Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini.
Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti.
Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang tepat sekali menghadap ke arah pintu memaksa Sena untuk selalu memerhatikan para pelanggan yang masuk.
Seorang laki-laki yang mengenakan jas memasuki kafe. Sena memerhatikan laki-laki itu sejak awal dia masuk hingga laki-laki itu berdiri tepat di hadapannya. Laki-laki itu memesan satu cup frappuccino ukuran jumbo. Sena menjadi risih saat laki-laki itu menatapnya lekat-lekat.
“Pesanannya atas nama siapa?” tanya Sena yang mencoba berlaku ramah.
“Man-Seok,” jawab lelaki itu singkat.
“Pembayarannya dengan menggunakan apa?” tanya Sena dengan masih mencoba sopan. Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dompet kulitnya. Sena sedikit menganga menerima kartu itu. Baru pertama kali di dalam hidupnya melihat kartu kredit tanpa batas seperti ini. Dengan berhati-hati Sena menggesek kartu kredit itu. Dengan kedua tangan, Sena mengembalikan kartunya. Laki-laki berjas abu-abu itu tertawa kecil melihat tingkah Sena.
“Anda dapat menunggu pesanan anda di kursi setelah kami memanggil nama Anda,” kata Sena. Dia membalas tatapan laki-laki itu dengan tidak senang. Sena dapat melihat daritadi laki-laki tersebut memandangnya dan sesekali tertawa kecil.
“Sebentar, bukannya kau si blazer hitam di bus kemarin?” tanya laki-laki itu. Mata Sena membulat mendengar perkataannya.
“Seperti anda salah orang. Anda bisa duduk di sana sambil menunggu pesanan anda selesai,” ucap Sena. Laki-laki tersenyum tipis menatap Sena.
“Jangan berbohong! Mana mungkin aku lupa dengan wajah yang baru saja kemarin bersandar di bahuku.” Sena semakin kaget dengan perkataan laki-laki itu. Dia menahan amarahnya.
“Mohon maaf anda bisa duduk di sana sambil menunggu pesanan anda siap. Di belakang anda sudah banyak pelanggan lain yang sedang menunggu. Mohon kerjasamanya!” Sena sedikit menekankan kalimat terakhir kepada laki-laki.
“Baiklah, kita bisa bicara lagi nanti, Nona.” Laki-laki duduk di sebelah kiri ruangan. Dengan sengaja laki-laki itu duduk di tempat yang bisa langsung melihat ke kasir tanpa ada penghalang. Sena membuang napasnya pelan. Dia sangat terganggu dengan perbuatan laki-laki itu.
“Frappuccino atas nama Man-Seok!” teriak Sena. Laki-laki itu dengan senyum tipisnya berjalan menuju kasir. Sena memutar bola matanya sambil menunduk. Dia sangat malas meladeni laki-laki itu jika nanti laki-laki itu mengajaknya berbicara lagi.
“Kau tidak bisa meluangkan waktumu sebentar untuk mengobrol bersamaku?” tanya laki-laki dengan sedikit membungkuk. Sena menatap tajam mata laki-laki itu.
“Maaf, saya sibuk bekerja. Jika anda tidak ada keperluan lain silakan pergi dari kafe ini.” Masih menahan rasa amarahnya dengan sabar, Sena membalas tatapan laki-laki itu.
“Baiklah, lain kali aku akan ke sini lagi. Atau mungkin nanti malam? Aku pastikan aku akan ke sini lagi setelah kau siap bekerja. Jangan merindukanku, ya?”
Sena bergedik mendengar perkataan laki-laki itu. Dia tidak menganggap ucapan lelaki itu dengan benar. Perasaannya memburuk setelah bertemu dengan laki-laki aneh itu. Sena berdecak, memijat jari-jari tangannya dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Sena membereskan peralatan kebersihan ke dalam sebuah ruangan. Tangannya dia rentangkan ke udara karena merasa sangat lelah dengan aktivitas hari ini. Sena melipat apron milik Da-Som dan memasukkannya ke dalam loker milik Da-Som. Sena bernapas lega dan membuka ikat rambutnya.
Tepat setelah Sena memberi salam kepada manajer, sebuah panggilan masuk yang membuat ponsel Sena berdering. Nama kontak yang belum menghubunginya dalam seminggu penuh. Se-Jun, kakak laki-lakinya yang berusia empat tahun lebih tua darinya menelepon Sena.
“Halo, Kak! Tumben menghubungiku pada malam hari seperti ini? Ada apa?” Sena melipir sebentar ke sebuah swalayan yang berada di seberang kafe.
“S-sena, apa kau bisa menjemputku di kantor polisi di daerah Seocho?” Suara Se-Jun terdengar bergetar.
“Apa yang terjadi kepadamu? Bagaimana bisa kau berada di kantor polisi, katakan!” Sena sangat panik. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi terhadap kakaknya.
“Panjang ceritanya. Aku tidak bisa menjelaskannya di telepon.”
“Baiklah, aku akan ke sana!” Sena langsung mematikan panggilan. Dia berlari menuju tepi jalan. Menengok-nengok taxi yang mungkin saja lewat di seberang.
Laki-laki yang memesan minuman pada pagi hari tadi, membuktikan kata-katanya. Dia berdiri menyandarkan badannya pada mobil sport berwarna hitam. Sena tidak sengaja beradu pandang dengan laki-laki itu. Kebetulan yang sangat dia duga, bahwa lelaki itu memakirkan mobilnya di pinggir jalan tidak jauh dari tempat Sena berdiri menunggu taxi yang akan lewat.
Sena menahan ludahnya ketika melihat bahwa laki-laki itu berlari ke arahnya. Dari tempatnya berdiri, Sena bisa melihat pakaian laki-laki itu tidak sama dengan yang dia gunakan pada pagi hari tadi. Sena menggaruk tangannya yang tidak gatal. Matanya dia alihkan ke arah jalanan dan fokus mencari mobil berwarna kuning itu.
“Kau sedang menunggu taxi?” tanya laki-laki itu setelah sampai di dekat Sena. Sena hanya mengangguk.
“Apakahnya keadaannya sepenting itu?” tanyanya lagi. Sena mengangguk kembali.
“Bagaimana kalau aku beri tumpangan?” Sena mendongakkan kepalanya menatap laki-laki itu dengan lekat. Sepertinya hari ini menjadi hari yang sial bagi Sena.
“B-baiklah, kalau begitu tolong beri saya tumpangan.” Jawaban Sena mendapatkan reaksi yang tidak terduga. Laki-laki itu tersenyum lebar. Dia menuntun Sena menuju mobilnya yang tidak jauh terparkir. Setelah membuka kunci mobilnya, tanpa Sena kira, laki-laki itu membukakan pintu penumpang kepada Sena.
“T-terima kasih,” ucap Sena ketika laki-laki itu menahan pintu untuknya. Sena duduk terdiam di saat laki-laki sudah duduk di kursi pengemudi.
“Mengapa anda ada di sekitar sini?” tanya Sena mencoba memenuhi rasa penasarannya.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menemuimu di malam hari?”
“Tapi, bagaimana bisa anda sudah berada di sana tepat saja selesai kerja?” tanya Sena lagi.
“Aku sudah menunggumu sejak pukul sembilan tadi,” jawab laki-laki itu santai. Sena memandang laki-laki itu dari samping dengan tatapan heran. Jam tutupnya kafe adalah pukul sebelas dan mereka beres-beres hingga tutup sampai pukul setengah dua belas.
“K-kenapa anda menunggu selama itu? Anda bukan berniat menculik saya, kan? Atau anda sebenarnya adalah orang cabul?!” Sena mengeluarkan ponselnya dari dalam tas yang berbahan kanvas. Dia bersedia untuk menelepon kantor polisi jika hal yang tidak diinginkan terjadi.
“Imajinasimu terlalu berlebihan. Aku memang menunggumu selama itu, tapi aku tidak berniat jahat.” Laki-laki itu tersenyum tipis. Sena menelan ludahnya. Meski di dalam mobil yang temaram, dia bisa melihat senyuman itu dengan jelas.
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg