"Untuk apa gaun? Itu merupakan pemborosan," tegur Mary Aram mengingatkan, "Dengan harga satu gaun, kau dapat membeli satu lusin celana jeans, dan lima lusin kemeja di pasar induk. Dapat aku gunakan berhanti-ganti untuk kuliah ""Pasar induk?" Amar Mea Malawi tertegun menatap istrinya, "Kau seorang Nyonya Muda Mea Malawi, kau harus mengenakan pakaian berkualitas."Tanpa berpikir panjang, Amar Mea Malawi meraih beberapa blouse dan celana panjang sesuai kebutuhan istrinya untuk kuliah, juga lima gaun sutra agar penampilan istrinya bertambah anggun."Amar Mea, kau tidak boleh boros! Kita masih membutuhkan banyak uang untuk keperluan anak kita kelak," Mary Aram mengingatkan suaminya yang sedang memilih pakaian tidur wanita."Untuk pakaian tidur cukup kaos dan celana pendek saja! Memakai kaos dan celana pendek milikmu juga tidak masalah," Mary Aram mengembalikan pakaian tidur yang modelnya aneh-aneh menurutnya."Ah! Selera pria, memang mengerikan!" Keluh Mary Aram sangat malu."Anak? Kau me
Andai perseteruan itu terjadi di Muara Mua, sudah pasti Mary Aram pemenangnya. Dengan mudah Mary Aram akan berbalik menghajar Miriam Aram dan Meina Aram. Namun mendapati suaminya telah melakukan tindakan tegas, maka Mary Aram tidak menanggapi intimidasi kakak-kakak sepupunya itu.Tanpa menoleh, Mary Aram masuk ke dalam mobil. Wanita cantik itu sedikit lega memiliki cara mengendalikan Aram bersaudara."Apakah kau baik-baik saja?" Amar Mea Malawi menjalankan mobilnya keluar dari pelataran parkir.Mary Aram tidak menanggapi pertanyaan Amar Mea Malawi. Hal itu membuat Amar Mea Malawi serba salah."Kau marah karena aku memberikan uang bulanan untuk mereka?" Amar Mea meremas jemari tangan Mary Aram."Tuan Ferdinand Aram ayah mereka telah banyak membantuku dalam membangun usaha. Tanpa tuan Ferdinand Aram, aku tidak akan berjaya seperti sekarang ini. Jadi sudah sepantasnya aku membantu keluarga mereka ketika tuan Ferdinand Aram mengalami kebangkrutan," Amar Mea Malawi menghentikan mobilnya di
"Oh ya, uang yang aku kirimkan untuk kebutuhan Meina Aram juga. Jumlah yang aku kirim harus cukup untuk satu bulan, karena keluarga Mea Malawi bukan panti asuhan. Jadi berhematlah," Mary Aram beranjak meninggalkan ruang kantor suaminya."Amar Mea Malawi! Istrimu sangat keterlaluan!" Protes Miriam Aram gusar.Amar Mea Malawi tertawa terbahak, "Semakin kau membuat ulah, semakin pula istriku akan jahil memotong uang bulanan kalian."Amar Mea Malawi tahu jika uang jatah bulanan untuk Aram bersaudara, oleh Mary Aram sebagian dikirimkan kepada tuan besar Ferdinand Aram untuk mengembangkan usaha.Amar Mea Malawi kagum dengan cara jitu istrinya dalam membalas budi pada tuan besar Ferdinand Aram.Tidak membutuhkan waktu lama, telepon Amar Mea langsung berdering. Di seberang sana Meina Aram menangis-nangis mencemaskan kebutuhan hidupnya selama satu bulan.Hidup berdamai dengan keadaan memang membuat hidup lebih baik, pikiran menjadi lebih tenang untuk merencanakan hari esok. Mary Aram berjalan
"Terima kasih Mary Aram," ucapan Mary Aram cukup menghibur Amar Mea Malawi. Perasaan haru, serta sukacita mendalam membangkitkan semangat pria itu, menyingkirkan rasa cemburu yang berkecamuk akan pria lain."Suamiku…" Mary Aram menatap mata suaminya.'Bisakah aku mencintai pria ini?', sejenak wanita cantik itu terdiam namun matanya terus menatap mata teduh suaminya."Suamiku, beri waktu Mary Aram untuk berdamai dengan kenyataan," kemudian ia memeluk leher suaminya, dan berinisiatif mencurahkan kasih sayang pada pria yang telah menjungkir balikkan hidupnya itu.Seorang pria gagah berjalan dengan santai melintasi lobby perusahan Mea Malawi. Pria itu membawa sebotol anggur dan dua gelas, sambil tersenyum menganggukkan kepala pada petugas keamanan dan karyawati yang bertugas di lobby.Pria itu langsung menuju lift naik ke lantai tiga, tempat kantor Amar Mea Malawi berada.Dengan membawa sekeranjang manisan, Mary Aram keluar dari kantor suaminya hendak ke sungai induk untuk membagikan mani
"Bagaimana kau bisa jatuh ke tangan Amar Mea Malawi?" Bisikan penuh kekecewaan disertai aroma wangi maskulin pria mengusik kesendirian Mary Aram."Tidak lah masalah apabila Kakak Sepupu beranggapan bahwa Mary Aram adalah wanita tidak setia," Mary Aram tersenyum sinis menanggapi bisikan Abee Bong Moja."Ceritakan bagaimana Mary Aram bisa jatuh ke tangan Amar Mea Malawi?" Kecupan Abee Bong Moja pada leher Mary Aram berhenti pada bibir.Mary Aram memejamkan mata menahan kecemasan yang sangat. Ia tahu, bahwa saat ini Abee Bong Moja sedang dalam puncak kemarahan. Napas yang memburu, sewaktu-waktu akan meledak menjadi emosi yang mengerikan. Lebih mengerikan dari emosi Amar Mea Malawi.Ingin rasanya Mary Aram memeluk, dan mencurahkan perasaan rindu. Namun kini keadaan sangat lah berbeda. 'Sakit! Sangat sakit menekan suatu perasaan rindu!'"Mary Aram tidak akan bercerita, toh Mary Aram tidak bertanya bagaimana kehidupan Kakak Sepupu bersama Miriam Aram selama di Cina," masih dengan mata terpe
"Nak, benarkah menantuku sedang sakit?" Tuan besar Sahu Mea Malawi bertanya ketika nona Patrice turun dari lantai dua."Sst...sepertinya nyonya muda sedang hamil muda," Nona Patrice mendekat melapor pada tuan besar Sahu Mea Malawi."Hamil muda?" Tuan besar Sahu Mea Malawi terkejut menaikkan alis. Wajahnya dari kecemasan berubah menjadi cerah. "Bagaimana kau tahu?""Warna kismis pada bukit kembar nyonya muda berubah warna dari pink menjadi coklat tua, bentuk bukitnya juga sedikit membesar dan kencang. Nyonya sering menyembunyikan sendawa," nona Patrice bercerita dengan antusias. "Tetapi itu hanya sebatas dugaan Patrice saja Tuan Besar.""Baik, kita lihat saja dahulu perkembangan menantuku itu," tuan Sahu Mea Malawi tertawa terkekeh menyimpan bahagia.Tuan besar itu segera masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian,"Subur sekali menantuku itu, sepertinya aku harus menyiapkan banyak hadiah."Tidak lama kemudian ia keluar kamar, langsung menuju garasi. Dengan hati berbunga, tuan besar i
"Sepertinya kau benar-benar lelah, dan tubuhmu sangat dingin, " Amar Mea Malawi prihatin dengan kondisi istrinya. "Kau harus diperiksa oleh dokter.""Jika Mary Aram tidur awal, besok pasti akan baik," Mary Aram malas berurusan dengan Meina Aram. "Besok Mary Aram akan memeriksakan diri di Balai Pengobatan milik ayah saja.""Baiklah!" Amar Mea Malawi mengusap keringat dingin di punggung istrinya."Suamiku," Mary Aram menatap mata Amar Mea Malawi. Dengan tulus ia tersenyum, "Terimakasih!""Kita tidur awal, besok aku mengantarmu ke Balai Pengobatan," Amar Mea Malawi mengecup kening istrinya.Malam itu berlalu penuh dengan kedamaian, Mary Aram bersandar dalam pelukan suaminya. Sosok pria dewasa yang tampan dan gagah, dengan bidang maskulin yang indah hanya tertutup segitiga biru. Harum dan hangat!Ia benar-benar menikmati aura kasih sayang dari suaminya. Hembusan lembut napas Amar Mea Malawi menggugah hati Mary Aram."Suamiku benarkah kau cinta padaku?" Ia memejamkan mata menikmati hembus
["Maaf Meina Aram, segala urusan keuangan rumah tangga berada di tangan istriku. Jika itu urusan keuangan bisnis, barulah urusanku," nada bicara Amar Mea Malawi terdengar tegas.]Mary Aram menghentikan langkahnya, suaminya itu sedang berbicara serius dengan Meina Aram di taman.["Amar Mea, istrimu itu memotong banyak uang belanjaku. Bagaimana hidupku selama satu bulan?" Meina Aram protes dengan kesal.]Kenapa kedua Aram bersaudara bisa mendapatkan tunjangan dari Amar Mea Malawi? Dan begitu mudahnya mereka meminta uang, seolah Amar Mea adalah keluarga mereka?["Aku tidak bisa mencampur pengeluaran untuk bisnis dengan pengeluaran rumah tangga," Amar Mea Malawi melambaikan tangan memanggil salah seorang pelayan Mary Aram yang sedang memetik bunga mawar di taman.]["Berikan madu ini pada Nyonya Muda, pastikan majikanmu itu meminumnya," pria itu menyerahkan sebotol madu pada pelayan Mary Aram.]Meina Aram menatap iri atas perhatian Amar Mea Malawi kepada istrinya. Betapa beruntung sepupu d