Satu lenguhan panjang menandakan mereka akhirnya pelepasan pertama. Walau tentu saja kurang mencapai klimaks karena Ilham mengenakan helm pengaman. Satu kecupan mesra sebagai tanda terima kasih diberikan kepada Tias.
Ilham tahu bahwa istrinya itu kurang puas. Terlihat dari wajahnya.
“Maafkan aku, Sayang. Nanti setelah kata dokter kamu aman untuk hamil lagi. Kita akan melakukannya tanpa pengaman.” Ilham memeluk sang istri yang masih polos.
“Iya tidak apa-apa.” Bibir Tias boleh bilang tidak apa-apa, tapi tanpa sunggingan senyuman, Ilham tahu bahwa wanitanya itu kecewa.
“Senyum, dong. Nah, begitu. Senyummu selalu membuatku melayang. Jadi pengen lagi, deh.” Tias mencubit pinggang sang suami sehingga suaminya tersebut mengaduh. Sebenarnya hanya karena manja saja.
“I love you, Sayang.” Ilham mengu
Tias dan Ilham berada di balkon hotel tersebut menikmati secangkir kopi dan teh lemon kesukaan. Tias serta beberapa cemilan saat sore hari ini, menatap lembayung senja yang mulai menjingga. seakan menjadikan sore itu karunia yang tidak dapat dielakan. Burung-burung mulai terbang pulang ke sarangnya. Terlihat senja itu sangat indah.“Sayang, sudah sehari semalam, kita di sini. mau pulang atau masih betah di sini?” ucap Ilham masih betah memeluk tubuh sang istri.“Aku pengen pulang, Mas sebenarnya. Kamu sendiri?” Tias menyenderkan kepalanya di dada sang suami.“Aku, sih. Di manapun berada, kalau sama kamu, nggak masalah.” Ilham terkekeh dan mengedipkan satu matanya Ketika berpapasn dengan mata sang istri. Tias bangkit dan melepaskan pelukansuaminya kemudian berjalan menuju ke arah teralis. Kedua tangannya memegang pagar pembatas. Matahari sudah tenggel
Pihak kepolisian melakukan identifikasi, dari mana lelaki berjas putih yang pura-pura jadi dokter itu bisa masuk ke area terlarang. Larikan yang pria itu masuki adalah bagian dari rumah sakit bagi tahanan.Galih menyeringai melihat kepanikan dari orang-orang berseragam coklat tersebut. Dia pura-pura memejamkan matanya pura,-pura tidak mengetahui apa yang terjadi.“Bangun!” Polisi itu mengguncang tubuh Galih. Galih pura-pura bodoh untuk menutupi perbuatannya. “Apa kau mengetahui, siapa yang tadi baru masuk ke kamarmu?” tanya polisi tersebut.“Tidak ada orang lai, kecuali dokter dan para perawat.” Galih hanya memasang wajah bodohnya.“Jangan bohong!” Lelaki itu bersikap kasar.“Kau mau membunuhku juga, aku tetap bilang apa yang ku ketahui.” Galih memandang nyalang kea rah lelaki berseragam itu.“Sudahlah, sepertinya dia juga tidak tahu.”
Saat ini Tias sedang berada di balkon karena Ilham tidak memperbolehkan dia keluar sedangkan Ilham sendiri sedang bekerja. Matahari sednag terik dengan tanda, fatamorgana berkerlip di depan sana. Tias memicingkan mata, melihat sekelebat orang yang entah dari mana datangnya.“Siapa itu?” Tias mengerutkan keningnya tapi tidak ada jawaban apa pun. Tias ambil stik golf yang ada di pojokan. Sepertinya, harus siap tempur jika seorang tersebut memang bermaksud jahat dengannya. Dia berjalan keluar dari ruangannya, maksudnya dari dalam kamarnya.“Siapa itu?” Masih juga belum ada tanda-tanda orang Bang yang iya berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya.“Mas, tadi lihat orang masuk kamarku, nggak?” Tias ketemu dengan bodyguardnya.“Tidak Nyonya Bos. Saya berjaga di Sini dari tadi tidak ada.” Tias mengangguk sete
“Kau begitu percaya diri, Nona. Baiklah, kita mulai saja.” Lelaki itu terlihat mulai mengangkat tangannya. Dias ama sekali tidak mengetahui, jika Tias adalah seseorang yang pandai melakukan trik kamuflase dalam pertaruangan.“Baik, kalian menantangku?” Tyas tidak hanya melawan satu orang melainkan dua orang yang ada di depan sekarang.“Sebaiknya Anda menyerah saja aku tidak akan mungkin tega memukul wanita.” Tias menyeringai.“Oh ya, kau pikir aku tidak bisa melumpuhkanmu?” Tias mulai salto dan mendarat di dinding untuk melakukan tolakan. Pertarungan sengit pun terjadi. Tias selalu memiliki trik untuk mengalahkan mereka. Hal itu karena dia tahu bagian-bagian yang sangat sensitive dan pandai membaca Gerakan.“Hap ….!” Brak … Suara kaca pecah karena tertimpa tubuh salah satu lelaki itu terdengar. Setelahnya, lelaki ya
