"Jovan, aku akan membalas perbuatanmu," umpatku dengan kesal.
Aku kembali kerumah dengan wajah kusut. Aku lihat rumah kosong karena ayah sedang bekerja. aku masuk ke kamarku, aku banting pintu kamarku dengan kuat. Aku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur yang menyimpan kenangan dengan Jovan.
"Jovan, kamu brengsek ... brengsek, aku benci sama kamu, lihat saja aku akan membalasnya!" ucapku lirih. Air mataku terus saja menetes membasahi bantal.
Aku mengurung diri di kamar, aku larut bersama kesedihan dan kenanganku bersama Jovan, hingga aku tidak lagi mendengar kepulangan ayah.
"Jeanna, kamu sudah ppulang, Nak?"
Suara ayah menyadarkanku, aku segera menyeka air mataku, aku rapikan rambutku yang berantakan. Aku bercermin dan kulihat mata ini sembab karena banyak menangis.
"Ayah sudah pulang?" ucapku sambil membuka pintu kamar.
"Ada apa dengan kamu Jeanna?"
Pertanyaan ayah membuat aku tertunduk, aku malu menatap ayah karena aku sudah rela membohongi ayah hanya demi lelaki brengsek Jovan.
"Jeanna hanya kurang sehat Yah, kepala Jeanna pusing jadi Jeanna menangis karena tidak ada ibu yang bisa merawat Jeanna."
Ayah memelukku dengan erat. "Biar ayah saja yang akan merawat kamu sayang!" ucap ayah sambil menuntunku duduk sofa ruang keluarga.
Aku benar-benar merasa bersalah pada ayah. Rasanya aku sangat menyesal sudah membohongi ayah. Ternyata tidak ada lelaki yang baik di dunia ini selain ayah. ayah merawatku dengan penuh kasih sayang, hingga aku tertidur di ruang tengah. Aku tidak mendengar jika handphoneku berdering.
"Selamat Pagi Jeanna, apa tidur kamu nyenyak?"
"Ayah, jadi tadi malam Jeanna tidur di sini ya Yah?"
"Iya, maaf ya, ayah tidak bisa mengangkat kamu ke kamar, sebab gadis kecil ayah kini sudah sebesar ini dan ayah pun sudah semakin tua," ucap ayah sambil tertawa.
"Ayah, terimakasih ya, maafkan Jeanna ya Yah," ucapku lirih disertai linangan air mata.
"Tadi malam saat kamu tertidur ada teman kamu menelepon."
"Siapa Yah?" tanyaku penasaran.
"Jovanther."
Mataku terbelalak mendengar nama lelaki brengsek itu, tapi ada rasa berbunga sedikit.
"Apa katanya Yah?"
"Dia hanya me nanyakan kamu, tetapi ayah bilang kamu tidur karena kurang sehat."
"Oh!" ucapku lirih, dalam hatiku merasa senang karena ayah tidak marah padaku.
"Sepertinya Jovan itu perhatian sama kamu, apa dia pacar kamu?"
Aku menggeleng, "T-tidak Yah," jawab ku gugup.
"Baguslah kalau tidak, karena ayah ingin kamu selesai kuliah dulu. Lagi pula ayah merasa dia bukan laki-laki yang baik."
"Kenapa ayah bisa berpikir seperti itu?"
"Seperti ada perasaan tidak enak di hati ayah saat mendengar suaranya."
"Maksud ayah?" tanyaku tidak mengerti.
"Dia pasti suka mabuk-mabukan, ya 'kan?"
Aku terkejut mendengar pernyataan dan tebakan ayah yang tidak meleset. Ingin rasanya aku menceritakan semua keburukannya, tetapi itu tidak mungkin, jika ayah tau kalau aku dan Jovan sudah .... Ayah pasti akan membunuhku.
"Entah lah Yah, Jeanna tidak tau," ucap ku sembarang.
Selesai ayah membuatkan sarapan untuk ku, ayah langsung pergi ke kantor tempatnya bekerja, dan tinggallah aku sendiri di rumah.
Hari ini memang aku tidak ingin ke kampus. Aku ingin menyusun rencana buat membalas dendam kepada Jovan. Iya, aku memang mencintainya tetapi aku juga sakit hati. Jadi aku harus memberikannya pelajaran.
Handphone ku terus berdering, ya memang dari Jovan, meski aku ingin sekali menjawabnya, tetapi aku juga ingin membuatnya menyadari bahwa dia butuh aku juga.
Ku utak-atik F******k ku, ku lihat kontak pertemanan ku, dan aku tidak menyangka, jika aku berteman dengan teman Jovan, langsung aja aku mulai salam perkenalan.
'Hai, aku lihat kamu sedang on, dan aku kesepian, jadi aku chat kamu, maaf jika mengganggu.'
Tidak perlu waktu lama, chat dari ku langsung di balas.
'Hai, tidak apa-apa, aku juga lagi santai, dosenku hari ini tidak masuk.'
'Oh kamu kuliah di mana?'
Percakapan kami berlanjut hingga kami menyebutkan universitas kami masing-masing, dan bertukaran nomor handphone.
Dan hari itu juga, aku ditembak olehnya, tanpa basa-basi aku langsung menjawab "Ya".
"Misiku berhasil, Edo tampan dan setajir Jovan, paling tidak aku bisa membuat Jovan kepanasan, biar dia tau rasa!" gerutuku.
***
Pagi ini aku sudah bersiap untuk ke kampus, Edo memang teman Jo terapi tidak satu kampus dengan ku, tapi setidaknya, Edo juga bisa mengantar jemput aku dengan satu kali kecupan saja.
"Edo, kamu anter aku sampai ke dalam ya mobilnya, itu ke parkiran itu tepatnya di sebelah mobil merah itu."
"Memangnya kenapa Jean?"
"Do, please. Aku hanya sebel aja lihat orang itu, dia itu sok ganteng, padahal kamu lebih ganteng darinya, jadi buat nyadari dia aja."
"Oh ... baiklah bidadari ku," sahut Edo sambil mengerlingkan matanya ke aku dan aku pun beranikan diri mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih karena dia sudah menuruti mau ku.
Saat pintu mobil Jovan terbuka. Edo pun membuka pintu mobilnya. Aku tau ini bakal seru, sebab mereka adalah teman.
"Jo ...," ucap Edo menyapa.
Jovan pun terkejut melihat Edo.
"Bro, ngapain kamu di sini?"
"Biasa nganter cewek aku, Bro!"
"Oh ya mana cewek kamu, kenalin ke aku dong, di jamin akan aku jaga, biar tidak ada anak kampus sini yang gangguin dia," ucap Jovan dengan senangat.
Saat Edo membukakan pintu untuk ku, dengan wajah tenang aku keluar dari mobil Edo.
Aku melihat ekspresi wajah Jovan yang seperti melihat setan di siang bolong. Terbongong, tidak berkedip.
"Bro, biasa ajalah lihat cewek aku, awas ya kalau sampai kamu gangguin dia!" ucap Edo bergurau.
"Tenang, tenang. Aku tidak akan mengganggunya, tetapi aku akan menjaganya," sahut Jovan dengan wajah kikuk.
"Aku masuk dulu ya Edo, sebentar lagi dosenku masuk. Kamu juga, cepat ke kampus, nanti kamu telat loh," ucapku sambil mengecup bibir Edo, tanpa rencana.
Aku pergi meninggalkan kedua lelaki brengsek itu, tetapi, lucu juga bila aku lihat ekspresi Edo dan Jovan tadi, saat aku mencium bibir Edo.
"Argh! Mereka memang idiot!" gerutuku.
Aku berjalan dengan santai, aku tau Jovan mengejar ku, namun aku berpura-pura untuk mengabaikan panggilannya.
"Jeanna, tunggu ... Jeanna!"
Mendengar dia memanggil namaku di depan orang ramai, hatiku tertawa terbahak-bahak, akhirnya tiba giliranmu, aku permalukan.
Tangan Jovan dengan sigap menahan pintu kelas ku. Dia tidak mengizinkan aku masuk.
"Ayo ikut aku, kita cabut kuliah hari ini." Jovan menarik tanganku, dan semua mata tertuju pada kami termasuk perempuan-perempuan genit dan kecentilan itu, mereka yang menertawakan aku tempo hari.
Jovan membawaku ke danau yang letaknya tidak jauh dari kampus ku.
"Untuk apa kita kesini, masa kita sudah usai," ucapku ketus.
"Aku minta maaf Jeanna, aku sadar, jika aku tidak bisa hidup tanpa kamu," ucap Jovan memelas, dia bersujud di kakiku.
"Lalu, kekasih baru mu itu, mau kamu kemana 'kan dia?"
Aku memasang suara tegas dan sorot mata yang marah, aku tidak perduli. Aku memang ingin membuat Jovan tidak bisa melepaskan aku.
"Lory maksud kamu? Dia sudah aku putuskan, dia tidak sehebat kamu."
"Maksud kamu? Kamu sudah tidur dengannya?" sahutku dengan nada marah.
"M-maaf Sayang, kamu kan tau, jika aku suka tidur di temani. Kamu sudah aku telepon tetapi yang menjawab ayah kamu."
"Ya, ayah ada cerita padaku."
"Jadi bagaimana sayang? Kamu mau kan kita balikan seperti dulu?"
"Lalu aku harus jawab apa dengan Edo?"
"Kamu putuskan saja dia, lagi pula kita ini pasangan serasi, orang-orang menjuluki kita Romeo dan Juliet."
"Tetapi tidak ada Romeo yang mengkhianati Juliet nya?" sahutku kesal.
"Tapi itu semua, juga karena kamu Sayang, aku kangen banget sama kamu saat itu, tapi kamu abaikan panggilanku."
"Tapi aku sudah kasih tau alasannya, Jovan."
"Ya sudah, kita perbaiki lagi ya hubungan kita ini, kamu putusi Edo."
"Aku pikir-pikir dulu," sahutku ketus.
Jovan mendekapku dari belakang, nafasnya memburu di telingaku, membuat getar-getaran cinta itu bermunculan.
"Lepaskan Jovan, aku mau pulang!"
"Baiklah, tapi segera kasih aku jawaban."
Hari ini aku akan di antar oleh Edo, dapat kesempatan lagi buat manas-manasi Jovan."Salah kamu sendiri Jo, aku jadi kayak gini. Aku memang masih cinta padamu, tapi kau sangat menyebalkan," gerutu ku di dalam kamar.Setengah jam kemudian aku keluar dan lagi-lagi ayah sudah lebih dulu pergi ke kantor. Setiap hari aku hanya sarapan seorang diri, andai saja masih ada ibu.Getar di ponselku menandakan pesan masuk, ya benar pesan dari Edo. Dia sudah menungguku di simpang.Aku sudahi sarapanku, dan aku segera berjalan menuju simpang rumahku, tepatnya ke tempat di mana Edo menungguku."Halo," sapaku dengan ramah."Sayang, kenapa sih, aku tidak boleh jemput kamu kerumah aja, jadi kamu kan gak perlu capek-capek jalan, Sayang!""Edo, jalan dua meter di mana capeknya sih? Malah sehat tau," ucapku mengelak."Ya, ya, kamu memang gadis baik dan mandiri."Edo memacu mobilnya, dan kali ini tepat sasaran. Jovan juga baru sampai parkiran.
"Bagaimana ini Jo, aku benaran hamil?" ucapku dengan wajah tegang menatap Jovan."Iya, terus aku harus apa?""Ya, kamu harus menikahi aku!" ucapku lirih."Oke, kita akan nikah, tetapi hanya pernikahan siri. Sebab kau tau sendiri kan Jeanna, kita ini masih muda. Kita juga masih kuliah, apa kau mau jadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti?"Aku pun menggelengkan kepalaku. Aku memang ingin hidup mewah dan bahagia bersama Jovan, tapi aku juga punya cita-cita, bukan sekedar ibu rumah tangga."Ah, terserah Jo. Yang penting kamu nikahi aku. Ayo kita kerumah ayah!"Aku pun menarik tangan Jovan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku mengarahkan jalan, agar Jovan tau arah menuju rumahku.Hatiku memang benar-benar kalut, aku yakin, ayah pasti memarahi ku. Tetapi aku juga tidak ingin melepaskan Jovan. Paling tidak kehadiran anak di dalam rahimku ini membuat aku dan Jovan terikat, sehingga cewek-cewek genit di luar sana tidak lagi ber
"Jeanna, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jovan kaget.Jeanna membuka mata, lalu mengerjapkannya."Jo, kau sudah pulang, siapa wanita di samping kamu itu?" tanya Jeanna merasa terkejut, matanya tidak berkedip menatap wanita di samping kekasihnya."Kamu siapa? Bagaimana kau berani di rumah ini, aku kekasih Jovanther, jadi lebih baik kau pergi dari sini," sahut perempuan di samping Jovan."Tidak, aku tidak mau pergi dari sini, sebab sekarang ini aku sedang mengandung anak Jovan."Aku menarik tangan Jovan dari sisi wanita di sampingnya itu, Jovan dengan tenang mengikuti mauku. Wanita di sampingnya langsung menggerutu, dan pergi meninggalkan aku dan Jovan. Terdengar suara mobil yang melaju dengan kencang, pergi meninggalkan halaman rumah Jovan."Jo, ayo kita menikah, anak dalam rahim ku ini butuh pengakuan ayahnya, aku rela kabur dari rumah meninggalkan ayah demi memilih kamu Jo," ucap Jeanna mengeluh."Oke Jeanna, kamu jangan khawat
"Jo ... tolong Jo! Perut ku sakit Jo, sepertinya aku akan melahirkan," teriak ku.Aku meringis, meraung menahan sakit, tangisku pecah, keringat dingin mengucur."Bi, Bibi ... tolong!" teriak ku memanggil pembantu rumah Jo.Aku tidak mampu turun ke bawah, sebab rasa sakit ini begitu membuat aku tidak berdaya, jangan untuk berdiri, hanya untuk menggeser tubuh pun, aku tidak mampu."Jo ...," tangisku meringis memanggil nama lelaki yang aku cintai dan ayah dari calon anak ku."Jo ... di mana kamu?" batin ku.Aku ingin mengambil ponsel yang terletak di nakas, namun tangan ku tidak mampu meraihnya.Air mataku terus saja menetes tidak mampu ku bendung. Aku sudah pasrah, jika aku harus melahirkan di ruangan ini sendiri. Kamar yang besar, namun tidak memberiku ke tentraman. Rindu ayah dan ibu."Auww ... huhu ...!"Aku mencoba mengatur nafasku, menarik nafas, lalu membuangnya perlahan.Entah apa yang menggerakkan hati pem
"Jeanna ... Jeanna!" teriak Jovan memanggil namaku. Aku segera turun ke bawah, kini aku dan Jovan bertemu dan terpaku saling tatap. Aku ingin sekali memeluk Jovan, tetapi aku masih merasa kesal, marah dan benci padanya, sebab sudah berbulan-bulan Jovan tidak mpulang, bahkan belum sempat menggendong bayi kami. "Kau masih ingat pulang, Jo?" tanyaku lirih. "Sudah jangan banyak bicara, ayo kita pergi dari sini. Susun bajumu dan baju anak kita, cepat!" "Anak kita? Kau masih ingat kalau kau punya anak?" ucapku kesal. "Sudah jangan banyak bicara, itu nanti aja kita bahas, aku tidak punya banyak waktu," sahut Jovan. Aku melihat Jovan berjalan menuju kamar Bibi. Sementara aku masih bingung dengan situasi aneh ini. Tidak lama kemudian Jovan menghampiri aku di kamar. "Sudah, jangan terlalu banyak bawa baju. Ayo kita pergi!" ucap Jovan sambil menarik tanganku. Aku hentakkan tangang Jovan, "Tunggu Jo, kita mau kemana malam-m
"Ini rumah baru kita, maaf hanya seperti ini yang bisa aku bayar," ucap Jovan sambil mengecup keningku dan bayi kami. "Tidak apa, ini pun sudah membuat aku bahagia," ucapku dengan senyum sederhana. Rumah yang hanya ukuran kotak sabun, sudah membuat aku bersyukur, setidaknya Jovan kini sudah berada di sampingku dan anak kami. Jika dibandingkan dengan rumahku dan juga rumah Jovan, keadaan ini begitu miris, namun aku harus berusaha tersenyum agar aku tidak membuat Jovan putus asa. Hutang memang telah membuat Jovan menjadi lebih dekat denganku. "Lalu, apa rencana kamu setelah ini Jovan?" tanyaku. "aku akan mencari pekerjaan di dekat daerah sini, kita akan mulai hidup baru kita di sini," ucap Jovan serius. Aku tersenyum mendengar jawaban Jovan, kali ini aku merasa pilihanku untuk hidup bersama Jovan adalah benar, karena Jovan memang benar-benar bertanggung jawab padaku dan anka kami, aku yakin, suatua hari nanti saat aku pulang, ayah pasti su
"Sayang, sore ini kita ke club' ya?"Jovan memang sangat suka dengan hiruk pikuk gemerlapnya diskotik. Sebagai pacar yang baik, aku tidak mau menolaknya, lagi pula kami baru jadian satu bulan lalu."Oke, Sayang!" sahutku dengan semangat.Ya begitulah orang bila di mabuk cinta, satu jam tidak ketemu sudah sangat menyiksa, itu alasan kedua kenapa aku mau saja dibawa Jovan ke club'."Sayang turun yuk, aku ingin disco bersamamu," ajak Jovan."Aku tidak pandai berjoged Jo," ucapku."Ah, goyangkan saja tubuhmu," ucap Jovan.Lagi-lagi aku menuruti kata Jovan. Entah apa yang tercampur dalam minumanku, hingga tubuhku terasa begitu enteng dan leluasa untuk menari mengikuti irama. Hingga akhirnya aku pingsan.Matahari mulai menyusup ke sela-sela ruangan tempat aku terbaring. Aku terduduk, aku melihat sekelilingku, dan ini bukan kamarku."Di mana aku?" ucapku lirih.Ku perhatikan diriku, aku terkejut melihat tubuhku tan
Ayah masih saja bergeming di dalam kamarku, aku sudah kehabisan cara untuk membuat ayah keluar dari kamar.[Sayang, buruan suruh ayah kamu keluar, aku bisa mati jika terlalu lama di sini.]Aku segera membaca pesan dari Jovan dan dengan cepat membalasnya.[Sabar Jo, aku lagi berusaha. Tahan dikit lagi ya.]Saat aku kirim pesan ke Jovan, suara handphone Jovan berdering dengan deras sehingga kecurigaan ayah semakin bertambah."Suara handphone siapa itu?""H-handphone Jo, Yah!""Jo, siapa Jo?"Aku terkejut di buat ucapanku sendiri, aku keceplosan menyebut nama Jo."Jo, siapa Jo. Ayah pasti salah dengar, bukan Jo, Yah tapi Je," ucapku memberi alasan.Ayah menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Mata ayah masih saja tertuju pada satu benda, dan aku tidak mau menanyakannya."Yah, maaf, Jeanna sudah mengantuk, apa rasa curiga ayah sudah hilang?"Aku memasang wajah cemberut dan berulang kali menguap palsu
"Ini rumah baru kita, maaf hanya seperti ini yang bisa aku bayar," ucap Jovan sambil mengecup keningku dan bayi kami. "Tidak apa, ini pun sudah membuat aku bahagia," ucapku dengan senyum sederhana. Rumah yang hanya ukuran kotak sabun, sudah membuat aku bersyukur, setidaknya Jovan kini sudah berada di sampingku dan anak kami. Jika dibandingkan dengan rumahku dan juga rumah Jovan, keadaan ini begitu miris, namun aku harus berusaha tersenyum agar aku tidak membuat Jovan putus asa. Hutang memang telah membuat Jovan menjadi lebih dekat denganku. "Lalu, apa rencana kamu setelah ini Jovan?" tanyaku. "aku akan mencari pekerjaan di dekat daerah sini, kita akan mulai hidup baru kita di sini," ucap Jovan serius. Aku tersenyum mendengar jawaban Jovan, kali ini aku merasa pilihanku untuk hidup bersama Jovan adalah benar, karena Jovan memang benar-benar bertanggung jawab padaku dan anka kami, aku yakin, suatua hari nanti saat aku pulang, ayah pasti su
"Jeanna ... Jeanna!" teriak Jovan memanggil namaku. Aku segera turun ke bawah, kini aku dan Jovan bertemu dan terpaku saling tatap. Aku ingin sekali memeluk Jovan, tetapi aku masih merasa kesal, marah dan benci padanya, sebab sudah berbulan-bulan Jovan tidak mpulang, bahkan belum sempat menggendong bayi kami. "Kau masih ingat pulang, Jo?" tanyaku lirih. "Sudah jangan banyak bicara, ayo kita pergi dari sini. Susun bajumu dan baju anak kita, cepat!" "Anak kita? Kau masih ingat kalau kau punya anak?" ucapku kesal. "Sudah jangan banyak bicara, itu nanti aja kita bahas, aku tidak punya banyak waktu," sahut Jovan. Aku melihat Jovan berjalan menuju kamar Bibi. Sementara aku masih bingung dengan situasi aneh ini. Tidak lama kemudian Jovan menghampiri aku di kamar. "Sudah, jangan terlalu banyak bawa baju. Ayo kita pergi!" ucap Jovan sambil menarik tanganku. Aku hentakkan tangang Jovan, "Tunggu Jo, kita mau kemana malam-m
"Jo ... tolong Jo! Perut ku sakit Jo, sepertinya aku akan melahirkan," teriak ku.Aku meringis, meraung menahan sakit, tangisku pecah, keringat dingin mengucur."Bi, Bibi ... tolong!" teriak ku memanggil pembantu rumah Jo.Aku tidak mampu turun ke bawah, sebab rasa sakit ini begitu membuat aku tidak berdaya, jangan untuk berdiri, hanya untuk menggeser tubuh pun, aku tidak mampu."Jo ...," tangisku meringis memanggil nama lelaki yang aku cintai dan ayah dari calon anak ku."Jo ... di mana kamu?" batin ku.Aku ingin mengambil ponsel yang terletak di nakas, namun tangan ku tidak mampu meraihnya.Air mataku terus saja menetes tidak mampu ku bendung. Aku sudah pasrah, jika aku harus melahirkan di ruangan ini sendiri. Kamar yang besar, namun tidak memberiku ke tentraman. Rindu ayah dan ibu."Auww ... huhu ...!"Aku mencoba mengatur nafasku, menarik nafas, lalu membuangnya perlahan.Entah apa yang menggerakkan hati pem
"Jeanna, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jovan kaget.Jeanna membuka mata, lalu mengerjapkannya."Jo, kau sudah pulang, siapa wanita di samping kamu itu?" tanya Jeanna merasa terkejut, matanya tidak berkedip menatap wanita di samping kekasihnya."Kamu siapa? Bagaimana kau berani di rumah ini, aku kekasih Jovanther, jadi lebih baik kau pergi dari sini," sahut perempuan di samping Jovan."Tidak, aku tidak mau pergi dari sini, sebab sekarang ini aku sedang mengandung anak Jovan."Aku menarik tangan Jovan dari sisi wanita di sampingnya itu, Jovan dengan tenang mengikuti mauku. Wanita di sampingnya langsung menggerutu, dan pergi meninggalkan aku dan Jovan. Terdengar suara mobil yang melaju dengan kencang, pergi meninggalkan halaman rumah Jovan."Jo, ayo kita menikah, anak dalam rahim ku ini butuh pengakuan ayahnya, aku rela kabur dari rumah meninggalkan ayah demi memilih kamu Jo," ucap Jeanna mengeluh."Oke Jeanna, kamu jangan khawat
"Bagaimana ini Jo, aku benaran hamil?" ucapku dengan wajah tegang menatap Jovan."Iya, terus aku harus apa?""Ya, kamu harus menikahi aku!" ucapku lirih."Oke, kita akan nikah, tetapi hanya pernikahan siri. Sebab kau tau sendiri kan Jeanna, kita ini masih muda. Kita juga masih kuliah, apa kau mau jadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti?"Aku pun menggelengkan kepalaku. Aku memang ingin hidup mewah dan bahagia bersama Jovan, tapi aku juga punya cita-cita, bukan sekedar ibu rumah tangga."Ah, terserah Jo. Yang penting kamu nikahi aku. Ayo kita kerumah ayah!"Aku pun menarik tangan Jovan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku mengarahkan jalan, agar Jovan tau arah menuju rumahku.Hatiku memang benar-benar kalut, aku yakin, ayah pasti memarahi ku. Tetapi aku juga tidak ingin melepaskan Jovan. Paling tidak kehadiran anak di dalam rahimku ini membuat aku dan Jovan terikat, sehingga cewek-cewek genit di luar sana tidak lagi ber
Hari ini aku akan di antar oleh Edo, dapat kesempatan lagi buat manas-manasi Jovan."Salah kamu sendiri Jo, aku jadi kayak gini. Aku memang masih cinta padamu, tapi kau sangat menyebalkan," gerutu ku di dalam kamar.Setengah jam kemudian aku keluar dan lagi-lagi ayah sudah lebih dulu pergi ke kantor. Setiap hari aku hanya sarapan seorang diri, andai saja masih ada ibu.Getar di ponselku menandakan pesan masuk, ya benar pesan dari Edo. Dia sudah menungguku di simpang.Aku sudahi sarapanku, dan aku segera berjalan menuju simpang rumahku, tepatnya ke tempat di mana Edo menungguku."Halo," sapaku dengan ramah."Sayang, kenapa sih, aku tidak boleh jemput kamu kerumah aja, jadi kamu kan gak perlu capek-capek jalan, Sayang!""Edo, jalan dua meter di mana capeknya sih? Malah sehat tau," ucapku mengelak."Ya, ya, kamu memang gadis baik dan mandiri."Edo memacu mobilnya, dan kali ini tepat sasaran. Jovan juga baru sampai parkiran.
