Emma tersenyum pada pria yang ada di hadapannya. Pria itu juga melakukan hal yang sama dengannya. Yah, tak ada salahnya kan kalau berbaik hati menyapa orang yang sebenarnya tidak kita kenal? Eh tunggu, jangan bilang kalau dia adalah pria yang diceritakan Bee? Yah mungkin saja.
“Bee sudah menceritakan padamu ya?” Tanya pria itu.
Emma tersenyum, “Yah, dia hanya mengatakan ada yang menitip salam, tapi aku tidak tahu siapa orangnya,” jawab Emma.
“Dulu kita satu sekolah, Em, apa kamu tidak mengingatku?”
Emma menggeleng, “Oh maaf, aku tidak mengingatmu,”
Pria itu menghentikan langkahnya, dan dengan berani menarik tangan Emma begitu saja. Menggenggamnya seraya berkata, “Aku Nate, kakak tingkatmu di kampus. Apa kamu sudah mengingatku?” Tanyanya yang langsung dijawab Emma dengan gelengan. “Dulu aku pernah mengatakan kalau kamu itu cewe biasa yang sampai kapan pun tidak akan punya pasangan,” tambahnya.
Sontak Emma langsung melepaskan genggaman tangannya. “Oh, aku mengingatnya sekarang. Kakak kelas yang berengsek! Itu dirimu, dan sampai kapan pun aku tidak akan berteman denganmu,” kata Emma berjalan pergi.
Nate menarik lengannya, “Hei tunggu dulu, tidak baik berjalan sendirian di jam segini. Aku akan mengantarmu ya,” katanya.
Emma membanting tangannya, “Gak perlu! Bukannya kamu yang sudah menghinaku dulu, lalu mengapa kamu titip salam untukku?” Tanya Emma siap murka.
Nate tertawa, “Gak ada yang tahu kalau cewe sepertimu akan menjadi bidadari ketika dewasa. Wajahmu yang membuat cowo mana pun bernapsu, lalu bentuk tubuhmu yang menakjubkan, siapa yang tidak mau membawamu ke tempat tidur?” Tanyanya seraya membelai rambut Emma.
Emma menamparnya, “Jangan kurang ajar! Aku bisa berteriak disini!”
“Berteriaklah, dan akan kupastikan kalau tidak ada satu pun yang mendengarmu. Lihatlah, sekarang sudah tengah malam, tidak ada orang yang akan membantumu,” bisiknya.
Emma berlari, masuk melewati jalan besar yang tampak sepi. Kalau menurut perkiraan, dia akan sampai sekitar sepuluh menit lagi di apartemen. Sekarang sudah jam dua belas lebih, maka ia akan sampai sebentar lagi.
Terdengar suara langkah kaki yang berjalan mengikutinya. Itu pasti Nate, dia sengaja mengertak Emma hanya untuk kepuasannya. Emma menoleh, dan tepat saat itu matanya bertatapan dengan Nate yang berjalan dengan santai ke arahnya. Yah, ia harus bisa menahan rasa takutnya hingga apartemen. Nah, sebuah apartemen miliknya sudah ada di depan mata. Ia hanya tinggal naik ke lantai dua, menekan pasword, dan masuk ke dalam. Yah, Emma pasti bisa melakukannya.
Selama menaiki satu tangga, rasanya sungguh lama. Belum lagi, langkah kaki Nate yang terdengar begitu panjang. Emma tampak ketakutan, hampir dua kali ia salah menekan pasword. Satu kali lagi salah, maka ia tak bisa masuk. Hah, baiklah, ia harus fokus tanpa harus melihat ke belakang. Tap Tap Tap, dan bip. Ah, syukurlah pintu bisa terbuka. Tapi, ketika Emma hendak menutup pintu, dengan cepat Nate menyelinap masuk tanpa permisi.
“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Emma berteriak.
Nate tak peduli dengan teriakan Emma, dia memilih berkeliling ruangan apartemen. “Apartemenmu boleh juga, lumayan untuk tempat tinggal kita berdua,” katanya.
“Jangan harap!” jawab Emma kesal.
Nate mendekat padanya, “Aku suka gadis keras kepala, karena biasanya cukup nikmat. Memberontak, itu yang kucari,” bisiknya.
Emma mendorongnya menjauh, “Terserah apa katamu, tapi aku tidak peduli. Lebih baik, kamu pergi dari sini sebelum aku menelepon polisi,” kata Emma tenang.
Nate tertawa keras, “Lakukan! Mereka tidak akan percaya ucapanmu,” katanya pongah.
Emma menganguk, “Yah, katakan itu nanti setelah polisi datang dan berdiri di hadapanmu, semoga saja kulitmu tidak gemetar,” ujar Emma. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga setelah menekan nomor telepon.
“Hallo Pak, ada orang gila yang masuk ke apartemen saya. Dia sepertinya ingin melecehkan saya, dia sudah mengikuti saya sejak pulang kantor. Sekarang dia bersama saya. Baik, Pak, saya tunggu kedatangannya,” kata Emma tersenyum.
“Kamu benar menghubungi polisi?” Tanyanya dengan wajah pias.
Aku menganguk, “Iya. Kamu pernah mengenalku kan, harusnya kamu tahu kalau aku tidak pernah main-main dengan ucapanku,” kata Emma tersenyum.
“Jangan lakukan itu padaku, atau kamu tahu akibatnya. Sebelum polisi datang, aku akan menidurimu,” katanya tersenyum licik.
Emma tampak ketakutan, tapi setelahnya ia melangkah mendekat ke arah Nate. Bibirnya tersenyum ketika melihat lutut Nate yang tampak gemetaran sewaktu Emma menggenggam gunting di tangannya. “Lakukan apa yang kamu inginkan,” ujarnya pelan.
Wajah ketakutan Nate secepat itu berubah, dia langsung mendorong Emma ke sofa, kini Emma terkungkung di bawah Nate. Pria itu tersenyum licik, “Kamu baru saja mengatakannya, maka jangan menyesal,” bisiknya.
Emma memejamkan mata, menahan rasa takut dan pasrah secara bersamaan. Namun, ketika Nate hendak mendekat ke arahnya, ia mendengar suara hantaman yang cukup keras.
“Kurang ajar!” teriak seseorang.
Emma melihat dengan mata kepalanya sendiri terjadi perkelahian antara dua orang. Nate berkelahi dengan siapa? Wajahnya tidak begitu terlihat, karena dari jauh. Untungnya, pria itu mampu melumpuhkan Nate dengan cepat. Emma tampak bersyukur, tapi sepertinya sama saja, karena ia pun tak mengenal pria itu.
“Emma,” panggilan itu membuatnya membuka mata.
Emma berlari ke pelukan pria itu ketika ia tahu siapa orang itu. “Dan, syukurnya itu kamu. Aku gak tahu lagi harus ngapain kalau enggak ada kamu. Aku takut, Dan, dia hampir melecehkan aku,” tangisnya pecah malam itu.
Tak lama setelah itu, suara sirene polisi terdengar. Beberaoa orang berseragam polisi datang dan langsung menyeret Nate keluar dari apartemen. Emma menghela napas panjang, ia langsung jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, hanya karena kejadian tadi. Dan menyodorkan segelas air putih kepada Emma.
Emma menggeleng, tapi Dan tetap memintanya untuk minum. Dan meminum air putih itu, lalu langsung memasukan air ke mulut Emma melalui mulutnya juga. Beberapa tetes air berjatuhan ke lantai, hal itu justru membuat keduanya tertawa.
“Makasih, Dan,” bisik Emma di pelukan Dan.
Dan menganguk, “Iya, maaf juga karena aku lancang masuk ke apartemen kamu,”
Emma mengurai pelukannya, “Oh benar juga, gimana caranya kamu bisa masuk?”
