Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja.
Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris.
Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji yang dijelaskan pihak personalia. Belum lagi dengan berbagai kesempatan yang akan Sena dapatkan jika dia menjadi sekretaris seorang direktur. Karena perusahaan baru ini belum dipublikasikan dan masih segelintir orang yang mengetahui Perusahaan Growpon membuka lowongan kerja, kesempatan Sena lulus pun sangat luas.
Sena duduk di halte bus sambil termenung. Dia menghitung biaya bulanan yang sudah dihabiskan selama paruh tahun ini, jumlahnya sangat kecil. Untuk seorang karyawan perempuan kantoran di usia yang sedang gentar-gentarnya memikirkan fasyen, Sena tidak termasuk golongan itu. Dia memprioritaskan setengah dari pendapatannya untuk ditabung. Sehingga setiap bulannya dia dapat mengirim sedikit jumlah dari gajinya untuk orang tuanya di Daegu.
Tangannya mengapit tas jinjing kulit yang sudah bertahun-tahun dia miliki. Beberapa sudut tas itu sudah ada yang mengelopek. Dia memerhatikan penampilannya yang terpantul di kaca halte. Meski pakaiannya tidak mewah, postur tubuh dan wajah Sena setidaknya membantu. “Jika saya aku tidak semiskin ini pasti aku akan terlihat lebih cantik,” lirih Sena.
Bus yang mengarah ke apartemennya belum kunjung datang. Dia tidak menyangka akan selama ini. Sambil mengisi rasa kejenuhan, Sena kembali mengeluarkan ponselnya dan masuk ke sebuah situs komik. Dia membaca sebuah komik bersambung mengenai perpindahan dimensi ke sebuah novel romantis.
Di komik tersebut, tokoh utamanya mirip seperti dirinya. Hidupnya miris, tokoh utama harus berjuang keras untuk bekerja di kantornya. Dengan pekerjaan tokoh utama yaitu sekretaris, membuat tokoh utama sangat sibuk dan tidak memerhatikan kesehatannya. Si tokoh utama mati karena penyakit yang tidak pernah tahu. Lalu, jiwa si tokoh utama masuk ke dimensi lain dan memasuki sebuah raga putri di sebuah kerajaan. Tokoh utama yang menjadi putri di kerajaan, hidup dengan kebahagian dengan segala kemudahan yang dia dapatkan. Tidak hanya materi, tokoh utama juga mendapatkan tunangan yang tampan dan juga baik hati.
“Hah, andaikan aku bisa seperti itu juga.” Sena mematikan layar ponselnya. Kembali ke kenyataan, dia menunggu bus tujuannya. Beruntungnya Sena, tidak lama berselang, bus yang ditunggu-tunggunya pun akhirnya datang.
Keadaan bus sangat sepi. Hanya beberapa kursi diisi oleh ibu-ibu paruh baya. Sena duduk di bangku paling belakang bagian sudut. Dia ingin memberi dirinya hadiah karena sudah berhasil melewati tes wawancara dengan lancar. Sena mungkin akan langsung memesan sekotak ayam goreng dan juga sebotol minuman soda.
Mata Sena sudah berat karena kecapaian. Dia tertidur di bus. Sena tidak perlu khawatir akan kelewatan di pemberhentian karena halte di dekat apartemennya sangat jauh. Lima belas menit Sena habiskan dengan tertidur. Kepalanya bersandar kepada sesuatu. Dia tidak tahu bisa tidur senyaman ini di bus.
Sena merengganggkan tangannya, memutar leher, dan sedikit memijat pelipisnya. Betapa terkejutnya Sena ketika dia merasakan sebuah kepala mendarat di bahunya. Kepala berambut cokelat itu bersandar di bahunya. Sena menyadari bahwa dirinya yang pertama kali bersandar pada bahu laki-laki itu. Dia tidak tahu bagaimana bisa dirinya seperti itu. Sena mengeluarkan sticky note dari dalam tasnya. Dia menuliskan permintaan maafnya karena telah bersandar tanpa izin di bahu orang itu. Sena menahan kepala laki-laki itu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mencoba memasukkan kertas kecil itu ke dalam saku jas lelaki itu. Sena menahan napasnya dalam-dalam. Dalam sedikit sentuhan, kertas kecil itu berhasil masuk ke dalam saku jas.
Tangan kiri Sena merasakan adanya pergerakan dari kepala orang itu. Sena menahan teriakannya karena orang itu tampak akan bangun dari tidurnya. Keberuntungan di hari ini selalu berpihak kepada Sena. Bus telah berhenti di sebuah halte di dekat apartemennya. Dengan pelan Sena melepaskan tangannya dari kepala orang itu dan berlari menuju pintu keluar bus.
Sena menempatkan telapak tangannya di atas dada. Dia merasakan degup jantungnya sudah mulai normal. Sena merasa lega. Kalau saja bus belum sampai di halte apartemennya, laki-laki itu pasti sudah bangun.
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg
Mobil sport hitam keluaran terbaru itu berhenti tepat di depan kantor polisi. Sena melepaskan sabuk pengamannya. “Terima kasih atas tumpangannya, Min-Woo. Aku harap aku tidak merepotmu tadi,” kata Sena yang sudah bersiap untuk ke luar. “Tidak masalah. T-tunggu sebentar, Sena.” Sena mengurungkan niatnya. Dia menatap Min-Woo yang tampak sedikit gelisah. Dia mengeluarkan ponsel berwarna senada dengan mobilnya dan menyerahkannya kepada Sena. “Bolehkah aku meminta nomormu?”tanya Min-Woo dengan ragu-ragu. Sena tersenyum tipis melihat Min-Woo yang mungkin sedang salah tingkah. Dia mengambil ponsel itu dan mengetik beberapa angka lalu memberikannya kembali kepada Min-Woo. Sena sedikit mengintip saat Min-Woo mengetik nama lalu menyimpan kontaknya. Dia tidak bisa melihat nomornya disimpan dengan menggunakan nama apa. “Hmm, kau menyimpan nomorku dengan nama apa?” tanya Sena. “Teman baruku, Sena.” Sena tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka nomornya akan disimpan dengan seperti itu. Menuru
Sena memandang ke arah jendela. Mengabaikan tatapan lelaki yang memesan minuman atas nama Man-Seok. Sena merasa sangat gegabah karena meminta tumpangan kepada laki-laki yang tidak dikenalinya. Dirinya merasa gusar saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah memasuki pukul 11.45 malam. “Anda tidak menanyakan kemana tujuan saya?” Sena bertanya sambil melirik laki-laki itu sekilas. “Aku menunggumu untuk mengatakannya.” Sena yang mendengar jawaban dari laki-laki itu menghela napasnya pelan. “Baiklah, tolong antarkan saya ke kantor polisi di daerah Seocho.” “Kau tinggal di Seocho? Untuk apa kau ke kantor polisi di sana?” tanya laki-laki itu penasaran. Daerah Seocho sangat popular dijadikan tempat tinggal bagi kalangan menengah atau kelas atas di Seoul. Untuk Sena yang berpenghasilan pas-pasan, sangat mustahil baginya untuk memiliki tempat tinggal di sana. “Tidak, kebetulan kakak saya tinggal di sana. Dia menelepon saya untuk menjemputnya di kantor polisi,” jawa
Sena dengan pakaian kasualnya sudah berada di depan sebuah kafe yang sedang populer di tengah kota. Dengan mata yang masih sedikit mengantuk dia memencet tombol otomatis yang berada di samping pintu. Pintu kaca itu langsung terbuka secara horizontal. Seorang pekerja yang sudah memakai apron menyapa Sena dan memberinya sedikit instruksi untuk hal yang akan Sena lakukan pertama kali di pagi hari ini. Saat ini dia sedang disibukkan dengan membersihkan ruangan kafe. Masih ada waktu sejam lagi sebelum kafe ini buka. Sena sedikit kewalahan karena harus membersihkan meja dan lantai sekaligus. Karena pada pagi ini hanya akan ada beberapa pekerja saja, Sena dapat memastikan bahwa dirinya akan super sibuk dari siang hingga malam nanti. Dia menginkat rambutnya dengan rapi menggunakan ikat rambut berwarna biru. Kini, Sena sudah bersiap-siap di depan meja kasir. Selain menjaga kasir, dia juga akan menerima pesanan pelanggan dan melayaninya. Jam buka kafe ini pun sudah tiba. Posisi kasir yang te
Drrt drrt Ponsel Sena yang sengaja dia letak di dalam kantung blazernya bergetar. Sahabatnya, Da-Som, mengirimnya pesan singkat melalui sebuah aplikasi. Sebuah permintatolongan yang biasa Da-Som minta ketika dirinya sangat sibuk dengan kuliah strata duanya. Sena yang sedang berjalan sambil menenteng kantung belanjaan dari sebuah swalayan, hanya membalas pesan Da-Som dengan stiker andalannya. Dia tersenyum, setidaknya dengan membantu sahabatnya menggantikan pekerjaan sampingan, Sena bisa mengisi waktu kosong selama beberapa hari. Sena berjalan cepat, dia sangat kelaparan karena belum mengisi perutnya di siang hari. Dengan tidak makan di luar, Sena bisa menyimpan uangnya untuk keperluan yang lain. Apalagi makanan di pusat kota tidak semurah makanan di tempat asalnya. Sudah menjadi kebiasaan Sena membawa bekal sendiri saat bekerja dulu. Dia tidak mau selalu menghabiskan uang untuk makan di luar. Sesampainya di apartemen, Sena mengeluarkan ponselnya dan berniat memesan ayam goreng yang
Gedung-gedung tinggi mencakar langit sudah menjadi pemandangan biasa di tengah kota Seoul. Tidak sepadat di pagi hari, kondisi jalanan ramai lancar di siang hari. Seorang perempuan yang mengenakan setelan blazer hitam keluar dari Gedung yang baru saja siap direnovasi. Letak Gedung itu sangat strategis. Ada halte bus di depan Gedung, di seberangnya terdapat jejeran restoran dan kafe, serta jalur stasiun kereta bawah tanah yang berjarak hanya kurang dari seratus meter saja. Choi Sena, perempuan yang berusia dua puluh tahunan itu bernapas lega selepas tes wawancara. Kolega dari perusahaan lamanya, merekomendasikan sebuah perusahaan internasional baru yang bergerak di bidang industri pertanian. Dengan portofolio Sena yang dibilang sangat bagus dan lebih mumpuni dibandingkan kakak laki-lakinya, Sejun, dia yakin dia dapat lolos dan mendapati posisi sekretaris. Meski sebelumnya perempuan berambut cokelat itu sempat ragu dengan posisi yang dia lamar, dia sangat tergiur dengan kisaran gaji ya
Perempuan berumur dua puluh delapan tahun itu merekatkan mantel cokelatnya. Sena melangkah ke luar dari mobil. Perjalanan yang cukup jauh dia tempuh dari Seoul menuju Daegu membuatnya lelah. Kini dia telah sampai di depan kediaman orang tuanya yang berada di pinggiran desa. Suasana di pedesaan seperti ini sudah lama sekali tidak dia rasakan. Kedatangannya ke sini bukan hanya untuk mengunjungi orang tuanya saja. Akan tetapi, dia ingin meminta izin kepada orang tuanya untuk pindah ke New York. Mason, bosnya memintanya untuk mengikutinya pindah ke New York. Kalau bukan karena terikat kontrak, Sena tidak sudi untuk mengikuti perintah Mason. Sena lebih memilih untuk keluar dari perusahaan daripada ikut pindah ke New York dengan Mason. Namun, Mason yang telah berjasa selama ini mau tak mau membuat Sena selalu terikat dengannya. Jauh di lubuk hati Sena, sebenarnya dia menyukai Mason. Selama bekerja dengan Mason, meskipun dia selalu menjadi pesuruh, Sena selalu merasakan hal aneh yang mengg