"Jovan, aku akan membalas perbuatanmu," umpatku dengan kesal.Aku kembali kerumah dengan wajah kusut. Aku lihat rumah kosong karena ayah sedang bekerja. aku masuk ke kamarku, aku banting pintu kamarku dengan kuat. Aku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur yang menyimpan kenangan dengan Jovan."Jovan, kamu brengsek ... brengsek, aku benci sama kamu, lihat saja aku akan membalasnya!" ucapku lirih. Air mataku terus saja menetes membasahi bantal.Aku mengurung diri di kamar, aku larut bersama kesedihan dan kenanganku bersama Jovan, hingga aku tidak lagi mendengar kepulangan ayah."Jeanna, kamu sudah ppulang, Nak?"Suara ayah menyadarkanku, aku segera menyeka air mataku, aku rapikan rambutku yang berantakan. Aku bercermin dan kulihat mata ini sembab karena banyak menangis."Ayah sudah pulang?" ucapku sambil membuka pintu kamar."Ada apa dengan kamu Jeanna?"Pertanyaan ayah membuat aku tertunduk, aku malu menatap ayah karena aku sud
Mengingat Jovan masih marah karena teleponnya tidak terjawab hingga 100 kali, pagi ini aku harus pergi dengan bis kota menuju kampus.Biasanya Jovan selalu menjemput ku di simpang jalan."Jo, please maafkan aku, aku semalam itu lagi cabut rumput sama ayah di halaman, jadi aku tidak dengar suara teleponku berdering," rayu ku pada Jovan.Emang dasarnya dia idola, jadi rengekkan ku seperti nyanyian merdu. Bukannya memberi maaf, dia justru meninggalkan aku pergi dengan wanita lain."Kasian ya sih Juliet di tinggal kabur sama Romeo nya," ejek kawan-kawan kampus ku sambil tertawa terbahak-bahak.Aku berlari menuju taman belakang kampus, karena tidak tahan menahan malu akibat ejekan dan cibiran fans-fans Jovan."Angela, hanya Angela yang mengerti aku saat ini," gumamku, aku hapus air mataku dan aku mencari Angela sekeliling kampus."Arghh! Di mana anak itu?" gerutu ku sambil terus mencari.Langkah ku berhenti, di depan sebuah ruang ko
Ayah masih saja bergeming di dalam kamarku, aku sudah kehabisan cara untuk membuat ayah keluar dari kamar.[Sayang, buruan suruh ayah kamu keluar, aku bisa mati jika terlalu lama di sini.]Aku segera membaca pesan dari Jovan dan dengan cepat membalasnya.[Sabar Jo, aku lagi berusaha. Tahan dikit lagi ya.]Saat aku kirim pesan ke Jovan, suara handphone Jovan berdering dengan deras sehingga kecurigaan ayah semakin bertambah."Suara handphone siapa itu?""H-handphone Jo, Yah!""Jo, siapa Jo?"Aku terkejut di buat ucapanku sendiri, aku keceplosan menyebut nama Jo."Jo, siapa Jo. Ayah pasti salah dengar, bukan Jo, Yah tapi Je," ucapku memberi alasan.Ayah menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Mata ayah masih saja tertuju pada satu benda, dan aku tidak mau menanyakannya."Yah, maaf, Jeanna sudah mengantuk, apa rasa curiga ayah sudah hilang?"Aku memasang wajah cemberut dan berulang kali menguap palsu