"Jere ...."Sebelum kalimat Thasia selesai diucapkan, pintu tiba-tiba didorong terbuka.Mereka melihat Karen berjalan masuk, dia menatap Thasia, wajahnya terlihat senang dan dia berkata, "Aduh, sayangku, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau kamu sedang hamil? Aku baru tahu sekarang, kalau dari awal sudah tahu, aku nggak akan pergi jalan-jalan. Katakan, bukan aku orang terakhir yang tahu, bukan?"Karen masih memegang kopernya, memakai syal dan kacamata hitam, sepertinya wanita itu baru saja turun dari pesawat.Kulit Karen terlihat sedikit hitam karena berjemur.Dia juga membawa banyak barang.Kalimat Thasia tadi pun terpotong karena kedatangan Karen.Thasia segera terduduk dan berkata, "Bibi!"Thasia cukup senang saat melihat Karen, seakan-akan rasa resah di hatinya menghilang.Karen meletakkan kopernya, berjalan mendekat sambil mendorong Jeremy ke samping, lalu memeluk Thasia. "Thasiaku, terima kasih. Terima kasih sudah mengandung keturunan Keluarga Okson."Thasia tertegun dipeluk ole
Semua disimpan dalam kotak makan dan masih hangat.Padahal makanan khusus ibu hamil yang Jeremy beli juga berasal dari hotel bintang lima.Namun, Karen meremehkan makanan itu, dia mendorong semua barang itu ke samping, lalu membuka kotak makan yang dia bawa. "Ini sup ikan mas, bagus untuk ibu hamil, kalau ini bubur hati ayam, untuk menambah darah, dan juga ini, kacang polong dan kaki sapi ...."Karen terus berbicara untuk didengar orang-orang, lalu dia berkata lagi pada Jeremy, "Kamu baru pertama kali menjadi ayah, kamu harus belajar bagaimana caranya merawat wanita hamil, ke depannya kamu juga harus merawat anakmu. Ini semua makanan yang bagus untuk wanita hamil, jangan sampai dia memakan darah atau makanan nggak matang, hal itu bisa membuatnya keguguran ...."Karen terus berbicara, Jeremy langsung berkata, "Dia itu istriku, aku tahu bagaimana cara merawatnya.""Apanya yang merawatnya?" Karen sama sekali tidak percaya padanya. "Kamu sebagai suaminya malah membiarkan Thasia bekerja hin
Asisten itu cukup terkejut saat melihat Jeremy, lalu dia menangis. "Pak Jeremy, akhirnya aku berhasil menemukanmu."Jeremy menoleh, melihat wajah asisten itu yang terlihat cemas, dia langsung tahu kalau orang itu adalah asistennya Lisa, dia membuang rokoknya yang sudah mati ke tong sampah. "Memangnya di kantor nggak ada orang lain lagi?"Perusahaan entertainmentnya memiliki seorang penanggung jawab, juga berperan sebagai CEO.Kalau ada masalah yang harus dia urus, dia akan mengurusnya.Asisten itu berkata, "Meski di kantor ada banyak orang, Kak Lisa hanya ingin Pak Jeremy. Telepon Anda dari kemarin nggak bisa dihubungi."Jeremy mengerutkan kening, dia tidak ingin mendengar hal-hal ini. "Nggak ada urusan lain lagi?"Asisten itu menghapus air matanya, tapi air mata itu tetap mengalir, sama sekali tidak bisa berhenti. "Penyakit Kak Lisa kambuh lagi, kemarin sebenarnya dia ada kerjaan, tapi karena telinganya nggak bisa mendengar, jadi dibatalkan. Apakah dia akan menjadi tuli? Kalau begitu
Tatapan Lisa menjadi lebih bergetar, dia tersenyum. "Jeremy, kamu bilang apa? Jangan begitu dingin bisa nggak? Aku takut, aku sudah merasa sangat takut sekarang!"Tangan Lisa juga mulai bergetar.Jeremy melepaskannya, tatapan matanya masih menusuk. "Kalau bukan karena dirimu yang menghancurkan diri sendiri, mana mungkin pendengaranmu malah semakin parah. Sepertinya kamu hanya berpura-pura mencintai tubuhmu ini, kamu sebenarnya nggak mementingkan kariermu, kamu hanya ingin menghancurkan dirimu.""Posisimu sudah bagus di dunia hiburan, bukan semua orang bisa sampai ke posisimu itu, karena kamu nggak menghargai hal itu, maka aku akan mencari orang lain untuk menggantikanmu!" Perkataan Jeremy terdengar kejam, tidak peduli Lisa bisa mendengarnya atau tidak, karena sudah mengatakan apa yang harus dia katakan, Jeremy juga tidak akan membuang-buang waktunya untuk mengurusi Lisa.Jeremy yang selama ini membantu Lisa hingga bisa terkenal.Bagaimana mungkin dia membiarkan Lisa sendiri yang mengha
Wajah Lisa terdorong ke samping, dia langsung jatuh dari ranjang.Kali ini Lisa jatuh dengan cukup keras, bahkan terdengar suara tulangnya yang terkena lantai. Lisa terlihat sangat menyedihkan tengkurap di lantai.Jeremy padahal tadi sudah berencana mendorong Lisa, siapa sangka tamparan Karen sudah mendarat duluan.Melihat Karen di sini, dia pun berkata, "Bibi, apa yang kamu lakukan?"`Di saat bersamaan begitu asisten Lisa melihat ini dia segera menopang tubuh gadis itu."Apa yang kulakukan? Aku sedang memukul selingkuhanmu, kamu nggak lihat?" kata Karen dengan dingin, sama sekali tidak menghargai Jeremy.Lisa menangis dengan menyedihkan, dia terlihat kasihan dan sangat lemah, seakan-akan gadis itu tidak bisa mengurus dirinya sendiri.Jeremy mengerutkan keningnya, dia menarik Lisa berdiri dari lantai, lalu berkata, "Dia sedang sakit, aku hanya melihatnya sebentar.""Kamu itu siapanya dia, apakah kamu perlu datang melihatnya?" Karen tidak berpikir seperti itu. "Dia hanya berpura-pura, t
Melihat mereka ribut, Jeremy juga segera menarik Karen, dia tidak ingin bibinya semakin emosi dan mengamuk dengan lebih parah. "Bibi, apa yang kamu lakukan? Cepat lepaskan dia!"Karen menepis tangan Jeremy. "Nggak mau, aku hari ini akan membuka kedoknya, membuat kalian tahu bahwa dia ini tukang bohong, dia sama sekali nggak tuli!""Ahh!" teriak Lisa dengan kencang."Kalian sangat ingin aku mati, maka aku akan mati, aku akan mati sekarang!" Melihat mereka masih saling tarik-menarik, tiba-tiba Lisa berlari keluar.Lisa menabrakkan kepalanya ke tembok.Kepalanya berdarah, lalu tubuhnya jatuh ke lantai dan pingsan.Thasia membuka matanya lebar-lebar, melihat tindakan Lisa itu dia merasa sangat terkejut hingga wajahnya memucat, tanpa sadar dia melangkah mundur.Karen tertegun, tidak dia sangka Lisa akan bertindak seperti ini.Semua orang masih tidak bereaksi."Kak Lisa!" panggil asisten itu dengan terkejut. "Dasar kalian orang jahat, kalian telah mencelakainya!"Jeremy tidak berbicara, dia
"Je ...."Thasia baru berjalan mendekat, tapi sebelum dia berbicara, Jeremy sudah menoleh sambil menelepon seseorang, pria itu tidak memperhatikan Thasia berjalan mendekat. "Turunkan berita itu, jangan sampai orang-orang tahu Lisa sedang sakit, hal itu akan memengaruhi reputasinya ...."Jeremy melewati Thasia, seakan-akan Thasia adalah udara yang kasat mata.Saat itu Thasia merasa sangat sedih.Thasia khawatir pada Karen, sedangkan pria itu khawatir pada Lisa.Takut masa depan Lisa sebagai artis terpengaruh.Thasia tidak seharusnya berpikir yang tidak-tidak, tapi kenyataan di depannya membuahkan sesuatu di dalam hatinya.Melihat Jeremy begitu sibuk karena masalah Lisa, seharusnya pria itu merasa sangat khawatir, jadi Thasia tidak jadi berbicara, dia hanya berjalan ke ruang dokter.Dokter sudah pasti akan melaporkan keadaan Lisa.Saat dokter menjelaskan keadaan Lisa, Thasia baru tahu kalau kedua telinga gadis itu tuli, jadi dia tidak bisa mendengar apa pun.Sebelumnya dia tahu kalau pit
Thasia sudah berutang cukup banyak padanya, dia tidak bisa membalas semua utang itu."Aku baik-baik saja." Jason berjalan masuk, dia tersenyum sambil menyeka keringatnya. "Nanti juga sudah nggak lelah, aku buru-buru dari rumah ke sini, bahkan nggak sempat ganti baju."Thasia menatapnya sambil tertawa. "Duduklah, aku akan menuangkan air untukmu!""Nggak perlu! Biar aku sendiri yang mengambilnya!" Jason segera merebutnya, dia tidak ingin merepotkan Thasia. "Apakah anaknya baik-baik saja?"Mendengar ini Thasia segera duduk kembali. "Mark yang memberitahumu hal ini?"Jason menuangkan air, meminumnya dan tersenyum tanpa menjawab.Thasia malah berkata, "Kenapa dia memberitahumu semua ini? Aku bahkan curiga dia itu mata-matamu, selama aku bertindak sedikit saja, dia akan langsung melaporkannya padamu.""Bukan." Jason meletakkan gelasnya ke samping. "Hubungan kami cukup dekat, karena kami teman sekolah dulu, jadi kami sering mengobrol.""Baguslah kalau bukan, kalau nggak nanti aku nggak ada pr
"Oke."Tatapan Kent mengikuti sosok Thasia yang berlalu.Thasia mengendarai sepedanya keluar, dia menuju ke pusat kota.Jaraknya tidak terlalu jauh.Jeremy telah memberinya sebuah vila dengan harga yang sangat mahal.Saat ini jalanan cukup ramai, dia sedang menunggu di lampu merah.Setelah lampu berwarna hijau, dia mendorong sepedanya, tiba-tiba ada orang berkata, "Biar aku bantu."Thasia menoleh ke belakang, dia melihat seorang pria muda sedang mendorong belakang sepedanya.Sepertinya pria itu menyadari Thasia sedang hamil, jadi kesulitan mengendarai sepeda.Hari ini Thasia berpakaian dengan santai. Rambutnya dikepang, memakai sebuah topi dan gaun yang lebar, perutnya sedikit menonjol.Selain ibu hamil yang akan berpakaian seperti ini, yang lainnya tidak mungkin.Thasia merasa dirinya tidak selemah itu, tapi dia juga tidak ingin menolak kebaikannya, jadi dia berkata, "Terima kasih."Dia segera sampai ke seberang, orang itu berjalan ke arah yang berlawanan dengannya.Thasia lanjut meng
Sabrina kira dirinya sedang bermimpi, dia merasa kesal, padahal sebelumnya dia melihat mereka saling mencintai, kenapa sekarang malah bercerai. "Apa yang terjadi? Jeremy itu, dasar pria berengsek, dia cepat sekali berubahnya. Nggak bisa, pokoknya aku harus memberinya pelajaran!"Thasia sudah menerima kenyataan ini. "Nggak perlu, ada baiknya kami bercerai, sekarang aku sudah punya rumah dan uang, aku sudah menjadi janda kaya, meski aku nggak bekerja seumur hidup, aku nggak akan mati kelaparan, kamu seharusnya mengucapkan selama padaku.""Keenakan wanita murahan itu!" Sabrina memosisikan dirinya seperti Thasia, mana mungkin dia terima."Biarkan saja." Thasia berkata, "Kamu nggak perlu mengurusi masalah ini, semua sudah berlalu.""Aku mengerti, hanya saja aku khawatir kamu akan merasa sedih, aku ingin bertanya apakah perlu aku temani, tapi kamu nggak menjawab panggilanku, aku juga nggak tahu kamu ada di mana. Membuatku khawatir saja." Sabrina benar-benar khawatir padanya, tapi juga tahu s
Matanya menatap ke arah Kent lagi, pria itu menatapnya dengan tatapan seperti biasa.Bagi Kent hal itu sudah biasa.Thasia akhirnya mengerti, pria ini tumbuh besar di lingkungan yang kejam dan selalu bersembunyi.Seperti katanya, Kent memang hidup di dunia yang gelap, tanpa adanya cahaya.Meski begitu Thasia tetap merasa terkejut, dia tidak mengerti padahal sama-sama manusia, kenapa mereka bisa hidup dengan cara yang sangat berbeda."Kenapa kamu memberikan darahmu padaku?" Thasia ingin menolak. "Aku nanti juga akan siuman kalau pingsan, kamu nggak perlu melukai dirimu, nggak baik bagi tubuhmu, aku nggak mau kamu bertindak seperti ini."Kent tersenyum santai, mungkin hal ini hal paling santai yang pernah dia lakukan. "Nggak masalah, hanya mengeluarkan sedikit darah saja, nggak akan mengancam nyawa.""Nggak boleh bilang begitu, lain kali nggak boleh lagi!" Thasia menentangnya dengan tegas. "Saat kamu bersamaku maka kamu juga harus dihargai, bukan barang untuk dikorbankan, kamu juga nggak
Kent ingin menghindari, jelas dia tidak ingin Thasia menyentuhnya.Saat ini Thasia merasa lebih curiga, dia bertanya, "Kenapa kamu berdarah?"Padahal Kent sudah terluka cukup lama, meski luka di tubuhnya masih belum sembuh total, tidak seharusnya masih meneteskan darah.Kecuali lukanya bertambah lagi.Kent menarik lengan bajunya, tapi beberapa tetes darah itu tidak bisa ditutupi dengan mudah.Pria itu tersenyum, lalu mencari alasan. "Tadi saat memasak nggak sengaja terluka, bukan masalah besar."Alasan itu tidak bisa mengelabui Thasia."Kamu sudah terbiasa melakukan pembedahan, mana mungkin bisa terluka saat memasak. Kamu nggak akan bisa membohongiku!" Thasia mengerutkan keningnya, dia sama sekali tidak percaya pada penjelasannya ini. "Luka ini sepertinya bukan muncul saat kamu memasak tadi, kenapa kamu bisa terluka?"Kent terdiam.Pria itu tidak mau bilang, Thasia tetap punya mata untuk melihat, dia menarik tangan Kent, ternyata di pergelangan tangannya ada luka yang diperban dengan k
"Ini pertama kalinya aku masak."Thasia mengangkat alisnya. "Nggak masalah, aku ingin mencicipi masakanmu, mungkin saja kamu berbakat."Setengah jam kemudian Kent baru berjalan keluar dari dapur.Tidak ada aroma gosong, berarti Kent tidak membuat dapurnya terbakar.Namun, ketika Kent meletakkan masakannya di atas meja, Thasia merasa sangat terkejut.Thasia menatap Kent dengan tatapan ketakutan.Kent pikir Thasia tidak tahu masakan apa ini, jadi dia menjelaskan dengan tenang, "Ini hati ayam, ini ampela ayam ... kedua hal itu termasuk organ dalamnya, ini badan ayam, ini bagian pahanya, ada banyak daging tapi nggak eneg ...."Setelah mendengar penjelasan Kent, dia seakan-akan mendengarkan penjelasan bagian tubuh.Bisa dibayangkan saat Kent memasak, dia membedah ayam itu, begitu melihatnya selera makan Thasia pun menghilang.Sebaliknya malah membuatnya ingin muntah.Melihat Thasia masih belum mulai makan, Kent bertanya, "Kenapa? Kelihatannya nggak enak? Padahal aku sudah berusaha membuatny
Tatapan Kent menjadi rumit, kalau Thasia tahu apa yang telah dirinya lakukan, wanita ini pasti tidak akan berkata seperti itu.Kent saja tidak berani menyentuh tangan Thasia, apalagi melakukan hal jahat padanya.Kent tidak menolak lagi, dia membiarkan Thasia menyentuh tangannya.Mereka berdua terdiam cukup lama, warna darah di gelang mutiara yang dipakai Thasia menjadi lebih pekat, hal ini terlihat oleh wanita itu, dia pun bertanya, "Apakah mutiara di gelang ini bisa berubah warna?"Tatapan Kent menjadi lebih gelap. "Benarkah?"Thasia memosisikan gelang itu di bawah sinar matahari, memang benar warna merahnya jadi lebih pekat. "Aku kira karena ini gelang lama, jadi warnanya bisa lebih gelap, tapi sekarang warna merahnya jadi lebih pekat. Gelang ini biasanya kamu yang pakai, 'kan? Kamu nggak sadar?"Kent tanpa sadar mengelus pergelangan tangannya, tertawa sambil berkata, "Mungkin ini barang palsu, aku nggak tahu, aku nggak pernah tes."Thasia menatap Kent. "Kalau palsu mungkinkah kamu m
Bisa dibilang hidupnya cukup beruntung.Lahir di keluarga yang harmonis, banyak orang yang baik padanya.Hanya dalam percintaan saja dia tidak beruntung.Mungkin hidupnya terlalu datar, agar hidupnya lebih berkreasi, dia harus mengalami perasaan kecewa ini.Perkataannya membuat Kent tertawa.Dia duduk di samping Thasia, menjaganya, matanya yang berwarna coklat terlihat sangat lembut."Kamu nggak pernah berkorban untukmu, tapi kamu memberiku kehidupan." Kent tidak menyembunyikan hal ini, ada hal yang harus dihadapi. "Tunggu ingatanmu pulih kamu juga akan tahu."Kent telah beberapa kali menolongnya, Thasia percaya pria ini tidak akan mencelakainya.Meski Kent bukan orang biasa.Sekarang orang yang menemaninya adalah Kent.Thasia tanpa sadar bertanya, "Kamu punya teman?""Nggak punya."Thasia bertanya lagi, "Kamu nggak ada teman?"Kent malah berkata, "Aku nggak perlu teman.""Orang tuamu di mana?""Aku nggak tahu siapa orang tuaku.""Kalau begitu kamu pasti kesepian, nggak ada keluarga da
Bagi Lisa, dia hanya punya pilihan ini.--Thasia tidak tahu bagaimana dirinya melewati malam ini, waktu terasa sangat lama.Dia terus terjaga di sofa sepanjang malam.Setelah dia merasa lebih sadar, matahari sudah mulai terbit.Rasanya lelah.Sangat lelah.Thasia menyeret tubuhnya yang lelah ke kamar mandi, dia mencuci muka, saat melihat wajahnya di kaca dia merasa terkejut.Dia kira dirinya melihat hantu.Matanya memerah, wajahnya sangat pucat, tidak ada rona darah sama sekali, dia terlihat seperti wanita sakit parah.Thasia mengelus wajahnya, dia tidak percaya dirinya menjadi seperti ini.Setelah hatinya dilukai apakah dirinya semenyedihkan ini?Tanpa Jeremy, apakah dirinya tidak bisa hidup lagi?Jawabannya tidak.Bukannya dia sempat berpikir putus hubungan dengan pria itu dan ingin bercerai?Bedanya kali ini pria itu yang meminta pisah.Thasia masih bisa hidup, dia bahkan bisa hidup dengan jauh lebih baik.Thasia sudah memutuskan, sudah cukup dia merasa sedih semalaman, hari-hari s
Lisa sudah membayangkan.Pernikahannya dan Jeremy akan semeriah apa.Dia akan menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.Pada saat ini, Lisa mendengar suara langkah kaki, dia kira pembantu di rumahnya, jadi dia berkata, "Kamu nggak perlu melayaniku, kamu istirahat saja."Namun, suara langkahnya tidak berhenti.Lisa mengerutkan keningnya, dia merasa sedikit kesal, jadi dia melepas maskernya sambil berkata, "Sudah aku bilang ...."Begitu dia menoleh dan melihat dengan lebih jelas siapa yang datang, dia merasa terkejut, dia membuang maskernya dan berkata dengan hormat, "Ayah ....""Lisa." Pria itu menatap Lisa, lalu berkata sambil tersenyum, "Lama nggak bertemu, ternyata kamu sudah besar."Lisa segera berdiri, dia memeluk pria itu. "Ayah, akhirnya kamu dibebaskan, aku sangat rindu padamu!"Pria yang berusia sekitar 50 tahun itu lebih tinggi sedikit dari Lisa, meski sudah tua tubuhnya cukup tegap, dia mengelus kepala Lisa dengan lembut. "Maaf membuatmu sendirian."Lisa berkata, "Nggak