"Sayang, sore ini kita ke club' ya?"
Jovan memang sangat suka dengan hiruk pikuk gemerlapnya diskotik. Sebagai pacar yang baik, aku tidak mau menolaknya, lagi pula kami baru jadian satu bulan lalu.
"Oke, Sayang!" sahutku dengan semangat.
Ya begitulah orang bila di mabuk cinta, satu jam tidak ketemu sudah sangat menyiksa, itu alasan kedua kenapa aku mau saja dibawa Jovan ke club'.
"Sayang turun yuk, aku ingin disco bersamamu," ajak Jovan.
"Aku tidak pandai berjoged Jo," ucapku.
"Ah, goyangkan saja tubuhmu," ucap Jovan.
Lagi-lagi aku menuruti kata Jovan. Entah apa yang tercampur dalam minumanku, hingga tubuhku terasa begitu enteng dan leluasa untuk menari mengikuti irama. Hingga akhirnya aku pingsan.
Matahari mulai menyusup ke sela-sela ruangan tempat aku terbaring. Aku terduduk, aku melihat sekelilingku, dan ini bukan kamarku.
"Di mana aku?" ucapku lirih.
Ku perhatikan diriku, aku terkejut melihat tubuhku tanpa busana. Hanya selimut yang lembut membalut tubuhku yang putih mulus tanpa noda.
"Arggghh!" pekik ku.
Air mataku terjatuh tanpa aba-aba. Aku mengumpat diriku sendiri sebagai wanita yang bodoh dan hina.
"Selamat pagi Sayang, kamu sudah bangun. Bagaimana tidur kamu malam ini, nyenyak?"
"Jo, aku di mana? Apa yang kita lakukan tadi malam, di mana baju dan celanaku?"
Tanpa menjawab Jovan menunjuk ke arah belakang daun pintu. Di situ aku melihat baju dan celanaku tergantung.
"Apa yang terjadi tadi malam?" tanyaku sedikit kesal.
"Ya ... yang terjadi malam tadi itu ya bukti cinta kita. Begitulah caraku mencintai kamu. Apa kamu tidak mencintai aku?"
Sesaat aku terdiam, lidahku kaku. Pesona Jovan tidak dapat aku elak, tatapannya sudah memanah dengan tepat ke hatiku, apalagi dia adalah primadona kampusku, sungguh rugi bila aku lewatkan menjadi kekasihnya.
"A-aku juga mencintaimu Jovan," sahutku gugup.
"Kalau begitu senyum dong!"
Aku pun tersenyum menatap Jovan, pria tajir dan tampan yang di kagumi para wanita. Aku merasa beruntung menjadi wanita yang terpilih, orang-orang di kampus pasti akan menghargai aku.
"Senyum kamu manis sekali Sayang, mengingatkan aku pada ibu."
"Ibu? Di mana ibu kamu, aku ingin bertemu Jo."
"Suatu hari nanti aku akan membawa kamu kepadanya."
Hatiku merasa bahagia dengan ucapan Jovan, kami pun lalu berpelukan dan terulang lagi kejadian seperti malam tadi, namun kali ini aku melakukannya dengan sukarela.
"Jo, bagaimana kalau nanti aku hamil?"
"Aku akan tanggung jawab, aku pewaris tunggal keluarga Suer, aku rasa harta itu cukup untuk menghidupi kita dan anak cucu kita."
Dering handphone ku menyerinai memekakkan gendang telinga, aku tau itu dari ayah. Aku tidak mau membuat ayah marah dengan melihat Jovan menganterku sampai depan rumah. Apalagi ayah tau jika malam ini aku tidak pulang.
"Jo, turunkan aku di sini saja, aku takut ayah akan marah bila melihat kamu."
"Oke Sayang, kamu hati-hati ya, jangan lupa kasih kabar ke aku. Besok aku tunggu kamu di kampus."
Sebelum turun dari mobil Jovan, aku beranikan mencium pipi nya dan Jovan pun membalas dengan mencium keningku.
"Selamat pagi Ayah, maaf Jeanna tidak menjawab telepon ayah sebab Jeanna takut handphone Jeanna di jambret, karena di bis kota sangat padat."
"Lalu, darimana kamu hingga tidak pulang?"
Suara ayah seperti petir di siang hari hingga membuat gendang telingaku berdengung. Ayah tidak biasanya marah seperti ini padaku, karena aku pun tidak pernah membuat tingkah yang aneh seperti hari ini.
"J-Jeanna menginap di rumah teman, kami ada tugas kelompok, Yah!"
"Tapi apa tidak bisa kamu memberi kabar dulu kepada ayah?"
"M-maaf Yah, pulsa Jeanna habis."
Ayah memaklumi alasanku, dengan cepat ayah menyuruhku masuk dan sarapan. Sejujurnya aku tidak lapar, karena aku sudah makan bersama Jovan di tempat yang mahal. Tetapi aku tidak ingin membuat ayah kecewa karena dia sudah memasakkan makanan untuk ku.
"Bagaimana kuliah kamu?"
Uhuk ... uhuk .... Aku tersedak mendengar pertanyaan ayah, rasanya aku tidak ingin berbohong pada ayah, tapi ayah tidak akan mengizinkan aku pacaran sebelum kuliahku selesai.
"Kuliah Jeanne lancar kok Yah," sahutku datar.
Ayah hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dering handphone ku kembali menyerinai, aku lirik layar yang bertuliskan Jovanther.
"Siapa itu? Diangkat dong, kali aja penting."
"Em ... tidak Yah, nanti saja. Jeanna masih ingin menikmati masakan ayah," sahutku beralasan.
Aku tidak ingin ayah tau kalau aku telah memiliki pacar yang tampan dan kaya, sebab itu adalah sebuah mimpi yang tidak pernah aku bayangkan bisa menjadi nyata. Dan kini semua itu nyata, sehingga aku tidak ingin putus pas lagi sayang-sayangnya, pas lagi mesra-mesranya dan pas lagi berbunga-bunga.
Handphoneku tidak juga mau berhenti berdering. Aku yang sibuk mematikan handphone ku, takut kalau-kalau ayah akan curiga.
"Kenapa tidak kamu angkat teleponnya Jeanna? Apa kamu memiliki rahasia?"
"T-tidak ayah, Jeanna hanya malas saja mengangkatnya, Jeanna bosan bila membahas tentang pelajaran terus."
"Jangan begitu, namanya juga mahasiswi ya harus selalu aktif dan tanggap dong!"
"Baiklah Yah, Jeanna ke kamar dulu ya!"
Aku mulai beranjak setelah ayah memberikan izin. Sesampai di kamar, aku campakkan tas berisi buku-buku yang tebal dan berat. Aku bantingkan tubuhku ke tilam ukuran sedang dengan seprei berwarna pink, warna kesukaan aku.
Dengan cepat aku buka handphone ku dan memberi pesan kepada Jo. Aku tidak mau membuatnya marah, tapi kali ini mungkin dia akan marah, karena teleponnya selalu aku rejek.
[Jo, maaf. Aku terpaksa menolak panggilan kamu, sebab tadi ayah sedang duduk di hadapanku.]
Pesan yang ku kirim langsung di baca oleh Jo, dan hanya hitungan detik, teleponku berdering dan dengan segera aku mengangkatnya.
'Halo Jo, maaf ya?'
'Tidak masalah Sayang, sekarangkan kamu sudah mengangkat telepon dari aku.'
'Kamu tidak marah Jo?'
'Tidak Sayang.'
"Syukurlah, terimakasih atas pengertiannya.'
'Iya Sayang. Sayang, tapi aku sudah kangen lagi sama kamu, nanti malam kita bobok bareng lagi ya?'
Aku berpikir keras untuk menerima ajakan Jovan, sebab aku tidak mungkin keluar malam dan tidak pulang. Jika aku sering melakukan itu, lama-lama ayah pasti berang padaku.
'Sayang?!' Suara Jo mengagetkan aku.
'I-iya Jo, t-tapi sepertinya malam ini aku tidak bisa keluar, ayah pasti melarang ku.'
'Tenang Sayang, kamu tidak usah kemana-mana, biar aku saja yang datang ke rumah kamu.'
'Ayah pasti akan mengusir kamu Jo!'
'Tenang Sayang, ayah kamu tidak akan tau bila aku berada di dalam kamar kamu. Kamu cukup membuka jendela kamar kamu saja, dan malam ini kita akan bersama.'
'T-tapi aku takut Jo, bagaimana jika ketahuan ayah?'
'Sttt! Ayah kamu tidak akan tau. Aku jamin.'
Mendengar jawaban Jo yang sangat meyakinkan ku bahwa semua kan baik-baik saja, akhirnya aku pun setuju. Sebab aku juga merindukannya. Pesona Jo, kejantanannya, sungguh membuat aku tergila-gila, karena dialah lelaki pertama yang membuat aku jatuh cinta dan membuat aku mengerti nikmat dan indahnya surga dunia yang selama ini diomongin teman-temanku, saat mereka bersama kekasih mereka.
"Jeanna ...."
Suara ayah memanggil namaku, aku segera menemui ayah di ruang keluarga.
"Ya Yah?"
"Sudah malam, ayah lihat jendela kamarmu belum tertutup, tutuplah Jeanna, nanti kamu ketiduran dan lupa menutupnya."
"Iya Yah, Jeanna sedang mengerjakan tugas Yah, jadi Jenna buka jendelanya sebab kamar Jeanna panas."
"Kasihan kamu, tapi apa kipas angin itu tidak cukup menghilangkan rasa panas itu?"
Aku pun menggelengkan kepalaku.
"Ya sudah, nanti kalau ayah gajian, ayah akan pasangkan AC di kamar kamu ya?"
"Terimakasih Yah," ucapku sambil mengangguk.
Sebenarnya aku kasihan pada ayah, gaji ayah sebagai seorang pegawai tidaklah banyak, dan sebenarnya aku tidak butuh AC itu, ini semua karena aku ingin bersama Jovan malam ini.
Malam semakin larut, aku dan Jovan masih bertukar pesan. Aku hanya ingin bilang pada Jovan, jika ayah masih berada di ruang keluarga dan menonton tv.
'Sayang, apa ayah kamu sudah tidur?'
'Belum Jo, sabar ya!'
'Aduh! Aku sudah kangen banget sama kamu nih!'
'Iya, aku juga Jo, tapi bagaimana caranya aku menyuruh ayah tidur?'
'Yah, bilang dong, jangan tidur malam-malam nanti sakit, gitu!'
'Baiklah, aku coba.'
Aku pun keluar dari kamarku. Dan menghampiri ayah yang masih asik dengan acara tv nya.
"Yah, kenapa ayah belum tidur?"
"Ayah belum ngantuk Jeanna."
"Tapi Yah, jika ayah kurang tidur, itu akan membuat kesehatan ayah menurun. Atau ayah ingin Jeanna buatkan sesuatu gitu, agar ayah mengantuk?"
"Tidak usah, nanti juga ayah ngantuk."
"Ayah ...," bujukku.
Ayah akhirnya mengalah dan mematikan tv nya, lalu masuk kedalam kamarnya. Aku pastikan ayah sudah mematikan lampu kamarnya.
'Jo, berhasil! Sekarang sudah aman.'
'Oke, tunggu aku Sayang!'
Hanya dalam sekejap Jo sudah berada di kamarku, padahal baru saja kami bicara lewat telepon, tetapi kini kami sudah bisa saling tatap, saling peluk dan bahkan berciuman.
Tok ... Tok ....
"Jeanna!"
Teriak ayah di depan pintu kamarku, membuat jantungku hampir copot. Aku dan Jo panik mencari tempat persembunyian.
"Gawat Jo, bagaimana ini? Aku takut!"
"Sttt! Tenanglah!"
Jo masih saja memintaku untuk tenang, sementara jantungku sudah berdegup kencang. Aku tidak pernah melakukan hal gila seperti ini sepanjang hidupku. Ini adalah kali pertama, aku bisa segila dan senekat ini.
"Jeanna, buka pintunya? Kamu dengan siapa di dalam?"
Mendengar ucapan ayah dengan tembakkan yang tepat dan tidak meleset, tubuhku semakin gemetar.
"I-iya Yah, sebentar."
Karena Jo sudah menemukan tempat persembunyiannya, aku pun mencoba menarik nafas dan membuangnya perlahan dengan teratur, aku tidak mau ayah melihatku gugup.
Cekreaaak ....
"Ada apa Yah?" ucapku saat pintu telah ku buka.
Tanpa menjawab pertanyaanku, ayah langsung menerobos masuk kedalam kamarku, dia memperhatikan setiap sudut kamarku, bahkan sampai di kolong tempat tidurku.
"Ayah, apa-apaan sih! Ayah mencari apa?"
"Kamu dengan siapa di kamar ini? Jawab!"
"Jeanna sendiri Ayah, coba ayah lihat memangnya Jeanna dengan siapa?"
"Tetapi ayah mendengar ada suara laki-laki, dan ini juga tercium parfum laki-laki."
"Ayah! Apa ayah kira Jeanna senekat pikiran ayah? Suara laki-laki itu bersumber dari handphone Jeanna. Jeanna nonton sinetron Yah. Jeanna bosan memikirkan tugas-tugas Jeanna, jadi Jeanna ingin mengistirahatkan otak Jeanna sebentar dengan menonton."
Aku terus memberikan alasan agar ayah tidak melulu curiga, aku yakin bila ayah mendapati Jo ada di kamarku, bisa melayang kepala kami berdua.
"Ya Tuhan, bagaimana ini, Jik ayah tidak percaya padaku, bisa-bisa Jovan kehabisan nafas di dalam lemari."
Ayah masih saja bergeming di dalam kamarku, aku sudah kehabisan cara untuk membuat ayah keluar dari kamar.[Sayang, buruan suruh ayah kamu keluar, aku bisa mati jika terlalu lama di sini.]Aku segera membaca pesan dari Jovan dan dengan cepat membalasnya.[Sabar Jo, aku lagi berusaha. Tahan dikit lagi ya.]Saat aku kirim pesan ke Jovan, suara handphone Jovan berdering dengan deras sehingga kecurigaan ayah semakin bertambah."Suara handphone siapa itu?""H-handphone Jo, Yah!""Jo, siapa Jo?"Aku terkejut di buat ucapanku sendiri, aku keceplosan menyebut nama Jo."Jo, siapa Jo. Ayah pasti salah dengar, bukan Jo, Yah tapi Je," ucapku memberi alasan.Ayah menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Mata ayah masih saja tertuju pada satu benda, dan aku tidak mau menanyakannya."Yah, maaf, Jeanna sudah mengantuk, apa rasa curiga ayah sudah hilang?"Aku memasang wajah cemberut dan berulang kali menguap palsu
Mengingat Jovan masih marah karena teleponnya tidak terjawab hingga 100 kali, pagi ini aku harus pergi dengan bis kota menuju kampus.Biasanya Jovan selalu menjemput ku di simpang jalan."Jo, please maafkan aku, aku semalam itu lagi cabut rumput sama ayah di halaman, jadi aku tidak dengar suara teleponku berdering," rayu ku pada Jovan.Emang dasarnya dia idola, jadi rengekkan ku seperti nyanyian merdu. Bukannya memberi maaf, dia justru meninggalkan aku pergi dengan wanita lain."Kasian ya sih Juliet di tinggal kabur sama Romeo nya," ejek kawan-kawan kampus ku sambil tertawa terbahak-bahak.Aku berlari menuju taman belakang kampus, karena tidak tahan menahan malu akibat ejekan dan cibiran fans-fans Jovan."Angela, hanya Angela yang mengerti aku saat ini," gumamku, aku hapus air mataku dan aku mencari Angela sekeliling kampus."Arghh! Di mana anak itu?" gerutu ku sambil terus mencari.Langkah ku berhenti, di depan sebuah ruang ko
"Jovan, aku akan membalas perbuatanmu," umpatku dengan kesal.Aku kembali kerumah dengan wajah kusut. Aku lihat rumah kosong karena ayah sedang bekerja. aku masuk ke kamarku, aku banting pintu kamarku dengan kuat. Aku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur yang menyimpan kenangan dengan Jovan."Jovan, kamu brengsek ... brengsek, aku benci sama kamu, lihat saja aku akan membalasnya!" ucapku lirih. Air mataku terus saja menetes membasahi bantal.Aku mengurung diri di kamar, aku larut bersama kesedihan dan kenanganku bersama Jovan, hingga aku tidak lagi mendengar kepulangan ayah."Jeanna, kamu sudah ppulang, Nak?"Suara ayah menyadarkanku, aku segera menyeka air mataku, aku rapikan rambutku yang berantakan. Aku bercermin dan kulihat mata ini sembab karena banyak menangis."Ayah sudah pulang?" ucapku sambil membuka pintu kamar."Ada apa dengan kamu Jeanna?"Pertanyaan ayah membuat aku tertunduk, aku malu menatap ayah karena aku sud
Hari ini aku akan di antar oleh Edo, dapat kesempatan lagi buat manas-manasi Jovan."Salah kamu sendiri Jo, aku jadi kayak gini. Aku memang masih cinta padamu, tapi kau sangat menyebalkan," gerutu ku di dalam kamar.Setengah jam kemudian aku keluar dan lagi-lagi ayah sudah lebih dulu pergi ke kantor. Setiap hari aku hanya sarapan seorang diri, andai saja masih ada ibu.Getar di ponselku menandakan pesan masuk, ya benar pesan dari Edo. Dia sudah menungguku di simpang.Aku sudahi sarapanku, dan aku segera berjalan menuju simpang rumahku, tepatnya ke tempat di mana Edo menungguku."Halo," sapaku dengan ramah."Sayang, kenapa sih, aku tidak boleh jemput kamu kerumah aja, jadi kamu kan gak perlu capek-capek jalan, Sayang!""Edo, jalan dua meter di mana capeknya sih? Malah sehat tau," ucapku mengelak."Ya, ya, kamu memang gadis baik dan mandiri."Edo memacu mobilnya, dan kali ini tepat sasaran. Jovan juga baru sampai parkiran.
"Bagaimana ini Jo, aku benaran hamil?" ucapku dengan wajah tegang menatap Jovan."Iya, terus aku harus apa?""Ya, kamu harus menikahi aku!" ucapku lirih."Oke, kita akan nikah, tetapi hanya pernikahan siri. Sebab kau tau sendiri kan Jeanna, kita ini masih muda. Kita juga masih kuliah, apa kau mau jadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti?"Aku pun menggelengkan kepalaku. Aku memang ingin hidup mewah dan bahagia bersama Jovan, tapi aku juga punya cita-cita, bukan sekedar ibu rumah tangga."Ah, terserah Jo. Yang penting kamu nikahi aku. Ayo kita kerumah ayah!"Aku pun menarik tangan Jovan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku mengarahkan jalan, agar Jovan tau arah menuju rumahku.Hatiku memang benar-benar kalut, aku yakin, ayah pasti memarahi ku. Tetapi aku juga tidak ingin melepaskan Jovan. Paling tidak kehadiran anak di dalam rahimku ini membuat aku dan Jovan terikat, sehingga cewek-cewek genit di luar sana tidak lagi ber
"Jeanna, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jovan kaget.Jeanna membuka mata, lalu mengerjapkannya."Jo, kau sudah pulang, siapa wanita di samping kamu itu?" tanya Jeanna merasa terkejut, matanya tidak berkedip menatap wanita di samping kekasihnya."Kamu siapa? Bagaimana kau berani di rumah ini, aku kekasih Jovanther, jadi lebih baik kau pergi dari sini," sahut perempuan di samping Jovan."Tidak, aku tidak mau pergi dari sini, sebab sekarang ini aku sedang mengandung anak Jovan."Aku menarik tangan Jovan dari sisi wanita di sampingnya itu, Jovan dengan tenang mengikuti mauku. Wanita di sampingnya langsung menggerutu, dan pergi meninggalkan aku dan Jovan. Terdengar suara mobil yang melaju dengan kencang, pergi meninggalkan halaman rumah Jovan."Jo, ayo kita menikah, anak dalam rahim ku ini butuh pengakuan ayahnya, aku rela kabur dari rumah meninggalkan ayah demi memilih kamu Jo," ucap Jeanna mengeluh."Oke Jeanna, kamu jangan khawat
"Jo ... tolong Jo! Perut ku sakit Jo, sepertinya aku akan melahirkan," teriak ku.Aku meringis, meraung menahan sakit, tangisku pecah, keringat dingin mengucur."Bi, Bibi ... tolong!" teriak ku memanggil pembantu rumah Jo.Aku tidak mampu turun ke bawah, sebab rasa sakit ini begitu membuat aku tidak berdaya, jangan untuk berdiri, hanya untuk menggeser tubuh pun, aku tidak mampu."Jo ...," tangisku meringis memanggil nama lelaki yang aku cintai dan ayah dari calon anak ku."Jo ... di mana kamu?" batin ku.Aku ingin mengambil ponsel yang terletak di nakas, namun tangan ku tidak mampu meraihnya.Air mataku terus saja menetes tidak mampu ku bendung. Aku sudah pasrah, jika aku harus melahirkan di ruangan ini sendiri. Kamar yang besar, namun tidak memberiku ke tentraman. Rindu ayah dan ibu."Auww ... huhu ...!"Aku mencoba mengatur nafasku, menarik nafas, lalu membuangnya perlahan.Entah apa yang menggerakkan hati pem
"Jeanna ... Jeanna!" teriak Jovan memanggil namaku. Aku segera turun ke bawah, kini aku dan Jovan bertemu dan terpaku saling tatap. Aku ingin sekali memeluk Jovan, tetapi aku masih merasa kesal, marah dan benci padanya, sebab sudah berbulan-bulan Jovan tidak mpulang, bahkan belum sempat menggendong bayi kami. "Kau masih ingat pulang, Jo?" tanyaku lirih. "Sudah jangan banyak bicara, ayo kita pergi dari sini. Susun bajumu dan baju anak kita, cepat!" "Anak kita? Kau masih ingat kalau kau punya anak?" ucapku kesal. "Sudah jangan banyak bicara, itu nanti aja kita bahas, aku tidak punya banyak waktu," sahut Jovan. Aku melihat Jovan berjalan menuju kamar Bibi. Sementara aku masih bingung dengan situasi aneh ini. Tidak lama kemudian Jovan menghampiri aku di kamar. "Sudah, jangan terlalu banyak bawa baju. Ayo kita pergi!" ucap Jovan sambil menarik tanganku. Aku hentakkan tangang Jovan, "Tunggu Jo, kita mau kemana malam-m
"Ini rumah baru kita, maaf hanya seperti ini yang bisa aku bayar," ucap Jovan sambil mengecup keningku dan bayi kami. "Tidak apa, ini pun sudah membuat aku bahagia," ucapku dengan senyum sederhana. Rumah yang hanya ukuran kotak sabun, sudah membuat aku bersyukur, setidaknya Jovan kini sudah berada di sampingku dan anak kami. Jika dibandingkan dengan rumahku dan juga rumah Jovan, keadaan ini begitu miris, namun aku harus berusaha tersenyum agar aku tidak membuat Jovan putus asa. Hutang memang telah membuat Jovan menjadi lebih dekat denganku. "Lalu, apa rencana kamu setelah ini Jovan?" tanyaku. "aku akan mencari pekerjaan di dekat daerah sini, kita akan mulai hidup baru kita di sini," ucap Jovan serius. Aku tersenyum mendengar jawaban Jovan, kali ini aku merasa pilihanku untuk hidup bersama Jovan adalah benar, karena Jovan memang benar-benar bertanggung jawab padaku dan anka kami, aku yakin, suatua hari nanti saat aku pulang, ayah pasti su
"Jeanna ... Jeanna!" teriak Jovan memanggil namaku. Aku segera turun ke bawah, kini aku dan Jovan bertemu dan terpaku saling tatap. Aku ingin sekali memeluk Jovan, tetapi aku masih merasa kesal, marah dan benci padanya, sebab sudah berbulan-bulan Jovan tidak mpulang, bahkan belum sempat menggendong bayi kami. "Kau masih ingat pulang, Jo?" tanyaku lirih. "Sudah jangan banyak bicara, ayo kita pergi dari sini. Susun bajumu dan baju anak kita, cepat!" "Anak kita? Kau masih ingat kalau kau punya anak?" ucapku kesal. "Sudah jangan banyak bicara, itu nanti aja kita bahas, aku tidak punya banyak waktu," sahut Jovan. Aku melihat Jovan berjalan menuju kamar Bibi. Sementara aku masih bingung dengan situasi aneh ini. Tidak lama kemudian Jovan menghampiri aku di kamar. "Sudah, jangan terlalu banyak bawa baju. Ayo kita pergi!" ucap Jovan sambil menarik tanganku. Aku hentakkan tangang Jovan, "Tunggu Jo, kita mau kemana malam-m
"Jo ... tolong Jo! Perut ku sakit Jo, sepertinya aku akan melahirkan," teriak ku.Aku meringis, meraung menahan sakit, tangisku pecah, keringat dingin mengucur."Bi, Bibi ... tolong!" teriak ku memanggil pembantu rumah Jo.Aku tidak mampu turun ke bawah, sebab rasa sakit ini begitu membuat aku tidak berdaya, jangan untuk berdiri, hanya untuk menggeser tubuh pun, aku tidak mampu."Jo ...," tangisku meringis memanggil nama lelaki yang aku cintai dan ayah dari calon anak ku."Jo ... di mana kamu?" batin ku.Aku ingin mengambil ponsel yang terletak di nakas, namun tangan ku tidak mampu meraihnya.Air mataku terus saja menetes tidak mampu ku bendung. Aku sudah pasrah, jika aku harus melahirkan di ruangan ini sendiri. Kamar yang besar, namun tidak memberiku ke tentraman. Rindu ayah dan ibu."Auww ... huhu ...!"Aku mencoba mengatur nafasku, menarik nafas, lalu membuangnya perlahan.Entah apa yang menggerakkan hati pem
"Jeanna, bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Jovan kaget.Jeanna membuka mata, lalu mengerjapkannya."Jo, kau sudah pulang, siapa wanita di samping kamu itu?" tanya Jeanna merasa terkejut, matanya tidak berkedip menatap wanita di samping kekasihnya."Kamu siapa? Bagaimana kau berani di rumah ini, aku kekasih Jovanther, jadi lebih baik kau pergi dari sini," sahut perempuan di samping Jovan."Tidak, aku tidak mau pergi dari sini, sebab sekarang ini aku sedang mengandung anak Jovan."Aku menarik tangan Jovan dari sisi wanita di sampingnya itu, Jovan dengan tenang mengikuti mauku. Wanita di sampingnya langsung menggerutu, dan pergi meninggalkan aku dan Jovan. Terdengar suara mobil yang melaju dengan kencang, pergi meninggalkan halaman rumah Jovan."Jo, ayo kita menikah, anak dalam rahim ku ini butuh pengakuan ayahnya, aku rela kabur dari rumah meninggalkan ayah demi memilih kamu Jo," ucap Jeanna mengeluh."Oke Jeanna, kamu jangan khawat
"Bagaimana ini Jo, aku benaran hamil?" ucapku dengan wajah tegang menatap Jovan."Iya, terus aku harus apa?""Ya, kamu harus menikahi aku!" ucapku lirih."Oke, kita akan nikah, tetapi hanya pernikahan siri. Sebab kau tau sendiri kan Jeanna, kita ini masih muda. Kita juga masih kuliah, apa kau mau jadi ibu rumah tangga setelah kita menikah nanti?"Aku pun menggelengkan kepalaku. Aku memang ingin hidup mewah dan bahagia bersama Jovan, tapi aku juga punya cita-cita, bukan sekedar ibu rumah tangga."Ah, terserah Jo. Yang penting kamu nikahi aku. Ayo kita kerumah ayah!"Aku pun menarik tangan Jovan agar segera masuk ke dalam mobil. Aku mengarahkan jalan, agar Jovan tau arah menuju rumahku.Hatiku memang benar-benar kalut, aku yakin, ayah pasti memarahi ku. Tetapi aku juga tidak ingin melepaskan Jovan. Paling tidak kehadiran anak di dalam rahimku ini membuat aku dan Jovan terikat, sehingga cewek-cewek genit di luar sana tidak lagi ber
Hari ini aku akan di antar oleh Edo, dapat kesempatan lagi buat manas-manasi Jovan."Salah kamu sendiri Jo, aku jadi kayak gini. Aku memang masih cinta padamu, tapi kau sangat menyebalkan," gerutu ku di dalam kamar.Setengah jam kemudian aku keluar dan lagi-lagi ayah sudah lebih dulu pergi ke kantor. Setiap hari aku hanya sarapan seorang diri, andai saja masih ada ibu.Getar di ponselku menandakan pesan masuk, ya benar pesan dari Edo. Dia sudah menungguku di simpang.Aku sudahi sarapanku, dan aku segera berjalan menuju simpang rumahku, tepatnya ke tempat di mana Edo menungguku."Halo," sapaku dengan ramah."Sayang, kenapa sih, aku tidak boleh jemput kamu kerumah aja, jadi kamu kan gak perlu capek-capek jalan, Sayang!""Edo, jalan dua meter di mana capeknya sih? Malah sehat tau," ucapku mengelak."Ya, ya, kamu memang gadis baik dan mandiri."Edo memacu mobilnya, dan kali ini tepat sasaran. Jovan juga baru sampai parkiran.
"Jovan, aku akan membalas perbuatanmu," umpatku dengan kesal.Aku kembali kerumah dengan wajah kusut. Aku lihat rumah kosong karena ayah sedang bekerja. aku masuk ke kamarku, aku banting pintu kamarku dengan kuat. Aku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur yang menyimpan kenangan dengan Jovan."Jovan, kamu brengsek ... brengsek, aku benci sama kamu, lihat saja aku akan membalasnya!" ucapku lirih. Air mataku terus saja menetes membasahi bantal.Aku mengurung diri di kamar, aku larut bersama kesedihan dan kenanganku bersama Jovan, hingga aku tidak lagi mendengar kepulangan ayah."Jeanna, kamu sudah ppulang, Nak?"Suara ayah menyadarkanku, aku segera menyeka air mataku, aku rapikan rambutku yang berantakan. Aku bercermin dan kulihat mata ini sembab karena banyak menangis."Ayah sudah pulang?" ucapku sambil membuka pintu kamar."Ada apa dengan kamu Jeanna?"Pertanyaan ayah membuat aku tertunduk, aku malu menatap ayah karena aku sud
Mengingat Jovan masih marah karena teleponnya tidak terjawab hingga 100 kali, pagi ini aku harus pergi dengan bis kota menuju kampus.Biasanya Jovan selalu menjemput ku di simpang jalan."Jo, please maafkan aku, aku semalam itu lagi cabut rumput sama ayah di halaman, jadi aku tidak dengar suara teleponku berdering," rayu ku pada Jovan.Emang dasarnya dia idola, jadi rengekkan ku seperti nyanyian merdu. Bukannya memberi maaf, dia justru meninggalkan aku pergi dengan wanita lain."Kasian ya sih Juliet di tinggal kabur sama Romeo nya," ejek kawan-kawan kampus ku sambil tertawa terbahak-bahak.Aku berlari menuju taman belakang kampus, karena tidak tahan menahan malu akibat ejekan dan cibiran fans-fans Jovan."Angela, hanya Angela yang mengerti aku saat ini," gumamku, aku hapus air mataku dan aku mencari Angela sekeliling kampus."Arghh! Di mana anak itu?" gerutu ku sambil terus mencari.Langkah ku berhenti, di depan sebuah ruang ko
Ayah masih saja bergeming di dalam kamarku, aku sudah kehabisan cara untuk membuat ayah keluar dari kamar.[Sayang, buruan suruh ayah kamu keluar, aku bisa mati jika terlalu lama di sini.]Aku segera membaca pesan dari Jovan dan dengan cepat membalasnya.[Sabar Jo, aku lagi berusaha. Tahan dikit lagi ya.]Saat aku kirim pesan ke Jovan, suara handphone Jovan berdering dengan deras sehingga kecurigaan ayah semakin bertambah."Suara handphone siapa itu?""H-handphone Jo, Yah!""Jo, siapa Jo?"Aku terkejut di buat ucapanku sendiri, aku keceplosan menyebut nama Jo."Jo, siapa Jo. Ayah pasti salah dengar, bukan Jo, Yah tapi Je," ucapku memberi alasan.Ayah menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Mata ayah masih saja tertuju pada satu benda, dan aku tidak mau menanyakannya."Yah, maaf, Jeanna sudah mengantuk, apa rasa curiga ayah sudah hilang?"Aku memasang wajah cemberut dan berulang kali menguap palsu