Share

Klien Istimewa

Penulis: Lienarto Lie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.

Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.

Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”

“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”

“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehilangan kontak sekian tahun.”

Alicia Eva menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Kedua pahanya disilangkan. Dia lantas melipat kedua tangannya di depan dada. Sambil mengangguk-angguk, dia tersenyum manis.

“Jadi bagaimana, Nona Alicia?” tanya Jeremy. Dia duduk dengan tegak. Kedua tangannya berada di atas paha. “Anda terima pekerjaan ini?”

“Aku berharap Nona Alicia tak menolak. Kami butuh pergerakan detektif hebat seperti Nona.” Profesor Adam memajukan tubuhnya. Rambut hitamnya yang setengah beruban tampak basah. Dia meraih cangkir di atas meja. “Reputasi dan kualitas kerja Nona sudah sering kami dengar.”

Alicia Eva tertawa sambil menggeleng. “Profesor Adam terlalu memuji.”

Profesor Adam mendekatkan cangkir ke bibirnya. Dia tersenyum, lalu menyeruput kopinya yang masih terasa hangat.

“Menuju suatu tempat dan mencari keberadaan seseorang, itu tugas yang paling sering kudapat,” ujar Alicia Eva. Dia juga majukan tubuh dan mengambil cangkir di atas meja. “Hanya saja, kali ini klienku dari pihak pemerintah, Badan Intelijen.”

Jeremy dan Profesor Adam saling menatap sejenak. Keduanya lalu tersenyum. Mereka melihat Alicia Eva meminum kopinya seteguk.

“Klien yang luar biasa. Aku tersanjung. Suatu kehormatan, Badan Intelijen percaya padaku,” puji Alicia seraya meletakkan kembali cangkir ke atas meja. Dia kembali memperlihatkan senyum manisnya. “Kapan aku bisa mulai bertugas?”

Pertanyaan Alicia Eva kontan menyenangkan hati Jeremy dan Profesor Adam. Senyum mereka melebar. Bahkan, Jeremy sampai tertawa renyah.

“Terima kasih, Nona Alicia Eva!” ucap Profesor Adam. Dia lalu menepuk bahu pria yang duduk di sampingnya. “Jeremy akan memberikan petunjuk soal pekerjaan ini.”

Alicia Eva mengangguk dan tersenyum. “Semoga kinerjaku tak mengecewakan.”

***

Hari semakin siang. Matahari pun naik kian tinggi. Posisinya kini berada tepat di atas kepala. Sinarnya begitu terik. Bayangan setiap orang dan objek jadi memendek. Langit yang terhampar luas hanya diselimuti sedikit awan putih. Warna biru mendominasi angkasa.

Di sebuah daerah pertokoan terjadi kekacauan. Hal yang serupa dengan hari kemarin terjadi lagi. Hanya saja, kali ini tak terlalu parah. Beberapa orang tumbang mendadak di teras toko-toko yang berderet. Kontan saja mereka meronta, menjerit, dan berguling di lantai sambil memegang kepala masing-masing.

Korban yang terjangkit virus COBRA-V bertambah lagi. Orang-orang yang berada di sekitar area pertokoan tak ada satu pun yang berani mendekat, apalagi memberi pertolongan pada para korban. Sebagian besar segera melarikan diri. Sebagian lagi terpaku dan menonton dari kejauhan.

Suara hiruk-pikuk dan jerit kesakitan para korban terdengar memilukan. Insiden itu terjadi di pinggir jalan raya. Deru mesin-mesin kendaraan dan bunyi klakson yang saling bersahutan membuat suasana kian bising.

Tak lama kemudian, pertolongan datang. Beruntung jalan raya tidak terlalu padat, sehingga tim medis bisa tiba di lokasi kejadian dengan lancar. Empat unit ambulans berhenti dan berderet di tepi jalan. Raungan sirenenya terdengar keras.

Para petugas berpakaian serba putih segera turun dari keempat ambulans. Mereka bergerak cepat menangani para korban. Tanpa menunggu, orang-orang yang sedang meronta itu diberi suntikan penenang. Setelah tak sadarkan diri, mereka langsung dinaikkan ke atas tandu dan langsung dimasukkan ke dalam ambulans.

Aksi cekatan tim medis menjadi tontonan khalayak ramai. Suara hiruk-pikuk terus terdengar. Mereka saling berkomentar satu sama lain. Insiden itu membuat takut para warga kota. Bagaimana tidak? Bisa saja mereka yang sedang menonton itu menjadi korban berikutnya.

***

Alicia Eva dan Jeremy melangkah pelan. Mereka berjalan melintasi lapangan parkir Markas Intelijen. Keduanya pada posisi sejajar. Di sisi kiri dan kanan mereka berderet mobil-mobil yang tersusun rapi.

“Maaf, Pak Jeremy,” kata Alicia sambil bergerak maju. “Boleh aku tanya satu hal?”

“Tentu saja, Nona,” tanggap Jeremy. Dia menoleh menatap Alicia sejenak. “Silakan!”

“Markas kalian sangat besar. Aku yakin, agen kalian juga sangat banyak dan berpotensi,” ujar Alicia Eva. Angin berembus pelan. Rambut pendek sebahunya yang berwarna coklat bergerak. “Tapi kenapa masih menyewaku untuk misi ini?”

Jeremy tertawa pelan. Dia berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. “Sebenarnya misi kali ini bersifat rahasia. Bahkan orang dalam kami tidak semuanya tahu.”

Alicia Eva mengangguk-angguk. Dia sampai di tempat mobil jip hitamnya terparkir. Kontan saja langkahnya berhenti.

“Selain aku dan Profesor Adam. Ada empat orang lagi yang tahu,” lanjut Jeremy. Dia juga menghentikan langkahnya. “Yaitu Pak Presiden, Menteri kesehatan, serta kepala polisi, dan kepala militer.”

Alicia Eva menyandarkan punggung pada bagian belakang mobilnya. Dia serius menyimak perkataan Jeremy.

“Ada pertanyaan lain lagi, Nona?”

Alicia Eva menggeleng sambil tersenyum.

“Baiklah, Nona Alicia Eva, atas nama Badan Intelijen, kuucapkan selamat bertugas!” Jeremy mengulurkan tangannya. “Uang muka telah kami kirim ke rekening Anda barusan.”

Alicia Eva beranjak dari sandarannya. Dia menyambut tangan Jeremy. Mereka bersalaman dan saling menatap lekat.

“Terima kasih, Pak Jeremy!” ucap Alicia Eva. “Senang bekerja sama dengan kalian.”

“Sama-sama, Nona Alicia!” balas Jeremy. Dia melepas salamannya. “Kami menunggu kabar baik dari Anda.”

Alicia Eva mengacungkan jempol dan tersenyum. Setelah itu, dia balik badan dan bergegas masuk mobil jip hitamnya.

***

Situasi di pusat kota belum sepenuhnya stabil. Sebagian orang yang mendadak terjangkit virus COBRA-V sudah dievakuasi setelah diberi suntikan penenang. Namun, di tepi jalan, teras pertokoan, dan tempat-tempat umum lainnya, masih banyak korban yang tergeletak. Ada yang meronta dan menjerit, ada pula yang sudah tak sadarkan diri.

Arus jalan raya yang semula lancar pun menjadi macet. Suara klakson yang membisingkan telinga berkumandang. Raungan sirene ambulans para tenaga medis pun ikut membahana di angkasa.

Mobil Alicia Eva ikut terjebak dalam kemacetan. Bis yang berada di depan jipnya menghalangi pandangan. Dia menarik napas, mengembuskannya, lalu menyibakkan rambutnya.

“Seharusnya aku pulang lebih cepat,” gumam Alicia Eva. Satu tangannya berpegangan pada kemudi, sedang yang satu lagi memijat kening. “Pembicaraan di Markas Intelijen terlalu lama.”

Alicia Eva menoleh ke samping. Dia melihat orang-orang berlarian di trotoar. Beberapanya berteriak. Keningnya kontan mengerut.

Seorang pria tiba-tiba tumbang ke atas trotoar saat sedang berlari. Dia kontan memekik kesakitan sambil memegang kepalanya. Badannya berguling-guling dalam pembaringannya.

‘Siapa pun bisa jadi korban virus ini,’ batin Alicia Eva sambil menatap pemandangan yang tak mengenakkan di luar sana. Dia lalu tertunduk dan menghela napas. Matanya terpejam. ‘Aku pun bisa saja jadi korban berikutnya.’

***

Angkasa kembali memperlihatkan wajah gelapnya. Seperti malam-malam sebelumnya, Southland City sepi. Jalan raya yang lebar tak dipadati kendaraan. Sesekali hanya ada satu atau dua mobil maupun motor yang melintas .

Virus COBRA-V benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk bumi. Pandemi yang mendunia itu telah memakan banyak korban.

Sebuah apartemen berlantai 12 yang tak jauh dari pusat kota juga menampakkan suasana sunyi. Lapangannya yang luas hanya terparkir beberapa kendaraan. Cahaya dari tiang-tiang lampu yang berdiri di setiap sudut tak terlalu terang.

Alicia Eva tinggal di lantai ke sepuluh. Sebuah koridor panjang berada di lantai tersebut. Pencahayaan di sana cukup terang, lain dengan di luar sana. Pintu-pintu yang berderet di kedua dinding koridor tertutup semua.

Di atas sebuah meja kerja terletak seunit laptop. Posisinya terbuka dan layarnya menyala. Di sampingnya ada secangkir susu yang masih berasap. Sepiring biskuit dengan taburan keju pun ikut tersaji di sana. Seseorang siap-siap mengerjakan tugas sambil menikmati camilan lezat itu.

Alicia Eva baru saja memasuki kamarnya. Dia berjalan menghampiri meja kerjanya. Sesampainya, dia langsung menarik kursi kayunya, lalu segera duduk. Baru saja pinggulnya mendarat, dia sudah menyambar sepotong biskuit. Makanan ringan itu habis dalam dua kali gigitan.

Sambil mengunyah biskuit yang memenuhi rongga mulutnya, mata Alicia Eva terfokus menatap layar laptop. Tangan kirinya dinaikkan ke atas meja, sikunya menjadi fondasi, dan dagunya pun ditopangkan pada telapak tangannya.

Layar laptop menampilkan foto seorang pria tua berkacamata dengan pakaian serba putih. Baik kemeja, jas yang melapisinya, serta dasi yang melingkar pada krah bajunya pun putih.

Rambut putih pria itu begitu tipis dan sedikit, sehingga kulit kepalanya terlihat jelas. Wajahnya yang tersenyum ramah memperlihatkan sedikit keriput dan mata sipit. Di bawah foto itu tercantum biodata pemiliknya.

Alicia Eva menurunkan sedikit tatapannya. Layar laptopnya berukuran cukup besar. Dia membaca dalam hati apa yang tercantum di sana.

Nama                   : Profesor Raffie

Tanggal lahir       : 21 Maret 1961

Tempat lahir        : Windmill Village

Pekerjaan             : Ilmuwan, Dokter, Guru.

Alamat                 : Tidak diketahui

Profesor Raffie, dialah pemilik foto dan biodata yang tertera pada layar laptop. Dia juga merupakan orang yang dicari Badan Intelijen, dan Alicia Eva yang ditugaskan untuk melakukan pencarian atas dirinya.

Alicia Eva menegakkan duduknya. Dia meraih cangkir dan menyeruput susunya. Sambil fokus memandangi layar laptop, dia teringat percakapannya dengan Profesor Adam di Markas Badan Intelijen tadi pagi.

Profesor Raffie adalah sahabat dan senior dari Profesor Adam. Mereka telah terpisah sekian tahun. Kehilangan nomor kontak telepon membuat komunikasi keduanya terputus dalam jangka waktu lama.

Profesor Adam, yang merupakan ilmuwan Badan Intelijen, sedang berusaha menciptakan vaksin virus COBRA-V. Namun vaksin ciptaannya belum sempurna, sehingga tak layak dipakai.

Berbagai upaya telah Profesor Adam dan Badan Intelijen lakukan untuk melakukan penyempurnaan vaksin. Namun, sekian lama berlalu, hasilnya nihil.

Ketika hampir putus asa, Profesor Adam teringat pada sahabat lamanya, Profesor Raffie. Dia diyakini mampu menyempurnakan vaksin COBRA-V tersebut.

Karena misi pencarian dan penyempurnaan vaksin bersifat rahasia, maka pihak Badan Intelijen memutuskan untuk memakai orang luar, yaitu Alicia Eva.

Petunjuk pencarian Profesor Raffie sangat minim. Keakuratannya pun diragukan. Yang Profesor Adam yakini, sahabatnya itu tak akan pernah meninggalkan tanah kelahirannya, Windmill Village.

Profesor Adam mengatakan, kemungkinan besar Profesor Raffie masih berada di Windmill Village. Hanya saja, alamat tempat tinggal pastinya di desa itu tidak diketahui.

Alicia Eva telah selesai mempelajari data-data Profesor Raffie. Kurangnya petunjuk akan membuat dia bekerja dan berpikir lebih keras. Namun, bagi dirinya hal itu bukan masalah besar. Dia adalah detektif swasta dengan jam terbang tinggi. Melacak jejak dan melakukan pencarian merupakan keahlian yang wajib dimiliki detektif.

Alicia mendekatkan cangkir ke mulutnya. Saat bibirnya menyentuh sisi cangkir, dia baru menyadari isinya telah habis. Dirinya lalu tersenyum dan menggeleng.

Beberapa hari lagi Alicia Eva akan mulai menjalankan tugas dari Badan Intelijen. Dia memutuskan untuk tidur lebih awal. Mulai besok, dia ingin mempersiapkan segalanya.

Setelah mematikan laptopnya, Alicia berdiri. Cangkir kosong dan biskuit yang masih tersisa beberapa potong dibiarkannya tetap berada di atas meja.

Windmill Village,” gumam Alicia sambil beranjak. Dia melangkah meninggalkan kursinya. “Nama yang indah. Aku penasaran, secantik apa desa itu.”

Bab terkait

  • CORONA - awakening   Windmill Village

    Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.

  • CORONA - awakening   Kematian dan Kebangkitan

    Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul

  • CORONA - awakening   Beraksi

    Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna

  • CORONA - awakening   Dia Telah Pergi

    Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.

  • CORONA - awakening   Menyusun Rencana

    Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang

  • CORONA - awakening   Kelinci Percobaan

    Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli

  • CORONA - awakening   Memulai Penyelidikan

    Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i

  • CORONA - awakening   PROLOG

    Windmill Village, 22 Mei 2021.Langit menampakkan wajah suram. Nuansa kelabu pekat menyelimuti angkasa secara keseluruhan. Dari ujung timur hingga ufuk barat, maupun arah utara sampai selatan, tak ada setitik pun warna biru yang tampak. Hari masih siang. Namun sedari pagi, mentari enggan memperlihatkan wujudnya.Seiring berjalannya waktu, gumpalan awan di angkasa kian pekat. Warna kelabunya pun semakin tebal hingga menghitam. Angin sepoi kuat bertiup. Suara yang dihasilkan bak siulan panjang dengan melodi sedih.Sesekali kilat berkedip. Cahayanya yang sekejap terlihat seolah membelah langit. Setelah itu, suara guntur pun menyusul terdengar. Gemuruhnya memenuhi angkasa.Sebidang padang gersang terhampar luas di bawah kaki langit. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya hamparan tanah tandus. Warna coklat tua menguasai seluruh permukaannya. Tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di atasnya, bahkan sepucuk rumput pun tidak.Ada sebuah jalan panjang yang m

Bab terbaru

  • CORONA - awakening   Memulai Penyelidikan

    Windmill Village, pukul 09.49.Sebuah bangunan berdiri di atas tanah yang ditumbuhi rerumputan tinggi selutut. Bangunan itu berlantai dua. Penampakan fisiknya sudah cukup usang dengan cat yang mulai terkelupas. Pagar tinggi yang terbuat dari besi menjulang tinggi mengelilingi area bangunan itu.Di balik pagar tinggi tersebut, beberapa Carnivore tengah berkeliaran. Jumlahnya belasan. Mereka berjalan mondar-mandir mengitari lapangan depan bangunan. Mulut-mulut ternganga. Dua deret gigi tajam terlihat. Suara erangan dan geraman pun terdengar. Rumput-rumput yang tinggi membuat langkah para makhluk pemangsa itu terseret-seret.Di luar pagar besi, Steve Santana, Alicia Eva, dan Jason berjongkok. Mereka mengintai keadaan di dalam sana. Ketiganya berada tepat di depan pintu pagar yang tertutup. Para Carnivore sama sekali tak menyadari ada mangsa di luar pagar.“Jadi ini klinik desa?” tanya Alicia Eva dengan suara kecil. “Tempat uji coba vaksin i

