“Farhan, aku punya seorang pasien untukmu. Buat dia hanya bisa duduk di kursi roda.” Ilham memutuskan sambungannya. Dia berjalan dan melangkahi beberapa orang yang tepar tergeletak. Tidak lama para polisi datang untuk membawa orang-orang tersebut. Sedangkan Ilham dan Adit langsung ke rumah.
Ilham merasakan sedikit pusing karena memang beberapa hari tidak tidur menjaga istrinya. Dia mulai mengaktifkan ponselnya. Terlihat banyak pesan masuk dan juga telepon tentu dari sang istri.
“Mas, aku nggak bisa bobok.”
“Mas kamu di mana?”
“Nggak aktif,”
“Mas ....”
Dan masih banyak lagi Ilham segera menelepon istrinya. Tapi tidak di angkat. Dia menjadi frustasi sendiri. Ilham melepar ponsel yang bermerek apel separuh itu ke dasbor mobilnya. Lelaki itu memijit kepalanya yang semakin berdenyut. Setelah itu memilih m
Tias sudah lumayan bisa beraktivitas. Kendati belum bisa bergerak leluasa. Pagi ini dia memasak omelet untuk sarapan suaminya. “Hai, sudahlah. Jangan memakasakan diri.” Tias hanya diam. Dia sedikit marah sama suaminya. Dua hari meninggalkannya entah ke mana tanpa memberi tahu. Tidakkah dia mengerti, bahwa hati Tias sangat gelisah.“Lepaskan!” Tias melepaskan pelukakannya.“Hai, kenapa marah? Jangan cemberut, nanti cantiknya hilang.” Ilham duduk di meja dapur melihat istrinya sedang plating makanan. Dia terlihat terampil menata sandwic itu dengan hiasan fla yang terlihat menggiurkan.“Biarin! Mau aku secantik apa pun, suamiku tetap akan mengacuhkanku.” Jujur memang saat seperti ini wanita lebih sensitif. Ilham terkekeh mendengarnya.“Sudah berhenti saja kalau marah. Nggak usah dilanjutin. Aku minta maaf sudah meninggalkanmu. Mumpung libur, ayo jala
“Ehem, sahabatnya dateng pantesan nggak disambut. Sedang mengganggu pasienku rupanya. Kamu memang rakus, Ham. Belum boleh istrimu diganggu. Minimal dua minggu pasca kuretrasi.” Ilham melepaskan pagutannya dan mengelus kepala belakangnya.“Tadi hanya pemanasan saja, Than. Nggak lebih, masa sarapan bibir juga nggak boleh, sih?” Nathan menonyor kepala Ilham.“Aku tahu otak Lo mesumnya kelewat. Tidak akan berhenti sampai menyapa bibir.” Ilham hanya nyengir kuda. Dia duduk kemudian membiarkan Nathan memeriksa sang istri.“Jangan mengambil kesempatan memegang istriku.” Nathan mendnegus kesal.“Lama-lama gue timpuk kamu. Cerewet banget, kamu kok kuat, Tias. Ngeladenin lelaki yang doyan ngomel ini? Bahkan dia lebih cerewet dari emak-emak komplek tukang sayur yang tiap pagi berhenti di depan rumahku.” Tias hanya tersenyum saja menanggapi keluhan Dokt
“Mas, sebenarnya semalem kamu ngapain Galih?” tanya Tias saat suaminya menghampiri.“Hanya membuatnya tidak bisa berdiri bebas.” Ilham tersenyum nyengir kuda."Tapi tetap saja kamu nggak boleh seperti itu, Mas. Bagaimanapun Galih adalah seseorang yang pernah singgah di hatiku. Boleh nggak besok aku menjenguknya? Boleh ya, please tolong boleh.” Tyas memandang wajah Ilham dengan penuh harap dia menginginkan agar suaminya itu mengabulkan permintaannya. Mungkin terkesan permintaan itu sesuatu yang berlebihan namun bagaimanapun Galih pernah menjadi seseorang yang berharga dalam kehidupannya. Ilham memandang sayu wajah istrinyanya.“Baiklah Mas memperbolehkan kamu mengunjunginya tapi dengan satu syarat,” tuntut Ilham.“Kok pakai syarat?” Tias mengerucutkan bibirnya.“Iya dong, harus pakai sarat. Nggak ada
Hari menjelang sore dia sudah rapi di depan kaca menunggu suaminya pulang kerja. Dia akan menjenguk Galih di di rumah sakit Angkatan Darat tempat Galih dirawat. Tias tidak akan bisa menjenguknya Jika dia sendirian. Di sana dijaga ketat, oleh aparat. Galih adalah tahanan. Tentu saja penjagaan ketat diberlakukan. Ilham menghubungi Tias untuk memastikan istrinya tersebut sudah siap. Mendengar dering ponsel, Tias langsung terkesiap menggeser tombol terima.“Kok lama banget, Mas? Kamu banyak pkerjaan hari ini ya?” Tias menebak. Dia menghempaskan bokongnya di kasur empuknya.“Makanya aku telepon kamu, untuk memastikan kamu sudah siap atau belum, sayang.” Ilham menggapit telepon genggamnya sambil menata laptop dan barang-barangnnya.“Iya aku baru selesai mandi. Ini masih ganti pakaian.” Tias menunjukkan baju yang dia kenakan. Long dress warna hijau tosca dengan bunga-bunga.
Saat ini Ilham dan istrinya sudah rapi karena akan mengunjungi Galih. Ilham menggandeng sang istri untuk masuk kedalam mobil tersebut. Dia menutup mobil setelahnya kemudian setengah berlari mengitari mobilnya untuk masuk ke ruang kemudi. Setelah duduk dengan rapi dan mengencangkan sabuk pengamannya lelaki berambut lurus itu mulai menyalakan mesin mobil dan menjalankan mobil tersebut. Lalu lintas malam ini ramai lancar dengan kecepatan maksimal 60 sampai 70 KM/jamSebenarnya tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah sakit angkatan darat dari rumah Ilham. Lelaki itu sesekali mengajak istrinya mengobrol untuk menghilangkan kejenuhan. Mereka sudah sampai di rumah sakit tersebut. Para penjaga yang notabennya dari pihak kepolisian tentu sudah sangat hafal dengan wajah dari Ilham yang memang anaknya Jenderal pada masa dulu.Setelah sedikit negoisasi, maka Tias dan Ilham diperbolehkan untuk menjenguk Galih. Lelaki itu terlihat m
“Tias aku yang salah. Memang bukan kamu yang mandul tetapi, aku yang mandul aku terlalu dibutakan oleh kemolekan tubuh dari Milea dan ternyata anak dalam kandungannya itu , bukan anakku. Aku menyesal, Tias.” Tias melepaskan cekalan tangan Galih.“Bagaimana pun kau sudah tidur dengannya, Bang. Terima dia, bukankah kau ingin anak? dan kau mendapatkan paket komplit istri dan anak dari dia.” Tias menatap tajam ke arah Galih.“Aku tidak yakin milea masih mau denganku, dengan keadaan aku yang cacat seperti ini.” Ada rasa iba menyusup ke relung hati Tias.“Berjuanglah aku pernah berjuang dan gagal maka berjuanglah. Kau akan mengerti artinya perjuangan. Lupakan aku dan kita hidup masing-masing. Sudah ada istri yang ada di dekatmu. Cintai dia jangan pernah sia-siakan dia. Aku permisi. Galih berteriak memanggil nama Tias, namun wanita itu bergeming dan pergi. Galih
Malam ini kebahagiaan menjadi milik mereka berdua. Setelah nyanyian itu selesai, maka Ilham mengangkat tubuh istrinya ala pengantin baru. Sekalian dia pesan hotel yang ada di restoran tersebut. Rupanya dia sudah merencanakan untuk malam ini, agar mereka menginap di hotel. Itung-itung nostalgia saat bulan madu. Ilham meminta istrinya menempelkan kartu tersebut ke pintu kamar hotel sehingga terdengar cicitan yang menandakan kunci dari pintu tersebut telah terbuka. Tias menekan handle pintu dan Galih menendangnya dengan kaki kanannya untuk membuka. Maka terbukalah pintu tersebut sehingga mereka dapat masuk.Ilham meletakkan tubuh sang istri di atas tempat tidur tersebut. Setelah membelai wajahnya sekejap, mencium bibirnya dengan sangat mesra, kemudian setelah itu meninggalkannya untuk masuk ke kamar mandi. Muingkin akan lebih percaya diri bercinta jika dirinya sudah bersih dan wangi. Oleh sebab itu, saat itu Ilham melakukan ritual mandinya. Ilham
Satu lenguhan panjang menandakan mereka akhirnya pelepasan pertama. Walau tentu saja kurang mencapai klimaks karena Ilham mengenakan helm pengaman. Satu kecupan mesra sebagai tanda terima kasih diberikan kepada Tias.Ilham tahu bahwa istrinya itu kurang puas. Terlihat dari wajahnya.“Maafkan aku, Sayang. Nanti setelah kata dokter kamu aman untuk hamil lagi. Kita akan melakukannya tanpa pengaman.” Ilham memeluk sang istri yang masih polos.“Iya tidak apa-apa.” Bibir Tias boleh bilang tidak apa-apa, tapi tanpa sunggingan senyuman, Ilham tahu bahwa wanitanya itu kecewa.“Senyum, dong. Nah, begitu. Senyummu selalu membuatku melayang. Jadi pengen lagi, deh.” Tias mencubit pinggang sang suami sehingga suaminya tersebut mengaduh. Sebenarnya hanya karena manja saja.“I love you, Sayang.” Ilham mengu