Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar.
“Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena.
“Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa.
“Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena.
“Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menurutnya sedikit konyol memberikan nama kontak seperti itu.
“Oh, baiklah. Sekali lagi terima kasih atas tumpangannya.” Sena sedikit membungkukkan badannya kepada Min-Woo, kemudian dia keluar dari mobil Min-Woo.
Kaca mobil bagian penumpang terbuka. Sena membalikkan badannya saat Min-Woo berteriak. “Sampai jumpa lagi besok!” Setelah kacanya tertutup. Min-Woo melajukan mobilnya. Meninggalkan Sena yang masih berdiri di depan kantor polisi.
“Laki-laki aneh,” gumam Sena seraya berjalan memasuki kantor polisi. Dari pintu kaca, Sena bisa melihat Se-Jun sedang duduk termangu.
“Ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang petugas di sana dengan ramah.
“Ah, tidak ada, terima kasih. Saya ingin menjemput kakak saya,” kata Sena dengan tersenyum.
“Tuan Kang adalah kakak Nona?” tanya petugas itu lagi. Sena menjawab dengan singkat. Wajah petugas itu penuh dengan keprihatinan. Sena menjadi bingung melihat petugas itu.
“Apa yang telah terjadi dengan kakak saya?” tanya Sena yang menjadi panik setelah melihat Se-Jun dalam keadaan kacau.
“Kakak anda telah mengalami penipuan,” jawab petugas itu dengan prihatin.
“Penipuan? Maksud anda kakak saya telah ditipu, begitu?”
“Iya, anda bisa melihat laporan yang telah kami buat.” Petugas itu mempersilakan Sena duduk. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang berisikan laporan. Rahang Sena turun ketika melihat laporan itu. Kepalanya berputar melihat kakaknya yang duduk tak berdaya di kursi tunggu.
“Bagaimana solusi pihak berwajib untuk menangkap perempuan itu?” tanya Sena dengan nada penuh amarah.
“Kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk melacak nomor ponsel pelaku dan menyelidiki aktivitas pelaku dengan kartu identitasnya. Tetapi kami tidak bisa mendapatkan hasil apapun. Nomor yang dimiliki perempuan itu sudah mati dan terakhir kali berada di lokasi pembuangan sampah.”
“Bagaimana dengan akun media sosialnya? Apakah anda tidak bisa meretas akun perempuan itu?”
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua akun yang dimiliki perempuan itu sudah dihapus. Untuk aktivitas pelaku dengan kartu identitasnya tidak dapat kami temukan. Karena identitas pelaku adalah palsu.” Rahang Sena mengeras. Dia berusaha memahami perkataan petugas kepolisian.
“Maksud anda, kalian tidak akan pernah bisa menangkap pelaku?” tanya Sena dengan nada yang sedih.
“Kami sudah memantau cctv yang ada di daerah sini. Perempuan itu pergi menggunakan taxi menuju bandara. Karena kami tidak tahu identitas asli perempuan tersebut, kami tidak dapat melacaknya lagi.”
“Hanya segitu usaha kalian untuk menangkap pelaku? Bagaimana bisa kalian tidak berusaha lebih keras lagi untuk menangkap pelaku?!” Sena naik pitam. Dia merasa petugas tidak melakukan kewajibannya dengan baik. Dari belakang, Se-Jun menenangkan Sena.
“Terima kasih atas bantuannya, pak. Kami permisi dulu,” ucap Se-Jun. Se-Jun menarik lengan Sena dengan pelan. Dia memaksa Sena keluar dari kantor polisi.
“Sena, sudah tidak solusi lagi untuk menangkap perempuan itu.”
“Kak, bagaimana bisa? Itu sudah pekerjaan mereka untuk menangkap para pelaku kriminal!” bentak Sena. Se-Jun menahan bahu Sena dengan kedua tangannya.
“Sudah cukup, aku tidak apa-apa. Yang penting aku tidak kehilangan pekerjaanku.”
“Bodoh! Kau pura-pura tidak apa-apa sekarang, kan? Bagaimana bisa kau bilang bahwa kau baik-baik saja?” Sena mengacak rambut panjangnya.
“Sungguh! Aku tidak apa-apa. Aku senang karena kau telah menjemputku,” ucap Se-Jun. Sena menatap kakaknya itu dengan miris.
“Dasar perempuan tak tahu diri! Aku bersumpah bahwa hidupmu tidak akan pernah bahagia dan kau akan ditipu berkali-kali lipat daripada kakakku!” teriak Sena. Se-Jun tertawa pelan. Dia mengelus kepala adiknya itu.
“Sena, aku minta maaf jika aku akan merepotkanmu. Untuk sementara waktu aku boleh tinggal di rumahmu dulu?” Se-Jun bertanya dengan wajah yang memelas.
“Tidak masalah. Asal kau tidak keberatan tidur di ruang tengah,” ucap Sena.
“Kak, apa kau lapar? Ayo kita makan dulu, biar aku traktir!” Se-Jun mengangguk menerima tawaran adiknya. Mereka berdua berjalan menuju restoran terdekat di daerah Seocho sambil bergandengan tangan.
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg