Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam.
“Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas.
“Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan.
“Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.”
“Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana.
“Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawab Sena berusaha tenang. Meskipun dia tidak tahu apa yang telah terjadi pada Se-Jun, dia berharap tidak ada masalah genting.
“Jadi kau memiliki kakak. Kenapa kau tidak tinggal bersamanya?” tanya laki-laki itu lagi. Sena memberikan senyum palsu.
“Itu masalah privasi kakak saya dan saya. Mengapa anda repot-repot bertanya?” jawab Sena. Itu jawaban teraman yang dapat dia katakan.
“Aku hanya penasaran saja. Hmm, omong-omong kau tidak ada niat untuk menanyaiku?” laki-laki itu memandang Sena dengan intens sebelum dia menepikan mobilnya.
“M-mengapa anda tiba-tiba berhenti?” tanya Sena yang mulai panik dengan keadaan sekarang. Dia bersiap-siap untuk memukul laki-laki itu jika terjadi sesuatu dengan tiba-tiba.
“Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku tidak fokus menyetir karena ada yang ingin aku katakan kepadamu,” kata laki-laki itu seraya menatap Sena dengan dekat. Dia mendekatkan wajahnya dengan wajah Sena. Sena reflek memundurkan badannya. Dia melepaskan seatbelt dan mendekatkan dirinya dengan pintu.
“A-apa yang ingin anda katakan?” tanya Sena yang memalingkan wajahnya.
“Jika tidak ada yang ingin anda sampaikan, saya akan turun dan mencari taksi. Ini sudah larut malam, saya tidak ingin membuat kakak saya menunggu lama.”
“Baiklah, nona blazer hitam. Kau kan yang kemarin tertidur di bus?” Sena memandang laki-laki itu dengan tatapan bingung. Dia tidak melihat wajah laki-laki kemarin yang tidak sengaja Sena bersandar.
“S-sepertinya anda salah orang,” jawab Sena diakhiri dengan kekehan. Dia tidak mau menjawab jujur. Bagaimana jika laki-laki itu marah dan memukuli Sena karena telah lancang bersandar di bahunya.
“Aku tidak setua itu untuk melupakan wajah orang yang bersandar di bahuku berbelas-belas menit.” Sena menelan ludahnya. Dia menundukkan kepalanya. Jika memungkinkan detik ini juga dia ingin keluar dari mobil ini.
“Aku sangat yakin kau perempuan itu. Mengapa kau tidak berani menjawab dengan jujur, huh?” laki-laki mengeluarkan sesuatu dari kantung celana kainnya. Mata Sena terbelalak setelah melihat apa yang dikeluarkan laki-laki itu. Sticky note biru yang berisi permintaan maaf Sena karena telah bersandar di bahu laki-laki tanpa izin.
“Dari reaksimu, bisa aku lihat bahwa kau perempuan kemarin,” ucapnya sambil menyeringai tipis.
“A-apa yang anda inginkan? Mengapa anda seperti ini? Padahal saya kemarin sudah meminta maaf?” Sena merasa kesal. Dia tidak tahu maksud dan tujuan laki-laki itu seperti ini.
“Aku hanya penasaran denganmu. Jujur, aku tidak menguntitmu ataupun ingin berbuat mesum! Aku bahkan tidak menyangka akan bertemu denganmu di kafe itu,” jawab laki-laki itu. Sena bisa melihat kejujuran dari wajahnya.
“Begitu penasarannya anda sampai anda menunggu saya selesai bekerja? Anda tidak memiliki pekerjaan lain, apa?” Sena menatap tajam laki-laki itu. Dia tidak mengerti laki-laki itu berniat apa terhadap dirinya.
Seketika kepala laki-laki itu tertunduk. Sena mengernyitkan dahinya, bingung dengan reaksi aneh yang tiba-tiba dialami laki-laki itu.
“K-kau tidak tahu bagaimana kacaunya hatiku saat kau menyandarkan kepalamu di bahuku,” ucapnya dengan nada yang lembut. Sena membesarkan matanya.
“Apa maksudnya? Saya tidak mengerti maksud anda,” balas Sena. Dia sungguh tidak paham dengan perkataan laki-laki itu.
Masih menundukkan kepalanya, laki-laki itu menutup sebagian wajahnya dengan tangannya yang besar. “S-sepertinya aku menyukaimu. Aku ingin memastikan perasaanku, makanya aku menunggumu selesai bekerja.” Sena menganga, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
Masih dalam keadaan tidak percaya, laki-laki itu melanjutkan perkataannya. “Jangan terlalu formal denganku. Kau bisa memanggil namaku.”
“Nama anda?” Sena semakin bingung dengan situasi yang dihadapinya sekarang.
“Iya namaku.”
“Man-Seok?” kata Sena dengan wajah penuh ekspresi. Sena pernah memiliki tetangga yang mempunyai nama yang sama seperti itu.
“Bukan, itu bukan nama asliku,” jawab lelaki itu sambil tertawa.
“Lalu siapa nama anda?”
“Namaku Min-Woo, Kang Min-Woo.” Mata bulat nan besar Sena terbuka. Sena mengangguk pelan.
“Ah, nama anda Min-Woo.”
“Jangan formal kepadaku. Kau tidak ingin memberi tahu namamu siapa?”
“Namaku Sena, Choi Sena,” jawab Sena sambil tersenyum. Tanpa dia duga, Min-Woo mengulurkan tangan kanannya. Sena memandang sebentar dan menerima uluran tersebut.
“Apa tidak masalah saya berkata informal kepada anda?” Sena tidak mau asal bicara di hadapan orang asing. Terlebih lagi bisa saja laki-laki itu lebih tua dibandingkan dirinya.
“Tidak masalah, aku lebih menyukainya jika kau berbicara santai kepadaku.” Sena mengangguk pelan mendengarnya. Dia merasa sangat tidak nyaman dengan keadaannya sekarang.
“Ah, kau pasti sudah cemas karena takut membuat kakakmu menunggu lama, ya? Maafkan aku.” Min-Woo menginjak pedal gas. Sena sedikit terkesiap karena mobil melaju dengan kencang.
“T-tidak masalah, kakakku pasti memakluminya.” Masih dalam keadaan yang tidak nyaman, Sena kembali memasang sabuk pengaman. Dia menyandar, mencari posisi ternyaman. Selama menuju distrik Seocho, Sena memandang ke arah jendela. Tanpa Sena sadari, Min-Woo dari tadi memandangnya dari samping dengan penuh arti.
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg