Langkahku melambat, saat menyadari kehadiran seseorang. Berdiri menatapku dengan pandangan entah. Pandangan itu membuatku terpaku sekaligus tak nyaman. "Om Arga?" cicit putraku menatapnya penuh binar. Pria itu menunggu, di depan kontrakan. Di sebelahnya ada Marlina. Pasti dia yang menemani Arga sejak tadi. "Iya nih, calon bapak-mu dateng. Tapi bukan pengen nemuin kamu tentunya. Jelas mau ketemu ibumu... " "Apasih Kamu itu Mar!" "Dari mana?" "Tempat Prasetyo," sautku singkat sembari membuka pintu dengan kunci. "Tenang aja, Mas. Jangan salah paham. Tuh anak kesana cuma mau ngerusuh aja. Bukan tebar pesona sama mantan suaminya," ucap Marlina yang langsung mendapatkan tatapan tajam dariku. "Lain kali jangan bikin Ratih kayak gitu lagi, Mbak." "Lah kenapa? Cantik toh?" "Cantiknya di depan aku aja!" Aku menggeleng kepala mendengarnya. Tanpa aba-aba, Arga menarik pelan tanganku masuk. Ke tempatku sendiri. Anak ini. "Dih, posesifnya.... " Masih sempat terdengar di telinga suara
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s
"Mbak gak jadi nikah, kenapa?" Aku sengaja datang kerumah Mbak Nadia hanya untuk menanyakan perihal pernikahannya. Sejak kejadian hari itu... Tak pernah lagi kudengar kabar pernikahan Mbak Nadia. Sementara Arga menunggu dengan raut tak sabar. Apalagi tak ada secangkir kopi menemaninya. Hingga yang tertangkap olehku hanya wajah masamnya. Aku ingat betapa tak sabarnya dia. Hanya karena ingin mengajakku jalan-jalan entah kemana. Dia harus rela menungguku mampir kerumah Mbak Nadia. Lagi pula jika dia tak mau, aku tak masalah. Aku bisa jalan kaki. "Jangan lama-lama ya, Yhank. Entar pulangnya kemaleman. Kamu marahnya ke aku," rutuknya kala itu. Aku hanya mengangguk saja. Dan yang melekat sekarang, adalah panggilan sayang padaku... Yhank. Udah kayak panggilan anak sd pacaran saja. Sialnya Arga tetap tak mau mengubah nama panggilan itu. Ya... Terserah deh. "Kenapa kamu biarin aja Raka di ambil sama bapaknya? Kamu pikir anak kamu akan baik-baik saja, berkumpul dengan keluarga gila itu!" A
Arga PovAku pikir... Ini adalah saat yang tepat, membuat Ratih memelukku secara sukarela. Aku sengaja memilih film horor, sebab yang aku tahu wanita akan berteriak histeris dan memeluk siapa saja hanya karena melihat tokoh hantu yang ada di film. Nyatanya Ratih tak seperti dugaanku. Beberapa kali, aku sengaja memegang tangannya bahkan memeluk pinggangnya agar sama seperti pasangan lainnya. Bukannya membalas perlakuanku, Ratih malah diam saja. Tangannya kaku di dalam genggamanku hingga nyaris berkeringat. Disaat penonton lain berteriak histeris, Ratih malah diam saja. Tak terusik sama sekali. Dia diam tanpa ekspresi hingga membuatku bosan. Ah sial! "Kamu dari tadi diam aja, kenapa? Aku ada salah?" Aku langsung menoleh pada Ratih yang bicara lembut padaku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Setidaknya... Dia menyadari perasaanku. "Kita makan dulu aja, yuk?" Ratih hanya mengangguk. Kami melangkah menuju sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Setelah mempersilahkan Ratih duduk de
Dan semua yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Sudah menjadi turun temurun, keluarga Prasetyo memperlakukan menantu dengan cara yang tidak baik. Bang Lukman tak pernah diam saja setelah hari itu kumintai pertolongan. Dia menyelidiki keluarga Prasetyo. Dan banyak informasi serta bukti yang kini kami dapatkan. Ratih sendiri tak kalah terkejutnya, kala melihat mantan suaminya kini bergonta-ganti pasangan. Membuat Winda sebagai istri tersakiti secara mental. Itu terjadi juga karena adanya dukungan keluarga. Aku tersenyum saat mendengar Ratih merutuki kebodohannya karena pernah menjadikan Prasetyo sebagai suaminya. "Naudzubillahiminzalik! Kok ada ya, manusia kayak mereka?" ucap Ratih menatapku penuh pertanyaan. Aku hanya mengangkat bahu kemudian mengusap bahunya pelan, dengan sayang. "Ya, ada lah, Yang. Kalau semua manusia baik, entar neraka gak ada penghuninya," ucapku kemudian terkekeh melihat wajah sebalnya. "Inget, disini ada gua woy!" ucap Bang Lukman yang memang berada di antar
"Jangan lo DP duluan." "Kenapa emang?" Bang Lukman menghela nafas kasar. Wajahnya terlihat kesal padaku. "Pakek nanya! Ya jangan lah. Lo nggak kasihan, entar dia jadi bahan olok olokan keluarga Tante Maya? Lo tahu sendiri, adiknya almarhum papa lo itu kayak apa?"Aku tersenyum masam. Tak Memungkiri ucapan bang lukman yang memang benar adanya. Tante maya dan segala kesombongan yang melekat di dalam diri mereka, jelas akan mempersulit Ratih. Namun bagaimana pun, aku tak akan membiarkan Ratih terbebani olehnya. "Abang tenang aja. Arga nggak sebejat itu kok. Menjaga marwah perempuan adalah tugasku. Dan Ratih... Gak akan Arga biarin deket sama Tante Maya." "Nah, itu keren." Bang Lukman menepuk nepuk bahuku. Seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. "Setelah urusan kita selesai, Arga mau secepatnya menikahi Ratih," ucapku mantap. "Iya... Gue tahu! Udah keliatan dari muka lo yang blingsatan tiap liat si Ratih. Gue juga khawatir kalau kalian terlalu lama." Aku menganggukka
Ratih PovMbak Nadia batal nikah karena ibuku tak mau aku hadir di hari pernikahannya. Itulah kenyataan yang baru saja aku dapati dari adikku. Dadaku semakin terasa sesak. Sebenci itukah ibu padaku? Dan Mbak Nadia... Kenapa sampai harus membatalkan pernikahan hanya karena aku? Aku tahu semua ini sudah takdir. Tentang nasibku yang kini menjadi janda, juga tentang hidupku yang berjalan rumit. Namun disaat seperti ini... Aku rasa harus ada orang untuk di salahkan. Dan mereka adalah keluarga Prasetyo. "Aku udah cantik, belom?" tanyaku pada Marlina. Wanita itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus mewarnai kuku-kukunya. "Nggak usah dandan aja kamu udah cantik, Tih. Males aku ngomonginnya. Entar pelangganku malah ngincer kamu!" ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Itu artinya aku memang sudah cukup enak dilihat. "Nanti kalau ada Arga, bilangin aku keluar sebentar." "Lah? Aku pikir kamu dandan kayak gini, mau ketemu sama Mas mu. Mau ketemu siapa emang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Sudah lima bulan berlalu sejak Ratih berhasil merebut Raka dari mantan suaminya. Kini mereka memulai kehidupan baru. Dengan di bantu oleh Marlina yang kini menjadi sahabatnya. Mantan wanita malam itu memberanikan diri merubah pekerjaannya hanya ingin kehidupan lebih baik dari sebelumnya. Toko buku sederhana yang mereka bangun kini bukan hanya sekedar menjadi tempat menjual buku, tapi juga ruang bagi komunitas untuk berkumpul berbagi cerita. Tak lupa pula, Arga selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku itu, atau lebih tepatnya kepada Ratih. Di dalam toko buku itu, udara dipenuhi dengan aroma kertas dan tinta, sementara anak-anak membaca dengan suara lantang di pojokan. Marlina membantu Ratih merapikan beberapa buku yang baru saja tiba. "Kalau capek istirahat aja, Mar." Marlina memutar matanya. Tanda bahwa dia merasa kesal setiap kali Ratih menyepelekan tenaganya. "Orang cuma nyusun buku aja kok, Tih. Di bandingin kerjaanku dulu yang goyang dulu, baru dapet duit. Itu ju
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Ratih PovMbak Nadia batal nikah karena ibuku tak mau aku hadir di hari pernikahannya. Itulah kenyataan yang baru saja aku dapati dari adikku. Dadaku semakin terasa sesak. Sebenci itukah ibu padaku? Dan Mbak Nadia... Kenapa sampai harus membatalkan pernikahan hanya karena aku? Aku tahu semua ini sudah takdir. Tentang nasibku yang kini menjadi janda, juga tentang hidupku yang berjalan rumit. Namun disaat seperti ini... Aku rasa harus ada orang untuk di salahkan. Dan mereka adalah keluarga Prasetyo. "Aku udah cantik, belom?" tanyaku pada Marlina. Wanita itu menatapku sekilas, kemudian kembali fokus mewarnai kuku-kukunya. "Nggak usah dandan aja kamu udah cantik, Tih. Males aku ngomonginnya. Entar pelangganku malah ngincer kamu!" ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Itu artinya aku memang sudah cukup enak dilihat. "Nanti kalau ada Arga, bilangin aku keluar sebentar." "Lah? Aku pikir kamu dandan kayak gini, mau ketemu sama Mas mu. Mau ketemu siapa emang
"Jangan lo DP duluan." "Kenapa emang?" Bang Lukman menghela nafas kasar. Wajahnya terlihat kesal padaku. "Pakek nanya! Ya jangan lah. Lo nggak kasihan, entar dia jadi bahan olok olokan keluarga Tante Maya? Lo tahu sendiri, adiknya almarhum papa lo itu kayak apa?"Aku tersenyum masam. Tak Memungkiri ucapan bang lukman yang memang benar adanya. Tante maya dan segala kesombongan yang melekat di dalam diri mereka, jelas akan mempersulit Ratih. Namun bagaimana pun, aku tak akan membiarkan Ratih terbebani olehnya. "Abang tenang aja. Arga nggak sebejat itu kok. Menjaga marwah perempuan adalah tugasku. Dan Ratih... Gak akan Arga biarin deket sama Tante Maya." "Nah, itu keren." Bang Lukman menepuk nepuk bahuku. Seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya. "Setelah urusan kita selesai, Arga mau secepatnya menikahi Ratih," ucapku mantap. "Iya... Gue tahu! Udah keliatan dari muka lo yang blingsatan tiap liat si Ratih. Gue juga khawatir kalau kalian terlalu lama." Aku menganggukka
Dan semua yang terjadi bukanlah tanpa alasan. Sudah menjadi turun temurun, keluarga Prasetyo memperlakukan menantu dengan cara yang tidak baik. Bang Lukman tak pernah diam saja setelah hari itu kumintai pertolongan. Dia menyelidiki keluarga Prasetyo. Dan banyak informasi serta bukti yang kini kami dapatkan. Ratih sendiri tak kalah terkejutnya, kala melihat mantan suaminya kini bergonta-ganti pasangan. Membuat Winda sebagai istri tersakiti secara mental. Itu terjadi juga karena adanya dukungan keluarga. Aku tersenyum saat mendengar Ratih merutuki kebodohannya karena pernah menjadikan Prasetyo sebagai suaminya. "Naudzubillahiminzalik! Kok ada ya, manusia kayak mereka?" ucap Ratih menatapku penuh pertanyaan. Aku hanya mengangkat bahu kemudian mengusap bahunya pelan, dengan sayang. "Ya, ada lah, Yang. Kalau semua manusia baik, entar neraka gak ada penghuninya," ucapku kemudian terkekeh melihat wajah sebalnya. "Inget, disini ada gua woy!" ucap Bang Lukman yang memang berada di antar
Arga PovAku pikir... Ini adalah saat yang tepat, membuat Ratih memelukku secara sukarela. Aku sengaja memilih film horor, sebab yang aku tahu wanita akan berteriak histeris dan memeluk siapa saja hanya karena melihat tokoh hantu yang ada di film. Nyatanya Ratih tak seperti dugaanku. Beberapa kali, aku sengaja memegang tangannya bahkan memeluk pinggangnya agar sama seperti pasangan lainnya. Bukannya membalas perlakuanku, Ratih malah diam saja. Tangannya kaku di dalam genggamanku hingga nyaris berkeringat. Disaat penonton lain berteriak histeris, Ratih malah diam saja. Tak terusik sama sekali. Dia diam tanpa ekspresi hingga membuatku bosan. Ah sial! "Kamu dari tadi diam aja, kenapa? Aku ada salah?" Aku langsung menoleh pada Ratih yang bicara lembut padaku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Setidaknya... Dia menyadari perasaanku. "Kita makan dulu aja, yuk?" Ratih hanya mengangguk. Kami melangkah menuju sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Setelah mempersilahkan Ratih duduk de
"Mbak gak jadi nikah, kenapa?" Aku sengaja datang kerumah Mbak Nadia hanya untuk menanyakan perihal pernikahannya. Sejak kejadian hari itu... Tak pernah lagi kudengar kabar pernikahan Mbak Nadia. Sementara Arga menunggu dengan raut tak sabar. Apalagi tak ada secangkir kopi menemaninya. Hingga yang tertangkap olehku hanya wajah masamnya. Aku ingat betapa tak sabarnya dia. Hanya karena ingin mengajakku jalan-jalan entah kemana. Dia harus rela menungguku mampir kerumah Mbak Nadia. Lagi pula jika dia tak mau, aku tak masalah. Aku bisa jalan kaki. "Jangan lama-lama ya, Yhank. Entar pulangnya kemaleman. Kamu marahnya ke aku," rutuknya kala itu. Aku hanya mengangguk saja. Dan yang melekat sekarang, adalah panggilan sayang padaku... Yhank. Udah kayak panggilan anak sd pacaran saja. Sialnya Arga tetap tak mau mengubah nama panggilan itu. Ya... Terserah deh. "Kenapa kamu biarin aja Raka di ambil sama bapaknya? Kamu pikir anak kamu akan baik-baik saja, berkumpul dengan keluarga gila itu!" A
"Ikut aku kerja aja, Tih." "Ngelonte, maksudmu Mar?" Marlina mendengus mendengar pertanyaanku. "Ck, enggak. Kamu cukup jadi petugas bersih-bersih aja. Orang kalau udah mabok, gak mikir mau muntah dimana. Belum lagi botol berserakan di mana-mana. Entar kamu kumpulin." Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. "Itu tempat apa sih, Mar? Kok kayak gitu?" "Ya tempat maksiat lah. Masak tempat pengajian. Ada-ada aja!" "Kalau mau, entar aku bilangin sama bos-ku." "Ah, enggak lah. Aku mau jadi barista aja. Kebetulan suaminya Hana ada nawarin aku kerja." "Oalah. Mau langsung balas dendam sekalian toh? Wes... Silahkan." Aku menggeleng kepala mendengarnya. Entah sejak kapan, aku malah semakin dekat dengan wanita ini. Mungkin karena kami sama-sama memiliki nasib tak beruntung. "Apa lagi yang Mbak rencanain sama Ratih? Jangan yang aneh-aneh ya Mbak." Kami menoleh secara bersamaan saat melihat kedatangan Arga yang entah sejak kapan. Dia mendengar semua ucapan kami? Di sebelahnya berdiri s