Dengan perasaan tak menentu. Sangat ingin sekali marah, tapi pada siapa? Mereka sudah pergi entah kemana. Dan tanpa kusadari Prasetyo juga ikut pergi, membawa Raka bersamanya. Brengsek! Jelas ada konspirasi sejak awal. Bisa-bisanya aku selengah ini. Bingung harus melakukan apa. Aku masih berdiri kaku didekat kasir. Uangku tidak cukup membayar tagihan ini. Satu-satunya yang berharga adalah cincin di jari manisku. Satu-satunya benda yang bisa aku andalkan saat nanti Raka masuk sekolah. Tapi sekarang... haruskah aku gadaikan demi membayar makanan yang masuk kedalam perut mereka? Ya Tuhan... Sungguh aku tidak rela. Dalam kegelisahan hati yang melanda, Tiba-tiba saja beberapa orang yang bertugas sebagai pengaman datang. Membawa ketiga wanita kurang ajar yang telah menjebakku. Tentu kekesalanku semakin bertambah saat melihat wajah jahat mereka. Dan kali ini bisa ku lampiaskan. Mereka di seret layaknya seperti pencuri. "Ini orang yang berani kabur sebelum bayar." "Apa-apaan sih! K
"Jika aku ini berharga, lantas kenapa mereka memperlakukan aku lebih buruk dari pada sampah?" lirihku. Mengingat kembali pernikahan yang tidak menyenangkan dulu. Jujur saja... Rasa trauma itu masih ada. "Kamu, bukannya tidak berharga. Hanya saja salah tempat." Aku menghela nafas panjang. "Entahlah. Hidupku rasanya begitu hambar. Sekarang aku tidak butuh apa-apa lagi selain ketenangan." "Aku juga sangat ingin tenang. Tenang, tanpa memikirkan bagaimana kamu saat bersama dengan mantan suamimu. Jujur... Aku sakit setiap kali melihatnya, Tih." "Kamu terlalu bodoh, karena mencintai wanita yang memiliki segudang masalah dalam hidupnya. Kalau ingin tenang, maka carilah wanita lain. Masih banyak... Dan kamu berhak." Aku berucap serius. Sungguh tak ingin pria ini akan terjebak terlalu jauh dalam hubungan rumit bersamaku. Namun yang aku dapati, dia hanya terkekeh dengan wajah hambar. Sesekali menggeleng kepala. Mungkin tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. "Ternyata memang ben
"Mau kemana, Tih?" tanya Marlina saat melihatku keluar. Aku menoleh padanya sembari mengunci kamar kontrakan. "Kerumah ibuku. Hari ini Mbak-ku mau di lamar." Marlina menatapku dengan kerutan didahi. Tentu saja dia merasa heran, sebab hubunganku dengan ibuku sedang tidak baik-baik saja. "Masih mau kamu nemuin ibumu setelah apa yang dia lakukan kemarin, Tih? Kalau akumah ogah!" "Mau gimana lagi. Dia ibuku. Sekalian mau aku jelaskan semua kesalahpahaman ini." "Kok aku yang ngeri, ya? Gimana kalau dia ngusir kamu, Tih?" Aku menghela nafas. Kenapa dia berpikir seperti itu? Bukankah hal biasa saat ibu dan anak berseteru? Apalagi ini hanya salah paham. Ini seharusnya hanya masalah sederhana antar keluarga. "Ya besok-besok aku coba lagi. Pasti ada masanya ibuku luluh. Nggak mungkin dia membenci anaknya terlalu lama, ya kan?" Marlina mendengus mendengarnya. "Gak ada yang nggak mungkin, Tih. Bapakku aja tega ngejual anaknya sendiri. Akumah gak kaget lagi, kalau sampai ada orangtua yang
ARGA POV***Seberapa keraspun aku mengetuk bahkan berteriak memanggil namanya, Ratih tak akan menyahuti sebab aku yakin dia sedang tak berada dirumah. Kontrakan kecil ini terkunci. Kemana dia? "Cari Ratih?" "Astaga...!" Aku terkejut saat tiba-tiba mendengar suara Mbak-mbak yang tinggal di sebelah kontrakan Ratih. Bagaimana tidak? Dia muncul secara tiba-tiba dibalik jendela hanya dengan memakai tanktop ketat. Hampir mengeluarkan semua isi... Ah sudahlah. "Astaga, astaga aja terus," rutuknya. "Ya abis, Mbaknya muncul tiba-tiba. Mana gundukan mbak, nggak di tutup secara sempurna lagi!" "Lah, emang masalah buat situ? punya barang bagus, ya diperlihatkan. Pagi-pagi menikmati pemandangan bagus harusnya bersyukur. Malah astaga... " Hah? "Justru punya barang bagus itu dijaga, Mbak. Gak boleh semua orang lihat." Aku sedikit melembut. Namun di sambut kekehan dari mbak ini. "Kayak punya si Ratih toh? Hahah... Iya dah iya. Saya tahu susunya gede, mangkanya cuma kamu yang bisa menikmati.
"Menjauh dariku." Aku terdiam. Perasaanku teremas, dalam keadaan lemahnya aku berharap dia segera sadar. Namun saat sadar dia malah tidak menginginkan kehadiranku. Bukankah itu menyedihkan? "Oke. Aku akan pergi. Mbak Nadia akan datang menemani kamu disini. Jaga diri kamu ya, Tih." Aku mencoba mengalah pada diri sendiri. Meski rasa rindu begitu menggebu namun jika dengan kepergianku membuatnya tenang, aku bisa apa? Ratih membuang wajahnya. Tatapan kosong itu membuktikan bahwa perasaannya sedang tidak baik-baik saja. ***"Maaf Mbak, kayaknya Ratih nggak mau ketemu sama aku. Mbak aja yang jagain ya?" ucapku dengan lemah. "Iya. Kamu yang sabar aja. Mungkin Ratih butuh waktu." Aku mengangguk. Ada yang mengganjal disini. Namun tidak ada yang bisa kulakukan. Setidaknya melihat wanitaku pulih dari sakitnya, sudah membuatku lega. Aku harap mentalnya juga pulih seperti sediakala. ***POV RATIH"Gimana keadaan kamu, Tih?" "Baik Mbak." Aku menyahut datar. Sejak kejadian kemarin, rasanya
Wanita yang dulu pernah menghina dan merendahkanku, kini menatapku dengan tajam. Aku membalasnya dengan senyuman merendahkan. "Berani juga kamu datang kesini," ucapnya sinis. "Tentu. Selamat untukmu. Aku harap pernikahanmu berjalan dengan lancar," ucapku dengan senyuman, kemudian menoleh pada calon suaminya. Dia... Lumayan juga. "Hai, aku adalah ibu dari keponakan Hana. Senang mengenalmu. Aku harap, kamu tidak memperdulikan ucapan orang-orang mengenai calon istrimu." Dari caranya yang cukup lama menatapku, apa aku telah berhasil mengusik pikirannya? "Iya Mbak. Salam kenal. Namaku Aryo. Untuk apa peduli dengan omongan orang, Mbak. Saya Memaklumi semuanya." Aku terkekeh mendengarnya. "Apa maksud kamu? Aku kayak gini juga karena ulah kamu sendiri, Aryo!" Nah, sekarang ada lagi pertunjukan baru. Aryo sendiri mendelik ke arah calon istrinya. Belum sempat dia membalas ucapan Hana, aku langsung mengalihkan perhatiannya. "Aku denger kamu manajer di perusahaan F&B?" "Betul Mbak." "
Langkahku melambat, saat menyadari kehadiran seseorang. Berdiri menatapku dengan pandangan entah. Pandangan itu membuatku terpaku sekaligus tak nyaman. "Om Arga?" cicit putraku menatapnya penuh binar. Pria itu menunggu, di depan kontrakan. Di sebelahnya ada Marlina. Pasti dia yang menemani Arga sejak tadi. "Iya nih, calon bapak-mu dateng. Tapi bukan pengen nemuin kamu tentunya. Jelas mau ketemu ibumu... " "Apasih Kamu itu Mar!" "Dari mana?" "Tempat Prasetyo," sautku singkat sembari membuka pintu dengan kunci. "Tenang aja, Mas. Jangan salah paham. Tuh anak kesana cuma mau ngerusuh aja. Bukan tebar pesona sama mantan suaminya," ucap Marlina yang langsung mendapatkan tatapan tajam dariku. "Lain kali jangan bikin Ratih kayak gitu lagi, Mbak." "Lah kenapa? Cantik toh?" "Cantiknya di depan aku aja!" Aku menggeleng kepala mendengarnya. Tanpa aba-aba, Arga menarik pelan tanganku masuk. Ke tempatku sendiri. Anak ini. "Dih, posesifnya.... " Masih sempat terdengar di telinga suara
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s
Sudah lima bulan berlalu sejak Ratih berhasil merebut Raka dari mantan suaminya. Kini mereka memulai kehidupan baru. Dengan di bantu oleh Marlina yang kini menjadi sahabatnya. Mantan wanita malam itu memberanikan diri merubah pekerjaannya hanya ingin kehidupan lebih baik dari sebelumnya. Toko buku sederhana yang mereka bangun kini bukan hanya sekedar menjadi tempat menjual buku, tapi juga ruang bagi komunitas untuk berkumpul berbagi cerita. Tak lupa pula, Arga selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku itu, atau lebih tepatnya kepada Ratih. Di dalam toko buku itu, udara dipenuhi dengan aroma kertas dan tinta, sementara anak-anak membaca dengan suara lantang di pojokan. Marlina membantu Ratih merapikan beberapa buku yang baru saja tiba. "Kalau capek istirahat aja, Mar." Marlina memutar matanya. Tanda bahwa dia merasa kesal setiap kali Ratih menyepelekan tenaganya. "Orang cuma nyusun buku aja kok, Tih. Di bandingin kerjaanku dulu yang goyang dulu, baru dapet duit. Itu ju
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Ratih PovMbak Nadia batal nikah karena ibuku tak mau aku hadir di hari pernikahannya. Itulah kenyataan yang baru saja aku dapati dari adikku. Dadaku semakin terasa sesak. Sebenci itukah ibu padaku? Dan Mbak Nadia... Kenapa sampai harus membatalkan pernikahan hanya karena aku? Aku tahu semua ini sudah takdir. Tentang nasibku yang kini menjadi janda, juga tentang hidupku yang berjalan rumit. Namun disaat seperti ini... Aku rasa harus ada orang untuk di salahkan. Dan mereka adalah keluarga Prasetyo. "Aku udah cantik, belom?" tanyaku pada Marlina. Wanita itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus mewarnai kuku-kukunya. "Nggak usah dandan aja kamu udah cantik, Tih. Males aku ngomonginnya. Entar pelangganku malah ngincer kamu!" ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Itu artinya aku memang sudah cukup enak dilihat. "Nanti kalau ada Arga, bilangin aku keluar sebentar." "Lah? Aku pikir kamu dandan kayak gini, mau ketemu sama Mas mu. Mau ketemu siapa emang
"Jangan lo DP duluan." "Kenapa emang?" Bang Lukman menghela nafas kasar. Wajahnya terlihat kesal padaku. "Pakek nanya! Ya jangan lah. Lo nggak kasihan, entar dia jadi bahan olok olokan keluarga Tante Maya? Lo tahu sendiri, adiknya almarhum papa lo itu kayak apa?"Aku tersenyum masam. Tak Memungkiri ucapan bang lukman yang memang benar adanya. Tante maya dan segala kesombongan yang melekat di dalam diri mereka, jelas akan mempersulit Ratih. Namun bagaimana pun, aku tak akan membiarkan Ratih terbebani olehnya. "Abang tenang aja. Arga nggak sebejat itu kok. Menjaga marwah perempuan adalah tugasku. Dan Ratih... Gak akan Arga biarin deket sama Tante Maya." "Nah, itu keren." Bang Lukman menepuk nepuk bahuku. Seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. "Setelah urusan kita selesai, Arga mau secepatnya menikahi Ratih," ucapku mantap. "Iya... Gue tahu! Udah keliatan dari muka lo yang blingsatan tiap liat si Ratih. Gue juga khawatir kalau kalian terlalu lama." Aku menganggukka
Dan semua yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Sudah menjadi turun temurun, keluarga Prasetyo memperlakukan menantu dengan cara yang tidak baik. Bang Lukman tak pernah diam saja setelah hari itu kumintai pertolongan. Dia menyelidiki keluarga Prasetyo. Dan banyak informasi serta bukti yang kini kami dapatkan. Ratih sendiri tak kalah terkejutnya, kala melihat mantan suaminya kini bergonta-ganti pasangan. Membuat Winda sebagai istri tersakiti secara mental. Itu terjadi juga karena adanya dukungan keluarga. Aku tersenyum saat mendengar Ratih merutuki kebodohannya karena pernah menjadikan Prasetyo sebagai suaminya. "Naudzubillahiminzalik! Kok ada ya, manusia kayak mereka?" ucap Ratih menatapku penuh pertanyaan. Aku hanya mengangkat bahu kemudian mengusap bahunya pelan, dengan sayang. "Ya, ada lah, Yang. Kalau semua manusia baik, entar neraka gak ada penghuninya," ucapku kemudian terkekeh melihat wajah sebalnya. "Inget, disini ada gua woy!" ucap Bang Lukman yang memang berada di antar
Arga PovAku pikir... Ini adalah saat yang tepat, membuat Ratih memelukku secara sukarela. Aku sengaja memilih film horor, sebab yang aku tahu wanita akan berteriak histeris dan memeluk siapa saja hanya karena melihat tokoh hantu yang ada di film. Nyatanya Ratih tak seperti dugaanku. Beberapa kali, aku sengaja memegang tangannya bahkan memeluk pinggangnya agar sama seperti pasangan lainnya. Bukannya membalas perlakuanku, Ratih malah diam saja. Tangannya kaku di dalam genggamanku hingga nyaris berkeringat. Disaat penonton lain berteriak histeris, Ratih malah diam saja. Tak terusik sama sekali. Dia diam tanpa ekspresi hingga membuatku bosan. Ah sial! "Kamu dari tadi diam aja, kenapa? Aku ada salah?" Aku langsung menoleh pada Ratih yang bicara lembut padaku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Setidaknya... Dia menyadari perasaanku. "Kita makan dulu aja, yuk?" Ratih hanya mengangguk. Kami melangkah menuju sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Setelah mempersilahkan Ratih duduk de
"Mbak gak jadi nikah, kenapa?" Aku sengaja datang kerumah Mbak Nadia hanya untuk menanyakan perihal pernikahannya. Sejak kejadian hari itu... Tak pernah lagi kudengar kabar pernikahan Mbak Nadia. Sementara Arga menunggu dengan raut tak sabar. Apalagi tak ada secangkir kopi menemaninya. Hingga yang tertangkap olehku hanya wajah masamnya. Aku ingat betapa tak sabarnya dia. Hanya karena ingin mengajakku jalan-jalan entah kemana. Dia harus rela menungguku mampir kerumah Mbak Nadia. Lagi pula jika dia tak mau, aku tak masalah. Aku bisa jalan kaki. "Jangan lama-lama ya, Yhank. Entar pulangnya kemaleman. Kamu marahnya ke aku," rutuknya kala itu. Aku hanya mengangguk saja. Dan yang melekat sekarang, adalah panggilan sayang padaku... Yhank. Udah kayak panggilan anak sd pacaran saja. Sialnya Arga tetap tak mau mengubah nama panggilan itu. Ya... Terserah deh. "Kenapa kamu biarin aja Raka di ambil sama bapaknya? Kamu pikir anak kamu akan baik-baik saja, berkumpul dengan keluarga gila itu!" A
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s