Pertanyaanku tentang Raya yang menyobek surat wasiat, aku tangguhkan. Kata buku yang aku baca, bicara dengan wanita itu tidak boleh asal, harus mencari waktu yang tepat. Entah waktunya kapan? Tidak ada kepastian. Ini lebih sulit dibandingkan memprediksi jatuhnya meteor, atau menghitung kemungkinan kenaikan nilai saham.“Tapi serakahnya kamu itu berlebihan. Masih sakit nekad kerja. Apa tidak ada karyawan yang mewakili kamu?” ucap Raya masih membahas istilah serakah.Dia membereskan sisa makananku, menyodorkan obat dan vitamin yang sudah disiapkan di wadah oleh suster penjaga.“Aku hanya kerja biasa, Ray. Cuma menunjukkan wajah dan memperlihatkan kalau aku masih sehat. Pemilik saham kangen denganku. Dan orang kantor mengidolakan aku meminta tanda tangan,” jawabku asal sambil tertawa kecil.“Huft. Begitu, ya. Berat juga sebagai kamu, ya? Kalau pegawai sakit, cukup menyerahkan surat dokter dan orang kantor akan maklum dan tidak mengganggu. Kalau kamu__”“Beginilah, Ray. Sebagai CEO sebena
Aku bisa bernapas lega ketika senyuman Raya mengembang. Tidak ada tanda-tanda dia kesal. Bahkan sesaat dia berbincang ringan dengan Tomo sebelum asistenku itu pamit. “Kerja Pak Tomo berat mendampingi Tuan Alex. Jangan lupa makan Pak Tomo,” ucapnya membalas anggukan hormat Tomo. ‘Aman,’ pikirku. Ini tidak seperti yang aku baca di buku, kalau wanita akan marah besar saat ucapannya tidak dituruti. Saat mulai dekat dengan Raya, memang koleksi bukuku tentang hubungan manusia semakin bertambah, terutama tentang kekasih. Kelegaanku luruh seketika saat dia membalikkan badan, wajahnya sudah terpasang tanpa senyuman. Kedua alis matanya bertaut seakan bersiap melakukan serangan. “A-aku tadi terbangun saat Tomo datang, Ray. Beneran. Ini bukan karena aku memintanya datang,” ucapku sambil menunjukkan dua jari. "Tidak mungkin. Pasti Tomo kamu panggil ke sini, kan? Sudah aku bilang kalau waktunya istirahat, ya harus istirahat. Begitu kok susah amat, ya?" "Aku tidak bohong, Raya Sayang," ucapku
Kata demi kata aku baca yang membangkitkan tubuh ini merinding. Semakin aku menyelami artikel ini, semakin diri ini menciut. Lelaki yang selama ini aku bentak-bentak ternyata bukan orang biasa.Kalimat apakah aku pantas, mulai menyoal kembali.~~Peringkat 100 orang terkaya di negara ini versi majalah bisnis Eropa ini masih di dominasi oleh pengusaha gaek. Deretan orang kaya tersebut memiliki usia rata-rata 70-80 tahun. Namun yang menjadi kejutan tahun ini, anak muda masih berusia 25 tahun sudah masuk di jajaran orang-orang sukses.Alexander Dominic, CEO Global Dominic Technologies, Tbk. Lajang berprestasi yang menunjukkan kecintaannya kepada tanah air dengan tekad membantu meningkatkan perekonomian melalui teknologi.~~Pasti ini yang dimaksud Mbak Leni. Dengan artikel ini, semua orang sekarang mengenal siapa kekasihku itu.Buru-buru aku kembalikan majalah di posisi semula, saat suara langkah sepatu hak tinggi Mbak Leni terdengar. Aku kembali menyibukkan diri dengan data-data di depa
“Aku harus bagaimana, Mbak? Apa keputusanku menerima Alex itu salah?”“Ngawur kamu, Yak! Jangan hanya omongan orang lain, kebahagiaanmu terpengaruh. Lanjut saja! Anjing menggonggong, kafilahpun berlalu. Jadi anggap saja mereka itu yang menggonggong!” ucap Mbak Leni ikutan kesal.Ucapannya senada dengan pemikiranku saat menulis cerita. Secara teori memang mudah, mengabaikan ucapan orang lain, tapi kalau merasakan sendiri itu tidak mudah. Rasa sakit hati menyelusup sendiri tanpa permisi.Merasa kesal sudah di ubun-ubun, tadi aku justru menutup jendela.“Kamu, sih. Harusnya langsung labrak, bungkam, sampai tidak mampu berkata-kata. Ini malah menghindar. Gemes aku lihat kamu. Takut?”Mbak Leni terlihat mengatur napas yang masih terengah. Kentara sekali masih tersisa emosi yang sempat meledak tadi.“Bukannya takut, Mbak. Tetapi aku takut dengan diriku kalau tidak bisa menahan amarah lagi. Bisa jadi mulut ini keluar kata-kata jelek. Kasihan mereka.”“Memang mereka kasihan kepadamu?” tanya M
“Loh, kita kemana?” Aku memperhatikan arah mobil yang tidak menuju rumah sakit. Ini justru semakin meninggalkan keramaian kota.Dia tersenyum. “Kamu ingin aku di rumah sakit terus?”“Kamu sudah pulih benar?” tanyaku terkejut menyadari tidak ada jarum infus yang menancap.“Sudah. Rumah sakit sudah mengizinkan aku pulang. Tapi tetap mereka menyiapkan perawat dan dokter yang mengawasiku. Makanya, tidak mungkin ini di apartemn, jadinya aku memilih di rumah saja.”Dahiku berkerut, ucapannya ada yang dipaksakan. “Kamu pulangnya atas dasar apa? Bukan karena anjuran dokter, kan? Pasti ini karena paksaan dari kamu.”Dia tertawa kecil mengawali ucapannya. “Aku di sana atau di rumah sakit, itu sama saja, Ray. Yang penting tujuannya kan aku sembuh.”“Di rumah sakit saja kamu bandel, apalagi di rumah.”“Kan ada kamu?” jawabnya sambil mengusap-usap tengkuknya dengan mata berkedip-kedip.“Ish! Menyebalkan!”“Tapi sayang, kan?”‘Iya, sih,’ jawabku dalam hati sambil mendengkus dan melotot ke arahnya.
Bermalam di rumah kekasih itu seperti satu atap dengan serigala. Bukannya takut karena tidak mampu menjinakkan keliarannya, tapi yang dikawatirkan diriku berubah menjadi werewolf.Lebih ganas, dong?Memang.“Kamu istirahat dulu. Atau kalau ingin mandi juga silakan. Ini areal kamu dan milik kamu. Aku tidak akan mengganggu,” ucapnya sambil mengedipkan mata.Baru saja pintu tertutup, sekarang terbuka kembali. Kepalanya menyembul menunjukkan senyuman yang menjengkelkan.“Apa?!”“Kalau kamu butuh aku, aku di kamar sebelah, ya. Trus kalau butuh apa-apa, itu di atas nakas ada interkom. Okey?”“Iya,” ucapku kemudian menutup pintu.Walaupun tadi dia mengatakan tidak akan menganggu, tetap pintu ini harus aku kunci. Anak kunci baru aku putar, tapi ketukan pintu terdengar. Pikirku, mungkin ini pekerja rumah di sini.“Ada apa lagi, Alex?”Tebakanku ternyata salah. Lelaki yang menjulang ini kembali berdiri tepat di hadapanku. Senyuman mengembang lebar dan mata menyorot jenaka.“Ada yang lupa aku bi
Kami berbincang banyak hal. Mengutarakan isi kepala untuk mencari titik tengah dari perbedaan latar belakang kami. Apa yang selama ini aku anggap benar, ternyata tidak seperti yang dikatakan yang mengalami. Makan malam pun selesai, dan hidangan di atas meja terganti dengan camilan manis dan dua cangkir teh hangat berserta poci keramik berwarna putih.. "Aku kehilangan banyak hal yang orang lain mengatakan itu hal yang lumrah,” ucapnya setelah beberapa saat terdiam. “Bukankah dengan keadaan keluarga kamu, seharusnya kamu memiliki segalanya? Ingin apapun tinggal tunjuk. Tidak berpikir saldo rekening atau jumlah uang yang ada di dompet.” Dia tertawa. “Nilai rasa. Aku tidak mempunyai titik kepuasan yang sama dengan orang lain. Saat kecil, aku merasa heran saja dengan anak-anak lainnya yang lari-lari membuang tenaga. Atau berkelahi hanya merebut mainan yang tersedia di toko,” ucapnya sambil mengambil kue kering dari gandum. Kemudian dia melanjutkan bicara. “Sampai sekarang. Anggap saja
“Hebat sekali. Tebar pesona sana-sini dan laku lagi,” ujar Alex.“Laki-laki seperti itu justru kenikmatannya dicabut oleh yang di Atas. Dia tidak bisa berhenti di satu wanita, tapi mempunyai kepuasan saat dia seperti layang-layang putus. ”“Laki-laki seperti itu punya apa, sih, sampai sepercaya diri itu? Aku yang tidak mempunyai nyali sebesar itu. Apa para korbannya itu buta?”Kedua tangannya terkait sebagai tumpuan dagu. Sorot matanya menunjukkan rasa penasaran. Mungkin yang aku ungkapkan terdengar aneh di pikiran lelaki yang selalu disibukkan dengan urusan CEO.Akupun sebenarnya tidak tahu pasti kenapa kasus serupa terjadi di kelompok penulis akhir-akhir ini. Mereka tidak pernah bertatap muka, hanya sekadar berteman melalui tulisan. Namun, kenapa justru cinta bersemi subur? Bahkan kecemburuan pun menyeruak dan berakhir dengan pertikaian.“Kemungkinan yang lelaki itu punya adalah harapan. Jujur, wanita mana yang tidak menginginkan laki-laki yang dewasa, sabar, mengayomi, terlebih dik
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu