Aku mengetatkan selimut, saat mendengar langkahnya yang mendekat. Mata aku pejamkan rapat, dan pura-pura mendengkur.“Akhirnya tertidur juga,” gumamnya sambil merapikan selimutku di bagian kaki.Tanpa membuka mata, aku tahu dia duduk tepat di sebelahku. Beberapa kali terdengar helaan napas darinya. Kepala ini merasakan belaian lembut tangannya, kemudian ciuman di kening. Lama.“Maafkan aku, Alex. Kamu jadi sakit seperti ini karena aku.”Terkesiap diri ini merasakan tetesan air di wajahku. Tidak tahan dengan kesedihannya, perlahan aku membuka mata.“Alex. Aku mengganggumu?” ucapnya sambil menarik tangannya. Buru-buru dia mengusap pipinya, kemudian memunculkan senyuman.Aku tersenyum, mengulurkan tangan dan dia menyambutnya. “Tidak. Kamu tidak mengganggu. Justru aku sekarang mem-visualkan mimpiku. Bertemu kamu yang dulunya hanya dalam mimpi.”“Sakit saja masih gombal.”Semakin gemas melihat dia yang tersipu dan pipinya semburat merah. Seandainya tubuhku bisa bergerak bebas, pasti aku me
Hanya bersekat dinding, aku menunggu dia yang berpacu dengan kemungkinan hidup dan mati. Prosentase keberhasilan memang tinggi, tapi tidak menutup terjadi takdir tidak berpihak kepada kita.Tomo dan beberapa pegawai bersiap di ujung sana. Wajah mereka yang biasanya tanpa ekspresi, sekarang tersirat kegundahan akan keselamatan sang induk semang.Waktu berputar seakan melambat. Semakin menyiksa hati yang penuh dengan kekawatiran. Dengan menangkup kedua tangan, aku memejamkan mata, memohon kepada Tuhan. Bibir ini tidak henti-hentinya merayu untuk keselamatan laki-laki yang menjadi tujuanku kini.BRAK!Pintu terbuka. Mata ini terbuka dan bukan dokter yang berjalan pelan sambil menunjukkan senyuman. Ini justru beberapa perawat hilir mudik berlarian. Aku yang berdiri bersiap melontarkan pertanyaan hanya dijawab lambaian tangan tanda memohon sabar.Kedua alis mata terpaut mendapati wajah-wajah yang jauh dari senyuman lepas. Walaupun mereka tidak menyatakan, tapi ini mengabarkan hal tidak bai
Rasa kesal yang sempat mencuat, ternyata dikalahkan desiran yang menyerbu di dada ini. Aku tidak mampu membencinya, dengan alasan yang mungkin tidak seperti ada di pikiranku. Dua pendapat yang saling berkecamuk di kepala ini. “Alex melihatmu sebagai wanita materialistis. Buktinya, dia membayar kesediaanmu selama bersamanya. Dia membayar!” Namun, sudut hati di sisi lain berkata lain. “Bukan. Yang dilakukan sekarang wujud kasih sayang. Dia ingin berbuat lebih kepadamu, walaupun dia sudah berkalang tanah.” Apapun alasannya, aku tetap menolak apa yang dia rencanakan dengan membuat wasiat itu. Aku berdiri di luar ruangan. Dari kaca pembatas, aku menatap tubuh Alex terbujur tidak bergerak. Peralatan medis menempel di beberapa tempat untuk menunjang dia tetap bernapas. Tangan ini bergerak pelan, mengusap kaca yang memburam karena embusan napasku. Dari sini, jari telunjukku seakan membelai rambutnya yang di sana. Ingatan matanya yang mengerjap, dan senyuman yang menunjukkan kemanjaan, s
“Syukurlah, semua sesuai yang harapan. Perkembangan Tuan Dominic bagus. Bahkan sangat bagus,” ucap Dokter menciptakan helaan napas lega. “Tapi tetap dalam masa penyembuhan, pasien harus istirahat dulu.” Tadi setelah Alex tersadar, mereka membawa kekasihku itu kembali memeriksa secara keseluruhan. Katanya, perkembangan harus dipastikan keberhasilannya dengan pemeriksaan rontgen. Gumpalan darah yang membeku akibat benturan di dada, tidak mengganggu paru-paru kembali. Juga pemasangan penguat pada tulang rusuk, seperti yang direncanakan. Setelah beberapa lama, baru aku diizinkan menemui Alex kembali. Laki-laki yang kurindukan menatapku dengan menunjukkan senyuman yang aku rindukan. Ini seperti aku mendapatkan kembali duniaku yang nyaris hilang. Kata syukur tidak henti-hentinya terucap di hati ini. Namun, bukan seorang Alexander Dominic kalau tidak memantik mata melotot. Dengan wajah masih pucat dan tubuh terkapar menyerah pada jarum infus, sempat-sempatnya dia mengerlingkan mata. “Ray