“Aku cari alamat kamu di biodata karyawan, terus paswordnya sengaja aku coba tanggal lahir kamu, tapi gak bisa. Akhirnya aku pakai angka yang gampang, dan akhirnya jadi,” jelasnya tertawa.
Emma mendesis, “Licik ya Bapak!” katanya.
“Tapi ada untungnya juga aku berbuat nekat, kalau terlambat semenit saja… aku yang kecewa,”
Emma meliriknya, “Kenapa? Gak dapat my first virgin?” Tanya Emma.
Dan menggeleng, “Enggak dong, gak gitu!”
“Terus?”
“Tapi aku gak nolak kalau kamu mau kasih sih,”
Emma diam saja, lalu hening seketika. Dan melirik Emma sekilas, lalu ia mendekatkan wajahnya pada Emma. “Tadi, kamu diapain aja? Mana aja yang dipegang sama dia?” Tanyanya posesif.
“Hah? Tadi sih dia pegang tanganku, uhm… lebih tepatnya sih mencengkeram tanganku. Terus dia juga tadi dorong aku ke sofa, terus ngungkung tubuh aku gitu,” adunya pada Dan.
Matanya tampak menggelap, lalu ia langsung mencengkeram lengan Emma. Mendorongnya ke sofa, hingga membuatnya jatuh di sofa dengan posisi Emma dibawah, Dan diatas.
“Kamu mau ngapain?” Tanya Emma.
“Mau menghapus jejak Si Brengsek!” jawabnya.
Emma tertawa, “Kalau dia Brengsek, kamu apa dong?” Tanya Emma.
“Aku Si Brengsek yang tampan,” jawabnya.
Emma tertawa, “CEO visit my room in the night, kira-kira apa yang dia lakuin ya?” Tanyanya.
“I want to kiss you,” jawabnya.
Emma memejamkan mata, lalu Dan langsung menggigit bibirnya cukup keras. Ia melumatnya dengan sedikit kasar. Mencoba menghapus jejak yang diciptakan Nate di sekitar tubuh Emma. Punggung, telapak, serta pergelangan tangan, lalu bahu, leher, sampai ke dada.
“Kayaknya gak sampai situ deh,” kata Emma menahan geli.
Dan menggeleng, “Entahlah, aku mulai ketagihan dengan tubuhmu. Boleh aku menjadi yang pertama?” Tanya Dan menatapnya penuh gairah.
“Gak sekarang! Aku masih trauma tahu, besok aja kapan-kapan ya My CEO,”
Dan kembali menunduk dan mengecup bibirnya. “Oke, aku tahu situasimu,” katanya kembali mengecupinya.
Emma bangun dari tidurnya, melirik sisi tempat tidurnya. Dan tampak masih terpejam, tubuh telanjangnya membuat dirinya semakin tampan. Belum lagi ototnya yang nampak kekar di balik baju yang dipakainya setiap hari.“Hai, Good morning,” sapa Emma.Dan tersenyum, ia membuka matanya dan langsung duduk bersandar di kepala tempat tidur. Emma yang melihatnya hanya diam saja, ia sibuk mengecek pesan di ponselnya. Kegiatan rutinnya di pagi hari setelah bangun tidur—kalau gak telat bangun.“Kamu chat sama siapa sih?” Tanyanya pada Emma.“Sama Bee, dia lagi gosipin kamu,” jawab Emma cekikikan.“Gosipin aku? Bilang apa aja dia?” Tanya Dan.Emma melirik Dan, “Oh, dia bilang CEO baru kita itu tampan dan masih single. Satu lagi, dia juga cerita kalau kamu itu playboy,” cerita Emma.“Aku gak playboy,” jawabnya.Emma hanya melirik Dan sekilas, “Oke, jadi jawab yang jujur, udah berapa gadis yang kamu ajak ke tempat tidur?” Tanya Emma serius.“Jaw
