Seorang gadis berusia dua puluhan berjalan sendirian di malam hari. Bibirnya melengkung ke atas ketika melihat layar ponselnya yang mulai berdering. Setelah menggeser tombol hijau, ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
“Hallo, kenapa telepon malem-malem kayak gini? Elu gak lagi abis lihat hantu kan?” Tanyanya sambil cekikikan.
“Sumpah ya, harusnya gue gak telepon elu kalau akhirnya elu malah ngeluarin suara kayak gitu. Bisa gak sih serius kalau diajak ngomong?”
“Eh, gak mungkin kan elu kangen sama gue? Secara ya, kita itu sama-sama cewe… ogah gue kalau harus jadi sama elu,” kata gadis itu sambil menendang kerikil.
“Gue juga ogah. Walaupun gue belum pernah pacaran, gue gak mau jadi gila dengan milih elu,” kata gadis di seberang telepon.
Gadis di jalan itu pun terbatuk sesaat, “Udah deh ya, elu mau ngapain telepon gue? Bisa gak sih ngobrolnya nanti aja kalau gue udah pulang?” Tanyanya.
“Enggak! Ini urgen banget tahu gak!”
Gadis itu pun sekali lagi menendang kerikil, “Oke, jadi mau ngomong apa nih?”
“Lu dapet salam dari senior,”
“Bee, mau elu gue lempar ke jurang? Jangan ngada-ngada deh, senior siapa lagi? Gak kenal gue!”
Gadis di seberang telepon itu pun tertawa. Lalu ia berdehem beberapa kali. “Cek, cek, cek, perkenalkan saya Bee Rathford, gadis yang akan menjadi Miss Cupid khusus buat Emma Clife, yang selama ini single tanpa keterangan,” katanya mendeklarasikan diri.
“Eh, Emma Clife gak butuh Miss Cupid, karena dia akan cari cowo sendiri. Oh ya gue lupa bilang, kalau tipe gue itu ‘pria' bukan ‘cowo’, elu paham kan maksudnya?” Tanya Emma tertawa. “Udah deh, sampai ketemu di kantor ya. Bye Bee,”
Gadis bernama Emma Clife itu pun memasukan ponsel ke dalam sakunya dan kembali melanjutkan langkahnya untuk kembali ke apartemen nya. Kurang lebih lima belas menit, dia akhirnya sampai juga.
“Ah, akhirnya sampai juga,” katanya langsung meloncat ke tempat tidur. Ia bahkan mengusap-usap pipinya di bantal.
Sebentar menatap langit, lalu ia tidak mengingat apapun selain mimpinya yang indah. Hah, setidaknya itu yang ia inginkan ketika matanya terpejam, yaitu mimpi indah. Entah mimpi indah yang sepeti apa, tapi yang pasti dia ingin mimpi yang dapat mempetemukannya dengan pria gambarannya.
Suara alarm panjang membuatnya terbangun. Hanya membuka mata, meraih alarmnya, lalu mematikannya. Dan kembali tidur. Namun, sekali lagi ia membuka matanya, melirik jam yang baru saja ia matikan.
“Aaaaaaa…aku terlambat!” jeritnya.
Melesat masuk ke kamar mandi, mencuci mukanya asal-asalan, dan bergegas untuk mengenakan pakaian formal seperti biasanya. Ia mencomot roti tanpa selai yang berada di dalam wadah, dan kembali berlarian keluar apartemen sambil menenteng tas di tangan kanan dan sepatu di tangan kiri.
“Taxi!” teriaknya sambil memakai sepatu.
Sebuah taxi berhenti di hadapannya, dengan cepat ia masuk dan menyebutkan alamat kantornya. Di dalam taxi, dia tidak tenang begitu saja, dia mengambil bedak dan lipstik. Memakainya dengan gerakan yang super cepat. Masa bodo dengan supir taxi yang sejak tadi memperhatikannya. Selesai memulas wajah, ponselnya berdering, nama Bee muncul di layar.
“Hallo Bee, gue lagi buru-buru nih,” kata Emma cepat.
“Gue juga lagi gak bercanda. Big Boss nyari elu tuh, katanya kalau gak dateng dalam waktu lima menit, karier lu ter-an-cam,” jawab Bee dengan penekanan pada kata terakhir.
“I’m coming!” teriakku setelah membayar taxi dan berlarian ke kantor.
“Emma, elu harus tahu kalau Big Boss kita itu_”
“Udah ya Bee, gue gak bisa ngobrol banyak sama elu. Bye…”
Terpaksa ia memutuskan panggilan sebelum Bee menceritakan hal yang sama sekali tak ingin Emma dengar. Seperti gosip tentang manajer operasional yang katanya menikah dengan brondong, divisi Riset dan Develompment yang kedatangan intern tampan lah, atau bos mereka yang punya anak tampan, lalu sekarang apa lagi?
“Mba, Big Boss udah dateng?” Tanya Emma sambil merapikan kemejanya.
“Udah sih, beliau ada di ruangannya. Tapi Mba, ada berita loh_”
“Entar aja ceritanya, di kantin sama Bee juga. Sekarang ada yang jauh lebih penting daripada gosip, oke?”
Emma dengan cepat melesat masuk setelah mengetuk pintu berulang kali. Tak mendengar jawaban, ia langsung membuka pintunya. Dan terjadilah sesuatu yang tidak diinginkan.
“Ah?”
Emma menahan kedua tangannya yang saat ini tampak kesakitan. Belum lagi rasa malu yang sungguh luar biasa ketika harus melakukan kesalahan yang cukup memalukan—sekaligus menegangkan. Emma melirik ke bawah—ke bibirnya yang tampak bersentuhan dengan milik orang lain. Dan pemiliknya kini sedang menatapnya.
“Maaf, gak sengaja,” katanya.
“Kayaknya lebih baik kamu bangun dulu dari sini, dan kita bisa bicara setelahnya,” katanya tegas.
Emma bangkit dan langsung terduduk di lantai. Wajahnya tertunduk menahan rasa malu. Sekarang, ia seperti pembantu yang sedang menunggu perintah Sang Majikan. Entahlah, ia bahkan tidak mengenal orang yang berdiri di hadapannya. Eh, tapi bukannya dia berada di ruangan Big Boss?
“Kamu Emma Clife?” Tanyanya.
Emma meneguk ludahnya, ia bahkan sampai tersepesona hanya karena mendengar suaranya yang sangat sexy. Ia bahkan terus menatap pria berbadan kekar dengan otot yang sejak tadi menyembul di balik jas nya. Ah, bagaimana rasanya memeluk tubuh itu ya?
“Emma Clife,” panggilnya sekali lagi.
“Iya, saya Emma,” kata Emma cepat.
Pria itu mengulurkan tangan ke arah Emma, “Saya Dan Joobs, CEO baru di perusahaan ini, mohon kerjasamanya,” katanya dengan suara yang berat.
Emma langsung berdiri, “Ha? CEO baru? My Big Boss? Kamu, eh Mr. Dan Joobs, selamat datang,” sambut Emma cepat, ia membalas uluran tangan Dan juga.
“Terimakasih, sambutan yang sangat menakjubkan,” bisiknya sambil mendekat.
Emma menatap Dan, “Maksudnya?” Tanyanya dengan ekspresi tidak mengerti.
Dan tersenyum licik. Ia langsung menarik pinggang Emma ke arahnya, menatapnya penuh gairah, dan kembali melayangkan kecupan di bibir Emma tanpa persetujuan. Tangan Emma melayang di udara, siap memberikan tamparan karena sudah kurang ajar padanya. Tapi ia urungkan, karena ia cukup menikmatinya. Lalu, tangannya yang melayang, diraih oleh Dan, digenggam olehnya hingga kegiatan mereka selesai.
“Sekarang dan kedepannya, kamu harus menjagaku!” katanya berada perintah.
“Menjaga? Menjaga yang seperti apa?” Tanyanya dengan alis terangkat.
Dan menarik Emma sampai ke sofa, mengungkungnya dari atas. Tatapannya seolah mengunci bibir Emma yang hendak bertanya. Karena, tindakan ini baru bagi gadis sepolos Emma.
“Kamu milikku,” bisik Dan.
Tangannya dengan cepat menyentuh bagian perut Emma, membuat gadis itu menahan napas selama beberapa menit. Dan mengecup perutnya sekilas, lalu menunjukan ponsel milik Emma, membuat pemiliknya kecewa saat itu juga. Emma langsung duduk dan mengintip apa yang dilakukan Dan, pra itu tampak mengetikan beberapa digit angka.
“Nih, nomor aku, kamu bisa menghubungiku kalau sedang terancam,”
Emma tertawa, “Aku terancam? Bagaimana bisa? Aku ini terkenal berani loh, dan aku gak butuh pelindung,” jawabnya.
Dan tersenyum, “Lakukan hal yang sama untukku. Datanglah, kalau aku menghubungimu,” katanya.
Emma menganguk, “Oke. Jadi, anda memanggil saya hanya untuk ini?” Tanyanya.
Dan menggeleng, “Aku sedang mengklaimmu sebagai milikku, kamu gak takut?” Tanya Dan.
“Enggak lah! Kamu itu brengsek sih, kelihatannya, tapi aku suka tipe sepertimu. Oh ya, berapa usiamu?” Tanya Emma.
“Tiga puluh lima,” jawabnya cepat.
Emma tertawa, “Perfect! Akhinya, aku menemukan seorang pria sesuai kriteriaku,”
“Maksudnya?”
Emma bangkit, “Teruslah menjadi posesif, aku suka pria seperti itu,” kata Emma.
Selama bekerja, Emma terus saja memikirkan soal Dan. Pria itu sepertinya memang sesuai dengan kriterianya. Dingin, keras kepala, posesif, berbadan kekar, berusia tiga puluhan, dan yang paling terpenting, dia seorang Good Kisser. Ah, mengapa Emma seolah kejatuhan durian runtuh ya?
“Em…” panggil Bee.
“Iya Bee?” jawabnya tanpa menoleh.
Bee berdecak, “Kamu gak mau pulang, mau jaga kantor aja? Ini udah hampir jam sebelas loh, gak takut digigit hantu?” Tanyanya.
Emma melirik arlojinya, dan benar saja, sudah jam ssebelas malam. Dengan segera Emma merapikan barangnya, memasukan ke dalam tas, dan segera meninggalkan kantor.
“Kenapa aku sampai lupa waktu ya?” Tanya Emma kepada dirinya sendiri.
Ketika hendak menyetop taxi, ia merasa ada yang mengikutinya, tapi ketika ia menoleh… tak ada siapapun. Dia mulai gelisah, karena tampaknya taxi juga tak berniat muncul saat ini. Yah, seolah malam ini ia sedang apes. Tidak ada taxi yang lewat depan kantor. Karena merasa ada yang tidak beres, Emma memutuskan untuk berjalan kaki meninggalkan kantor menuju apartemennya.
“Aaaaaaa,” teriaknya ketika melihat dahan yang bergoyang.
Teriakannya yang nyaring terhenti ketika melihat seseorang yang muncul di balik dahan. Orang itu tersenyum ke arahnya, Emma tampak memicingkan mata, mencoba menajamkan matanya, apa benar ia mengenal orang itu.
“Hai Emma,” sapanya.
“Oh Hai,”
Emma tersenyum pada pria yang ada di hadapannya. Pria itu juga melakukan hal yang sama dengannya. Yah, tak ada salahnya kan kalau berbaik hati menyapa orang yang sebenarnya tidak kita kenal? Eh tunggu, jangan bilang kalau dia adalah pria yang diceritakan Bee? Yah mungkin saja.“Bee sudah menceritakan padamu ya?” Tanya pria itu.Emma tersenyum, “Yah, dia hanya mengatakan ada yang menitip salam, tapi aku tidak tahu siapa orangnya,” jawab Emma.“Dulu kita satu sekolah, Em, apa kamu tidak mengingatku?”Emma menggeleng, “Oh maaf, aku tidak mengingatmu,”Pria itu menghentikan langkahnya, dan dengan berani menarik tangan Emma begitu saja. Menggenggamnya seraya berkata, “Aku Nate, kakak tingkatmu di kampus. Apa kamu sudah mengingatku?” Tanyanya yang langsung dijawab Emma dengan gelengan. “Dulu aku pernah mengatakan kalau kamu itu cewe biasa yang sampai kapan pun tidak akan punya pasangan,” tambahnya.Sontak Emma langsung melepaskan genggaman tangannya. “O
Emma bangun dari tidurnya, melirik sisi tempat tidurnya. Dan tampak masih terpejam, tubuh telanjangnya membuat dirinya semakin tampan. Belum lagi ototnya yang nampak kekar di balik baju yang dipakainya setiap hari.“Hai, Good morning,” sapa Emma.Dan tersenyum, ia membuka matanya dan langsung duduk bersandar di kepala tempat tidur. Emma yang melihatnya hanya diam saja, ia sibuk mengecek pesan di ponselnya. Kegiatan rutinnya di pagi hari setelah bangun tidur—kalau gak telat bangun.“Kamu chat sama siapa sih?” Tanyanya pada Emma.“Sama Bee, dia lagi gosipin kamu,” jawab Emma cekikikan.“Gosipin aku? Bilang apa aja dia?” Tanya Dan.Emma melirik Dan, “Oh, dia bilang CEO baru kita itu tampan dan masih single. Satu lagi, dia juga cerita kalau kamu itu playboy,” cerita Emma.“Aku gak playboy,” jawabnya.Emma hanya melirik Dan sekilas, “Oke, jadi jawab yang jujur, udah berapa gadis yang kamu ajak ke tempat tidur?” Tanya Emma serius.“Jaw
Emma menuliskan banyak sekali catatan selama rapat. Sejak CEO terdahulu, ia selalu jadi notulen. Entahlah, tapi katanya ia cukup handal dalam bidang tulis menulis. Tulisannya yang cepat dan juga rapi membuat semua orang setuju kalau dia jadi notulen.Sejak meeting dimulai, Emma terus membuka obrolan dengan Mark mengenai proyek ini. Dan yang melihatnya dari ujung meja merasa kesal luar biasa. Maka ia menggebrak meja tanpa sengaja, membuat semua orang di ruang meeting terkejut. Emma yang tidak tahu apapun hanya diam saja dan tetap fokus pada tulisan yang ua coret-coret di kertas.“Emma!”Suara itu membuat Emma terlonjak. Ia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Dan. Melihat ekspresi Dan yang tampak murka, ia sedikit tersenyum. Mark yang melihat itu menyenggol bahunya, tapi karena Emma pada dasarnya tidak peduli ia sama sekali tidak mau menengok, akhirnya Mark sedikit berbisik padanya. “Mr. Dan sepertinya marah padamu,” bisiknya.Dan langsung keluar dari rua
Dan memandang Emma dengan tatapan cemburu. Gadis itu kini sedang berbincang dengan Mark, tampak sangat bahagia dengan senyuman yang mengembang. Chuck menghampirinya dengan wine di tangannya.“Kenapa elu? Kayaknya tegang banget?” Tanya Chuck kembaki menyesap wine nya.Dan menggeleng, tapi tatapannya tetap terkunci pada gadis yang sedang berulang dengan beberapa temannya. Tangannta tanpa sadar mengepal, ia sudah tidak kuat menahan rasa di dadanya. Chuck yang melihat itu hanya tertawa, ditaruhnya gelasnya itu di atas meja, lalu ia duduk di sebelah Dan.“Gak nyangka gue elu seposesif itu, udah gila lu?” Tanya Chuck berbisik.Suara alunan musik yang kencang membuat mereka harus sedikit berbisik untuk bisa mendengar suara dengan jelas.“Gila aja lu! Gue gak posesif sama dia kok, tapi gue kesel aja kenapa partner gue harus jalan sama orang lain. Bukan gue banget!” kata Dan seraya tertawa.Chuck ikut tertawa, “Hahahahh… lepasin aja sih, kayak sama siapa a
Emma memandang wajahnya di depan cermin, berulang kali ia membasuh wajahnya dengan air mengalir. Tatapannya tampak semu, lalu setelahnya ia tertawa samar. Ia tampak menyeringai sambil menatap wajahnya sendiri. Sekali lagi ia membasuh wajahnya dengan air mengalir, kemudian ia meraih handuk kecil tepat berada di dekat kaca.“Sepertinya aku memang lebih cocok menjadi jalang, daripada pasangan,” katanya pelan.Langkahnya pasti menuju ruang makan. Ia meraih apel dari kulkas, menggigitnya dan kembali berjalan hingga ruang televisi. Ditekannya tombol channel, menggantinya berulang kali hingga berhenti pada salah satu channel yang menampilkan siaran berita tentang pembunuhan.“Gak ngerti lagi deh sama pelaku pembunuhan,” celetuknya sambil menggigit apel lagi.“Kamu harus hati-hati!”Emma menoleh, “Dan, kenapa ke sini pagi-pagi?” Tanyanya.Dan meraih apel yang berada di mulut Emma, menggigitnya sebentar
Emma menarik napas dengan sedikit berat. Sengaja ia tinggalkan Dan begitu saja di apartemen nya. Hanya satu pertanyaan saja, pria itu tak mampu menjawab pertanyaannya. Hah, memang sulit kalau harus berurusan dengan pria playboy sepertinya.“Em, kenapa tuh muka? Kelihatannya asem banget?” Tanya Bee yang langsung duduk di sebelahnya dengan kursi yang ia bawa sampai ke bilik Emma.“Gak tahu, pusing gue!”“Kenapa? Utang elu belum dibayar? Mau gue pinjemin dulu apa gimana?” Tanya Bee sambil menahan tawa.“Eh, gue lagi gak bercanda nih ya. Gue serius, lagian sejak kapan sih gue ngutang sama elu di awal bulan, ada juga di akhir bulan,” jawab Emma.“Ya elah ini anak, ditanya serius malah balik ngelawak,”Emma tersenyum samar, “Siapa yang lagi ngelawak sih, Bee-ku? Gue itu lagi serius,” jawab Emma.Bee menganguk. Ia hendak kembali ke biliknya, tapi ia kembali lagi. “
Dan melirik sebentar ke arah Emma, lalu ia tampak sibuk dengan berkasnya kembali. Sedangkan Emma, gadis itu memilih diam dengan mata yang menyapu seluruh ruangan. Dan berdehem beberapa kali sambil melihat respon gadis di hadapannya itu yang hanya diam saja.“Em…” panggilnya.“Ah iya, Pak?”“Serius ya Em, aku gak tahu lagi deh gimana hadapan kamu. Kayaknya kamu serius banget mau ngerjain aku ya?” Tanya Dan.Emma tersenyum, “Oh masalah pribadi ya? Untuk masalah itu, saya gak mau jawab sebelum Bapak jawab pertanyaan saya,”“Pertanyaan yang mana sih, Sayang?” Tanya Dan pelan.Emma menggeleng, “Kalau begitu, saya tunggu Bapak mengingat sekaligus menjawab pertanyaan yang saya ajukan,” jawab Emma.“Tapi Em, aku butuh sesuatu yang pasti. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya,”“Kalau begitu car
Chuck menatap Dan sambil tertawa. Beberapa menit yang lalu, Dan sukses dipermalukan oleh Chuck tepat berada di hadapan Emma. Wah, Chuck bahkan tidak menyangka kalau Dan yang terkenal sempurna itu bisa mati kutu juga. Makanya, sejak lima menit yang lalu ia mencoba menahan tawa.“Gila ya lu?” sindir Dan tajam.Tawa Chuck kembali menggema, “Gue gak tahan, Bro! Sumpah ya, gue baru lihat Dan Joobs begitu sikapnya! Tolong, gue gak bisa nahan diri buat gak ketawa!”“Terus aja ketawain gue! Kayaknya senang banget ya kalau lihat gue malu!”Chuck menarik napasnya, “Oke, sekarang gue serius ini. Kalau yang gue lihat, kayaknya elu serius sama dia, tapi kenapa rumit gitu?” Tanya Chuck dengan ekspresi serius.Dan menggeleng, “Gue juga gak tahu, rasanya sudah banget jelasin apa yang ada di hati gue. Yah, emang sih gue aja belum yakin sama perasaan gue sendiri dan elu tahu sendiri kan kalau gue gak bisa di desa