  • CORONA - awakening   Kelinci Percobaan

    Southland City, keesokan harinya, 24 Mei 2021, pukul 08.34.Seperti biasa, langit di atas kota yang berdiri banyak gedung tinggi itu terhampar nuansa biru. Selimut awan putih tipis dan cerahnya sinar mentari pun membuat pemandangan kian indah.Satu unit helikopter terbang rendah. Badan besinya berwarna abu-abu, dan di sampingnya tertampil tulisan “Southland TV.” Suara putaran baling-baling kendaraan itu menderu membahana di angkasa.Di bawah hamparan langit biru, pada salah satu ruas jalan raya, sederet mobil ambulans berbaris panjang. Pada bagian atap masing-masing terpasang lampu silinder merah yang berkedip-kedip. Raungan sirene setiap unitnya saling bersahutan. Bunyinya cukup keras. Ditambah dengan hiruk-pikuk warga kota dan deru mesin-mesin kendaraan lain, suasana pun menjadi bising.Dua orang yang berada dalam heli

  • CORONA - awakening   Menyusun Rencana

    Langit semakin kelam. Nuansa hitam menyelimuti angkasa. Bulan purnama menampakkan wajahnya di tengah kegelapan malam. Cahayanya yang pucat terbagi rata sampai ke seluruh penjuru desa Windmill Village.Rumah Steve Santana pun tak luput dari sorotan sinar rembulan. Hampir keseluruhan bangunannya bermandikan cahaya Sang Dewi malam itu. Pekarangan depannya tak lagi banjir. Air hujan yang menggenanginya telah surut. Suasana yang gelap, sunyi, dan sepi, membuat suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring.Di sudut ruangan, Jason terlelap di atas kursi goyang. Dia tidur dengan posisi bersandar. Kepalanya miring ke kanan. Tubuhnya tertutup oleh jaket kumalnya. Sesekali dia memperdengarkan suara dengkuran.Jam dinding kuno yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 21.13. Steve Santana dan Alicia Eva belum beranjak dari tempat mereka. Keduanya masih duduk bersebelahan. Mereka tenggelam dalam kebisuan. Suara dengkuran Jason yang

  • CORONA - awakening   Dia Telah Pergi

    Sebuah makam dengan batu nisan berbentuk persegi panjang berdiri tegak di atas tanah berumput pendek. Salib yang merupakan satu kesatuan bangunannya bertengger pada puncaknya. Keseluruhannya berwarna kelabu pekat. Dataran tempat makam itu berada basah, namun tak tergenang air.Pada permukaan batu nisan yang kasar, terpampang foto hitam putih seorang pria tua. Di bawahnya terukir nama, tanggal lahir, dan tanggal wafatnya. Dia adalah orang yang jenazahnya terkubur di sana.Profesor Raffie Sean SantanaLahir di Windmill Village, 2 Agustus 1961Wafat di Windmill Village, 19 Desember 2018Alicia Eva tertegun. Keningnya berkerut. Dia berdiri terpaku di hadapan makam orang yang dicarinya, yang bahkan dikiranya masih hidup. Kepalanya tertunduk sedikit. Tatapannya terfokus pada potret yang tertempel pada batu nisan. Seolah tak percaya dengan apa yang terlihat, dia menggeleng pelan.

  • CORONA - awakening   Beraksi

    Tiga belas makhluk pemangsa yang berkeliaran di pekarangan depan rumah Steve terus meraung dan menggeram. Air yang menggenang menghasilkan riak dan percikan saat terinjak oleh mereka.Para Carnivore itu belum menyadari di dalam rumah dekat mereka ada santapan lezat, yaitu tiga manusia hidup. Mereka terus bergerak tak tentu arah.Steve Santana berdecak kesal. Dia bergerak menjauh dari jendela. Kakinya yang tak beralas menapaki lantai kayu dengan cepat. Dia melangkah menuju sudut ruangan.Alicia Eva mengerutkan keningnya. Sambil berkacak pinggang dengan satu tangan, dia melihat pergerakan Steve, mencoba menebak-nebak apa yang akan dilakukannya.Sesampainya di sudut ruangan, tepatnya di belakang kursi goyang, Steve Santana mengambil sebatang besi sepanjang dua meter. Dia lantas menggenggamnya kuat.Jason yang tengah ketakutan kembali terduduk ke kursi. Badannya lemas. Dia melihat Steve melangkah menuju pintu depan sambil membawa batangan besi berwarna

  • CORONA - awakening   Kematian dan Kebangkitan

    Di tengah desa, kawanan Carnivore masih berkeliaran. Mereka bergerak mondar-mandir memenuhi tepi dan tengah jalan. Langkah para makhluk pemangsa itu kaku dan pelan. Bergerak setapak demi setapak, bahkan ada yang diseret. Sebagian besarnya tak memakai alas kaki.Suara geraman, rintihan, dan raungan para Carnivore membahana. Bak paduan suara, mereka memperdengarkan lagu ritual dengan melodi yang menyeramkan.Mulut para pemangsa daging itu menganga. Deretan gigi tajam yang basah oleh cairan merah terlihat. Di sela-selanya terselip sisa daging hasil santapan. Permukaan wajah mereka menampilkan wujud menakutkan dengan mata merah dan kulit kelabu pucat.Pakaian yang membungkus tubuh para makhluk pemangsa itu beraneka, namun semuanya sama-sama kumal, kotor, dan terkoyak sana sini. Mereka bak sekelompok gelandangan yang sedang berkumpul.Sama seperti wajah, tubuh para Carnivore juga berwarna kelabu pucat. Bercak darah dan luka lecet memenuhi seluruh permukaan kul

  • CORONA - awakening   Windmill Village

    Windmill Village, 23 Mei 2021.Mentari baru saja muncul dari ufuk timur. Sinarnya menyilaukan mata yang memandang. Hawa dingin yang dihasilkan hujan kemarin pun sirna oleh kehangatan cahayanya. Seluruh wilayah Windmill Village basah merata. Bahkan beberapa bagian tergenang air, terutama area yang datarannya rendah.Langit biru menampakkan wajahnya. Awan putih tipis menyelimuti sebagian angkasa. Seperti biasa, sejak wabah virus COBRA-V menyerang, ditambah dengan munculnya makhluk pemangsa yang disebut Carnivore, keadaan Windmill Village berubah. Seluruh bagian desa terkena dampaknya. Sebagian besar dalam keadaan kacau balau.Jalanan desa yang basah berserakan sampah-sampah, baik dari bahan plastik, kertas, kayu, dan besi. Angin sepoi kuat berembus. Benda-benda yang ringan kontan bergerak, berguling di aspal, dan ada pula yang beterbangan.

  • CORONA - awakening   Klien Istimewa

    Alicia Eva duduk di sofa panjang berwarna abu-abu. Kepalanya tertunduk. Dia terfokus menatap map kertas yang terbuka pada pangkuannya. Di sana terselip selembar kertas penuh tulisan.Profesor Adam dan Jeremy duduk bersebelahan. Meja rendah yang di atasnya tersaji tiga cangkir kopi memisahkan mereka dengan Alicia Eva. Keduanya memusatkan pandangan masing-masing pada detektif cantik itu.“Windmill Village?” tanya Alicia Eva. Dia menutup map kertas dan melemparkannya ke atas meja. “Dan Profesor Raffie?”“Benar, Nona Alicia,” jawab Jeremy. Dia tersenyum dan mengangguk sekali. “Itu lokasi tujuan, dan beliau target pencarian.”“Profesor Raffie itu teman lamaku,” ujar Profesor Adam sambil menaikkan posisi kacamatanya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. “Bisa dibilang sahabat kental. Tapi sayangnya kami telah kehila

  • CORONA - awakening   Rencana Rahasia

    Jimmy Jaffar duduk di sebuah kursi tunggal bersandaran tinggi. Kaki kanannya dinaikkan ke atas lutut kiri. Sepatunya yang terbuat dari bahan kulit tampak hitam mengkilap. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan motif dedaunan. Seperti kebiasaannya, tangannya memegang sebuah gelas yang berisi minuman berkelas tinggi.Posisi favorit Jimmy Jaffar adalah duduk menghadap jendela. Dia suka dengan pemandangan kota yang terlihat di luar sana. Kemarin di lantai 20, kini dia berada di lantai 25. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat gumpalan awan dengan lebih jelas. Langit biru dan matahari yang cerah pun menjadi pelengkap indahnya pemandangan.Terry dan Tsugumi berdiri di belakang Jimmy Jaffar. Pakaian mereka telah diganti, namun masih tetap serba hitam warnanya. Keduanya melihat Bos besar yang duduk membelakangi mereka itu menyeruput minumannya. Sudah sekian lama ketiganya saling berdiam diri. Tiada sepatah kata pun yang terucap.

DMCA.com Protection Status