Emma menuliskan banyak sekali catatan selama rapat. Sejak CEO terdahulu, ia selalu jadi notulen. Entahlah, tapi katanya ia cukup handal dalam bidang tulis menulis. Tulisannya yang cepat dan juga rapi membuat semua orang setuju kalau dia jadi notulen.
Sejak meeting dimulai, Emma terus membuka obrolan dengan Mark mengenai proyek ini. Dan yang melihatnya dari ujung meja merasa kesal luar biasa. Maka ia menggebrak meja tanpa sengaja, membuat semua orang di ruang meeting terkejut. Emma yang tidak tahu apapun hanya diam saja dan tetap fokus pada tulisan yang ua coret-coret di kertas.
“Emma!”
Suara itu membuat Emma terlonjak. Ia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Dan. Melihat ekspresi Dan yang tampak murka, ia sedikit tersenyum. Mark yang melihat itu menyenggol bahunya, tapi karena Emma pada dasarnya tidak peduli ia sama sekali tidak mau menengok, akhirnya Mark sedikit berbisik padanya. “Mr. Dan sepertinya marah padamu,” bisiknya.
Dan langsung keluar dari ruang rapat, membuat semua orang terkejut. Kini semua orang tampak bertanya-tanya alasan kemarahan Big Boss, dan tatapan mereka terjatuh pada Emma yang tampak anteng aja. Mark yang melihat itu langsung mengambil alih.
“Kalian tahu lah bagaimana Emma, mungkin Mr. Dan kesal karena Emma kurang fokus. Buka begitu Em?” Tanya Mark padanya.
Emma menoleh, “Mungkin. Biasa lah, Big Boss itu punya tanggung jawab yang tinggi, jadi kadang suka gebrak-gebrak meja gitu. Maklumi aja ya, aku akan kembali ruangannya. Kalian kembali lah bekerja,”
Emma lantas merapikan buku-bukunya dan bergegas masuk ke ruangan Dan. Setelah mengetuk, ia masuk sambil tersenyum. Dan tambah kesal, apalagi saat gadis itu menyerahkan notulis rapat hari ini, sekaligus proyek yang sedang ia dan Mark rencanakan.
“Apa kamu gila?” Tanya Dan kesal.
Masih dengan senyuman ia menggeleng. Dan sampai harus memijit kepalanya, karena sudah tidak sabar dengan sikap Emma yang membuat hatinya mendidih. Ia lantas berdiri dan langsung mendorong Emma ke dinding setelah menutup tirai ruangannya.
“Kamu membuatku gila!” teriaknya kencang.
Emma mengelus dada Dan pelan. “Kenapa sih Pagi-pagi udah sensi aja? Perasaan baru tadi pagi pisah, masa ngambekan sih?” Tanyanya santai.
Dan menggeleng, “Aku pusing ngomong sama kamu. Barusan aku lihat sendiri kanu jalan sama anak divisi mana tuh, eh pake segala ngurud proyek bareng. Sengaja banget ya mau buat aku cemburu?” Tanyanya.
Emma menggeleng, “Enggak! Lagian apa juga yang harus dicemburuin sih? Kita bukan pasangan yang harus berkomitmen demi sebuah hubungan. Kamu bebas dan aku pun bebas, terserah mau dekat sama siapa aja,” jawab Emma.
Dan menggeleng, dia cukup takjub dengan jawaban Emma yang baginya cukup berpengalaman. “Apa kamu sudah terbiasa mempermainkan pasanganmu?” sindirnya.
Emma tertawa, “Aku mempermainkan pasanganku? Kamu itu yang pertama, jadi bagaimana mungkin aku mempermainkan orang yang kukenal. Ups… bukannya kamu yang gak suka komitmen? Rumornya sih begitu, jadi aku hanya mengikuti alurnya saja,” jawab Emma.
“Apa maksud kamu?”
“Kita hanya partner sex. Yah memang aku belum membuka segelku, tapi sebentar lagi akan terjadi. Aku sama seperti kamu, hanya ingin bermain. Semoga saja kamu pengalaman yang mengesankan, setelahnya aku bisa mencari pria yang melebihi dirimu. Jadi, kamu itu hanya orang pertama yang beruntung mendapatkan keperawananku,”
Dan menggeleng, “Apa? Kamu sengaja ngelakuin itu sama aku? Apa aku pernah bilang kalau kita hanya partner sex?” Tanya Dan.
“Kamu emang gak pernah bilang, tapi aku belajar dari wanita yangn pernah ada di hidup kamu. Mereka hanya kamu jadikan teman di tempat tidur, setelah bosan dan menemukan yang baru… kamu akan pergi. Oh aku baru ingat, kamu bahkan bisa membeli wanita mana pun yang kamu mau. I’m right, My Big Boss?” Tanya Emma seraya menarik dasi Dan mendekat.
“Emma!”
Emma melirik Dan tajam, lalu tersenyum. “Mr. Dan Joobs, saya bukan wanita yang sering anda jumpai. Saya wanita yang memiliki prinsip untuk tidak mau disakiti, maka saya tidak akan jatuh cinta pada orang yang tidak mungkin memberikannya. Saya suka bermain dengan orang yang suka mempermainkan orang lain juga. See! Aku luar biasa kan?”
Dan menatap Emma, “Aku gak begitu, Em!” gertaknya.
Emma tertawa, “Aku mendengarnya sendiri tadi. Satu lagi, kita mungkin sama, tapi aku setidaknya bermain secara teratur. Kalau aku ingin dengannya, maka aku akan bersamanya, tapi bukan berarti aku bisa mengganti pria layaknya baju yang kupakai,” jawab Emma hendak keluar dari ruangan Dan.
Keluarnya Emma dari sana membuat kemarahan Dan membesar. Ternyata Emma bukan wanita seperti biasa, dia bisa membuatnya cemburu sekaligus kesal secara bersamaan. Prinsipnya jelas dan tak bisa dibantah. Dia cerdas, pastinya. Dia bukan gadis yang dengan mudah ditawarkan cinta. Pribadinya lebih cocok menjadi pemimpin wanita masa kini yang tidak takut jatuh sama sekali.
“Aku salah menilainya,” kata Dan pelan.
Jam makan siang, lagi-lagi Dan harus meredam emosinya ketika melihat Emma berjalan dengan teman satu divisinya. Sial, dia kelihatan amat cantik dengan langkahnya yang sangat anggun, namun cekatan. Dan menahan dirinya untuk tidak menarik Emma menjauh lalu melumat habis bibirnya.
“Hello Mr. Dan, anda ingin pergi makan siang juga?”
“Ah iya, saya akan pergi makan siang,” jawab Dan.
“Kalau begitu gabung saja dengan kami. Kebetulan kami akan pergi makan siang di Restoran depan, ada Miss Emma juga kok,” katanya.
“Oke, kebetulan saya ingin makan disana juga,” jawab Dan.
“Hei guys… Mr. Dan mau ikut kita makan nih,”
“Maaf menggangu waktu kalian. Take your time, saya gak akan bahas masalah kantor kok,” kata Dan membuat mereka tampak lega.
“Baik, Pak,”
Emma diam saja. Ia sibuk dengan makanannya, sesekali ia tertawa bersama yang lainnya. Sialnya lagi, Mark duduk di sampingnya sambil memotong steak, dan menyebalkannya lagi steak yang sudah dipotong itu diserahkan kepada Emma. Dan mencoba menenangkan diri agar terlihat baik-baik saja.
“Pepet terus ya, Mark!”
“Ah enggak kok, kita kan teman,” jawab pria itu.
“Terimakaish, Mark,” kata Emma.
Dan memperhatikab Emma yang terlihat tersipu ketika digoda yang lainnya. Mengapa dia harus berekspresi seperti itu sih, batin Dan dongkol.
“Eh, nanti Mr. Chuck mengundang kita untuk menghadiri pesta penyambutan Mr. Dan. Kalian semua ikut kan?”
Rata-rata mereka menganguk, ternasuk Emma. Lalu, mereka tampak sibuk lagi dengan makanan mereka.
“Eh, katanya harus bawa pasangan ya?” Tanya salah satu dari mereka.
“Khusus perempuan, tapi buat laki-laki katanya disiapin sih. Tahu lah, maksudnya apa? Mr. Chuck memang out off the box,”
“Oh ya? Mark datang dengan siapa?”
Kini semua mata tertuju pada Mark yang sedang menggigit steak. Emma di sampingnya tampak anteng saja, seolah tak mendengar pertanyaan yang lainnya.
“Sama Emma, ya kan Em?” jawab Mark membuatku ingin sekali meninjunya.
“Gila! Progress kalian cepet banget sih, kapan sih hariannya?”
“Enggak pacaran kok,” jawab Emma.
“Pacaran juga gak apa-apa kok,” jawab yang lainnya kompak.
“Gimana kalau kita bahas yang lain aja?” Tanya Emma.
Dan memandang Emma dengan tatapan cemburu. Gadis itu kini sedang berbincang dengan Mark, tampak sangat bahagia dengan senyuman yang mengembang. Chuck menghampirinya dengan wine di tangannya.“Kenapa elu? Kayaknya tegang banget?” Tanya Chuck kembaki menyesap wine nya.Dan menggeleng, tapi tatapannya tetap terkunci pada gadis yang sedang berulang dengan beberapa temannya. Tangannta tanpa sadar mengepal, ia sudah tidak kuat menahan rasa di dadanya. Chuck yang melihat itu hanya tertawa, ditaruhnya gelasnya itu di atas meja, lalu ia duduk di sebelah Dan.“Gak nyangka gue elu seposesif itu, udah gila lu?” Tanya Chuck berbisik.Suara alunan musik yang kencang membuat mereka harus sedikit berbisik untuk bisa mendengar suara dengan jelas.“Gila aja lu! Gue gak posesif sama dia kok, tapi gue kesel aja kenapa partner gue harus jalan sama orang lain. Bukan gue banget!” kata Dan seraya tertawa.Chuck ikut tertawa, “Hahahahh… lepasin aja sih, kayak sama siapa a
Emma memandang wajahnya di depan cermin, berulang kali ia membasuh wajahnya dengan air mengalir. Tatapannya tampak semu, lalu setelahnya ia tertawa samar. Ia tampak menyeringai sambil menatap wajahnya sendiri. Sekali lagi ia membasuh wajahnya dengan air mengalir, kemudian ia meraih handuk kecil tepat berada di dekat kaca.“Sepertinya aku memang lebih cocok menjadi jalang, daripada pasangan,” katanya pelan.Langkahnya pasti menuju ruang makan. Ia meraih apel dari kulkas, menggigitnya dan kembali berjalan hingga ruang televisi. Ditekannya tombol channel, menggantinya berulang kali hingga berhenti pada salah satu channel yang menampilkan siaran berita tentang pembunuhan.“Gak ngerti lagi deh sama pelaku pembunuhan,” celetuknya sambil menggigit apel lagi.“Kamu harus hati-hati!”Emma menoleh, “Dan, kenapa ke sini pagi-pagi?” Tanyanya.Dan meraih apel yang berada di mulut Emma, menggigitnya sebentar
Emma menarik napas dengan sedikit berat. Sengaja ia tinggalkan Dan begitu saja di apartemen nya. Hanya satu pertanyaan saja, pria itu tak mampu menjawab pertanyaannya. Hah, memang sulit kalau harus berurusan dengan pria playboy sepertinya.“Em, kenapa tuh muka? Kelihatannya asem banget?” Tanya Bee yang langsung duduk di sebelahnya dengan kursi yang ia bawa sampai ke bilik Emma.“Gak tahu, pusing gue!”“Kenapa? Utang elu belum dibayar? Mau gue pinjemin dulu apa gimana?” Tanya Bee sambil menahan tawa.“Eh, gue lagi gak bercanda nih ya. Gue serius, lagian sejak kapan sih gue ngutang sama elu di awal bulan, ada juga di akhir bulan,” jawab Emma.“Ya elah ini anak, ditanya serius malah balik ngelawak,”Emma tersenyum samar, “Siapa yang lagi ngelawak sih, Bee-ku? Gue itu lagi serius,” jawab Emma.Bee menganguk. Ia hendak kembali ke biliknya, tapi ia kembali lagi. “
Dan melirik sebentar ke arah Emma, lalu ia tampak sibuk dengan berkasnya kembali. Sedangkan Emma, gadis itu memilih diam dengan mata yang menyapu seluruh ruangan. Dan berdehem beberapa kali sambil melihat respon gadis di hadapannya itu yang hanya diam saja.“Em…” panggilnya.“Ah iya, Pak?”“Serius ya Em, aku gak tahu lagi deh gimana hadapan kamu. Kayaknya kamu serius banget mau ngerjain aku ya?” Tanya Dan.Emma tersenyum, “Oh masalah pribadi ya? Untuk masalah itu, saya gak mau jawab sebelum Bapak jawab pertanyaan saya,”“Pertanyaan yang mana sih, Sayang?” Tanya Dan pelan.Emma menggeleng, “Kalau begitu, saya tunggu Bapak mengingat sekaligus menjawab pertanyaan yang saya ajukan,” jawab Emma.“Tapi Em, aku butuh sesuatu yang pasti. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya,”“Kalau begitu car
