Dan membuka matanya yang terasa agak sedikit berat. Bibirnya dengan cepat mengecup bahu telanjang milik Emma yang berada tepat di hadapannya. Gadis itu masih terlelap dengan wajah yang penuh dengan air mata.
“Hhhmm,” lenguh gadis itu pelan.
“Sorry,” bisik Dan.
Ketika suara dalam Dan terdengar, Emma perlahan membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang membelit tubuhnya, lalu beranjak menuju kamar mandi dengan tubuh polosnya.
“Kamu sengaja godain aku ya, Sayang?” tanya Dan setengah berteriak.
“Enggak ya! Kamu aja yang pikirannya kotor!” balas gadis itu.
“Iya sih. Lihat kamu pakai baju lengkap aja, aku udah tergoda. Apalagi lihat kamu yang polos gitu ya, Sayang.”
“Ih, apaan sih?”
Emma keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian. Mengenakan bathrobe, ia berjalan mendekat ke arah lemari kaca. Dari tempatnya, Dan masih saja mengawasi dengan s
Seorang gadis berusia dua puluhan berjalan sendirian di malam hari. Bibirnya melengkung ke atas ketika melihat layar ponselnya yang mulai berdering. Setelah menggeser tombol hijau, ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya.“Hallo, kenapa telepon malem-malem kayak gini? Elu gak lagi abis lihat hantu kan?” Tanyanya sambil cekikikan.“Sumpah ya, harusnya gue gak telepon elu kalau akhirnya elu malah ngeluarin suara kayak gitu. Bisa gak sih serius kalau diajak ngomong?”“Eh, gak mungkin kan elu kangen sama gue? Secara ya, kita itu sama-sama cewe… ogah gue kalau harus jadi sama elu,” kata gadis itu sambil menendang kerikil.“Gue juga ogah. Walaupun gue belum pernah pacaran, gue gak mau jadi gila dengan milih elu,” kata gadis di seberang telepon.Gadis di jalan itu pun terbatuk sesaat, “Udah deh ya, elu mau ngapain telepon gue? Bisa gak sih ngobrolnya nanti aja kalau gue udah pulang?” Tanyanya.“Enggak! Ini urgen banget tahu gak!”Gadis i
Emma tersenyum pada pria yang ada di hadapannya. Pria itu juga melakukan hal yang sama dengannya. Yah, tak ada salahnya kan kalau berbaik hati menyapa orang yang sebenarnya tidak kita kenal? Eh tunggu, jangan bilang kalau dia adalah pria yang diceritakan Bee? Yah mungkin saja.“Bee sudah menceritakan padamu ya?” Tanya pria itu.Emma tersenyum, “Yah, dia hanya mengatakan ada yang menitip salam, tapi aku tidak tahu siapa orangnya,” jawab Emma.“Dulu kita satu sekolah, Em, apa kamu tidak mengingatku?”Emma menggeleng, “Oh maaf, aku tidak mengingatmu,”Pria itu menghentikan langkahnya, dan dengan berani menarik tangan Emma begitu saja. Menggenggamnya seraya berkata, “Aku Nate, kakak tingkatmu di kampus. Apa kamu sudah mengingatku?” Tanyanya yang langsung dijawab Emma dengan gelengan. “Dulu aku pernah mengatakan kalau kamu itu cewe biasa yang sampai kapan pun tidak akan punya pasangan,” tambahnya.Sontak Emma langsung melepaskan genggaman tangannya. “O
Emma bangun dari tidurnya, melirik sisi tempat tidurnya. Dan tampak masih terpejam, tubuh telanjangnya membuat dirinya semakin tampan. Belum lagi ototnya yang nampak kekar di balik baju yang dipakainya setiap hari.“Hai, Good morning,” sapa Emma.Dan tersenyum, ia membuka matanya dan langsung duduk bersandar di kepala tempat tidur. Emma yang melihatnya hanya diam saja, ia sibuk mengecek pesan di ponselnya. Kegiatan rutinnya di pagi hari setelah bangun tidur—kalau gak telat bangun.“Kamu chat sama siapa sih?” Tanyanya pada Emma.“Sama Bee, dia lagi gosipin kamu,” jawab Emma cekikikan.“Gosipin aku? Bilang apa aja dia?” Tanya Dan.Emma melirik Dan, “Oh, dia bilang CEO baru kita itu tampan dan masih single. Satu lagi, dia juga cerita kalau kamu itu playboy,” cerita Emma.“Aku gak playboy,” jawabnya.Emma hanya melirik Dan sekilas, “Oke, jadi jawab yang jujur, udah berapa gadis yang kamu ajak ke tempat tidur?” Tanya Emma serius.“Jaw
Emma menuliskan banyak sekali catatan selama rapat. Sejak CEO terdahulu, ia selalu jadi notulen. Entahlah, tapi katanya ia cukup handal dalam bidang tulis menulis. Tulisannya yang cepat dan juga rapi membuat semua orang setuju kalau dia jadi notulen.Sejak meeting dimulai, Emma terus membuka obrolan dengan Mark mengenai proyek ini. Dan yang melihatnya dari ujung meja merasa kesal luar biasa. Maka ia menggebrak meja tanpa sengaja, membuat semua orang di ruang meeting terkejut. Emma yang tidak tahu apapun hanya diam saja dan tetap fokus pada tulisan yang ua coret-coret di kertas.“Emma!”Suara itu membuat Emma terlonjak. Ia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Dan. Melihat ekspresi Dan yang tampak murka, ia sedikit tersenyum. Mark yang melihat itu menyenggol bahunya, tapi karena Emma pada dasarnya tidak peduli ia sama sekali tidak mau menengok, akhirnya Mark sedikit berbisik padanya. “Mr. Dan sepertinya marah padamu,” bisiknya.Dan langsung keluar dari rua
Dan memandang Emma dengan tatapan cemburu. Gadis itu kini sedang berbincang dengan Mark, tampak sangat bahagia dengan senyuman yang mengembang. Chuck menghampirinya dengan wine di tangannya.“Kenapa elu? Kayaknya tegang banget?” Tanya Chuck kembaki menyesap wine nya.Dan menggeleng, tapi tatapannya tetap terkunci pada gadis yang sedang berulang dengan beberapa temannya. Tangannta tanpa sadar mengepal, ia sudah tidak kuat menahan rasa di dadanya. Chuck yang melihat itu hanya tertawa, ditaruhnya gelasnya itu di atas meja, lalu ia duduk di sebelah Dan.“Gak nyangka gue elu seposesif itu, udah gila lu?” Tanya Chuck berbisik.Suara alunan musik yang kencang membuat mereka harus sedikit berbisik untuk bisa mendengar suara dengan jelas.“Gila aja lu! Gue gak posesif sama dia kok, tapi gue kesel aja kenapa partner gue harus jalan sama orang lain. Bukan gue banget!” kata Dan seraya tertawa.Chuck ikut tertawa, “Hahahahh… lepasin aja sih, kayak sama siapa a
Emma memandang wajahnya di depan cermin, berulang kali ia membasuh wajahnya dengan air mengalir. Tatapannya tampak semu, lalu setelahnya ia tertawa samar. Ia tampak menyeringai sambil menatap wajahnya sendiri. Sekali lagi ia membasuh wajahnya dengan air mengalir, kemudian ia meraih handuk kecil tepat berada di dekat kaca.“Sepertinya aku memang lebih cocok menjadi jalang, daripada pasangan,” katanya pelan.Langkahnya pasti menuju ruang makan. Ia meraih apel dari kulkas, menggigitnya dan kembali berjalan hingga ruang televisi. Ditekannya tombol channel, menggantinya berulang kali hingga berhenti pada salah satu channel yang menampilkan siaran berita tentang pembunuhan.“Gak ngerti lagi deh sama pelaku pembunuhan,” celetuknya sambil menggigit apel lagi.“Kamu harus hati-hati!”Emma menoleh, “Dan, kenapa ke sini pagi-pagi?” Tanyanya.Dan meraih apel yang berada di mulut Emma, menggigitnya sebentar
Emma menarik napas dengan sedikit berat. Sengaja ia tinggalkan Dan begitu saja di apartemen nya. Hanya satu pertanyaan saja, pria itu tak mampu menjawab pertanyaannya. Hah, memang sulit kalau harus berurusan dengan pria playboy sepertinya.“Em, kenapa tuh muka? Kelihatannya asem banget?” Tanya Bee yang langsung duduk di sebelahnya dengan kursi yang ia bawa sampai ke bilik Emma.“Gak tahu, pusing gue!”“Kenapa? Utang elu belum dibayar? Mau gue pinjemin dulu apa gimana?” Tanya Bee sambil menahan tawa.“Eh, gue lagi gak bercanda nih ya. Gue serius, lagian sejak kapan sih gue ngutang sama elu di awal bulan, ada juga di akhir bulan,” jawab Emma.“Ya elah ini anak, ditanya serius malah balik ngelawak,”Emma tersenyum samar, “Siapa yang lagi ngelawak sih, Bee-ku? Gue itu lagi serius,” jawab Emma.Bee menganguk. Ia hendak kembali ke biliknya, tapi ia kembali lagi. “
Dan melirik sebentar ke arah Emma, lalu ia tampak sibuk dengan berkasnya kembali. Sedangkan Emma, gadis itu memilih diam dengan mata yang menyapu seluruh ruangan. Dan berdehem beberapa kali sambil melihat respon gadis di hadapannya itu yang hanya diam saja.“Em…” panggilnya.“Ah iya, Pak?”“Serius ya Em, aku gak tahu lagi deh gimana hadapan kamu. Kayaknya kamu serius banget mau ngerjain aku ya?” Tanya Dan.Emma tersenyum, “Oh masalah pribadi ya? Untuk masalah itu, saya gak mau jawab sebelum Bapak jawab pertanyaan saya,”“Pertanyaan yang mana sih, Sayang?” Tanya Dan pelan.Emma menggeleng, “Kalau begitu, saya tunggu Bapak mengingat sekaligus menjawab pertanyaan yang saya ajukan,” jawab Emma.“Tapi Em, aku butuh sesuatu yang pasti. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya,”“Kalau begitu car