Galih mendapat laporan dari anak buahnya bahwa dia gagal menculik Tias. Bahkan anak buah andalannya dipecundangi oleh wanita itu. Tentu saja, dia meradang. Coba kalau di rumah, sudah pasti aka nada gelas melayang ke wajah anak buahnya. Dia berusaha mati-matian untuk bisa keluar dari tempat itu, untuk menculik sendiri Tias. Setidaknya, membujuknya, tentu tidak akan gagal.Apakah dengan dia lumpuh seperti itu dia akan menjadi bertobat? Anggapan Ilham yang seperti itu salah besar. Big No. Dia justru semakin menjadi-jadi. Tidak ada dalam kamusnya, kasus pertobatan. Lelaki itu itu akan tetap menjadi dirinya yang menjengkelkan untuk alasan tertentu. Dia bahkan akan menjadikan bringas untuk mendapatkan Tias.“Satu pesan dari saat kami kalah berkelahi adalah bahwa dia akan semakin menjauh dan membenci, jika Tuan … Hem, jika Tuan terus saja mengusiknya.”Galih terkekeh, dia tidak sadar j
Anak buah Galih mulai Berencana untuk menyuap petugas. Awalnya memang seperti itu rencananya tetapi ternyata mereka tidak mau dan pantang untuk disuap maka dari itu mereka menggunakan rencana kedua yaitu rencana dengan kekerasan. Anak buah Galih membekap petugas dan mengikat mereka. Setelahnya, dimasukkan ke dalam peti jenazah. Sebelumnya CCTV semua sudah dinonaktifkan, sehingga tidak ada yang dapat melacak perbuatan mereka. Setidaknya, sampai lelaki yang dibekap mereka ditemukan. Selanjutnya, mereka dengan pakaian petugas kamar jenazah tersebut, masuk ke ruangan Galih. Polisi yang jaga di depan agak curiga dengan mereka.“Kalian ke sini?” tanya polisi tersebut.“Ya pak mohon maaf kami akan mengambil mayat pada ruang 202.” Dua lelaki itu kompak.“Ruang 202 apa dia meninggal?” Polisi tersebut sanksi dengan ucapan petugas kamar jenazah itu.&nbs
Kabar kaburnya Galih sudah sampai ke telinga Ilham dia mengeratkan rahangnya karena merasa sangat marah.“Kok bisa? Padahal kalian berjaga 24 jam.” Ilham yang baru saja membaca ebrkas penting jadi tertunda karena hal itu.“Maafkanlah, kami juga kehilangan jejak. Kami juga sudah adakan pemeriksaan semua CCTV. Tapi ternyata juga semua CCTV pada hari itu mati.” Polisi yang menelepon Ilham juga terlihat panik.“Ke mana teknisi?” Ilham tidak menyangka akan terjadi konspirasi yang sangat ciamik.“Kami menemukan seluruh teknisi berada di peti jenazah. Begitupun juga dengan penjaga peti jenazah.” Ilham terlihat geram.“Selalu saja dia bisa lari. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia itu setengah gila, dia nanti akan berbahaya di luaran sana. Dia terobsesi sama istriku.” Ilham sudah mondar-mandir karena merasa san
Ilham ingin pulang segera tapi tidak bisa proyek di Jambi memerlukan perhatiannya. Kendati tidak dapat konsentrasi tapi dia harus professional. Dia menyelesaikan segala Urusannya di kantor sedangkan di rumah, Tias sudah dijaga oleh beberapa bodyguard. Sampai Tias merasa sesak napas karena banyak orang di rumah itu. Tyas memutuskan untuk menelpon suaminya.“Iya, Sayang?” Ilham masih ada di luar kota. Dia meninjau proyek di sana. Bahkan dia baru saja masuk ke hotel.“Ada apa, Mas. Kok banyak banget, sih orang di sini? Aku jadi nggak bisa ngapa-ngapain, ih. Aku mau mau tidur aja jadinya malah nggak enak. Aku ‘kan ingin tidur di depan TV.” Tias terlihat merajuk di depan layer ponsel itu. Ilham melepas dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Kan ada kamar, Sayang. Tidur di kamar.” Ilham melepas kancing kemejanya dan membuangnya begitu saja di ranjangnya.