“Yang aku tulis itu keterlaluan, ya? Aku menyakitimu?” ucapnya menyambung perbincangan tadi malam. Setelah sama-sama membuka identitas, kami belum sempat berbincang banyak. Dokter datang melakukan pemeriksaan dan mengingatkan Alex untuk segera istirahat. “Saya sudah baik dan segar, Dok. Nanti saja istirahatnya,” tolak Alex saat posisi ranjang akan diturunkan. Dokter itu tersenyum sambil mengangguk. “Tuan meminum obat dan vitaminnya dulu. Jadi tubuh akan segera pulih,” ucapnya sambil memerintahkan suster. Beberapa tablet yang harus dikonsumsi, langsung ditelan oleh Alex. Dokter ini memang tidak membantah, tapi Alex yang menguap meyakinkan ini karena obat yang diminum. Tidurnya begitu nyenyak, dan aku bisa melanjutkan rencanaku untuk memuaskan pembaca yang menungguku. Tidak ada yang dikawatirnya, membuat ideku mengalir. Otak yang tidak terbebani meleluasakan jari-jari ini menari di atas layar ponsel. Teringat komentar Alex akan pernikahan yang merujuk untung dan rugi, aku pun me
Pesan yang dikirim oleh orang kantor, memaksaku untuk menangguhkan istirahat. Untung saja Raya sudah pergi. Kalau tidak, bisa jadi aku tidak leluasa karena kekawatirannya.“Harus aku lakukan ini?”“Iya, Tuan. Sesuai arahan orang kantor,” ucap Tomo yang bersiap di sebelahku. Dia menyakinkan dengan mengangguk, sambil menunjukkan deretan kalimat di layar ipad.Aku menghela napas. Namun bagaimana lagi, aku sebagai wajah perusahaan menjadikan keberadaanku tolok ukur berkembangnya usaha. Musibah yang aku alami sekarang sudah dirahasiakan. Bahkan, aku dirawat di bagian tingkat yang paling tinggi. Tidak semua pasien bisa dirawat di lantai ini. Hanya member dengan kerahasiaan menjadi jaminannya.Akan tetapi kenapa masih saja bocor dan menimbulkan kepanikan pemilik saham.“Ada isu yang merebak di luar sana. Tuan terkena kasus perkelahian dan terluka parah.”Aku tersenyum. Wajar sih kalau mereka bersikap seperti itu. Uang mereka dipercayakan karena namaku menjadi jaminannya.“Orang kantor sudah
“Kamu kerja? Tidak istirahat saat aku pergi? Bukankah sudah aku bilang untuk tidak turun dari ranjang? Kamu ini memang tidak mendengarkan ucapanku, ya.”Pertanyaan memberondong setelah kedatangan Raya. Sepi yang aku membuatku enggan tadi, terganti dengan huru-hara.Namun, suara indah inilah yang aku rindukan. Walaupun hanya hitungan jam terpisah, kebersamaan kami saat aku sakit, sudah mencanduiku. Sambil tersenyum, aku menikmati wajah kekawatiran yang dibalut omelan kesal.“Alex! Kamu dengar kata-kataku?”“Iya. Aku dengar.”“Kok tidak dijawab?” tanyanya sambil memiringkan kepala.Aku tersenyum. “Kan dari tadi kamu tidak berhenti bertanya. Aku bingung jawab yang mana dulu.”Dia mendengkus, kemudian berjalan menuju meja makan. Kembali omelan digaungkan. Ini pasti akibat nampan berisi makanan dari suster, masih belum tersentuh.Tadi setelah kembali ke kamar, tidak lama kemudian beberapa orang kantor menghadap. Mereka melaporkan yang sudah berjalan, dan meminta persetujuan apa yang akan d
Pertanyaanku tentang Raya yang menyobek surat wasiat, aku tangguhkan. Kata buku yang aku baca, bicara dengan wanita itu tidak boleh asal, harus mencari waktu yang tepat. Entah waktunya kapan? Tidak ada kepastian. Ini lebih sulit dibandingkan memprediksi jatuhnya meteor, atau menghitung kemungkinan kenaikan nilai saham.“Tapi serakahnya kamu itu berlebihan. Masih sakit nekad kerja. Apa tidak ada karyawan yang mewakili kamu?” ucap Raya masih membahas istilah serakah.Dia membereskan sisa makananku, menyodorkan obat dan vitamin yang sudah disiapkan di wadah oleh suster penjaga.“Aku hanya kerja biasa, Ray. Cuma menunjukkan wajah dan memperlihatkan kalau aku masih sehat. Pemilik saham kangen denganku. Dan orang kantor mengidolakan aku meminta tanda tangan,” jawabku asal sambil tertawa kecil.“Huft. Begitu, ya. Berat juga sebagai kamu, ya? Kalau pegawai sakit, cukup menyerahkan surat dokter dan orang kantor akan maklum dan tidak mengganggu. Kalau kamu__”“Beginilah, Ray. Sebagai CEO sebena