Chuck menatap Dan sambil tertawa. Beberapa menit yang lalu, Dan sukses dipermalukan oleh Chuck tepat berada di hadapan Emma. Wah, Chuck bahkan tidak menyangka kalau Dan yang terkenal sempurna itu bisa mati kutu juga. Makanya, sejak lima menit yang lalu ia mencoba menahan tawa.“Gila ya lu?” sindir Dan tajam.Tawa Chuck kembali menggema, “Gue gak tahan, Bro! Sumpah ya, gue baru lihat Dan Joobs begitu sikapnya! Tolong, gue gak bisa nahan diri buat gak ketawa!”“Terus aja ketawain gue! Kayaknya senang banget ya kalau lihat gue malu!”Chuck menarik napasnya, “Oke, sekarang gue serius ini. Kalau yang gue lihat, kayaknya elu serius sama dia, tapi kenapa rumit gitu?” Tanya Chuck dengan ekspresi serius.Dan menggeleng, “Gue juga gak tahu, rasanya sudah banget jelasin apa yang ada di hati gue. Yah, emang sih gue aja belum yakin sama perasaan gue sendiri dan elu tahu sendiri kan kalau gue gak bisa di desa
Emma membuka matanya perlahan. Sekelebat kejadian tadi malam membuatnya tersadar, diliriknya pria yang tertidur di sampingnya. Pria bertubuh kekar tanpa busana itu membuat napasnya terhenti sesaat, lalu ia mencoba bernapas kembali setelahnya. Emma menata bantal di kepala tempat tidur, lalu ia menyenderkan tubuhnya di sana dengan gerakan yang pelan.“Kamu udah bangun?” Tanya Dan dengan suara seraknya.“Hhhhmmm,” jawab Emma singkat.Dan menyingkap selimutnya, lalu ikut bersandar di samping Emma. Mereka sama-sama terdiam dan terhanyut dalam pikiran masing-masing. Napas Emma yang teratur membuat Dan menoleh. Emma tetap diam saja sambil tetap memutar matanya teratur.“Em,” panggil Dan sambil mengelus rambut Emma sayang.“Hhhhmmmm,”“Kamu gak akan pergi kan?”Emma menoleh, “Ini rumahku, kenapa aku harus pergi?” Tanya Emma menatapnya bingung.Dan berdehem, “
Emma melirik Bee sekilas, lalu ia kembali menatap komputer di hadapannya dengan tatapan yang serius. Bee yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya tak mengerti. Namun, Emma kembali meliriknya sebentar dan melakukan tingkah anehnya secara terus menerus.“Kepala elu gak teleng apa lirik gue mulu?” Tanyanya.“Enggak! Gue pengen curhat, tapi bingung mau ceritanya dari mana,”“Kalau mau cerita ya cerita aja, kayak sama siapa aja.”“Bingung mau mulainya dari mana, Bee,”Bee tampak gemas, “Lama-lama gue lempar mouse baru tahu rasa ya! Cepet cerita gak, kalau enggak kita gak sahabatan lagi loh!” ancam Bee.Hingga akhinya waktu kerja mereka terbuang selama setengah jam hanya untuk sesi curhat. Bee yang menjadi pendengar pun hanya mengangukan kepala dengan tatapan yang serius. Emma menggelengkan kepala dengan gerakan yang lain juga, ia hanya ingin mendengar komentar sahabatnya tenta
Dan menatap ke luar ruangan, bahkan ia dengan sengaja meminta sekertarisnya untuk menanggilkan Emma ke ruangannya. Tapi, malangnya, semua orang pergi makan siang, termasuk Emma juga. Sepertinya, hanya dirinya yang melupakan jam makan siang. Dan berjalan menuju pantri untuk mengambil secangkir kopi, sembari mengetikan pesan untuk sekertarisnya mengenai menu makan siang.“Ya udah, kamu makan yang banyak. Takutnya nanti kamu pingsan gara-gara gak makan siang lagi,” Suara itu, terdengar sangat jelas. Bahkan, Dan harus mengintip melalui sela-sela ruangan hanya untuk memastikan dugaannya tidak salah.“Jangan cuman ngomongin aku terus. Kamu juga harus makan dong, kan gak keren kalau kamu yang malah pingsan.”Mark menganguk, “Yah, kamu benar. Kalau aku pingsan, siapa yang akan menjaga kamu yah?” Tanyanya tersenyum.“Gak cocok banget!” cemooh Emma.Dan meremas tangannya kuat. Mereka berdua begitu memuakan bagi