PROFESOR ADAM. PEMBAHASAN MENGENAI BAHAYA VIRUS COBRA-V.”
Tulisan pada spanduk itu seluruhnya menggunakan huruf besar sehingga terlihat jelas dari jauh. Bahkan orang yang duduk di kursi barisan paling belakang pun bisa membacanya dengan jelas.
Sementara suara hiruk-pikuk masih terdengar, seorang pria yang berumur 58 tahun bangkit dari kursinya yang berada di baris terdepan. Pakaiannya rapi dengan dasi dan setelan jas putih. Dia adalah Profesor Adam, yang namanya tercantum di spanduk.
Rambut Profesor Adam yang berwarna hitam terlihat sedikit beruban. Penampakannya basah, mengkilap, dan tersisir rapi ke belakang. Kumis tebal yang tumbuh di atas bibir membuatnya tampak berwibawa.
Profesor Adam melangkah maju meninggalkan kursinya. Sambil memperbaiki posisi kacamatanya yang berbingkai hitam, dia bergerak menuju sisi panggung. Di sana ada tumpukan anak tangga. Sesampainya, dia lantas menaikinya.
Pergerakan Profesor Adam membuat suara hiruk-pikuk berhenti. Semua mata yang berada dalam ruang aula langsung tertuju ke depan. Dia menjadi pusat perhatian. Beberapa orang mengeluarkan kamera dan memotret ilmuwan itu. Ada juga yang mengambil gambarnya dengan kamera ponsel.
Profesor Adam tiba di atas panggung. Dia segera menuju ke podium. Setelah berdeham sekali, dia membungkukkan badannya sedikit. Mik kecil yang bertengger di atas permukaan podium ditariknya mendekat. Ujung mik hampir menyentuh bibirnya.
Para hadirin memfokuskan tatapan pada Profesor Adam. Mereka menunggu pria paruh baya itu buka suara.
“Selamat malam dan selamat datang, bapak, ibu, dan saudara sekalian,” sapa Profesor Adam sambil mengedarkan tatapannya. Ekspresi wajahnya serius. Ruang luas berbentuk segi empat itu sungguh ramai. Tak ada kursi kosong yang terlihat.
Sapaan Profesor Adam dibalas serentak oleh para hadirin. Sebagian kecil orang memberikan tepuk tangan.
“Selamat malam dan selamat datang juga untuk teman-teman wartawan dari berbagai media,” lanjut Profesor Adam. Air mukanya tak berubah. Tak ada senyum yang terukir. “Terima kasih atas kehadiran teman-teman semua.”
Sekali lagi sapaan lanjutan Profesor Adam dibalas serentak oleh para hadirin.
“Seperti yang kita ketahui bersama,” kata Profesor Adam, “tadi siang terjadi lagi insiden yang seperti biasa.”
Para hadirin saling menoleh satu sama lain dan berbisik. Sebagian besar tetap fokus mendengarkan pembicaraan Profesor Adam.
“Aku baru saja mendapatkan datanya. Insiden kali ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya,” lanjut Profesor Adam. Dia mendesah. Suara napasnya yang mengenai mik terdengar jelas. “Jumlah korban kali ini juga lebih banyak.”
Wartawan-wartawan yang hadir mengeluarkan alat tulis masing-masing. Mereka bersiap mencatat poin-poin penting yang akan disampaikan pembicara di depan sana.
“Hal ini membuktikan penyebaran virus COBRA-V semakin parah. Hampir semua negara di dunia terjangkit oleh wabah ini.” Profesor Adam berhenti sejenak. Sambil menatap hadirin, dia mengeluarkan sapu tangan dari saku jas putihnya. “Satu tahun telah kita lewati, namun pandemi ini belum berlalu. Angka kematian di negara kita meningkat akibat banyaknya orang yang terinfeksi virus ini.”
Para hadirin bersikap tenang. Mereka melihat Profesor Adam menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan berwarna coklat muda.
“Helikopter militer yang jatuh tadi siang, pilotnya juga terinfeksi COBRA-V saat sedang mengudara. Jenazahnya sudah kami identifikasi, dan hasilnya positif,” jelas Profesor Adam seraya mengedarkan tatapannya pada para hadirin. “Asistennya tak terinfeksi. Namun dia tewas bersamaan dengan jatuhnya helikopter.”
COBRA-V (Corona Brain Virus) adalah virus Corona jenis baru yang menyerang sistem jaringan otak. Korbannya akan mengalami amnesia total dan meninggal dalam waktu satu minggu ke depan. Masa inkubasi COBRA-V terhitung cepat. Dalam hitungan menit, orang yang terjangkit akan langsung mengalami sakit kepala yang teramat sangat. Setelah itu, korban akan segera kehilangan semua ingatannya.
Tadi siang, untuk ke sekian kalinya, terjadi kekacauan di Kota Southland City. Banyak sekali orang yang tiba-tiba terjangkit virus COBRA-V. Maka tak heran, mereka langsung jatuh dan menjerit. Serangan sakit kepala yang luar biasa membuat mereka sampai tergeletak dan meronta.
Setelah memberikan penjelasan cukup panjang, Profesor Adam membuka sesi tanya jawab. Berbagai pertanyaan seputar virus COBRA-V dilontarkan. Dia berusaha menjawabnya satu per satu.
“Sebenarnya melalui apa penularan virus itu, Profesor?” Seorang wartawan wanita yang duduk di baris ke dua mengangkat tangannya yang memegang pulpen.
Profesor Adam membuang napas kasar. Sekali lagi dia mengelap keringat di keningnya dengan sapu tangan. Dia lalu menjawab, “Benda cair dan padat yang terkontaminasi.”
Wanita yang berprofesi sebagai wartawan itu mencatat jawaban Profesor pada sebuah buku kecil. Beberapa orang dalam ruang aula juga melakukan hal yang sama.
“Apa memungkinkan penularannya melalui udara, Prof?” Pertanyaan berikutnya terdengar dari seorang hadirin yang duduk di barisan tengah.
Profesor Adam menggeleng. “Sampai saat ini belum ada pembuktiannya. Hal ini pun telah dibenarkan oleh badan kesehatan dunia.”
“Lalu bagaimana soal vaksin?” Seorang wanita berseragam perawat berdiri dari kursinya. Dia duduk di baris pertama ujung. “Bukankah pihak pemerintah sedang mengembangkannya?”
“Belum sempurna. Dengan kata lain, belum selesai. Masih ada beberapa kekurangan.” Profesor Adam menyimpan sapu tangannya ke dalam saku jas. Dia lalu mengedarkan tatapannya lagi. “Kabar buruknya, semua negara juga sedang berupaya menciptakan vaksin pencegah, dan sampai sekarang belum ada yang berhasil.”
Suara hiruk-pikuk kembali terdengar. Para hadirin menghadap kiri dan kanan. Mereka berdiskusi satu sama lain. Pembahasan soal vaksin pencegah virus COBRA-V membuat suasana menjadi bising.
Profesor Adam membiarkan para hadirin ribut sejenak. Setelah itu, dia kembali angkat bicara. “Ada pertanyaan lagi?”
Alicia Eva sedang berendam dalam bath tub yang penuh busa sabun pada permukaan airnya. Aroma segar jasmine tercium. Wanginya merasuk ke dalam hidung. Dia sangat menikmati kesendiriannya.Mata Alicia terpejam. Bibirnya menampilkan senyum manis. Suasana kamar mandi yang sunyi memberinya ketenangan. Rambut coklatnya yang pendek sebahu terlihat sedikit basah. Busa sabun pun menempel tak banyak di sana.Sebagian besar tubuh Alicia tenggelam dalam air yang hangat. Bahu hingga wajahnya yang berkulit putih mulus berada di atas permukaan air. Mandi malam merupakan hal yang menyenangkan baginya.Kedua tangan Alicia keluar dari air. Kulit mulusnya basah dan berbusa. Dia meraih spons kuning yang berada di sisi bath tub, lalu bergantian menggosok kedua lengan, bahu, dan wajah cantiknya.Alicia Eva bersenandung lembut sambil melakukan kegiatan membersihkan badannya. Suaranya terdengar merdu.T
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i
Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli
Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang
Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.
Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna
Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul
Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.
Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila
Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.