Aku bisa bernapas lega ketika senyuman Raya mengembang. Tidak ada tanda-tanda dia kesal. Bahkan sesaat dia berbincang ringan dengan Tomo sebelum asistenku itu pamit. “Kerja Pak Tomo berat mendampingi Tuan Alex. Jangan lupa makan Pak Tomo,” ucapnya membalas anggukan hormat Tomo. ‘Aman,’ pikirku. Ini tidak seperti yang aku baca di buku, kalau wanita akan marah besar saat ucapannya tidak dituruti. Saat mulai dekat dengan Raya, memang koleksi bukuku tentang hubungan manusia semakin bertambah, terutama tentang kekasih. Kelegaanku luruh seketika saat dia membalikkan badan, wajahnya sudah terpasang tanpa senyuman. Kedua alis matanya bertaut seakan bersiap melakukan serangan. “A-aku tadi terbangun saat Tomo datang, Ray. Beneran. Ini bukan karena aku memintanya datang,” ucapku sambil menunjukkan dua jari. "Tidak mungkin. Pasti Tomo kamu panggil ke sini, kan? Sudah aku bilang kalau waktunya istirahat, ya harus istirahat. Begitu kok susah amat, ya?" "Aku tidak bohong, Raya Sayang," ucapku
Kata demi kata aku baca yang membangkitkan tubuh ini merinding. Semakin aku menyelami artikel ini, semakin diri ini menciut. Lelaki yang selama ini aku bentak-bentak ternyata bukan orang biasa.Kalimat apakah aku pantas, mulai menyoal kembali.~~Peringkat 100 orang terkaya di negara ini versi majalah bisnis Eropa ini masih di dominasi oleh pengusaha gaek. Deretan orang kaya tersebut memiliki usia rata-rata 70-80 tahun. Namun yang menjadi kejutan tahun ini, anak muda masih berusia 25 tahun sudah masuk di jajaran orang-orang sukses.Alexander Dominic, CEO Global Dominic Technologies, Tbk. Lajang berprestasi yang menunjukkan kecintaannya kepada tanah air dengan tekad membantu meningkatkan perekonomian melalui teknologi.~~Pasti ini yang dimaksud Mbak Leni. Dengan artikel ini, semua orang sekarang mengenal siapa kekasihku itu.Buru-buru aku kembalikan majalah di posisi semula, saat suara langkah sepatu hak tinggi Mbak Leni terdengar. Aku kembali menyibukkan diri dengan data-data di depa
“Aku harus bagaimana, Mbak? Apa keputusanku menerima Alex itu salah?”“Ngawur kamu, Yak! Jangan hanya omongan orang lain, kebahagiaanmu terpengaruh. Lanjut saja! Anjing menggonggong, kafilahpun berlalu. Jadi anggap saja mereka itu yang menggonggong!” ucap Mbak Leni ikutan kesal.Ucapannya senada dengan pemikiranku saat menulis cerita. Secara teori memang mudah, mengabaikan ucapan orang lain, tapi kalau merasakan sendiri itu tidak mudah. Rasa sakit hati menyelusup sendiri tanpa permisi.Merasa kesal sudah di ubun-ubun, tadi aku justru menutup jendela.“Kamu, sih. Harusnya langsung labrak, bungkam, sampai tidak mampu berkata-kata. Ini malah menghindar. Gemes aku lihat kamu. Takut?”Mbak Leni terlihat mengatur napas yang masih terengah. Kentara sekali masih tersisa emosi yang sempat meledak tadi.“Bukannya takut, Mbak. Tetapi aku takut dengan diriku kalau tidak bisa menahan amarah lagi. Bisa jadi mulut ini keluar kata-kata jelek. Kasihan mereka.”“Memang mereka kasihan kepadamu?” tanya M
“Loh, kita kemana?” Aku memperhatikan arah mobil yang tidak menuju rumah sakit. Ini justru semakin meninggalkan keramaian kota.Dia tersenyum. “Kamu ingin aku di rumah sakit terus?”“Kamu sudah pulih benar?” tanyaku terkejut menyadari tidak ada jarum infus yang menancap.“Sudah. Rumah sakit sudah mengizinkan aku pulang. Tapi tetap mereka menyiapkan perawat dan dokter yang mengawasiku. Makanya, tidak mungkin ini di apartemn, jadinya aku memilih di rumah saja.”Dahiku berkerut, ucapannya ada yang dipaksakan. “Kamu pulangnya atas dasar apa? Bukan karena anjuran dokter, kan? Pasti ini karena paksaan dari kamu.”Dia tertawa kecil mengawali ucapannya. “Aku di sana atau di rumah sakit, itu sama saja, Ray. Yang penting tujuannya kan aku sembuh.”“Di rumah sakit saja kamu bandel, apalagi di rumah.”“Kan ada kamu?” jawabnya sambil mengusap-usap tengkuknya dengan mata berkedip-kedip.“Ish! Menyebalkan!”“Tapi sayang, kan?”‘Iya, sih,’ jawabku dalam hati sambil mendengkus dan melotot ke arahnya.