Emma menuliskan banyak sekali catatan selama rapat. Sejak CEO terdahulu, ia selalu jadi notulen. Entahlah, tapi katanya ia cukup handal dalam bidang tulis menulis. Tulisannya yang cepat dan juga rapi membuat semua orang setuju kalau dia jadi notulen.Sejak meeting dimulai, Emma terus membuka obrolan dengan Mark mengenai proyek ini. Dan yang melihatnya dari ujung meja merasa kesal luar biasa. Maka ia menggebrak meja tanpa sengaja, membuat semua orang di ruang meeting terkejut. Emma yang tidak tahu apapun hanya diam saja dan tetap fokus pada tulisan yang ua coret-coret di kertas.“Emma!”Suara itu membuat Emma terlonjak. Ia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Dan. Melihat ekspresi Dan yang tampak murka, ia sedikit tersenyum. Mark yang melihat itu menyenggol bahunya, tapi karena Emma pada dasarnya tidak peduli ia sama sekali tidak mau menengok, akhirnya Mark sedikit berbisik padanya. “Mr. Dan sepertinya marah padamu,” bisiknya.Dan langsung keluar dari rua
Dan memandang Emma dengan tatapan cemburu. Gadis itu kini sedang berbincang dengan Mark, tampak sangat bahagia dengan senyuman yang mengembang. Chuck menghampirinya dengan wine di tangannya.“Kenapa elu? Kayaknya tegang banget?” Tanya Chuck kembaki menyesap wine nya.Dan menggeleng, tapi tatapannya tetap terkunci pada gadis yang sedang berulang dengan beberapa temannya. Tangannta tanpa sadar mengepal, ia sudah tidak kuat menahan rasa di dadanya. Chuck yang melihat itu hanya tertawa, ditaruhnya gelasnya itu di atas meja, lalu ia duduk di sebelah Dan.“Gak nyangka gue elu seposesif itu, udah gila lu?” Tanya Chuck berbisik.Suara alunan musik yang kencang membuat mereka harus sedikit berbisik untuk bisa mendengar suara dengan jelas.“Gila aja lu! Gue gak posesif sama dia kok, tapi gue kesel aja kenapa partner gue harus jalan sama orang lain. Bukan gue banget!” kata Dan seraya tertawa.Chuck ikut tertawa, “Hahahahh… lepasin aja sih, kayak sama siapa a
Emma memandang wajahnya di depan cermin, berulang kali ia membasuh wajahnya dengan air mengalir. Tatapannya tampak semu, lalu setelahnya ia tertawa samar. Ia tampak menyeringai sambil menatap wajahnya sendiri. Sekali lagi ia membasuh wajahnya dengan air mengalir, kemudian ia meraih handuk kecil tepat berada di dekat kaca.“Sepertinya aku memang lebih cocok menjadi jalang, daripada pasangan,” katanya pelan.Langkahnya pasti menuju ruang makan. Ia meraih apel dari kulkas, menggigitnya dan kembali berjalan hingga ruang televisi. Ditekannya tombol channel, menggantinya berulang kali hingga berhenti pada salah satu channel yang menampilkan siaran berita tentang pembunuhan.“Gak ngerti lagi deh sama pelaku pembunuhan,” celetuknya sambil menggigit apel lagi.“Kamu harus hati-hati!”Emma menoleh, “Dan, kenapa ke sini pagi-pagi?” Tanyanya.Dan meraih apel yang berada di mulut Emma, menggigitnya sebentar
Emma menarik napas dengan sedikit berat. Sengaja ia tinggalkan Dan begitu saja di apartemen nya. Hanya satu pertanyaan saja, pria itu tak mampu menjawab pertanyaannya. Hah, memang sulit kalau harus berurusan dengan pria playboy sepertinya.“Em, kenapa tuh muka? Kelihatannya asem banget?” Tanya Bee yang langsung duduk di sebelahnya dengan kursi yang ia bawa sampai ke bilik Emma.“Gak tahu, pusing gue!”“Kenapa? Utang elu belum dibayar? Mau gue pinjemin dulu apa gimana?” Tanya Bee sambil menahan tawa.“Eh, gue lagi gak bercanda nih ya. Gue serius, lagian sejak kapan sih gue ngutang sama elu di awal bulan, ada juga di akhir bulan,” jawab Emma.“Ya elah ini anak, ditanya serius malah balik ngelawak,”Emma tersenyum samar, “Siapa yang lagi ngelawak sih, Bee-ku? Gue itu lagi serius,” jawab Emma.Bee menganguk. Ia hendak kembali ke biliknya, tapi ia kembali lagi. “
Dan melirik sebentar ke arah Emma, lalu ia tampak sibuk dengan berkasnya kembali. Sedangkan Emma, gadis itu memilih diam dengan mata yang menyapu seluruh ruangan. Dan berdehem beberapa kali sambil melihat respon gadis di hadapannya itu yang hanya diam saja.“Em…” panggilnya.“Ah iya, Pak?”“Serius ya Em, aku gak tahu lagi deh gimana hadapan kamu. Kayaknya kamu serius banget mau ngerjain aku ya?” Tanya Dan.Emma tersenyum, “Oh masalah pribadi ya? Untuk masalah itu, saya gak mau jawab sebelum Bapak jawab pertanyaan saya,”“Pertanyaan yang mana sih, Sayang?” Tanya Dan pelan.Emma menggeleng, “Kalau begitu, saya tunggu Bapak mengingat sekaligus menjawab pertanyaan yang saya ajukan,” jawab Emma.“Tapi Em, aku butuh sesuatu yang pasti. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya,”“Kalau begitu car
Chuck menatap Dan sambil tertawa. Beberapa menit yang lalu, Dan sukses dipermalukan oleh Chuck tepat berada di hadapan Emma. Wah, Chuck bahkan tidak menyangka kalau Dan yang terkenal sempurna itu bisa mati kutu juga. Makanya, sejak lima menit yang lalu ia mencoba menahan tawa.“Gila ya lu?” sindir Dan tajam.Tawa Chuck kembali menggema, “Gue gak tahan, Bro! Sumpah ya, gue baru lihat Dan Joobs begitu sikapnya! Tolong, gue gak bisa nahan diri buat gak ketawa!”“Terus aja ketawain gue! Kayaknya senang banget ya kalau lihat gue malu!”Chuck menarik napasnya, “Oke, sekarang gue serius ini. Kalau yang gue lihat, kayaknya elu serius sama dia, tapi kenapa rumit gitu?” Tanya Chuck dengan ekspresi serius.Dan menggeleng, “Gue juga gak tahu, rasanya sudah banget jelasin apa yang ada di hati gue. Yah, emang sih gue aja belum yakin sama perasaan gue sendiri dan elu tahu sendiri kan kalau gue gak bisa di desa
Emma membuka matanya perlahan. Sekelebat kejadian tadi malam membuatnya tersadar, diliriknya pria yang tertidur di sampingnya. Pria bertubuh kekar tanpa busana itu membuat napasnya terhenti sesaat, lalu ia mencoba bernapas kembali setelahnya. Emma menata bantal di kepala tempat tidur, lalu ia menyenderkan tubuhnya di sana dengan gerakan yang pelan.“Kamu udah bangun?” Tanya Dan dengan suara seraknya.“Hhhhmmm,” jawab Emma singkat.Dan menyingkap selimutnya, lalu ikut bersandar di samping Emma. Mereka sama-sama terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing. Napas Emma yang teratur membuat Dan menoleh. Emma tetap diam saja sambil tetap memutar matanya teratur.“Em,” panggil Dan sambil mengelus rambut Emma sayang.“Hhhhmmmm,”“Kamu gak akan pergi kan?”Emma menoleh, “Ini rumahku, kenapa aku harus pergi?” Tanya Emma menatapnya bingung.Dan berdehem, “