Bermalam di rumah kekasih itu seperti satu atap dengan serigala. Bukannya takut karena tidak mampu menjinakkan keliarannya, tapi yang dikawatirkan diriku berubah menjadi werewolf.Lebih ganas, dong?Memang.“Kamu istirahat dulu. Atau kalau ingin mandi juga silakan. Ini areal kamu dan milik kamu. Aku tidak akan mengganggu,” ucapnya sambil mengedipkan mata.Baru saja pintu tertutup, sekarang terbuka kembali. Kepalanya menyembul menunjukkan senyuman yang menjengkelkan.“Apa?!”“Kalau kamu butuh aku, aku di kamar sebelah, ya. Trus kalau butuh apa-apa, itu di atas nakas ada interkom. Okey?”“Iya,” ucapku kemudian menutup pintu.Walaupun tadi dia mengatakan tidak akan menganggu, tetap pintu ini harus aku kunci. Anak kunci baru aku putar, tapi ketukan pintu terdengar. Pikirku, mungkin ini pekerja rumah di sini.“Ada apa lagi, Alex?”Tebakanku ternyata salah. Lelaki yang menjulang ini kembali berdiri tepat di hadapanku. Senyuman mengembang lebar dan mata menyorot jenaka.“Ada yang lupa aku bi
Kami berbincang banyak hal. Mengutarakan isi kepala untuk mencari titik tengah dari perbedaan latar belakang kami. Apa yang selama ini aku anggap benar, ternyata tidak seperti yang dikatakan yang mengalami. Makan malam pun selesai, dan hidangan di atas meja terganti dengan camilan manis dan dua cangkir teh hangat berserta poci keramik berwarna putih.. "Aku kehilangan banyak hal yang orang lain mengatakan itu hal yang lumrah,” ucapnya setelah beberapa saat terdiam. “Bukankah dengan keadaan keluarga kamu, seharusnya kamu memiliki segalanya? Ingin apapun tinggal tunjuk. Tidak berpikir saldo rekening atau jumlah uang yang ada di dompet.” Dia tertawa. “Nilai rasa. Aku tidak mempunyai titik kepuasan yang sama dengan orang lain. Saat kecil, aku merasa heran saja dengan anak-anak lainnya yang lari-lari membuang tenaga. Atau berkelahi hanya merebut mainan yang tersedia di toko,” ucapnya sambil mengambil kue kering dari gandum. Kemudian dia melanjutkan bicara. “Sampai sekarang. Anggap saja
“Hebat sekali. Tebar pesona sana-sini dan laku lagi,” ujar Alex.“Laki-laki seperti itu justru kenikmatannya dicabut oleh yang di Atas. Dia tidak bisa berhenti di satu wanita, tapi mempunyai kepuasan saat dia seperti layang-layang putus. ”“Laki-laki seperti itu punya apa, sih, sampai sepercaya diri itu? Aku yang tidak mempunyai nyali sebesar itu. Apa para korbannya itu buta?”Kedua tangannya terkait sebagai tumpuan dagu. Sorot matanya menunjukkan rasa penasaran. Mungkin yang aku ungkapkan terdengar aneh di pikiran lelaki yang selalu disibukkan dengan urusan CEO.Akupun sebenarnya tidak tahu pasti kenapa kasus serupa terjadi di kelompok penulis akhir-akhir ini. Mereka tidak pernah bertatap muka, hanya sekadar berteman melalui tulisan. Namun, kenapa justru cinta bersemi subur? Bahkan kecemburuan pun menyeruak dan berakhir dengan pertikaian.“Kemungkinan yang lelaki itu punya adalah harapan. Jujur, wanita mana yang tidak menginginkan laki-laki yang dewasa, sabar, mengayomi, terlebih dik
“Itu yang aku inginkan dari dulu. Seandainya itu bisa.”“Jadi kamu belum pernah ….”“Sama sekali dan aku iri pada mereka yang bercengkrama sambil desak-desakan di angkutan umum. Sepertinya bahagia sekali. Tidak sepertiku yang harus duduk di bangku belakang,” ucapnya sebelum mengawali cerita masa kecilnya.Sopir pribadi kepercayaan sang kakek yang menyertainya kemanapun Alex kecil pergi. Selalu diulang-ulang perintah untuk menjaga keselamatan Alex termasuk dalam pergaulan. Aku tidak mengira, sesuatu yang menurutku biasa yang bahkan menyebalkan karena naik angkot, ternyata diimpikan orang lain.Hidup itu memang sawang sinawang.“Aku tak ubahnya seperti anak TK yang kemana-mana dikuntit. Tidak boleh ini dan itu yang membahayakan,” ucap Alex kembali.“Kakek kamu bersikap seperti itu karena sayang dengan cucu satu-satunya.”Dia tertawa. “Tidak. Aku merasa Kakek melakukan itu hanya karena perlindungan pada apa yang dia miliki. Aku sekadar ahli waris yang diharuskan meneruskan apa yang dia m